• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP KESOPANAN DALAM WAWANCARA LANGSUNG KOMPAS TV PADA PROGRAM "KOMPAS PETANG" DENGAN GUBERNUR DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRINSIP KESOPANAN DALAM WAWANCARA LANGSUNG KOMPAS TV PADA PROGRAM "KOMPAS PETANG" DENGAN GUBERNUR DKI JAKARTA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PRINSIP KESOPANAN DALAM WAWANCARA LANGSUNG

KOMPAS TV PADA PROGRAM "KOMPAS PETANG"

DENGAN GUBERNUR DKI JAKARTA

(THE POLITENESS PRINCIPLES IN LIVE INTERVIEW OF KOMPAS TV'S PROGRAM "KOMPAS PETANG"

WITH THE GOVERNOR OF DKI JAKARTA)

Irfariati

Balai Bahasa Pekanbaru

Jalan.H.R. Soebrantas Km 12.5 Kampus Bina Widya UNRI Pekanbaru Riau

Ponsel: 0812 7513 1011 Pos-el: irfariati73@gmail.com Tanggal naskah masuk: 15 Juni 2015 Tanggal revisi terakhir: 30 Nevember 2015

Abstract

KOMPAS TV's live interview with the DKI Jakarta's Governor Basuki Tjahaja

Purnama on "Kompas Petang" had provoked many reactions from the people. The use of repulsive, offensive, harsh, ill-mannered, and invective words agitated the society for it was harmful and the negative impact was ravaging to the children and juveniles. And above all, it was the governor himself, who was supposedly setting good examples to the society, speaking such a scourging language. This writing aims to describe the politeness principles of pragmatics violated by the governor in the interview using descriptive and qualitative method. The result shows that the governor had violated the pragmatic principles of politeness and the maxims within, namely tact maxim, generosity maxim, approbation maxim, modesty maxim, agreement maxim, and sympathy maxim.

Key words: television, offensive words, politeness principles

Abstrak

WAWANCARA langsung Kompas TV dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja

Purnama dalam acara "Kompas Petang" telah menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Penggunaan kata-kata kasar, kotor, tidak santun, dan makian sangat meresahkan masyarakat karena dapat merusak dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja. Apalagi yang menggunakan bahasa yang kasar dan tidak santun tersebut adalah seorang Gubernur yang merupakan panutan dan contoh bagi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan apa saja prinsip kesopanan yang dilanggar pada wawancara langsung Kompas TV dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dalam acara "Kompas Petang". Penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik dengan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa wawancara lansung Kompas TV dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dalam acara "Kompas Petang" melanggar prinsip kesopanan dan beberapa maksim yang terkandung di dalamnya, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan/ kemurahan hati (generosity maxim), maksim penghargaan/penerimaan (approbation

(2)

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Televisi merupakan media massa elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Media massa elektronik ini mampu menyebarkan berita secara cepat dan memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah tak terhingga pada waktu yang bersamaan (Majid). Tidak dapat dipungkiri lagi media ini menjadi pilihan favorit bagi semua kalangan masyarakat, baik untuk sekadar mengisi waktu luang maupun untuk mendapatkan informasi teraktual yang sedang terjadi.

Media massa, khususnya televisi, mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Kognisi adalah semua proses yang terjadi di pikiran, yaitu melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan, membayangkan, berpikir, menduga, menilai, mempertimbangkan, dan memperkirakan sesuatu. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang menjadi ranah kognisi seseorang, yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Kiesler dan Munson (dalam Yusuf) mendefinisikan sikap sebagai kesatuan perasaan (feelings), keyakinan (belief), dan kecenderungan berperilaku (behavior tendencies) terhadap orang lain, kelompok, paham, dan objek-objek yang relatif menetap. Ada tiga komponen sikap, yaitu (1) afektif (affective), yang di dalamnya termasuk perasaan suka, tidak suka terhadap suatu objek atau orang; (2) kognitif, termasuk pemahaman dan keyakinan tentang objek atau orang tertentu; (3) perilaku, yaitu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap objek atau orang tertentu.

Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, dan membentuk citra diri. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada

kaitan antara tayangan media dan pola perilaku manusia. Misalnya, banyak kajian yang menghubungkan kaitan antara pengaruh tayangan kekerasan media (media violence exposure) dan perilaku agresif (aggressive behavior). Salah satunya Sparks menemukan adanya kaitan antara ekspose kekerasan yang disajikan oleh media dan kekerasan dalam masyarakat.

Jika kita kaji lebih jauh, sebenarnya media massa televisi mempunyai fungsi utama yang selalu harus diperhatikan, yaitu fungsi informatif, edukatif, rekreatif, dan sebagai sarana menyosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman, baik yang lama maupun yang baru. Namun, jika kita lihat kenyataannya sekarang ini, acara-acara televisi lebih pada fungsi informatif dan rekreatif saja, sedangkan fungsi edukatif yang merupakan fungsi yang sangat penting untuk disampaikan, sedikit sekali.

Pada hari Senin, 17 Maret 2015, pukul 18.18 WIB Kompas TV melalui program “Kompas Petang” mengadakan wawancara langsung dengan Gubernur DKI Jakarta terkait kisruh yang terus berkelanjutan antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selaku Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI. Wawancara ini dipandu oleh Aiman Witjaksono. Pada awalnya wawancara berlangsung tertib dan aman, tetapi ketika pertanyaan mulai mengarah kepada isterinya, Ahok terlihat kesal dan mulai menunjukkan sikap yang tidak sopan dan menggunakan kata-kata kotor dan tidak santun. Ahok merasa kesal karena isterinya, Veronica Tan, dikait-kaitkan dan akan dipanggil oleh Panitia Angket. Tak lama kemudian bahasan beralih ke anggaran siluman dan Ahok pun memaki-maki dengan kata-kata kotor yang sangat tidak pantas untuk menggambarkan kelakuan para anggota DPRD DKI Jakarta. Meskipun ditegur dan diingatkan berulang kali oleh Aiman, Ahok tidak ambil pusing dan makin sering mengumpat.

maxim), maksim kesederhanaan/kerendahan hati (modesty maxim), maksim kemufakatan/kecocokan (aggrement maxim), dan maksim kesimpatian (shimpaty

maxim).

(3)

Masyarakat dari berbagai kalangan pun memberikan reaksi keras. Buntut perkataan kotor dan kasar dari Gubernur DKI Jakarta Ahok saat wawancara langsung ini, akhirnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian sementara segmen wawancara pada program jurnalistik “Kompas Petang” selama tiga hari berturut-turut sejak diterbitkannya surat sanksi. Surat sanksi administratif disampaikan KPI Pusat ke Kompas TV, Senin, 23 Maret 2015 dengan nomor surat 225/K/KPI/3/15 yang disiarkan di situs resmi KPI. KPI menilai wawancara langsung tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran norma kesopanan, pelindungan anak-anak dan remaja, pelarangan ungkapan kasar dan makian, serta pelanggaran prinsip-prinsip jurnalistik. Melalui sanksi itu, KPI meminta Kompas TV dan Lembaga Penyiaran lainnya untuk menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran.

Selain KPI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga melayangkan protes yang keras atas siaran yang tidak pantas untuk dikonsumsi anak-anak dan remaja ini karena menggunakan perkataan kotor, kasar, dan tidak santun. Asrorun Niam Sholeh selaku Ketua KPAI meminta Kemendagri menegakkan kode etik pejabat daerah yang ternyata tidak pantas menjadi panutan. Oleh karena itu, KPAI perlu menyampaikan sikap sebagai berikut.

1. KPAI sudah menyaksikan video dialog Gubernur DKI Jakarta dengan presenter Aiman yang ditayangkan langsung di Kompas TV. KPAI menilai dialog yang menampilkan kata-kata kotor dan kasar itu sangat buruk dan tidak pantas disampaikan oleh pejabat publik. Gubernur itu telah memberikan contoh sangat buruk bagi anak-anak.

2. KPAI mendesak Ahok untuk meminta maaf secara terbuka kepada publik, khususnya kepada anak-anak, menyesali perbuatan-nya, serta menegaskan bahwa apa yang dikatakan itu salah, serta berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi.

3. KPAI meminta Mendagri Tjahjo Kumolo sebagai penanggung jawab pembina teknis aparatur daerah untuk melakukan proses penegakan hukum dan etika kepada Gubernur Ahok, yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah agar ada efek jera.

4. Permohonan maaf satu hal, tetapi penegakan kode etik pejabat publik itu penting untuk dilakukan guna menjamin tegaknya good governance dan clean goverment. 5. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi perlu melakukan pemeriksaan kepada Gubernur Ahok. 6. DPRD dapat melakukan langkah-langkah

sebagai fungsi pengawasan terhadap Gubernur sebagai pimpinan eksekutif untuk memberikan kepemimpinan yang baik. 7. KPAI mengingatkan elite politik dan

pendukungnya untuk tidak mempertontonkan perilaku politik murahan, merendahkan harkat kemanusiaan, dan memberikan contoh buruk bagi anak-anak. Jangan karena pembelaan terhadap tokoh politik tertentu, lalu menghalalkan segala cara dan seolah membenarkan kata-kata kotor dan kebohongan.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, sangat menyayangkan sikap Ahok tersebut. Menurutnya, Ahok berpotensi melanggar TAP MPR VI/2001 tentang Etika Kehidupan Bernegara. “Dalam TAP tersebut jelas diatur tentang etika penyelenggara negara. Ahok jelas telah melecehkan amanat TAP MPR dengan caci-makinya yang sangat sembrono dan bertolak belakang dengan nilai sosial dan budaya Indonesia,” ujar Masnur kepada Okezone, Minggu (22/3/2015). Apalagi, sambung Masnur, umpatan dan makiannya itu disiarkan secara langsung dan disaksikan khalayak ramai, termasuk anak-anak yang bisa kena dampak degradasi nilai moralitas sosial. Masnur menerangkan bahwa pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sikap toleransi, menjaga kehormatan, serta

(4)

martabat diri sebagai warga bangsa dan penyelenggara negara.

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, penulis membahas pelanggaran prinsip kesopanan dalam wawancara langsung Kompas TV pada program “Kompas Petang” dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut melalui kajian pragmatik.

1.2 Masalah

Berkenaan dengan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis dapat merumuskan masalah pokok yang menjadi prioritas analisis dalam tulisan ini, yaitu apa saja prinsip kesopanan yang dilanggar dalam wawancara langsung Kompas TV pada program "Kompas Petang" dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut melalui kajian pragmatik?

1.3 Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa saja prinsip kesopanan yang dilanggar dalam wawancara langsung Kompas TV pada program "Kompas Pertang" dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut melalui kajian pragmatik. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih kompleks kepada masyarakat akan bahaya dan pengaruh yang besar bila menggunakan kata-kata yang kotor, kasar, dan tidak santun di media massa, serta dapat mencegah pengilhaman penggunaan kata-kata yang tidak pantas tersebut oleh anak-anak dan remaja.

1.4 Metode

Penelitian ini dilakukan dari tanggal 20 Maret 2015 sampai dengan 25 April 2015 di Balai Bahasa Provinsi Riau, dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Sumber data dalam penelitian ini adalah rekaman wawancara langsung Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dengan reporter Aiman Witjaksono dalam program "Kompas Petang" di Kompas TV pada tanggal 17 Maret 2015 yang diunggah melalui internet

kemudian ditranskipsikan. Data yang diperoleh dianalisis dengan mendengarkan kembali isi wawancara tersebut secara saksama . Wawancara ini dimaknai sesuai dengan kajian pragmatik. Temuan-temuan yang berupa pelanggaran terhadap prinsip kesopanan akan dihubungkan dengan beberapa maksim kesopanan, yaitu maksim kebijaksanaan, kedermawanan/kemurahan hati, penghargaan/penerimaan, kesederhanaan/ kerendahan hati, kemufakatan/kecocokan, dan maksim kesimpatian.

2. Kerangka Teori

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang tindak tutur dan cara berbicara atau cara melakukan komunikasi yang baik dan benar sehingga pesan atau maksud dari pembicaraan tersebut dapat atau bisa ditangkap oleh lawan bicara. Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Dalam percakapan ‘diri sendiri’ biasanya dikenal sebagai ‘pembicara’ dan orang lain sebagai penyimak. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik dibicarakan oleh beberapa ahli, di antaranya Fraser, Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Namun, dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan pandangan kesantunan menurut Leech karena rumusan Leech (1993) dianggap paling lengkap dan paling komprehensif. Prinsip kesantunan ini dituangkan dalam enam maksim. Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual, kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu, maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.

Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam kategori prinsip kesopanan. Dari prinsip-pinsip tersebut, terdapat empat maksim yang melibatkan skala-skala berkutub dua, yakni skala untung-rugi

(5)

dan skala puji-kecaman. Keempat maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan/kemurahan hati, maksim penghargaan/penerimaan, dan maksim kesederhanaan/kerendahan hati. Adapun dua maksim lainnya (maksim kemufakatan/kecocokan dan maksim kesimpatian) melibatkan skala-skala yang hanya satu kutubnya, yaitu skala kesepakatan/kecocokan dan skala kesimpatian. Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, setiap maksim berbeda dengan jelas karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya.

2.1 Maksim Kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijak-sanaan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindari sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisasi dengan maksim ini.

2.2 Maksim Kedermawanan atau Kemurahan Hati

Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

2.3 Maksim Penghargaan atau Penerimaan

Di dalam maksim penghargaan atau penerimaan dijelaskan bahwa orang akan dapat

dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan yang tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya. 2.4 Maksim Kesederhanaan atau

Kerendahan Hati

Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. 2.5 Maksim Kemufakatan atau

Kecocokan

Maksim kemufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996:59). Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun

2.6 Maksim Kesimpatian

Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.

(6)

Masyarakat tutur Indonesia sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatian terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariannya. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.

3. Hasil dan Pembahasan

Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering disapa dengan nama Ahok lahir di Belitung pada tanggal 29 Juni 1966. Dia merupakan anak pertama dari pasangan Indra Tjahaja Purnama (ayah) dan Buniarti Ningsing (ibu) yang merupakan keturunan Tionghoa-Indonesia. Bersama ketiga adiknya Ahok menghabiskan masa kecilnya di Desa Gantung, Belitung Timur sampai tamat sekolah menengah pertama. Ahok kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Ahok merupakan politikus asal Belitung. Ahok menjadi pasangan Jokowi pada Pemilihan Umum Daerah Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Pada pemilu tahun itu, Jokowi dan Ahok terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Sebelumnya Ahok menjabat sebagai bupati Belitung Timur.

Dalam menjalankan kinerja sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok menuangkan rencananya untuk membenahi sistem pemerintahan. Sikapnya dikenal keras dalam memimpin DKI Jakarta saat Jokowi mengambil cuti untuk keperluan kampanye pada Pilpres 2014. Dengan terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI Ke-7, secara tidak langsung posisi orang No.1 ibu kota diisi oleh Ahok. Tepat pada tanggal 19 November 2014 Ahok secara resmi dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai gubernur Jakarta di Istana Merdeka RI.

Berikut perkataan kasar dan kotor Ahok yang telah ditranskripsikan:

“....istri saya mau nerima CSR untuk main di Kota Tua. Lu buktikan aja nenek lu sialan, bangsat gue bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki”.

“....lu lawan bini gua kalah. Lu mati aja lu. Kasi taik aja muka lu”.

“....kalau betul ada suap 12.7 triliun, kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali tu orang?....kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego”. “....bego banget lu gitu lho....sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliyun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih”?

“.... eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh”?

“Makanya gua bilang, panggil gua datang ke angket. Kapan lu panggil? Biar gua jelasin semua”.

“Gua bukain lu taik-taik semua itu seperti apa....nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang....kalau bukan taik apa? Kotoran, silahkan”.

“Emang taik namanya kok. Emang taik mau bilang apa”?

“Tv jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem”.

“Itulah bodohnya anda mau live dengan saya”

Transkrip percakapan di atas akan dianalisis menurut prinsip kesopanan (politeness principle) yang memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan/kemurahan hati (generosity maxim), maksim penghargaan/penerimaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan/ kerendahan hati (modesty maxim), maksim kemufakatan/kecocokan (aggrement maxim), dan maksim kesimpatian (shimpaty maxim).

(7)

3.1 Maksim Kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain dalam kegiatan bertutur.

Sementara itu, dalam transkrip tersebut Gubernur DKI Jakarta menggunakan kata-kata seperti nenek lu sialan, bangsat gue bilang, mati aja lu, kasi taik aja muka lo. Dapat dilihat bahwa petutur dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta memberitahukan kepada pemirsa yang sedang menonton wawancara tersebut, baik secara langsung maupun rekaman dan telah menyebar ke media sosial yang ada bahwa seorang pejabat pemerintahan dapat atau boleh berbicara kotor, kasar, dan tidak santun di media. Petutur tidak menghiraukan efek dari penggunaan kata-kata yang tidak pantas tersebut. Seperti yang kita sadari bersama bahwa yang menonton acara televisi itu bukan hanya orang dewasa, melainkan anak-anak dan remaja yang belum dapat sepenuhnya memilah mana hal-hal yang baik atau buruk juga terkena imbasnya. Anak-anak dan remaja rentan untuk meniru apa yang mereka lihat dan dengar. Apalagi tindakan ini dilakukan oleh pejabat pemerintah yang merupakan panutan bagi masyarakat umum. Apa jadinya nanti jika generasi muda mencontoh tindakan ini, tetntunya akan menyebabkan krisis moral, kurangnya sikap saling menghargai dan menghormati sesama, saling memperolok-olok, menyakiti dengan kata-kata kasar dan kotor. Jangan sampai kata-kata kasar dan kotor petutur menjadi suatu pengilhaman bagi generasi muda untuk melakukan hal yang sama juga. Ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip kesopanan karena memaksimalkan kerugian orang lain dalam hal ini DPRD DKI Jakarta, dengan menggunakan kata-kata yang amat tidak pantas diucapkan oleh seorang kepala derah, serta tidak peduli lagi akan niai-nilai kesopanan, norma-norma yang berlaku, aturan-aturan yang ada, dan batasan-batasan yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Selain memaksimalkan kerugian bagi orang lain juga memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri karena menunjukkan kepada orang lain betapa tidak

bermoralnya petutur dengan gaya berbicara yang melampaui batas etika moral yang berlaku. 3.2 Maksim Kedermawanan atau

Kemurahan Hati

Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Sementara itu, isi dari wawancara langsung Gubernur DKI Jakarta tersebut jelas melanggar prinsip kesopanan yang juga bertentangan dengan maksim kedermawanan atau kemurahan karena meminimalkan rasa hormat kepada orang lain dan memaksimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain dan diri sendiri dengan mengatakan lu lawan bini gue kalah, goblok sekali tu orang, bego. Dari keseluruhan transkrip di atas, dapat diambil simpulan bahwa petutur tidak mengindahkan rasa hormat kepada orang lain dengan penggunaan kata-kata makian yang kotor, kasar, dan tidak santun. Bagaimana dapat dikatakan menghormati orang lain kalau petutur saja tidak dapat menghormati diri sendiri dengan mengumbar kata-kata yang tidak pantas diucapkan apalagi oleh seorang kepala daerah yang memimpin rakyat. Secara tidak langsung petutur mengatakan kepada khalayak umum bahwa ia bukanlah seorang pemimpin yang baik. Hal itu tidak baik untuk ditiru oleh generasi muda, baik dalam hal berbicara maupun bertindak. Ini mencerminkan tingkah petutur sangat tidak etis dan sudah sepantasnyalah harus dihindari oleh semua orang, terutama anak-anak dan remaja yang merupakan penerus bangsa.

3.3 Maksim Penghargaan atau Penerimaan

Di dalam maksim penghargaan atau penerimaan dijelaskan bahwa orang dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan para peserta pertuturan tidak saling mengejek, mencaci, atau

(8)

merendahkan pihak lain. Dengan menggunakan kata-kata kasar yang mengumpat, mencaci, dan menghina seperti bego banget lu gitu lo, kemaluan lu punya gak nih, jelas Gubernur DKI Jakarta sebagai petutur melanggar prinsip kesopanan dan maksim penghargaan/penerimaan. Memang niat dan maksud petutur untuk memberantas praktik korupsi perlu diapresiasi dan didukung penuh oleh masyarakat, tetapi tentunya dengan cara-cara yang elegan dan santun bukan dengan cara-cara kasar dan tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku buruk Gubernur DKI Jakarta dalam wawancara tersebut tidak mungkin dapat diterima karena secara akal sehat kita tidak mungkin dapat menerima perbuatan tidak baik bahkan harus menolaknya. Sementara itu, kalangan anak-anak dan remaja sangat mudah meniru dan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang lain apalagi oleh tokoh yang mereka idolakan. Sangat dikhawatirkan efek dari penggunaan kata-kata tidak santun ini akan berdampak sangat buruk dan meluas karena penonton televisi ini tidak hanya remaja, tetapi juga anak-anak. Banyak anak-anak berumur di bawah tujuh tahun menggunakan kata-kata makian yang tidak pantas dengan ekspresi sangat gembira. Ini terjadi karena mereka memang tidak mengerti sama sekali arti dan maksud dari kata yang mereka ucapkan. Hal ini seharusnya jadi pertimbangan semua pihak karena efek dari penggunaan kata-kata tidak sopan ini akan membahayakan lebih dari yang dapat kita bayangkan. Masa kanak-kanak adalah masa keemasan. Pada masa itu mereka dapat merekam apa yang terjadi di sekelilingnya. Jika dari kecil sudah terbiasa dengan suguhan kata-kata kasar dan tidak santun, hal ini akan tertanam dan terekam terus di benak anak-anak dan dapat merusak mental dan jiwa mereka.

3.4 Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati

Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi

pujian terhadap dirinya sendiri. Transkrip wawancara tersebut bertentangan dengan prinsip kesopanan karena tidak menunjukkan kerendahhatian dengan tidak menghormati diri sendiri. Ini terbukti dengan sikap yang sombong dan bangga akan perkataan kotor dan tidak santunnya, seperti sialan gak tuh, lu taik-taik semua. Petutur pun mencoba untuk mengulangi ucapan kotor tersebut berkali-kali walaupun sudah diingatkan oleh pembawa acara. Perbuatan ini jelas menunjukkan bahwa petutur tidak memiliki sifat rendah hati, sopan santun, dan tata krama yang baik. Ditambah lagi wawancara tersebut disiarkan secara langsung dan ditonton tidak hanya oleh warga DKI Jakarta saja, tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia bahkan mungkin dunia. Jika hal ini ditiru oleh orang lain terutama remaja, mental dan moral remaja akan menjadi rendah dan buruk sehingga tidak dapat diharapkan menjadi penerus yang baik bagi bangsa ini.

3.5 Maksim Kemufakatan atau Kecocokan

Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri petutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Setelah menganalisis transkrip wawancara di atas yang mengandung unsur makian dan umpatan, seperti kotoran, emang taik itu namanya, emang taik mau bilang apa, hal itu berpotensi merusak generasi muda. Oleh karena itu, tidak mungkin ada kecocokan antara mitra tutur dan petutur atau Gubernur DKI Jakarta tentang penggunaan kata-kata kotor, kasar, dan tidak sopan yang terkandung dalam transkrip tersebut. Jika petutur dengan bangga dan yakin menggunakan kata-kata makian yang kotor, kasar, dan tidak santun, lawan bicara atau pewawancara dan pemirsa televisi yang menyaksikan acara tersebut diharapkan untuk tidak ada kecocokan dalam melakukan ataupun meniru apa yang diperbuat oleh petutur

(9)

karena sangat melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam adat ketimuran, kita dituntut untuk menggunakan atau memilih kosa kata yang baik dalam berkomunikasi. Seorang kepala daerah atau pejabat hukumnya wajib menggunakan pilihan kata yang baik dan benar karena dapat memberikan anutan dan contoh yang baik untuk masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat menggunakan pilihan kata yang baik, bijak, dan santun jika pejabat daerahnya saja menggunakan bahasa yang kasar, kotor, dan tidak santun.

3.6 Maksim Kesimpatian

Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Transkrip wawancara tersebut melanggar prinsip kesopanan karena petutur tidak memaksimalkan rasa simpati dengan menggunakan kata-kata yang sangat tidak pantas dan mengatakan itulah bodohnya Anda kepada lawan tuturnya, pembawa acara. Seharusnya petutur dapat memilih apa yang pantas untuk diungkapkan dan apa yang tidak. Dengan demikian, secara naluri petutur pasti dapat menilai hal-hal buruk yang merusak dan tidak pantas untuk diucapkan karena sangat bertentangan dengan aturan dan norma yang ada. Memang Gubernur DKI Jakarta sering diberitakan suka memaki dan menggunakan bahasa yang tidak sopan. Namun, jika sedang dalam wawancara langsung, akan sulit buat pembawa acara untuk memotong pembicaraan yang kotor tersebut. Walaupun pembawa acara sudah mencoba mengingatkan beliau bahwa acara tersebut merupakan siaran langsung dan meminta untuk lebih memperhalus bahasanya karena beliau merupakan Gubernur DKI Jakarta, petutur malah makin mengumpat dengan mengatakan betapa bodohnya pewawancara mengapa mau siaran langsung bersamanya. Kita perlu bersimpati untuk itu, karena sebagai seorang tokoh masyarakat yang merupakan anutan dan idola, Gubernur justru mempertontonkan sikap yang menggilasi etika dan moral yang kita anut bersama. Namun, sejatinya

ada penyesalan dari diri petutur karena telah teledor dan terbawa emosi sehingga menggunakan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan serta mencoba untuk tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang. Banyak sisi yang harus dipertimbangkan dalam berbicara, baik dari segi etika, moral, akhlak, kegunaan, manfaat maupun semua hal yang diyakini baik dan benar di masyarakat.

Wawancara langsung Gubernur DKI Jakarta tersebut secara garis besar telah melanggar prinsip kesopanan dan maksim-maksim yang terdapat di dalamnya. Seluruh kata-kata kotor, makian, dan umpatan tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan semua maksim yang ada dalam prinsip kesopanan. Ini berarti Gubernur DKI Jakarta atau petutur tidak memikirkan aspek-aspek yang perlu jadi pertimbangan dalam sebuah komunikasi. Sementara itu, aspek etika dan moral merupakan elemen penting yang menjadi dasar dalam sebuah komunikasi baik langsung maupun tidak langsung. Komunikasi tidak hanya mementingkan isi dan dapat dimengerti saja, tetapi bagaimana cara mengomunikasikan penggunaan bahasa dan pilihan kata yang baik serta santun merupakan prinsip dasar yang harus dipahami karena harus mengedepankan etika dan moral.

4. Penutup

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa wawancara langsung Kompas TV dengan Gubernur DKI Jakarta dalam program “Kompas Petang” yang dianalisis melalui kajian pragmatik telah melanggar prinsip kesopanan (politeness principle) dan maksim-maksim yang terkandung di dalamnya, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan/kemurahan hati (generosity maxim), maksim penghargaan/ penerimaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan/kerendahan hati (modesty maxim), maksim kemufakatan/kecocokan (aggrement maxim), dan maksim kesimpatian (shimpaty maxim ). Petutur tidak mengindahkan

(10)

aspek etika dan moral serta tidak memikirkan efek dari penggunaan bahasa dan kata-kata kotor tersebut bagi anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa.

4.2 Saran

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyarankan hal-hal berikut.

1. Narasumber hendaknya dapat mempertimbangkan aspek-aspek, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam berkomunikasi, baik dalam wawancara langsung maupun tidak langsung.

2. Pembawa acara seharusnya lebih tegas dalam bersikap. Walaupun yang sedang diwawancarai adalah seorang Gubernur DKI Jakarta, jika menggunakan bahasa dan kata-kata kotor serta makian, wawancara itu harus langsung dipotong dengan jeda iklan sehingga luapan emosi yang tidak perlu disimak pemirsa dapat terhindarkan.

Daftar Pustaka

Arni, Muhammad. 2000. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Fernanda, Desi. 2003. Etika Organisasi Pemerintah. ‘Bahan Ajar DIKLAT PRAJABATAN Golongan III’.LAN RI.

Kincaid, D. Lawrence & Wilbur Schramm. 1987. Asas-asas Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: LP3ES.

Leech, Geoffey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ludlow, Ron & Fergus Panton. 2000. The Effective of Communication. Yogyakarta: Andi.

Majid, Abdul. Posted on 11 Juni 2008. Pengaruh Televisi pada Anak (http://majidbsz.wordpress.com/

2008/06/11/pengaruh-televisi-terhadap-anak/, diakses 18 Juni 2011).

Maliki & Gurnitowati, Endang Lestari. 2003. Komunikasi yang Efektif. ‘Bahan Ajar DIKLAT PRAJABATAN Golongan III’. Jakarta: LAN RI.

Mulyana, Dedy.2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Noorasandy, Moeh. 2002. Etika Komunikasi untuk Pelatihan Pengembangan Kepribadian. Modul

Pengajaran Lembaga Pendidikan ABN Pekanbaru.

Pietch, William. 1989. Komunikasi Timbal Balik. Semarang: Dahara Prize.

Sparks, Glenn G. 2012. Media Effects Research: A Basic Overview. Wadsworth Publishing, Edisi ke-4. 336 hlm.

Sugono, Dendy et al. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

3. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, harus memberikan sanksi atau setidaknya teguran agar hal ini tidak terulang lagi, baik oleh Gunernur DKI Jakarta itu sendiri maupun oleh pejabat pemerintah yang lain.

4. Stasiun televisi harus lebih selektif lagi dalam memilih narasumber. Orang yang sudah terindikasi sering menggunakan bahasa yang kotor dan tidak santun sebaiknya jangan diwawancarai secara langsung. Ada baiknya wawancara dilakukan tidak secara langsung saja untuk meminimalisasi dampak negatif seperti kasus di atas.

5. Penonton sebaiknya dapat memilah mana tontonan yang menuntun dan mana tontonan yang merusak. Walaupun seorang idola, jika memberikan tontonan yang tidak mendidik dan dapat merusak etika dan moral sebaiknya jangan ditiru dan diikuti.

6. Orang tua dapat memberikan pengertian, mengawasi anak-anak, dan memberikan pemahaman atas tontonan yang mereka konsumsi.

(11)

Suryanto, Adi & Sutopo. 2003. Pelayanan Prima. ‘Bahan Ajar DIKLAT PRAJABATAN Golongan III’.LAN RI.

Widjaja, A. W. 1993. Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara. Wijaya, D. P. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.

Yusuf, Ayu Adriyani. 2011. Pendidikan Media Televisi. Fisip. Ilmu Komunikasi . Universitas Hasanudin (http://muda.kompasiana.com/2011/05/27/pendidikan-media-televisi/, diakses 8 Februari 2011).

http://www.lensaindonesia.com/2015/03/20/surat-terbuka-warga-jakarta-untuk-gubernur-ahok-yang-suka-mengumpat.html, diakses 22 Maret 2015.

http://www.pkspiyungan.org/2015/03/ini-transkrip-tanpa-sensor-perkataan.html, diakses 22 Maret 2015. http://www.pikiran-rakyat.com/node/, diakses 22 Maret 2015.

http://news.okezone.com/read/2015/03/22/338/1122419/caci-maki-ahok-lecehkan-tap-mpr, diakses 22 Maret 2015.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Subjek penelitian ini adalah siswa putra kelas V SD Negeri Tulangampiang Denpasarn tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 54 orang, kemudian diberikan pre-test untuk mengukur

Program dan kegiatan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian yang mendukung upaya penyelamatan hasil untuk peningkatan mutu dan nilai tambah gabahlberas antara

Dalam Tesis ini telah dianalisa hasil evaluasi kinerja protokol Open Shortest Path First-Traffic Engineering pada Virtual Label Switching Router (VLSR) berbasis

Variabel penelitian ini adalah karakteristik bangsal rawat inap, kapasitas tempat tidur, hari perawatan, jumlah hari/periode waktu, jumlah pasien hidup dan mati,

Como podemos intuir desde la descripción que Boyer hace del método, uno de los inconvenientes del mismo radicará en la dificultad de encontrar condiciones que garanticen que la

Item kuesioner keempat memiliki nilai rata-rata 4,09 yang berarti rata-rata responden menyatakan setuju apabila konsumen mudah berpindah ke toko lain apabila tidak

Pola makan dapat diartikan suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara

Menurut Valkenburg & Moniek Buijzen (2003: 483) penelitian yang berkonsentrasi pada efek iklan yang tidak disengaja ( unintended effect ) yang merupakan efek sekunder