• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP

PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS

WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE 1979-1995

Aldino A. Baskoro*), Clara Y. Yatini*), Dhani Herdiwijaya**). *)Peneliti Astronomi Institut Teknologi Bandung **)Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN

email: dynostron_13@yahoo.com ABSTRACT

Cosmic rays is energetic particles from space. These particles penetrate to the lower atmosphere and influence the earth's global electricity a n d magnetism. Cloud forming can be accelerated by the electricity and cloud thermodynamic. These basic knowledge are u s e d in making correlation analysis between cosmic ray and total cloud /upper cloud cover in the region of Indonesia in the period of 1979 to 1995. The analysis of the correlations in this report including total correlation, a n n u a l correlation, and the correlation in maximum and minimum solar cycle.

ABSTRAK

Sinar kosmik terdiri dari partikel-partikel energetik yang berasal dari ruang angkasa. Partikel-partikel b e r m u a t a n ini dapat menenibus lapisan atmosfer bumi sehingga mempengaruhi sistem kelistrikan dan medan magnet di bumi. Pembentukan awan dapat dipercepat oleh fenomena kelistrikan d a n termodinamika awan. Pengetahuan awal ini menjadi d a s a r u n t u k melakukan analisis korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan total dan awan a t a s kawasan Indonesia dalam periode 1979-1995. Analisis korelasi yang dilakukan meliputi korelasi total, korelasi tahunan, dan korelasi p a d a periode tertentu yang didasarkan pada siklus bintik matahari saat maksimum dan minimum.

1 PENDAHULUAN

Matahari adalah s u m b e r energi bagi bumi. Aktivitas y a n g terjadi p a d a matahari dapat mempengaruhi cuaca maupun iklim global bumi t e r u t a m a pada sirkulasi atmosfer dan temperatur-nya. Pembentukan awan merupakan faktor penting yang mempengaruhi cuaca bumi. Friis-Christensen dan Svensmark (1997) menemukan adanya korelasi antara sinar kosmik dengan liputan awan di bumi. Hal yang serupa d i t e m u k a n oleh Palle Bago dan Buttler (2000). Awan total d a n awan ketinggian rendah berkorelasi positif terhadap sinar kosmik. Sinar kosmik merupakan partikel-partikel b e r m u a t a n yang sebagian besar atom-atomnya mengalami ionisasi. Atom-atom tersebut berada pada rentang proton sampai inti besi (Mursula dan Usoskin, 2003). Hasil

pengukuran intensitas sinar kosmik beberapa stasiun di berbagai lintang di bumi m e n u n j u k k a n korelasi yang positif dengan liputan awan (Baskoro, 2005).

Aktivitas yang b e r u p a flare dan CME (Coronal Mass Ejections) merupakan sumber terbentuknya partikel-partikel berenergi tinggi yang berasal dari matahari. Intensitas sinar kosmik pada lapisan a t a s atmosfer bervariasi rata-rata sekitar

15 % selama satu siklus matahari yaitu dengan rentang 5% u n t u k daerah dekat dengan ekuator magnetik bumi sampai 50% u n t u k daerah di k u t u b Bumi. Intensitas sinar kosmik memiliki hubungan antikorelasi t e r h a d a p j u m l a h bintik matahari yang dipengaruhi oleh interaksi sinar kosmik dengan lingkungan bumi.

Pembentukan partikel-partikel se-k u n d e r terjadi di lapisan atas troposfer

(2)

dan partikel muon mendominasi intensitas sinar kosmik p a d a ketinggian di bawah 6 km. Pasokan energi sinar kosmik yang masuk ke bumi sangatlah kecil jika dibandingkan dengan energi iradiansi matahari. Namun, sebagai s u m b e r yang mendominasi ionisasi radiasi partikel, sinar kosmik ditemukan mampu memberi-kan efek t e r h a d a p banyak proses yang terjadi di atmosfer. Contohnya adalah pembentukan radioisotop seperti 14C dan 10Be oleh interaksi sinar kosmik dengan

molekul-molekul u d a r a (Carslaw et. al., 2002). Pembentukan awaii sangat penting karena berfungsi u n t u k mengontrol ke-setimbangan radiatif bumi. Fenomena pembentukan awan dipercepat oleh sistem kelistrikan global bumi. Tinsley (2000) m e n e m u k a n bahwa p a n c a r a n partikel-partikel bermuatan berpengaruh terhadap sistem kelistrikan global di bumi. Ada d u a hal u t a m a di m a n a sinar kosmik berpengaruh t e r h a d a p sistem kelistrikan di atmosfer a n t a r a lain: sinar kosmik menyediakan s a t u - s a t u n y a s u m b e r ion yang j a u h lebih banyak dari sumber terestrial radioisotop seperti radon, dan variasi sinar kosmik berpengaruh langsung terhadap sistem kelistrikan global atmosfer. Ionisasi yang dihasilkan oleh sinar kosmik menjaga atmosfer sehingga a r u s listrik kontinu dapat diteruskan dari lapisan ionosfer menuju ke p e r m u k a a n bumi.

Dalam makalah ini akan dianalisis korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan, k h u s u s n y a di a t a s wilayah Indonesia u n t u k mengetahui bagaimana keterkaitan a n t a r a sinar kosmik ini dengan liputan awan di atas Indonesia.

2 DATA DAN PENGOLAHAN

Tiga jenis d a t a yang digunakan dalam analisis korelasi meliputi data liputan awan total {total cloud) dan liputan awan atas (upper cloud) kawasan Indonesia yang diperoleh dari Meteorological Satellite

Center (MSC), Tokyo, serta data intensitas sinar kosmik dari Stasiun Huancayo di Peru. Rentang waktu pengambilan d a t a u n t u k ketiga jenis d a t a ini adalah

1979-1995. Intensitas sinar kosmik di berbagai belahan bumi memiliki keseragaman bentuk kurva jika diplotkan berdasarkan variabel waktu. Sinar kosmik memiliki h u b u n g a n antikorelasi t e r h a d a p jumlah bintik matahari. Mengingat posisi Indonesia yang berada di daerah ekuator, maka dipilihlah d a t a sinar kosmik yang berasal dari Stasiun Huancayo karena lokasinya yang berada dekat dengan ekuator. Data yang digunakan adalah d a t a bulanan sinar kosmik yang didapatkan dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

MSC mendefinisikan jumlah awan (cloud amounl) sebagai perbandingan antara jumlah piksel awan dengan jumlah total piksel yang tersedia dalam tiap-tiap satu derajat d a e r a h lintang/bujur dari data citra IR (Infrared) d a n d a t a citra VISSR (Visible and Infrared Spin Scan Radiometer). Ada tiga jenis awan, yaitu awan total, awan atas, d a n awan rendah. Perbedaan a n t a r a awan a t a s dan awan rendah terletak p a d a t e k a n a n keduanya yaitu p a d a b a t a s 4 0 0 h P a (Suzuki, 1997). Data awan rendah tidak digunakan karena hanya data awan total dan awan atas saja yang tersedia. Pada beberapa periode waktu, satelit tidak melakukan pengukur-an ypengukur-ang mengakibatkpengukur-an ketiadapengukur-an data p a d a waktu-waktu tersebut, antara lain t a h u n 1984 bulan Mei dan J u n i ; tahun 1985 bulan Maret, April, Mei, Agustus, dan September; serta t a h u n 1995 bulan J u n i dan Juli. Data liputan awan yang digunakan meliputi wilayah Indonesia dengan koordinat 90° BT-1420 BT dan

10° LU-100 LS yang d i s u s u n berdasarkan

lintang dan bujur dengan selang antara d u a data sebesar d u a derajat. Koefisien d a t a liputan awan berada p a d a rentang 0-10 yang m e n u n j u k k a n persentase jumlah liputan awan dengan skala 10 sebanding dengan k e a d a a n awan yang tebal (sebanding dengan persentase awan 100%). Koefisien 0 m e n u n j u k k a n keadaan daerah t a n p a ditutupi oleh awan.

(3)

G a m b a r 2 - 1 : Pembagian wilayah Indonesia menjadi 36 region Pengaruh sinar kosmik t e r h a d a p

liputan awan a t a s / a w a n total diketahui dengan melakukan analisis korelasi liputan awan atas dan liputan awan total ter-hadap sinar kosmik. D a t a liputan awan total m a u p u n awan atas merupakan data lima harian yang kemudian dirata-ratakan menjadi data bulanan. Pola tahunan dicari dengan menghilangkan variasi bulanan dengan cara merata-ratakan data bulanan menjadi d a t a t a h u n a n .

Untuk mengetahui pengaruh lokal sinar kosmik terhadap pembentukan awan, wilayah Indonesia dibagi menjadi 36 region dengan besar tiap region 5x5 derajat (Gambar 2-1). Pembagian dilakukan dalam arah lintang dan bujur dimulai dari lintang u t a r a ke selatan dan dari bujur yang lebih kecil ke bujur yang lebih besar. Pada a r a h lintang: 10° LU-6" LU, 4° LU-0, 2° LU-6° LS, 8° LS-10° LS, sedang-kan pada a r a h bujur timur : 90°-94°, 96o-100°, 102°-106°, 108°-112°,

114°-118°, 120°-124°, 126°-130°, 132°-136°, 138°-142°. K h u s u s p a d a lintang 8° LS-10°LS, kotak region berukuran 5x3 derajat. Satu kotak region terdiri dari 9 d a t a koefisien liputan awan yang dirata-ratakan menjadi 1 datum untuk mewakili region tersebut. Region d i u r u t k a n dari bujur timur yang paling kecil ke yang paling besar sehingga secara membujur terdapat 9 region.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Korelasi Region Indonesia

Korelasi total a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan total m a u p u n awan

a t a s p a d a s e m u a region (Gambar 2-1) menghasilkan koefisien korelasi yang kecil dengan nilai berkisar masing-masing a n t a r a -0,11 sampai 0,14 u n t u k korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan awan total, dan -0,10 s a m p a i 0,09 u n t u k korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan atas. Analisis korelasi dilakukan dengan m e n g a s u m s i k a n intensitas sinar kosmik u n t u k setiap region sama. Korelasi total adalah korelasi yang dilakukan pada seluruh data rataan bulanan liputan awan t o t a l / a w a n a t a s t e r h a d a p seluruh data sinar kosmik u n t u k tiap-tiap region dalam rentang waktu 1979-1995. Respon liputan awan pada seluruh region terhadap sinar kosmik tidak signifikan jika meng-g u n a k a n korelasi total.

Koefisien korelasi menunjukkan variasi jika ditinjau dalam rentang waktu yang lebih pendek dengan a c u a n siklus bintik matahari. Sinar kosmik memiliki h u b u n g a n antikorelasi t e r h a d a p jumlah bintik matahari. S a a t siklus maksimum matahari, intensitas sinar kosmik yang terdeteksi di Bumi j u s t r u berada p a d a minimum sedangkan saat siklus minimum matahari, intensitas sinar kosmik berada pada maksimumnya. Korelasi antara sinar kosmik t e r h a d a p liputan awan total/ awan atas menghasilkan pola antar region seperti dalam Gambar 3 - 1 . S a a t siklus matahari menuju maksimum yaitu periode

1988-1992, koefisien korelasi antar region menunjukkan kecenderungan meningkat bila berada di wilayah Indonesia bagian tengah. Koefisien korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan awan total berkisar antara

(4)

Gambar 3-1: Profil korelasi a n t a r region liputan awan total dan awan a t a s terhadap sinar kosmik ditinjau saat siklus maksirnum d a n siklus m i n i m u m matahari

0,03 sampai 0,46 dengan koefisien tertinggi berada di region 13. Demikian pula antara sinar kosmik dan liputan awan atas, koefisien korelasi tertinggi b e r a d a di region 13 dengan nilai korelasi a n t a r region berkisar a n t a r a 0,02 sampai 0,46. Saat siklus m a k s i m u m matahari ini, tiap-tiap region memiliki respon koefisien korelasi yang positif a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan.

Hal yang sebaliknya terjadi saat siklus minimum m a t a h a r i yaitu p a d a periode 1984-1988. Sinar kosmik yang berada pada siklus p u n c a k n y a direspon negatif oleh liputan awan kawasan Indonesia. Koefisien korelasi antara liputan awan total dengan sinar kosmik berada pada rentang -0,02 s a m p a i -0,56 dengan nilai korelasi yang terkecil terdapat di region 28 dan 2 9 . S e d a n g k a n u n t u k liputan awan a t a s d a n sinar kosmik, koefisien korelasi antar region-nya antara -0,04 sampai -0,48 dengan koefisien

korelasi terkecil berada di region 15 dan 16. Kedua jenis awan m e n u n j u k k a n perilaku yang s a m a t e r h a d a p sinar kosmik, yaitu berespon positif s a a t siklus maksimum matahari dan berespon negatif saat siklus minimumnya. Partikel-partikel berenergi tinggi yang berasal dari matahari ber-pengaruh terhadap keadaan liputan awan total d a n liputan awan a t a s .

3.2 Blok Indonesia

Analisis korelasi t a h u n a n menun-jukkan beberapa region Indonesia memiliki

kemiripan. Korelasi t a h u n a n adalah korelasi antara data bulanan sinar kosmik dengan data rataan bulanan liputan awan untuk setiap tahunnya. Data sinar kosmik per t a h u n yang terdiri dari 12 bulan dikorelasikan dengan d a t a liputan awan sehingga mendapatkan satu nilai koefisien korelasi. Koefisien ini diplotkan berdasar-kan variabel waktu. Respon sinar kosmik terhadap liputan awan per t a h u n n y a

(5)

Blok IV

Gambar 3-2: Profil liputan awan total t e r h a d a p sinar kosmik p a d a Blok IV menunjukkan nilai koefisien korelasi

positif dan negatif. Region-region yang memiliki fluktuasi korelasi tahunan yang mirip dikelompokkan dalam satu blok.

Korelasi t a h u n a n a n t a r a liputan awan total dengan sinar kosmik meng-hasilkan 7 blok kawasan Indonesia. Ke-tujuh blok ini a n t a r a lain: Blok I yang merupakan g a b u n g a n dari region 1-6; Blok II, gabungan dari region 7-9; Blok III, gabungan dari region 10-15; Blok IV, gabungan dari region 16-18; Blok V, gabungan dari region 19-36 kecuali region 28, 29, dan 30; Blok VI m e r u p a k a n region 28; dan Blok VII yang m e r u p a k a n gabungan dari region 29 d a n 30.

Masing-masing blok memiliki pola awan total yang beragam, jika diplotkan terhadap waktu dalam orde bulan. Periode 1979-1995 terdapat 204 bulan. Penurunan sinar kosmik diikuti oleh p e n u r u n a n awan total. Pada r e n t a n g bulan ke-41 (mengacu p a d a bulan Mei t a h u n 1982) sampai bulan ke 52 (mengacu pada bulan April t a h u n 1983), ketujuh blok p a d a data rataan awan total mengikuti pola

sinar kosmik yang mengalami penurunan. Kecenderungan yang s a m a j u g a terjadi p a d a rentang bulan ke-145 (mengacu pada bulan J a n u a r i t a h u n 1991) sampai bulan ke-163 (mengacu p a d a bulan J u l i t a h u n 1992). Hal yang sebaliknya terjadi yaitu s a a t sinar kosmik berada pada saat m a k s i m u m n y a , respon a w a n total mem-berikan negatif. P a d a Blok IV terlihat pola awan total m e n u r u n p a d a periode November 1985 s a m p a i Oktober 1988 (Gambar 3-2).

Korelasi t a h u n a n a n t a r a liputan awan a t a s dengan sinar kosmik meng-hasilkan 6 blok, a n t a r a lain: Blok I, gabungan dari region 1-9; Blok II, gabungan dari region 10-13; Blok III, gabungan dari region 14-18; Blok IV, gabungan dari region 19 dan 20; Blok V, gabungan dari region 21-36 kecuali region 28; dan Blok VI yang h a n y a terdiri dari satu region, yaitu region 2 8 . Pembagian blok ini tidak membedakan antara daratan dan lautan. Profil liputan awan a t a s juga terlihat sangat fluktuatif, s a m a seperti liputan awan total. Masing-masing blok

(6)

memiliki pola liputan awan a t a s yang beragam jika diplotkan t e r h a d a p waktu dalam orde bulan (total terdapat 204 bulan).

Pada saat sinar kosmik berada pada fase minimum, beberapa blok mengikuti pola p e n u r u n a n liputan awan a t a s . Pada Blok III (Gambar 3-3), terlihat kurva awan atas mengikuti pola s m a r kosmik kecuali s a a t sinar kosmik menuju maksi-mum. Pola kurva sinar kosmik yang me-nurun pada rentang bulan ke-41 (mengacu pada bulan Mei tahun 1982) sampai bulan ke-52 (mengacu p a d a bulan April t a h u n

1983) direspon negatif oleh awan atas. Anti korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan awan atas terjadi saat sinar kosmik

menuju m a k s i m u m , terjadi pada selang waktu J a n u a r i 1986 s a m p a i Desember 1988. Awan total m a u p u n awan atas memiliki respon yang s a m a terhadap sinar kosmik yang membedakannya adalah koefisien s k a l a awannya. Awan a t a s memiliki koefisien yang lebih kecil dibandingkan dengan awan total.

Pada Gambar 3-4 d a n 3-5 digam-b a r k a n pemetaan wilayah Indonesia digam- ber-d as ar kan kesesuaian pola korelasinya dengan sinar kosmik. Gambar 3-4 merupa-kan pemetaan u n t u k wilayah-wilayah yang mempunyai pola korelasi yang mirip antara awan total dengan sinar kosmik, sedang-kan Gambar 3-5 u n t u k awan atas dengan sinar kosmik.

(7)

Gambar 3-4: Pemetaan wilayah Indonesia yang mempunyai korelasi yang mirip antara awan total d a n sinar kosmik. Sumbu vertikal adalah lintang tempat, sedangkan horisontal adalah posisi bujur dalam derajat

Gambar 3-5: Pemetaan wilayah Indonesia yang mempunyai korelasi yang mirip antara awan a t a s d a n sinar kosmik. S u m b u vertikal adalah lintang tempat, sedangkan horisontal adalah posisi bujur dalam derajat

3.3Daerah Ekuator

Friis-Christensen d a n Svensmark (1997) menemukan adanya korelasi antara liputan awan di bumi dengan sinar kosmik. Demikian pula Palle Bago d a n Buttler (2000) yang melakukan analisis hubungan sinar kosmik terhadap pembentukan awan, menemukan kecenderungan awan total yang mengikuti pola sinar kosmik pada periode 1983-1991.

Dari hasil scanning wilayah ekuator Indonesia t e r h a d a p korelasi total a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan total beberapa d a e r a h di e k u a t o r didapatkan koefisien korelasi yang kecil berkisar antara 0 sampai 0,2. Scanning dilakukan

u n t u k melihat variasi korelasi total a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan total terhadap bertambahnya luas wilayah dengan p u s a t wilayah yang sama. Kami memilih daerah d a r a t a n dan lautan yang menjadi a c u a n sebagai p u s a t dengan tujuan u n t u k membandingkan di antara keduanya.

Lautan yang dipilih, yaitu Laut China Selatan dan S a m u d e r a Pasifik (terletak di sebelah Utara Papua) sedang-kan S u m a t e r a mewakili wilayah daratan. Kalimantan tidak dipilih karena data liputan awan total tidak lengkap. Scanning meliputi luas wilayah yang semakin membesar dimulai dari luas wilayah

(8)

Gambar 3-6: Scanning wilayah Indonesia m e n u n j u k k a n variasi korelasi d a l a m orde kecil a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan total wilayah ekuator Indonesia. Laut China Selatan, Samudera Pasifik, d a n S u m a t e r a menunjukkan d a e r a h p u s a t scanning

l ° x l ° ( l x l kotak), 5°x5° (3x3 kotak), 9°x9° (5x5 kotak), dan 13°xl3° (7x7 kotak). Kotak yang lebih kecil dilingkupi oleh kotak yang lebih besar. Pada Gambar 3-6 terlihat bahwa koefisien korelasi a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan total wilayah S u m a t e r a dalam orde yang kecil cenderung mengalami p e n u r u n a n seiring dengan b e r t a m b a h n y a l u a s wilayah, yaitu 0,15 ; 0,10 ; 0,08; dan 0,07. Demikian pula S a m u d e r a Pasifik memiliki kecen-derungan korelasi yang menurun. Korelasi antara sinar kosmik pada daerah daratan dan lautan memiliki nilai yang mendekati 0. Secara u m u m sinar kosmik dan liputan awan total pada d a e r a h e k u a t o r memilki nilai korelasi yang k o n s t a n .

Daerah ekuator yang dipilih berada pada rentang koordinat 2° LU-2° LS dengan daerah, a n t a r a lain Laut China Selatan (106° BT-1100 BT), S a m u d e r a Pasifik

(134° BT - 138° BT), d a n Sumatera (100° BT-1040 BT). Variasi b u l a n a n

di-hilangkan dengan cara m e n e n t u k a n

rata-rata d a t a sinar kosmik dan liputan awan total rnenjadi d a t a t a h u n a n .

Gambar 3-7 menunjukkan pola t a h u n a n sinar kosmik dan liputan awan total, sedangkan Gambar 3-8 menunjuk-kan kaitan pola a n t a r a sinar kosmik dengan liputan a w a n a t a s daerah-daerah yang meliputi S a m u d e r a Pasifik, Laut China Selatan, dan Sumatera. Pada profil liputan awan, kurva daerah Sumatera dan Laut China Selatan tampak berhimpit yang m e n a n d a k a n k e s a m a a n di antara keduanya. Kedekatan jarak antara Laut China Selatan d a n Sumatera memberikan pengaruh p a d a pola awan yang seragam. Samudera Pasifik memiliki bentuk kurva yang mirip dengan kurva Laut China Selatan m a u p u n Sumatera n a m u n memiliki koefisien awan total yang lebih rendah. J i k a ketiga kurva wilayah Indonesia dibandingkan d e n g a n profil sinar kosmik, tampak beberapa rentang waktu mengikuti pola sinar kosmik sedangkan p a d a periode yang lain j u s t r u menunjukkan hal yang sebaliknya.

(9)

Gambar 3-7: Profil t a h u n a n sinar kosmik dan liputan a w a n total u n t u k daerah S u m a t e r a , Laut China Selatan, d a n S a m u d e r a Pasifik dalam periode 1979-1995. Kurva liputan awan total a n t a r a Laut China Selatan dan S u m a t e r a tampak berhimpit

Gambar 3-8: Profil t a h u n a n sinar kosmik dan liputan awan a t a s u n t u k daerah S u m a t e r a , Laut China Selatan, dan S a m u d e r a Pasifik dalam periode 1979-1995. Kurva liputan awan a t a s a n t a r a Laut China Selatan dan S u m a t e r a t a m p a k berhimpit

Pada periode 1979-1983, penurun-an fluks sinar kosmik diikuti dengpenurun-an penurunan jumlah liputan awan total. Namun, p a d a periode 1984-1988 saat intensitas sinar kosmik menuju puncak, kurva liputan awan wilayah Sumatera

dan Laut China Selatan justru mengalami p e n u r u n a n . P e n u r u n a n intensitas sinar kosmik pada periode 1989-1991 direspon oleh awan total dengan p e n u r u n a n juga n a m u n tidak terlalu ekstrim. J u s t r u pada periode mulai m e n u r u n n y a sinar kosmik

(10)

1988-1989, awan total n a m p a k memiliki nilai koefisien yang konstan. Koefisien korelasi a n t a r a s i n a r kosmik d a n ketiga daerah tersebut (Laut China Selatan, Samudera Pasifik, dan Sumatera) relatif rendah yaitu b e r t u r u t - t u r u t : 0,10; 0,07, dan 0,10. Hal yang s e r u p a terjadi pada liputan awan atas. Profil liputan awan atas di Laut China Selatan, Sumatera, dan Samudera Pasifik mirip dengan profil liputan awan total. Perbedaannya hanya terletak pada koefisien skala dari liputan awan di raana awan atas memiliki koefisien yang lebih kecil dari p a d a awan total. Awan atas juga menunjukkan anti korelasi saat sinar kosmik b e r a d a pada fase maksimum.

4 KESIMPULAN

Korelasi total a n t a r a sinar kosmik dengan awan total m a u p u n awan atas pada semua region menghasilkan koefisien korelasi yang kecil dengan nilai berkisar a n t a r a -0,11 s a m p a i 0,14 u n t u k korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan awan total, dan -0,10 sampai 0,09 u n t u k korelasi antara sinar kosmik dengan awan atas. Jika mengacu pada siklus bintik matahari,

koefisien korelasi a n t a r a sinar kosmik dengan awan a t a s m a u p u n awan total menunjukkan variasi yang signifikan. Saat siklus m a k s i m u m bintik matahari, tiap-tiap region memiliki respon koefisien korelasi yang positif a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan dengan kecende-rungan koefisien korelasi semakin positif p a d a wilayah Indonesia bagian tengah. Koefisien korelasi tertinggi a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan total berada di region 13 dengan nilai korelasi 0,46. Sedangkan koefisien korelasi tertinggi a n t a r a sinar kosmik d a n liputan awan atas berada di region 13 dengan nilai koefisien korelasi y a n g s a m a dengan liputan awan total.

Hal yang sebaliknya terjadi saat siklus minimum bintik matahari. Sinar kosmik yang berada pada siklus puncak-nya direspon negatif oleh liputan awan kawasan Indonesia. Koefisien korelasi

terendah antara sinar kosmik dan liputan awan total berada di region 28 dan 29 dengan nilai korelasi -0,56. Sedangkan koefisien korelasi terendah a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan atas berada di region 15 dan 16 dengan nilai koefisien -0,48. Kedua jenis awan menunjukkan perilaku yang sama terhadap sinar kosmik, yaitu berespon positif s a a t siklus maksi-m u maksi-m bintik maksi-matahari d a n berespon negatif saat siklus minimumnya. Hal ini juga terlihat pada profil liputan awan total m a u p u n liputan awan a t a s terhadap sinar kosmik yang dirata-ratakan menjadi d a t a t a h u n a n . Perbedaannya hanya ter-letak p a d a koefisien skala dari liputan awan, di m a n a awan a t a s memiliki koefisien yang lebih kecil dari awan total. Liputan awan a t a s j u g a menunjukkan anti korelasi s a a t sinar kosmik berada pada fase maksimum. Periode penurunan sinar kosmik yang diikuti oleh penurunan koefisien liputan awan terjadi pada t a h u n 1981-1983.

Korelasi t a h u n a n a n t a r a liputan awan total dengan sinar kosmik meng-hasilkan 7 blok kawasan Indonesia sedang-kan korelasi tahunan antara liputan awan atas dengan sinar kosmik menghasilkan 6 blok. Scanning yang dilakukan terhadap wilayah ekuator Indonesia dengan sampel daerah Sumatera, Laut China Selatan, dan Samudera Pasifik menunjukkan koefisien korelasi total memiliki nilai yang kecil dan cenderung konstan. Penambahan jumlah kotak tidak mempengaruhi korelasi

total a n t a r a sinar kosmik dengan liputan awan total wilayah Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN

Baskoro, A.A., 2 0 0 5 . Analisis Data Awan Total Kawasan Indonesia terhadap Aktiuitas Energi Tinggi Matahari dalam Periode 1979-1995. Tugas Akhir Sarjana, Departemen Astro-nomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.

Carslaw, K.S., Harison, R.G., Kirkby, J., 2002. Cosmic Rays, Clouds, and

(11)

Friis-Christensen, E., Svensmark, H., 1997, Advances in Space Research, Vol 2 0 , p.913-921.

Meteorological Satellite Center, Monthly Report of Meteorological Center, Tokyo. Mursuia, K., Usoskin, I. 2003. Heliospheric

Physics and Cosmic Rays. Lecture notes (http://spaceweb.oulu.fi/ education/Heliosfaariysiikka/Lectur

es_2003/).

National Oceanic a n d Atmospheric Administration, (http://www.ngdc. noaa.gov/)

Palle Bago, E., Butler, C.J., 2000. The Influence of Cosmic Rays on Terrestrial Clouds and Global Warming. Astron. Geophys. 4 1 , him 18-22.

Suzuki, T., 1997. The GMS Users Guide, third edition. Meteorological Satellite Center (http://mscweb.kishou. go.jp). Tinsley, B. A., 2000. Influence of Solar Wind on the Global Electric Circuit, and Inferred Effects on Cloud Microphysics, Temperature, and Dynamics in the Troposphere. Space Sci. Rev 94, him 2 3 1 .

Gambar

Gambar 3-1: Profil korelasi  a n t a r region liputan awan total dan awan  a t a s terhadap sinar  kosmik ditinjau saat siklus maksirnum  d a n siklus  m i n i m u m matahari  0,03 sampai 0,46 dengan koefisien tertinggi
Gambar 3-2: Profil liputan awan total  t e r h a d a p sinar kosmik  p a d a Blok IV  menunjukkan nilai koefisien korelasi
Gambar 3-4: Pemetaan wilayah Indonesia yang mempunyai korelasi yang mirip antara  awan total  d a n sinar kosmik
Gambar 3-6: Scanning wilayah Indonesia  m e n u n j u k k a n variasi korelasi  d a l a m orde kecil  a n t a r a sinar kosmik dan liputan awan total wilayah ekuator Indonesia
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel terikat (kepatuhan wajib pajak) yang dapat dijelaskan oleh keseluruhan variabel bebas (pelayanan perpajakan, sanksi pajak,

Dalam program ini dilakukan konsultasi pada awal pelaksanaan, lalu membuat form Input dan hasil keluaran (output) program berupa rekaputalasi data sarana dan prasarana SMK

Tabel 12 mengungkapkan bahwa dengan jumlah skor sebesar 70,077, maka indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perizinan dan investasi di KPPI Kota Jambi

Tanggal 12 Agustus 1989 desa Malalayang Satu, Desa Malalayang Dua dan Desa Winangun yang sebelumnya berada dalam wilayah Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa masuk ke

Aman: produk Tupperware terbuat dari bahan berkualitas ‘food grade’ sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan walaupun untuk menyimpan makanan panas. Aman digunakan

Iklan Baris Iklan Baris BODETABEK Serba Serbi SILAT RUPA-RUPA SEKOLAH Rumah Dijual Rumah Dikontrakan JAKARTA PUSAT JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR TANAH DIJUAL.. ADA

‡ Kutub-kutub: pada diameter bola yang tegak lurus lingkaran dasar utama ‡ Lingkaran Dasar ke-2: lingkaran besar yang melalui kutub-kutub lingkaran.. dasar utama, tegak lurus

Poisson untuk Mendeteksi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Jumlah Penderita Gizi Buruk di Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan