Start here—or there!
5 Hadiah Perpisahan
13 Pencurian Pertama Orion
27 Vas Bunga Anggrek di Ruang Bawah Tanah
61 Lady Aleta Jane Wirubel
70 Tikus dan Keju
80 Gara-Gara Berlian
98 Mimpi
108 Bluish Bliss Blossom
112 Selesaikan dengan Tanganmu!
137 Berlian dan Kebohongan
Puzzle Mulai Terbaca
154
Lorong Bawah Tanah Lain 167
Penyerahan Kekuasaan 180
Mitos Dandelion 189
Menyamar 213
Pencurian Kedua Orion 238
Deja Vu 263
Pertaruhan: E. Wirubel vs A.J. Wirubel 283
Perjuangan Terakhir 302
Hadiah Perpisahan
Dia memang beruntung. Hal ini di luar dugaan, di luar sangkaan. Orang sepertiku, bisa menghabiskan waktu dua jam lebih
hanya untuk menunggu seseorang menyebalkan—yang bahkan hanya
dengan melihat mukanya saja dapat membuatku memuntahkan sarapanku. Entahlah, semua terlihat jungkir balik dan terasa berputar-putar setelah aku bertemu dengannya. Mungkin saja ini merupakan karma atau sejenisnya bagi orang-orang sepertiku yang terlihat tak pernah menikmati hidup. Jujur saja, mengenalnya membuatku menjadi lebih bersenang-senang dengan waktu senggangku. Tak peduli meski harus sarapan dua kali, agar bisa melihat wajahnya lagi dan lagi. Di setiap pertemuan, dia tak pernah terlambat sekali pun. Tidak, sebelum hari ini.
Sudah dua jam setengah semenjak waktu yang telah ditetukan. Donat kentangku sepertinya sudah mengeras dan teh panasku sudah sedingin salju di luar sana. Aku mengutuk dalam hati, jika dia datang nanti, aku akan memukul kepalanya dengan high
heelsku. Namun, nampaknya sia-sia karena aku tak pernah bisa
menunjukkan emosiku jika melihat wajahnya yang terlampau sungguh-sungguh dan tanpa dosa itu.
Tik.. tok.. tik.. tok.. jam di ujung koridor restoran berdetak konstan. Ini yang paling kusuka dari tempat ini, melebihi pertunjukan teater sabun murahan yang cukup sering digelar. Semakin aku mendengar detak jam, hatiku semakin gusar. Aku tak punya pengalaman menunggu seseorang selama ini. Sempat terpikirkan olehku, dia tak akan pernah datang. Aku merasa khawatir.
Aku mendengar pintu terbuka dan deritnya nyaris menulikan telinga. Aku tak mau menoleh ke arah sana, meski dalam hati mengutuk kepalaku sendiri. Aku tak bisa membohongi diri sendiri. Aku berdoa agar itu dia.
Benar saja, beberapa detik kemudian, kelebatan jubah yang menguarkan aroma manis yang sangat familier di hidung melintas di sebelahku. Tak salah lagi, itu dia. Duduk di depanku, tanpa terlebih dahulu meminta izin maupun memberi salam—oh, bodohnya aku berharap paling tidak dia mencium punggung tanganku!
Dia duduk tegak, menopang dagunya pada kedua tangan kemudian menatapku. Lagi-lagi, aku tak sanggup menunjukkan emosiku. Kuberikan saja senyuman canggungku untuk menyambut kedatangannya.
Dia masih memandangku dengan tatapan yang sama, masih membuatku terpukau sesaat sebelum akhirnya aku bisa mengendalikan diri.
“Kau terlambat,” kataku berusaha biasa-biasa saja.
“Dua jam tiga puluh menit beberapa detik,” dia masih memandangku, “aku tahu. Tapi aku tak pernah tahu kau rela meluangkan begitu banyak waktu untuk menungguku.”
”Aku berusaha menepati janji.” “Tapi kau tahu aku tidak.” “Siapa peduli?”
“Kau.”
Dia masih memandangku. Kali ini aku baru menyadari bahwa ia melihat mataku dalam-dalam. Lebih dalam yang bisa kukira. Seakan membaca pikiranku.
“Baiklah, aku memang peduli.” Aku menarik napas panjang. “Sekarang kuharap kau tak membuang waktuku lebih lama lagi.”
“Hanya sebentar saja,” ucapnya kalem, hampir tak bisa kudengar, sambil mengambil sesuatu dari balik jubah penghangatnya. Sebuah kotak hitam, berukir naga dengan ornamen aneh. Aku tak begitu suka apa pun itu.
“Aku berharap dan sangat ingin, kau mengatakan ‘iya’ untuk yang satu ini.”
Kuangkat sebelah alisku menanggapi pernyataannya. Mungkin saja, sekarang ini di wajahku tergurat rona-rona penasaran
yang sangat tebal. Aku tak bisa menutupinya, bahkan di depan orang sepertinya.
“Wirubel,” dia mengucapkan namaku begitu lembut dan terkesan memuakkan, “kumohon, jadilah istriku.”
Beberapa saat kemudian, terdengar gebrakan meja cukup keras. Baru saja kusadari itu bunyi di bawah telapak tanganku. Aku menatap langsung matanya. Dia sama sekali tak bergeming dari posisinya. Kotak itu diletakkannya perlahan-lahan di meja, tanpa membukanya. Aku meliriknya sebentar, memastikan tak ada ular atau kelabang keluar dari kotak itu.
“Selamat tinggal. Terima kasih telah membuang banyak waktuku hanya untuk ini. Konyol!”
Belum sempat kakiku bergerak untuk melangkah, secepat angin dia berdiri berhadapan denganku. Aku sudah ingin melaksanakan rencana awalku (memukul kepalanya dengan sepatu) namun cepat-cepat kuurungkan. Dia satu kaki lebih tinggi daripadaku dan kulihat tangannya begitu kekar. Bukan suatu hal yang bijaksana membiarkan tangan rapuhku dipatahkan dia nantinya.
“Kumohon, tinggallah.”
Dengan daya tarik tak kasat matanya, dia berhasil membuat kakiku lemas dan kembali terduduk. Dengan alunan suara datarnya, seolah-olah dia benar-benar sangat membutuhkanku. Aku tak kuasa menolaknya—aku memang tak pernah bisa menolak permintaannya. Sekali pun.
“Tindakan bodoh apalagi sekarang?” “Bukan apa-apa. Hanya melamar.” “Kau benar-benar gila!”
“Kau menyukainya, kan?” “Tak akan pernah.”
Dia tersenyum puas. Pandangan matanya menyiratkan kemenangan yang sangat luar biasa. Digenggamnya tanganku—aku tak bisa mengelak—erat-erat, kemudian diciumnya lembut. Dia kembali tersenyum geli, seakan-akan menyadari bulu-bulu tanganku berdiri .
Aku tak tahu, tapi kurasa dia benar-benar sudah memasukkan obat bius melalui pandangan matanya itu.
“Dengar, aku mencintaimu. Kurasa kau merasakan hal yang sama.”
“Bohong!” kataku sinis.
“Kau pikir buat apa kau menungguku selama itu?”
“Aku menepati janji,” seruku masih mengelak bahwa tak ada alasan lain menunggunya selama itu, kecuali hal itu.
Dia kembali menatap mataku, kini lebih dalam. Andai tak ada sandaran di kursiku sekarang, mungkin aku sudah jatuh terjengkang dan pingsan. Kuharap dia tak pernah tahu pipiku mudah terbakar sejak bertemu dengannya. Seakan tak satu hal pun dari wajahku terlewatkan dari penglihatannya.
“Kau mencariku. Kau membutuhkanku. Dan fakta itulah yang membuatku yakin mengatakan hal tadi. Melamarmu. Aku yakin kau akan menerimaku.”
“Kau terlalu menghibur dirimu sendiri. Kesalahanmu hanya satu. Kau terlalu percaya diri.”
“Percaya diri bukan merupakan sebuah kesalahan.” “Tapi kebodohan.”
“Dan kau peduli.” “Sama sekali tidak.” “Kau mencintaiku.” “Tak akan pernah.”
“Kumohon, jujurlah—setidaknya pada dirimu sendiri.”
Selama perdebatan, pandangannya tak pernah lepas dari wajahku. Tapi aku tak pernah berani menatapnya. Dia begitu terlalu tulus. Matanya menyiratkan kepercayaan seratus persen terhadap semua jawaban-jawabaku. Dia benar-benar optimis aku akan menerimanya. Mungkin karena itu, dia begitu enteng mengucapkan kalimat lamaran—padahal selama ini tunanganku saja tak pernah lancar mengucapkan aku sayang padamu. Karena dia yakin aku merasakan hal yang sama.
“Tapi aku telah bertunangan.”
Aku melihatnya menarik napas sangat panjang, memejamkan mata sesaat, setelah itu kembali memandangku. Setelah itu, wajahnya mengeras. Aku sangsi dia tak memperhitungkan kemungkinan ini. Dia
jelas sudah tahu aku telah bertunangan.
“Aku hanya ingin kau bilang ‘iya’ dan kita bisa melakukan hal-hal ekstrim untuk menghindari adat istidat tak masuk akal ini.”
“Orang tuaku terhormat. Begitu bodoh melukai kehormatan mereka demi lelaki seperti kau.”
“Harga dirimu tinggi sekali,” geramnya datar, sembari memutar bola matanya sebal.
“Salah satu alasan menolak cintamu.”
Kami terdiam beberapa saat, tenggelam pikiran masing-masing. Aku melihatnya memandangi kotak itu, tanpa sekali pun menyentuhnya. Selama perdebatan kami tak pernah menyebut-nyebut benda itu, padahal mungkin benda itulah puncak dari lamarannya.
“Kau tahu,” dia memulai perbincangan kembali, “Aku mendapatkan ini tak sesulit mendapatkan kau.”
Dibukanya kotak itu. Bukan sebuah kilauan perhiasan, seperti yang sudah kuduga. Orang semiskin dia, mana mungkin mendapatkan barang yang lebih berharga daripada mantel lembab bau tembakau yang dipakainya itu. Sebuah kain kumal teronggok menjijikkan di dalamnya. Aku tak pernah bepikir hadiah lamaranku berupa benda tak berharga ini.
“Kuharap kau menyimpan ini,” ucapnya tulus memberikan buntelan kumal itu. Secara otomatis, tanganku membentuk perlindungan dari benda menjijikkan ini. Dia tersenyum pahit, seakan bisa membaca pikiranku.
“Maaf, tapi ini demi keselamatanmu juga.” Dengan penuh percaya diri, digenggamkannya buntelan itu di tangan kananku, setelah terlebih dahulu menyingkirkan sapu tangan putih yang selalu kubawa. “Ini kuberi nama seperti kau, Aleta Jane Wirubel.”
Kemudian dia beranjak dari kursinya, memandangku sebentar, kemudian berkata setengah bergumam, “Besok aku akan pulang ke Batavia. Aku khawatir kita tak akan pernah bertemu kembali.”
“Baguslah. Selamat tinggal,” kataku sok sinis.
Dia hanya tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Sebelum melangkahkan kaki menjauhiku, dia berkata, “Kau ingin aku jujur tentang satu hal?”
Aku mengangkat bahu tak peduli menanggapi tawarannya. Entah sebuah kebodohan atau ketololan bahwa dalam hati aku ingin menjerit padanya, memohon-mohon terhadapnya untuk mengatakan
aku mencintaimu untuk yang terakhir kalinya.
“Kau begitu angkuh dan sangat pandai berpura-pura. Namun, justru karena itu aku benar-benar...” dia tak melanjutkan kalimatnya.
“Apa?” entah menyadari atau tidak, aku berhenti bernapas menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Entahlah. Kurasa aku tak pantas mengatakannya. Kau
sudah bertunangan, ingat?”
Kemudian dia melangkah mantap menjauhiku, menuju pintu. Kulihat terus punggungnya, berharap dia menoleh kembali untuk menatapku, mengucapkan kalimat perpisahan yang lebih pantas, bahkan hanya tersenyum pun tak apa.
Nyatanya, apa yang kudapatkan? Dia memang menghentikan langkahnya, tapi tak pernah menoleh. Hanya melambaikan sapu tangan putihku dengan tangan kanannya dua kali, setelah itu menghilang di balik pintu berderik.
Tanpa kusadari, aku meremas buntelan kumal itu erat-erat. Terasa keras di telapak tanganku, dan kubiarkan ia membuat pergelanganku mengejang kesakitan. Hanya ini yang bisa menahan isak tangisku agar aku tak menangis, paling tidak akibat kepergiannya.
Dalam hati aku berteriak-teriak frustasi. Aku juga
mencintaimu. Aku benar-benar jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali kita bertemu! Tapi, apa daya aku tak akan pernah bisa
mengungkapkannya, sampai kapan pun. Minggu depan aku akan menikah dan harus bisa melupakannya. Bodohnya, aku tak pernah yakin, akan datang seseorang yang seperti dia nantinya. Dia telah menawar harga diriku rendah-rendah. Namun bagaimana dia masih bisa berkata harga diriku terlampau tinggi? Padahal untuknya, aku telah mengobral harga diriku habis-habisan. Aku tak pernah tahu.