• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Benda Cagar Budaya tahun 1992 nomor 5, secara eksplisit dikemukakan bahwa syarat sebuah Benda Cagar Budaya adalah baik secara keseluruhan maupun pada bagian-bagian yang tersisanya telah berumur minimal 50 tahun. Tidak hanya itu, apabila gaya yang dimiliki oleh benda tersebut ternyata khas dan langka serta bernilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, maka benda tersebut juga dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya yang patut dilindungi.

Benda Cagar Budaya juga merupakan warisan budaya dan sejarah, serta bukti sejarah kehidupan budaya bangsa yang mempunyai nilai sangat penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia. Selain itu, pentingnya keberadaan bangunan tua bersejarah tersebut juga sebagai saksi bisu sejarah suatu masa yang mencerminkan identitas daerah atau masyarakatnya pada periode tertentu (Dinas Museum dan Sejarah, 1993). Untuk mempelajari kehidupan manusia di masa lampau berdasarkan bukti benda-benda peninggalan tersebut digunakan ilmu arkeologi. Salah satu periode dalam studi arkeologi Indonesia adalah periode Kolonial. Bentang waktu yang panjang dalam periode Kolonial ini telah meninggalkan banyak pengaruh kebudayaan bagi bangsa kita.

Peninggalan-peninggalan dari masa kolonial ini dimulai dari datangnya bangsa Barat ke Indonesia pada abad ke-16 dan ke-17, yaitu Portugis dan Belanda, yang kemudian menetap. Sejak lama Kepulauan Nusantara terkenal sebagai penghasil rempah-rempah. Hal ini menyebabkan banyak bangsa asing terutama Bangsa Barat datang ke Nusantara. Mereka saling bersaing berusaha untuk mendapatkan secara langsung rempah-rempah tersebut (Van den End, 2005:28-29). Di berbagai daerah yang didatangi, ternyata tidak sedikit di antara mereka yang kemudian mendirikan bangunan-bangunan umum seperti gedung-gedung dan bangunan-bangunan khusus seperti pelabuhan untuk memperlancar usaha dagang.

Pendirian sebuah gedung, bagaimanapun tak dapat terlepas dari arsitektur atau seni bangunan, baik yang berhubungan dengan aspek keindahan dari suatu

(2)

bangunan, maupun sebagai ilmu bangunan yang memiliki latar belakang perkembangan gaya dan teknik konstruksi (Watterson, 1968:4).

Seni bangunan atau yang dikenal pula dengan istilah arsitektur merupakan karya manusia untuk manusia, berarti sesungguhnya arsitektur tidak dapat dinilai hanya sebagai suatu seni bangunan saja, tetapi harus selalu dalam konteks manusianya (Boedojo, 1986:2). Dalam dunia arsitektur hubungan dengan masa lalu merupakan persyaratan utama untuk menciptakan karya arsitektur yang proporsional, baik dan mantap untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang (Sumalyo, 1998:1).

Istilah arsitektur itu sendiri memiliki beberapa pengertian. Menurut Martin S. Briggs, arsitektur adalah bangunan yang berbeda dengan bangunan lain karena di dalamnya terkandung tiga unsur yaitu barang atau bahan (commoditie), kekuatan atau kekokohan (firmness), dan kesenangan (delight). Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa sebuah bangunan dibangun tidak hanya sesuai kegunaannya, tapi juga harus memperhatikan segi kekuatan atau kekokohannya (firmness). Untuk memperoleh bangunan yang kuat diperlukan bahan bangunan yang baik (commoditie). Selain itu bangunan tersebut harus memberikan kesenangan bagi yang melihatnya (delight). Oleh karena itu pada bangunan tersebut juga ditambahkan berbagai ornamen atau hiasan (Briggs, 1959:18).

Berdasarkan Mc Grow-Hill Encyclopedia of Science and Technology , arsitektur adalah kajian tentang rancang bangun dan struktur bangunan (Vol. I, 1960:520). The Harper Encyclopedia of Science, (Vol. I, 1963:84) menyatakan arsitektur terdiri dari teori dan teknik mendirikan bangunan termasuk perencanaan, rancang bangun strukturnya, dan seni bangunnya baik untuk tujuan-tujuan ekspresif fungsional maupun simbolik.

Adapun seni bangunan kolonial meliputi rumah tinggal, gedung-gedung pemerintahan/umum, perkantoran, benteng, monumen, bangunan keagamaan dan sebagainya, khususnya yang memiliki nilai keindahan, nilai historis atau mewakili jamannya (Soekiman, 1980). Dari sekian banyak peninggalan masa Kolonial tersebut, yang dibicarakan di sini adalah gereja. Kata ‘gereja’ berasal dari sebuah kata pokok dalam bahasa Portugis, yaitu igreja. Kata igreja ini sebenarnya berasal dari kata Yunani yaitu ekklesia yang artinya mereka yang dipanggil, kaum

(3)

(golongan Kyriake) yang dimiliki Tuhan (Heuken, 1992:341). Gereja merupakan tempat ibadah buat agama Kristen.

Sebelum agama Kristen masuk ke Indonesia, agama di negeri ini sudah melalui sejarah yang panjang. Orang biasa membedakan antara agama Indonesia asli dan agama-agama yang datang kemudian (Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen). Agama Indonesia asli dibawa oleh suku-suku yang zaman dahulu kala memasuki Indonesia. Sementara itu, agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen dibawa oleh saudagar-saudagar dari luar yang datang ke Indonesia. Agama Kristen dibawa oleh bangsa-bangsa Barat pada abad ke-16 dan ke-17, yaitu Portugis dan Belanda. bangsa Portugis menganut agama Kristen Katolik, sedangkan Belanda adalah pengikut Reformasi (Calvin) atau disebut Protestan. Perbedaan dengan agama Kristen Katolik adalah Negara tidak berada di bawah gereja, tidak juga di atasnya, tetapi di sampingnya, dan keduanya harus bekerja sama demi kemajuan Kerajaan Allah (Van den End, 2005:13-25).

Arsitektur masing-masing bangunan sangat berkaitan dengan kemajuan teknologinya (Snyder & Catanese, 1984:334). Demikian juga halnya dengan bangunan-bangunan gereja yang ada di Indonesia memiliki arsitektur yang beraneka ragam dan masing-masing arsitektur ini mencerminkan kemajuan teknologi dan perkembangan gaya seni.

Sejak abad ke-12 M pantai timur laut Sumatera Utara berfungsi sebagai lokasi tumpuan jaringan perdagangan yang menghidupi kawasan pedalaman, seperti Bandar, Perumbukan, Belawan, dan Bedagai. Hingga kurun abad ke-18, kawasan di Sumatera Utara berlaku sebagai perantara antara pihak asing dengan pihak lain di kawasan Barat Sumatera. Medan yang berada di belahan timur Sumatera Utara merupakan kota terbesar di pulau ini. Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, dan dengan wilayah Deli Serdang di sebelah timur, selatan, dan barat. Hal ini membuat Medan menjadi sebuah pusat perdagangan sejak tahun 1682. Bukti keagungannya dahulu adalah pada tahun 1886 Belanda menjadikannya ibukota. Pada tanggal 4 April 1909 Medan diberi status pemerintahan otonom. Di bawah pemerintahan inilah kota Medan mengadakan pembangunan jalan-jalan baru, jembatan, pipa air minum, listrik, klinik-klinik, dan tempat beribadah (Koestoro, 2006:12-22).

(4)

Peta 1.1. Peta Provinsi Sumatera Utara (Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2007)

(5)

Kota Medan sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara juga merupakan salah satu daerah yang perkembangan agama Kristennya cukup besar. Sejak tahun 1820 tiga pekabar injil dari perhimpunan pekabar injil Baptis di Inggris memasuki daerah-daerah Sumatra, yaitu salah satunya Burton yang diutus ke Sibolga (Sumatra Utara) (Kruger, 1966:208). Sejak saat itu terus dilakukan penyebaran-penyebaran Injil ke daerah Sumatera Utara hingga akhirnya pada tahun 1915 didirikan gereja Protestan pertama di Medan, yaitu gereja Gereformeerd atau sekarang Gereja Kristen Indonesia (GKI), yang menjadi topik penelitian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bangunan gereja merupakan ciri khas peninggalan arkeologi bercorak keagamaan yang dapat mewakili arsitektur bangunan-bangunan kolonial yang ada di kota Medan.

Sebuah gereja yang masih berdiri megah di Kota Medan, Sumatera Utara, adalah GKI Sumut Medan. Gereja yang terletak di Jl. H.Z. Arifin 126 dalam wilayah Kelurahan Petisah Tengah ini tepat berada di sebelah timur/depan Kuil Shri Mariamman. Gereja ini pada mulanya bernama Gereja Gereformeerd Sumatra-Utara Medan dan merupakan gereja Calvinist pertama di Medan (Koestoro, 2006:69). Berdasarkan undang-undang Bangunan Cagar Budaya, bangunan ini termasuk dalam daftar Tim Khusus Pembangunan D. Tetengger Sumatera Utara S.K. GUBSU 003.3.1080.K.1995 sebagai bangunan yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya tahun 1992 nomor 5.

Gereja GKI Sumut Medan pada awalnya tumbuh dari kelompok yang terdiri dari beberapa orang anggota Gereja Gereformeerd Kwitang Jakarta. Kelompok pelayanan ini dimulai tanggal 1 Januari 1904 dan terus berkembang, hingga pada tahun 1913 telah meluas daerah pelayanannya. Pelayanan yang semakin berkembang ini, pada tanggal 16 Agustus 1915 dilembagakan tersendiri menjadi Perkumpulan Gereformeerd (Gereformeerd Vereniging) dengan jumlah sudah mencapai 60 orang. Untuk pembinaan warga kelompok ini, Majelis Gereja

Gereformeerd Kwitang Jakarta menugaskan Ds. W.S. de Haas sebagai Pendeta

utusan1.

Sejak berdiri sampai sekarang bangunan ini belum pernah diteliti secara mendalam oleh pihak yang menangani bidang arkeologi, baik itu permuseuman,

(6)

Badan Warisan Sumatera, Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, maupun Balai Arkeologi. Penelitian yang dilakukan hanya sebatas sejarah bangunan GKI Medan seperti yang telah ditulis secara singkat di dalam beberapa buku antara lain oleh: Lucas Partanda, dkk (2007) dan Loekman Sinar (1993), namun demikian belum pernah dilakukan penelitian khusus tentang arsitektur bangunan gereja ini.

1.2. Ruang Lingkup penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi sejarah, arsitektur bangunan gereja beserta komponen-komponennya yang terdapat pada bangunan gereja seperti atap, dinding, tiang, mimbar, pintu, jendela, lantai, pondasi, balkon, menara, dan ruang

Foto 1.1. Gereja Kristen Indonesia Sumut Medan (Sumber: Foto Koleksi Arsip Nasional tahun1924)

(7)

pertemuan. Aspek yang diteliti adalah komponen-komponen arsitektural dan ornamental pada bangunan GKI Sumut Medan.

Data primer dalam penelitian ini adalah bangunan GKI Sumut Medan dan komponennya yang terletak di sekitar bangunan, seperti komponen-komponen pelengkap di dalam bangunan yang juga telah berusia lebih dari 50 tahun sesuai dengan persyaratan pada Undang-Undang Benda Cagar Budaya tahun 1992 nomor 5. Kemudian data sekunder meliputi literatur-literatur kepustakaan yang berkaitan dengan topik penelitian, serta data pemugaran gerejanya.

1.3. Masalah dan Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai GKI Sumut Medan yang telah dilakukan sebelumnya dapat dikatakan sangat minim. Penelitian-penelitian yang ada lebih kepada penelitian mengenai bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Medan dan salah satunya adalah hanya menyebut GKI Sumut Medan sebagai bangunan cagar budaya peninggalan Belanda. Hal ini menyebabkan aspek-aspek mengenai bangunan GKI Sumut Medan dapat dikatakan belum terungkap secara lebih luas. Penelitian secara khusus dan mendalam terhadap bangunan GKI belum pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan atas tinggalan gereja di Indonesia, di Sumatera pada khususnya, selama ini masih sangat jarang. Dari penelitian yang telah dilakukan kebanyakan lebih berorientasi pada gereja-gereja yang terletak di pulau Jawa, seperti yang tertulis pada buku Gereja-Gereja Tua di Jakarta (Heuken, 2003) dan Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia (Yulianto Sumalyo, 1998).

Selain itu, dalam mendirikan bangunan peribadatan umat Kristen, tidak terdapat aturan arsitektural yang baku seperti halnya pada bangunan peribadatan agama lain. Sebuah arsitektur bangunan gereja biasanya mendapat pengaruh dari gaya2 seni yang berkembang pada jaman gereja tersebut dibangun. Unsur seni di daerah itu sendiri (lokal) juga memberikan pengaruh dalam proses

2 Beberapa ahli mengemukakan beberapa pengertian gaya. Menurut Briggs, gaya adalah gambaran

bangunan pada saat periode atau wilayah pada suatu periode dan dapat dibedakan berdasarkan bentuk umum, konstruksi dan hiasannya (Briggs, 1959:322). Dagobart D. Runes dan Harry G.

Schriekel mengatakan gaya adalah suatu ciri atau karakter khusus yang dapat menandai waktu

atau kelompok karya seni dan juga dapat membedakan suatu karya seni dengan karya seni lainnya (Runes&Dagobart, 1946:74). Sedangkan Wolf menyatakan bahwa gaya adalah ciri-ciri bentuk atau teknik yang dikenakan pada suatu karya, atau juga kepada seniman, aliran/gerakan,

(8)

pembangunannya. Inilah yang menjadi permasalahan pada penelitian ini, yaitu sejauh apakan keberadaan unsur lokal dalam bangunan GKI Sumut Medan.

Sehubungan dengan apa yang diuraikan itu, terdapat beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan dari GKI Sumut Medan, yaitu:

1. Bagaimanakah bentuk arsitektur dan ornamen bangunan GKI Sumut Medan?

2. Selain unsur arsitektur asing, pada bangunan GKI Sumut Medan juga terdapat unsur arsitektur lokal. Bagaimanakah bentuk-bentuk unsur lokal dan terdapat pada bagian-bagian mana sajakah unsur lokal tersebut?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, diharapkan dapat dibuat gambaran tentang arsitektur bangunan GKI Sumut Medan secara utuh dan lengkap. Adapun penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu memaparkan bentuk arsitektur bangunan GKI Sumut Medan, serta menjelaskan unsur-unsur arsitektural dan ornamental yang terdapat pada bangunan GKI Sumut Medan sehingga pada akhirnya dapat diuraikan sejauh mana peran unsur arsitektur asing dan unsur arsitektur lokal pada bangunan GKI Sumut Medan. Tujuan penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai gereja tua di Sumatera, serta dapat bermanfaat bagi penelitian mengenai bentuk gereja tua di Indonesia pada umumnya.

1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Medan dengan menggunakan objek penelitian berupa bangunan gereja tua peninggalan masa Kolonial yaitu GKI Sumut Medan. Pada dasarnya metode yang umum dipakai dalam ilmu arkeologi terdiri atas tiga tahap atau tingkatan, yaitu tahap-tahap pengumpulan data (observation), pengolahan data (description), dan tahap penafsiran data (explanation) (Deetz, 1987: 8).

Sebagai langkah awal dalam upaya mencapai tujuan penelitian dikumpulkan sebanyak mungkin data dan keterangan yang diperlukan. Data ini diperoleh dari studi kepustakaan dan pengumpulan data di lapangan. Melalui studi kepustakaan dikumpulkan kepustakaan yang berhubungan dengan objek

(9)

penelitian dan yang berkaitan dengan latar sejarah objek penelitian tanpa mengesampingkan pustaka-pustaka lain yang sekiranya masih berhubungan dan dapat mendukung penelitian ini. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data lapangan, dengan cara melakukan pemerian baik verbal maupun piktorial. Dalam hal ini yang dilakukan adalah pencatatan, penggambaran, pengukuran, pemotretan terhadap semua data yaitu unsur-unsur bangunan seperti antara lain atap, dinding, dan lantai. Pengukuran yang dilakukan pada penelitian ini adalah mengukur langsung pada objek penelitian.

Hasil dari pengumpulan data dianalisis pada tahap ini menggunakan analisis perbandingan. Unsur-unsur arsitektural dan ornamental pada bangunan GKI Sumut Medan dibandingkan dengan bangunan lain yang sudah diidentifikasi gaya arsitekturnya. Dari perbandingan ini dapat diketahui apa saja unsur-unsur arsitektur pada bangunan GKI Sumut Medan. Pada tahap ini dibuat pemilahan komponen-komponen arsitektural dan ornamental bangunan GKI Sumut Medan. Komponen-komponen bangunan inilah yang nantinya dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang sudah diketahui gaya arsitekturnya. Bangunan-bangunan yang dijadikan pembanding adalah gereja-gereja Protestan di Jawa seperti gereja Sion, gereja Anglikan, dan gereja Kwitang. Untuk menemukan unsur lokal pada bangunan GKI Sumut Medan maka dilakukan pembandingan dengan bangunan tradisional Melayu di Sumatera Utara. Bangunan-bangunan tersebut dijadikan bahan pembanding karena memiliki bagian bangunan dan bentuk arsitektur yang hampir sama dengan bangunan GKI Sumut Medan.

Tingkat (tahap) terakhir dari metode penelitian ini adalah membuat suatu penafsiran. Penelitian yang bersifat deskriptif ini ditujukan untuk mengungkapkan bagian-bagian mana saja dari bangunan GKI Sumut Medan yang terdapat unsur asing dan unsur lokal. Hasil dari tahap analisis digunakan untuk menunjukkan bentuk unsur lokal pada bangunan GKI Sumut Medan.

Gambar

Foto 1.1. Gereja Kristen Indonesia Sumut Medan   (Sumber: Foto Koleksi Arsip Nasional tahun1924)

Referensi

Dokumen terkait

Aman Pratama Kantor Cabang Palembang, maka data-data yang diperoleh yaitu :.

Data yang diperoleh langsing dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan ialah data sekunder (Soerjono, 2015:51).

Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) yang mencakup identitas

Teknik analisis data merupakan teknik yang digunakan untuk mengolah data primer maupun data sekunder yang didapatkan atau dikumpulkan saat penelitian untuk

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada

Yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari tempat dimana penelitian tersebut dilakukan yakni data dari depot es

Penelitian ini memiliki fokus pada peninjauan akan tingkat kepuasan wisatawan terhadap komponen-komponen pariwisata, dengan data yang digunakan yaitu data dari

Metode pengumpulan data, pengumpulan data akan dijelaskan pada beberapa hal yang berkitan dengan penelitian yaitu kebutuhan data, pengumpulan data primer yaitu