• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Arsitektur di Indonesia menampilkan perbedaan bentuk dan tradisi teknologi yang mencerminkan keragaman daerah dan kekayaan warisan sejarah. Salah satu arsitektur tradisional yang ada di Indonesia adalah rumah tinggal tradisional yang tersebar dengan beragam bentuknya yang unik di wilayah Nusantara, yang menampakkan identitas lokal yang khas dalam wujudnya dan menampilkan kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya merupakan pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara runtut evolusioner, dengan situasi budaya yang penuh konflik perubahan atau perkembangan. Tuntutan akan makna dan identitas dari arsitektur semakin meningkat. Kekerdilan penalaran kognitif dan kemiskinan penghayatan afektif atas nafas dan jiwa yang melembari arsitektur tradisional selama ini telah mengakibatkan munculnya bangunan-bangunan yang berbedak tradisional, komponen fisik dan wajah visualnya dipakai, tetapi falsafah nilai, sistem perlambang dan pemaknaan sosial ditiadakan (Budihardjo, 1989).

Keanekaragaman rumah tinggal tradisional yang ada di Nusantara dan di Asia Tenggara dalam nuansa seni yang tinggi dan adanya persamaan dalam filosofi, namun kaya dalam bentukan-bentukan arsitektur yang berbeda dari satu rumah dengan rumah tradisional lainnya. Fenomena ini menunjukkan kekayaan arsitektur Nusantara dari Sabang sampai Merauke dan Asia Timur lainnya (Waterson, 1997).

Arsitektur adalah cermin dari kebudayaan. Oleh karena itu dari sebuah karya arsitektur kita dapat mengetahui latar belakang kebudayaan suatu bangsa. Rumah tinggal tradisional sebagai salah satu warisan kebudayaan bangsa yang wajib dilestarikan. Rumah tinggal tradisional yaitu suatu bangunan dimana struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi dan ragam hiasnya mempunyai khas tersendiri, yang diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktifitas kehidupan dengan sebaik baiknya.

Perkembangan zaman yang sangat pesat menimbulkan perubahan-perubahan pada budaya, pola hidup, dan pemikiran manusia. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap kebutuhan akan fasilitas hidup, sehingga secara tidak langsung akan menyebabkan perubahan

(2)

2 terhadap ruang sebagai tempat manusia dalam melakukan aktivitas. Perubahan budaya dan perubahan rumah tinggal dapat berasal dari dalam dan dari luar. Perubahan budaya dan bentuk perubahan rumah tinggal tidak berlangsung spontan dan menyeluruh, ada proses kesinambungan dan perubahan (continuity and change), di mana rumah tinggal dan lingkungannya merupakan produk budaya tercermin pada cara penataan ruang di dalam dan di luar rumah tinggalnya untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama (Papageorgiu, 1971).

Rapoport (1969) juga menunjukkan bahwa kebudayaan selalu berubah sehingga makna bangunan (rumah tinggal) maupun permukiman juga dapat berubah. Perubahan tersebut tidaklah selalu terjadi secara serentak dan pada seluruh elemen ataupun tatanannya, akan tetapi selalu dijumpai adanya unsur yang berubah dan yang tetap (constancy and change). Dalam konteks ini, Rapoport (1969:78-79) menyebutkan bahwa apabila budaya atau pandangan hidup berubah, maka berbagai aspek terkait dengannya menjadi berubah juga atau tidak berarti. Dalam kajian sudut pandang persepsi dan perilaku, tempat di mana manusia tinggal sangat terkait dengan budaya, sehingga walaupun terdapat perubahan pada dasarnya mereka menginginkan adanya kekonstanan. Umumnya diketahui bahwa kemungkinan terjadinya perubahan lebih kuat dari yang tetap. Walaupun demikian seberapapun adanya perubahan masih terdapat elemen yang tidak berubah atau selalu konstan.

Suatu perubahan kebutuhan hidup dalam kehidupan manusia akan mempengaruhi dan menyebabkan perubahan pada susunan ruang-ruang di dalam rumah tinggal yang mereka huni. Dalam menentukan adanya peruangan dalam sebuah rumah tinggal, Habraken (1978) menyatakan bahwa bentuk tatanan fisik hunian (rumah tinggal) dapat dipandang sebagai satu kesatuan sistem.

Rumah tinggal merupakan manifestasi kesepakatan sosial dalam arti bahwa lingkungan merupakan kelompok hunian dengan berbagai fasilitasnya. Terdapat 3 (tiga) aspek yang dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat perubahan ruang pada rumah tinggal yang membentuk satu kesatuan sistem menurut Habraken (1978) yaitu terdiri dari physical system, stylistic system, dan spatial system. Spatial system (sistem spasial) dapat menjelaskan tentang berbagai aspek tolok ukur yang berkaitan dengan masalah keruangan. Sistem ini mencakup tentang organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang. Pada dasarnya sebuah rumah tinggal dapat dipandang sebagai suatu kegiatan sistem tersebut di atas. Walaupun ke-3 (tiga) aspek di atas

(3)

3 merupakan 1 (satu) kesatuan sistem namun terhadap konteks tertentu yang kaitannya dengan perubahan dapat berdiri sendiri.

Arsitektur Melayu sebagai Lingua Franca sebuah langgam yang mampu menceritakan kehidupan etnik Melayu sebagai penghuninya. Tradisi arsitektur Melayu yang masih tertinggal kini sudah banyak yang tergerusi oleh perubahan zaman dan sebagian ada yang sudah dirubah bentuk dari aslinya, sehingga eksestensi nilai yang melekat otomatis berubah, simbol yang melekat tidak lagi mengambarkan keunikan yang dipesankan oleh leluhur terdahulu. Fungsi laten rumah tinggal tradisional Melayu umumnya dipengaruhi oleh ajaran Agama Islam dan adat istiadat Melayu yang masih bertahan sampai saat ini. Pada lingkungan kampung, keberadaan rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak berada di sepanjang Sungai Kapuas (Kapuas Besar dan Kapuas Kecil), Sungai Landak, dan di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak. Walaupun terdapat perbedaan bentuk dan rupa tetapi harmonisasi dari perbedaan itu dapat menciptakan lingkungan yang memiliki ciri khas tersendiri.

Rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak menggambarkan sebuah simbol keberadaban dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya, prestise yang melekat menentukan stratifikasi kedudukan penghuninya, kepercayaan diri semakin tinggi manakala rumah tinggal tersebut dibuat dari hasil proses yang benar seperti yang dilakukan oleh masyarakat sub Melayu Pontianak dengan ritual rumah tinggal baru dengan jiwa baru dan semangat baru untuk membangun jati diri identitas yang diwakilinya.

Melayu di Kalimantan Barat khususnya di Pontianak identik dengan Agama Islam, di mana rumah tinggal tradisional Melayu tersebar di sepanjang aliran Sungai Kapuas Kecil, Sungai Kapuas Besar, Sungai Landak, dan di sekitar Komplek Kraton Kadariah Pontianak yang menunjukan ciri khas keislaman yang sangat kuat yaitu tradisi arsitektur bergaya tradisional Melayu Pontianak.

Melayu yang mendiami daerah Kalimantan Barat terbagi dalam kelompok-kelompok atau sub Melayu seperti sub Melayu Mempawah, sub Melayu Sambas, sub Melayu Pontianak, dan lain sebagainya. Mengenai sub Melayu Pontianak, sebagaimana masyarakat Melayu pada umumnya memiliki karakteristik tertentu seperti bahasa Melayu, agama Islam, dan adat istiadat Melayu Pontianak. Ketiga karakteristik ini bertautan secara integratif sehingga menjadi jati diri (Ismail, 1988:6; Mohd, 1988:10; King, 1993:31).

Untuk sub Melayu Pontianak yang berdiam di beberapa tempat di kota Pontianak sebenarnya mengalami akulturasi dan asimilasi antar sebagian unsur kebudayaan dari

(4)

4 masyarakat Melayu dari daerah lain setelah mengalami proses yang panjang dan tidak bisa dihindari. Hal ini menyebabkan keanekaragaman budaya dan tradisi yang menjadi ciri dari struktur masyarakat sub Melayu di Pontianak. Seperti akulturasi dan asimilasi antara unsur kebudayaan sub Melayu Pontianak dengan masyarakat Melayu dari daerah lain dengan mendiami beberapa kampung yang sama dengan nama tempat asal mereka (Rahman dkk, 2000 ; Purwana dkk, 2004).

Gambar 1.1 Keberadaan Kraton Kadriyah, Mesjid Jami’, Sungai Kapuas dan Rumah Tinggal Tradisional Melayu di Pontianak (Sumber : Digambar Ulang Anonim, 2002b; Dokumentasi

Survey Lapangan Tahun 2011).

Perkembangan terbentuknya permukiman (rumah tinggal) penduduk sehingga menjadi sebuah pusat perkotaan kecil, awalnya berada di wilayah tepian Sungai Kapuas. Perkembangan tersebut terus terjadi, sehingga melebar di area sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Dengan demikian dapat dikatakan kota tersebut mulai terbentuk oleh pusat pemerintahan, perekonomian, dan permukiman hingga saat sekarang ini. Wilayah pusat Kesultanan Pontianak biasanya disebut dengan kota tradisional karena merupakan wilayah yang pertama kali atau cikal bakal terbentuknya kota Pontianak (Purwana dkk, 2004).

Untuk saat sekarang ini, Komplek Kraton Kadriyah Pontianak (Kesultanan Pontianak) dan wilayah sekitarnya merupakan salah satu dari kawasan bersejarah yang ada di Pontianak. Kawasan ini dulunya merupakan pusat pemerintahan kota lama dari Kesultanan Pontianak yang kemudian berkembang menjadi bagian dari Kota Pontianak. Banyak sekali bangunan bersejarah

(5)

5 di kawasan tersebut diantaranya rumah tinggal tradisional, Mesjid Jami’, Kraton Kadriyah serta fasilitas bangunan lainnya yang didirikan disana.

Untuk rumah tinggal tradisional di kawasan tersebut terdapat pengelompokan tipe (jenis) rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak berdasarkan tingkatan hirarki tertinggi yang terbagi atas 3 (tiga) tipe meliputi yaitu : rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak tipe Potong Limas, rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak tipe Potong Godang, dan rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak tipe Potong Kawat dengan bangunan arsitektur rumah tinggalnya yang unik dan khas (Wuryanto dkk, 1986).

Bentuk arsitektur rumah tinggal tradisional di kawasan tersebut merupakan bentuk bangunan arsitektur tradisional Melayu Pontianak yang telah mendapat pengaruh budaya Melayu dari daerah lain, misalnya Bugis, daratan Sumatera (misalnya Palembang, Riau), daratan Kalimantan (misalnya Banjarmasin) serta daratan Malaysia (misalnya Johor) yang mana mempunyai tipe denah rumah tinggal yang berbentuk persegi empat yang pada dasarnya memanjang ke arah belakang serta ke arah samping. Pembangunan rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak dengan segala bentuk dan ornamennya diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga generasi sekarang, serta masih tetap bertahan sebagai bangunan fungsional masa kini (Wuryanto dkk, 1986:46-74; Purwana dkk, 2004:83).

Pada masa awal perkembangannya (tahun 1771-1778 M), keberadaan dan perletakan rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di wilayah permukiman (kampung) di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, masih mengikuti suatu pola yang sangat jelas dan keberadaannya menguatkan garis sumbu imaginer tersebut. Hal ini dikarenakan kampung-kampung yang berkembang pada era tersebut dan beberapa tahun berikutnya, masih merupakan bagian elemen desain sebuah kota tradisional yang berkonsep kosmik (religius) dengan garis sumbu imaginernya (Usmardan, 1998).

Rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yang berada di area perkampungan tersebar di sekitar Komplek Kraton Kadriyah, pada saat itu terdapat rumah tinggal yang mempunyai arah orientasi ke arah Komplek Kraton Kadriyah Pontianak dan Mesjid Jami’ (arah kiblat). Hal ini dikarenakan bahwasannya Komplek Kraton Kadriyah, Mesjid Jami’, dan area sekitarnya dirancang (didesain) dengan konsep kosmik (religius), di mana terdapat suatu sumbu imaginer yang mengikat seluruh elemen kawasan kota tradisional tersebut.

Garis sumbu imaginer ini dibentuk dari keberadaan Kraton Kadriah Pontianak-Gerbang Pintu Kote-Mesjid Jami’-makam Kesultanan Pontianak yang terletak dalam satu garis lurus.

(6)

6 Kesan garis sumbu imaginer ini diperkuat dengan ditempatkannya Gerbang Pintu Kote pada pertengahan tahun 1778 M. Gerbang Pintu Kote ini merupakan simbol kekuasaan Kesultanan Pontianak, di mana gerbang ini merupakan gerbang kote dari Kerajaan Sanggau yang berhasil ditaklukkan oleh Pangeran Syarif Abdurrahman dan diletakkan tepat di garis sumbu imaginer antara Kraton Kadriah Pontianak dan Mesjid Jami’.

Adapun Sungai (air) Kapuas Besar, Kapuas Kecil, dan Landak menjadi unsur lansekap penting yang tidak terpisahkan guna mendukung konsep tersebut. Hal ini dapat terlihat dari peran dan fungsinya dalam mengikat ikon-ikon penting yang ada dalam garis sumbu imaginer. Sedangkan parit (air) yang berada di sekitar Komplek Kraton Kadriah Pontianak, selain merupakan edge (batas), juga menjadi salah satu elemen lansekap penting dalam menguatkan eksistensi garis sumbu imaginer yang ada, karena letaknya vertikal dan horisontal terhadap sumbu tersebut.

Inilah konsep dasar desain dari Komplek Kesultanan Pontianak yang kemudian menjadi karakter sekaligus identitas awal kota Pontianak bersama setting alam yang ada tentunya. Namun dalam rentang kesejarahannya, di Kesultanan Pontianak sebagaimana kesultanan lainnya di Indonesia pada waktu itu telah terjadi pergeseran sosial dan politik, di mana seorang sultan (raja) sudah tidak lagi menjadi tokoh sentral (sakral) dalam pergeseran tata kehidupan masyarakat modern yang cenderung materialis-prakmatis. Akibatnya simbol-simbol kebesaran sultan berupa garis sumbu imaginer dan air (sungai dan parit) yang tadinya sangat berpengaruh dalam membentuk karakter sekaligus identitas Komplek Kesultanan Pontianak dan sekitarnya semakin memudar dan atau ditinggalkan (Usmardan, 1998).

Hal mendasar terlihat dari pergeseran paradigma masyarakat terhadap simbol-simbol kekuasaan Kesultanan Pontianak, yang terlihat jelas dari ekspresi perkembangan kawasan yang berusaha menekan simbol-simbol kebesaran Kesultanan Pontianak. Fenomena yang terjadi di masyarakat sub Melayu Pontianak yang tinggal di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak yaitu masih terdapatnya sebagian masyarakat tersebut yang masih memegang teguh adat dan tradisi sub Melayu Pontianak serta yang berasal dari Kraton Kadriyah Pontianak. Namun di lain pihak ada pula sebagian masyarakat sub Melayu Pontianak yang telah mengalami perkembangan dan pergeseran paradigma pemikiran atau perubahan pola berpikir, yaitu masyarakat di sana memandang keberadaan dari rumah tinggal tidak lagi sebagai bentuk penghormatan serta kepatuhan kepada sultan, akan tetapi memandang sebuah rumah tinggal hanya sebagai simbol dari kemajuan zaman dan status sosial saja. Perkembangan tersebut

(7)

7 berpengaruh terhadap budaya masyarakat sub Melayu Pontianak sekitar yang terkait dengan masalah aktivitas, fisik maupun pola ruang rumah tinggalnya pada saat ini. Sehingga ada bagian dari rumah tinggal tersebut yang masih terus dipertahankan (tetap dipertahankan) dan ada pula bagian yang telah mengalami perubahan.

Gambar 1.2 Komplek Kraton Kadriyah Pontianak Dan Sekitarnya Dirancang Menggunakan Konsep Kosmik (Religius) Yang Terbentuk Dari Sumbu Imaginer Yang mengikat YangTerletak Dalam Satu Garis Lurus

(Sumber : Disesuaikan Dan Digambar Ulang Dari Citra Satelit IKONOS Kota Pontianak Liputan Tahun 2010 dan Google Earth; Dokumentasi Survey Lapangan Tahun 2011; Usmardan, 1998.).

Selain itu menjamurnya prasarana jalan (darat) dengan kendaraannya sebagai simbol kemajuan zaman (modern) sembari menutup parit-parit yang ada guna kelancaran transportasi darat dan penataan rumah tinggal di daerah perkampungan, terutama rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yang berada di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak yang tidak lagi mengacu pada garis sumbu imaginer serta semakin dimarginalisasikannya fungsi dan kesakralan dari air sungai dan parit (Usmardan, 1998).

Sejak saat itu, banyak sekali terjadi perubahan ruang pada rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang diantaranya yaitu : organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang yang sudah tidak lagi mengikuti aturan yang berasal dari Kraton Kadriyah Pontianak serta dari adat istiadat sub Melayu Pontianak yang mereka anggap merupakan sesuatu yang hal kolot dan berbau feodal. Aturan-aturan tradisi dan adat istiadat sub Melayu Pontianak yang selama ini berlaku tidak dianut atau diberlakukan secara ketat lagi. Masyarakat sub Melayu Pontianak yang tinggal di sekitar Komplek

(8)

8 Kraton Kadriyah Pontianak tidak menutup diri terhadap pengaruh dari luar serta perkembangan zaman, selama hal itu tidak bertentangan dengan tradisi dan budaya mereka.

Untuk dapat memahami pengertian di atas, diperlukan adanya studi yang mencermati lebih dalam tentang perubahan pola ruang pada rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak. Penulisan tesis ini dilakukan untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas dengan mengambil lokus penelitian di Kecamatan Pontianak Timur yang berada di sekitar Komplek Kraton Kadariyah Pontianak, Kalimantan Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu : rumah tradisional Melayu Pontianak tipe Potong Limas, tipe Potong Godang, dan tipe Potong Kawat di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat dengan segala pola ruang dan tata cara pembangunannya yang masih diwariskan dan dipertahankan sampai saat ini. Namun fenomena yang terjadi di masyarakat sub Melayu Pontianak yang tinggal di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak saat ini, yaitu masih terdapatnya sebagian masyarakat yang masih memegang teguh adat dan tradisi Melayu Pontianak serta yang berasal dari Kraton Kadriyah Pontianak. Namun di lain pihak ada pula sebagian masyarakat sub Melayu Pontianak yang mengalami perkembangan dan pergeseran paradigma pemikiran atau perubahan pola berpikir yaitu masyarakat di sana memandang sebuah rumah tinggal tidak lagi sebagai bentuk penghormatan dan kepatuhan kepada sultan, akan tetapi memandang rumah tinggal hanya sebagai simbol kemajuan zaman dan status sosial saja. Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap budaya masyarakat sub Melayu Pontianak yang terkait dengan aktivitas, fisik, pola ruang rumah tinggalnya pada saat ini sehingga ada bagian yang masih terus dipertahankan dan ada pula bagian yang mengalami perubahan.

Selain itu menjamurnya prasarana jalan (darat) dengan kendaraannya sebagai simbol kemajuan zaman (modern) sembari menutup parit-parit yang ada guna kelancaran transportasi darat dan penataan rumah tinggal di daerah perkampungan, terutama rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yang berada di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak yang tidak lagi mengacu pada garis sumbu imaginer serta semakin dimarginalisasikannya fungsi dan kesakralan dari air (sungai dan parit).

Sejak itu banyak sekali terjadi perubahan pada rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang, diantaranya organisasi

(9)

9 ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang yang sudah tidak mengikuti aturan yang berasal dari Kraton Kadriyah Pontianak serta dari adat dan istiadat sub Melayu Pontianak yang mereka anggap sesuatu yang hal kolot dan berbau feodal. Aturan-aturan tradisi dan adat istiadat Melayu Pontianak yang selama ini berlaku tidak dianut atau diberlakukan secara ketat lagi. Masyarakat Melayu sub Pontianak yang tinggal di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak tidak menutup diri terhadap pengaruh luar serta perkembangan zaman, selama hal itu tidak bertentangan dengan budaya mereka.

Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti perubahan pola ruang yang terjadi pada rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak yang dikaitkan dengan perkembangan kebudayaannya pada saat ini.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas maka dalam penulisan tesis ini dapat disusun menjadi beberapa pertanyaan penelitian (research questions) yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu :

a. Bagaimana perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat ?

b. Faktor-faktor apakah yang bisa berpengaruh terhadap perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat ?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Memberi gambaran mengenai perubahan pola ruang di rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat.

b. Menemukan faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat.

(10)

10 1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan tesis ini berupa relevansi terhadap studi arsitektur, agar menambah wawasan baru tentang pemahaman pola ruang dalam arsitektur dan memberikan sumbangan untuk memperkaya teori perubahan pola ruang pada rumah tinggal tradisional sebagai perwujudan dari proses bermukim atau merumah.

1.6 Keaslian Penelitian

Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan permasalahan perubahan rumah tinggal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya tersebut adalah pada substansi, lokus, dan fokus penelitian. Secara terperinci perbandingan penelitian ini dengan beberapa penelitian lain sebelumnya dibahas pada uraian berikut yaitu :

Sugini (1995), dengan judul “Tipomorfologi Perubahan Rumah pada Perumahan Minomartani Yogyakarta“, fokus menemukan tipologi dari morfologi perubahan pada rumah tipe D-15 pada rumah tinggal yang memiliki lokus di Perumahan Minomartani, RT.27/RW.06, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan mendapat kejelasan dari hal-hal yang terkait serta konstruksi kaitan yang ada dibalik perubahan tersebut. Perbedaan dengan penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak saja yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang, diantaranya organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang pada 3 (tiga) tipe rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yaitu : tipe Potong Limas, tipe Potong Godang, dan tipe Potong Kawat dengan bangunan arsitektur rumah tinggal yang unik dan khas yang mempunyai lokus di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak. Selain hal tersebut di atas, perbedaan penelitian juga terletak pada tujuan penelitian dan metode penelitian yang dipakai yaitu menghasilkan tipologi dalam arti kategorisasi dan klasifikasi dari perubahan dalam arti metamorforsa bentuk dan studi tentang konstruksi yang terjadi dibalik perubahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, sasaran tersebut tidak dicapai secara bertahap atau parsial, tetapi diperoleh dengan proses yang menyatu, berkait dan simultan, dan metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metoda fenomenologi-kualitatif. Sedangkan tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memberi gambaran mengenai perubahan pola ruang dan menemukan faktor-faktor apa saja yang bisa berpengaruh terhadap perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak. Untuk metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode rasionalistik-kualitatif.

(11)

11 Sueca (1997), dengan judul “Perubahan Pola Spasial dan Arsitektural Rumah Tinggal Tradisional di Desa Adat Kesiman, Denpasar“. Fokus menemukan perubahan pola spasial dan arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional Bali dalam konteks perubahan status desa menjadi kota, perkembangan kebudayaan industri pariwisata, iklim pembangunan secara simultan yang memiliki lokus di Desa Adat Kesiman, Denpasar; Bali. Dan berharap dapat menemukan gambaran ideografis tentang keragaman pola spasial dan arsitektural yang terjadi dan sejauh mana transformasi nilai-nilai lama terjadi pada tatanan spasial dan arsitektur pada rumah kontemporer saat ini. Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada lokus dan fokus penelitian, pada penelitian ini lokus berada di rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di Kecamatan Pontianak Timur yang terletak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat. Sedangkan fokus penelitian ini untuk mengkaji perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang, diantaranya organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang pada 3 (tiga) tipe rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yaitu : tipe Potong Limas, tipe Potong Godang, dan tipe Potong Kawat.

Betteng (1997), dengan judul “Perkembangan Sistem Spasial Rumah Adat (Tongkonan) di Toraja, Studi kasus : 5 desa yang terdapat rumah adat Tongkonan di Toraja”. Menekankan pada perkembangan spasial lingkungan yang mengalami perkembangan di bagian tepian yang mempunyai lokus di desa yang masih terdapat rumah adat Tongkonan. Sedangkan kondisi spasial pada ruang inti rumah adat Tongkonan terkait dengan ritus upacara masih tetap bertahan. Perkembangan spasial terkait dengan pola pikir, status sosial, dan pariwisata.

Perbedaan penelitian ini terletak pada fokus pembahasan, pembahasan lebih diarahkan memberi gambaran tentang kecenderungan perkembangan spasial lingkungan dan spasial rumah adat meliputi sistem peruangan terhadap fungsi, bentuk, dan susunan. Sedangkan penelitian ini difokuskan pada perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak saja yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang diantaranya organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang pada 3 (tiga) tipe rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yaitu : tipe Potong Limas, tipe Potong Godang, dan tipe Potong Kawat. Sedangkan lokus terletak di Kecamatan Pontianak Timur yang berada di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak, Kalimantan Barat .

Rengkung (2000), dengan judul “Keragaman Perubahan Denah Rumah Tinggal Pada Perumahan Karyawan Kantor Gubernur di Winangun, Manado, Sulawesi Utara“. Mempunyai

(12)

12 fokus penelitian untuk mengetahui bentuk perubahan denah rumah tinggal dalam kaitan dengan sosial ekonomi dan latar belakang budaya masyarakat pemukim Minahasa. Berawal dari rumah inti dalam pertumbuhan dan perkembangan rumah tinggal tipe 54 dan rumah tipe 70 yang ada pada perumahan karyawan kantor gubernur di Winangun, Manado. Hal ini dicapai melalui pengkajian ungkapan fisik dari rumah yang ada dan informasi aspek sosial ekonomi dan latar belakang budaya dari masyarakat pemukim yang ada saat ini (sedang berlangsung) yang dinilai sebagai faktor penyebabnya. Perbedaan penelitian ini terletak pada fokus pembahasan,

pembahasan lebih diarahkan pada perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak saja yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang, diantaranya organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang pada 3 (tiga) tipe rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yaitu : tipe Potong Limas, tipe Potong Godang, dan tipe Potong Kawat dengan bangunan arsitektur rumah tinggal yang unik dan khas yang mempunyai lokus di Kecamatan Pontianak Timur yang terletak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak.

Pamungkas (2005), dengan judul “Tipologi Perubahan Spasial Rumah Tinggal Pra Huni, Studi kasus : Perumahan Timoho Asri V, Yogyakarta”. Mempunyai fokus dan lokus penelitian untuk mengetahuigambaran mengenai tipologi perubahan desain spasial rumah tinggal 2 (dua) lantai tipe A,B,C,D dan rumah tinggal satu lantai tipe E,F di kawasan perumahan massal dengan tingkat status ekonomi-sosial menengah ke bawah yaitu di perumahan Timoho V Jalan Balerejo, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Gondokusuman, Kodya Yogyakarta yang terjadi pada saat sebelum dihuni (pra-huni). Didalam penelitiannya dijelaskan mengenai hubungan tipologi perubahan tersebut dihubungkan dengan alasan dan tujuan yang mendasari penggunaan ruang rumah tinggal. Pembahasan mengenai penggunaan ruang yang dimaksud adalah terkait dengan alasan dan tujuan perubahan rumah tinggal. Alasan perubahan spasial rumah tinggal terrkait dengan teori privasi dan kesesakan (crowding). Sementara tujuan perubahan spasial rumah tinggal terkait dengan teori teritori. Kemudian didalam penelitiannya, digambarkan mengenai pola dan bentuk perubahan spasial rumah tinggal dibandingkan terhadap rumah standar yang diajukan oleh pihak developer (pengembang) PT.Nuscon dan mencari faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perubahan tersebut. Sedangkan pada penelitian ini melihat perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak saja yang meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan ruang, diantaranya organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang pada 3 (tiga) tipe rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak yaitu : tipe Potong Limas, tipe Potong Godang, dan tipe Potong Kawat yang mempunyai lokus di Kecamatan

(13)

13 Pontianak Timur yang terletak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak. Penelitian ini dibatasi hanya mencermati sistem spasial (spatial system) rumah tinggal tradisional saja dan tidak mencermati mengenai sistem fisik (physical system), dan sistem model (stylistic system) rumah tinggalnya.

Berdasarkan penelusuran dari tema-tema penelitian terdahulu yang terdapat di tabel 1.1, peneliti belum menemukan hal yang sama mengenai tema, lokus serta fokus penelitian tentang perubahan pola ruang pada rumah tinggal tradisional. Penelitian kali ini lebih menitikberatkan pada substansi perubahan pola ruang rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak. Perubahan pola ruang yang terjadi pada rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak, khususnya yang berkaitan dengan sistem spatial (spatial system) diantaranya organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, dan hubungan ruang. Tidak mencermati mengenai mengenai sistem fisik (physical system) dan sistem model (stylistic system) pada rumah tinggal tradisionalnya.

Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Sejenis Yang Pernah Dilakukan

No. Nama

Peneliti

Tahun Judul

Penelitian

Fokus Lokus Metode

1. Sugini 1995 Tipomorfologi

Perubahan Rumah Pada Perumahan

Minomartani Yogyakarta.

Menemukan tipologi dari morfologi perubahan rumah tipe D -15 pada rumah tinggal di Perumahan Minomartani RT.27/RW.06, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman,Yogyakarta dan mendapat kejelasan dari hal-hal yang terkait serta konstruksi kaitan yang ada dibalik perubahan tersebut.

Perumahan Minomartani RT 27/RW06, Kecamatan Ngaglik,Kabupaten Sleman,Yogyakarta Metode : fenomenologi-kualitatif 2. Ngakan Putu Sueca 1997 Perubahan Pola Spasial Dan Arsitektural Rumah Tinggal Tradisional Di Desa Adat Kesiman, Denpasar

Mengkaji perubahan pola spasial dan arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional dalam konteks perubahan status desa menjadi kota, perkembangan kebudayaan industri pariwisata, iklim pembangunan secara simultan.

Desa Adat Kesiman, Denpasar Metode : induktif-kualitatif 3. Luther Betteng 1997 Perkembangan Sistem Spasial Rumah Adat (Tongkonan) Di Toraja. Studi Kasus

: 5 Desa Yang Terdapat Rumah Adat Tongkonan Di

Toraja.

Memberi gambaran tentang kecenderungan perkembangan spasial lingkungan dan spasial rumah adat meliputi sistem peruangan terhadap fungsi,bentuk dan susunan. 5 desa yang terdapat rumah adat Tongkonan di Toraja. Metode: rasionalistik-kualitatif 4. Joseph Rengkung 2000 Keragaman Perubahan Denah Rumah Tinggal Pada Perumahan Karyawan Kantor Gubernur Di Winangun,Manado,

Memberi gambaran mengenai tipologi perubahan desain spasial rumah tinggal yang terjadi pada saat sebelum dihuni (pra huni) dan penjelasan mengenai hubungan tipologi perubahan tersebut dihubungkan dengan alasan dan

Perumahan Karyawan Kantor Gubernur di Winangun, Manado,Sulut. Metode: rasionalistik-kualitatif

(14)

14

Sulut. tujuan yang mendasari

penggunaan ruangnya.

5. Luhur Sapto Pamungkas

2005 Tipologi Perubahan Spasial Rumah Tinggal Pra Huni

Studi kasus : Perumahan Timoho Asri V, Yogyakarta.

Memberi gambaran mengenai tipologi perubahan desain spasial rumah tinggal yang terjadi pada saat sebelum dihuni (pra huni) dan penjelasan mengenai hubungan tipologi perubahan tersebut dihubungkan dengan alasan dan

tujuan yang mendasari

penggunaan ruangnya. Perumahan Timoho Asri V, Yogyakarta Metode : induktif-kualitatif 6. Wahyudin Ciptadi 2014 Perubahan Pola Ruang Rumah Tinggal Tradisional Melayu Pontianak Disekitar Komplek Kraton Kadriyah, Kalimantan Barat.

Memberi gambaran mengenai perubahan pola ruang yang terjadi pada rumah tinggal tradisional MelayuPontianak,tidak mencermati mengenai sistem fisik (konstruksi) dan sistem style (model) rumah tinggalnya. Kemudian menemukan faktor–faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pola ruang pada rumah tinggal tradisional Melayu Pontianak di sekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak. Rumah Tinggal Tradisional Melayu Pontianak Yang Terletak Di Kecamatan Pontianak Timur, Disekitar Komplek Kraton Kadriyah Pontianak. Metode : rasionalistik-kualitatif

Gambar

Gambar 1.1 Keberadaan Kraton Kadriyah, Mesjid Jami’, Sungai Kapuas dan Rumah Tinggal Tradisional   Melayu  di Pontianak (Sumber : Digambar Ulang Anonim, 2002b; Dokumentasi
Gambar 1.2  Komplek Kraton Kadriyah Pontianak Dan Sekitarnya Dirancang Menggunakan  Konsep Kosmik  (Religius) Yang Terbentuk Dari Sumbu Imaginer Yang mengikat YangTerletak Dalam  Satu Garis Lurus

Referensi

Dokumen terkait

Sertifikat Akreditasi oleh Lembaga Akreditasi Nasional (KAN) Nomor : LVLK-006-IDN tanggal 18 Agustus 2011 yang diberikan kepada PT EQUALITY Indonesia sebagai Lembaga

Gambaran umum pendidikan tinggi disajikan pada Tabel 3 yang dirinci menurut variabel pendidikan, status lembaga, dan jenis lembaga.. Dengan demikian, jenis lembaga

Pembayaran ke (BPR) Unisritama hanya dapat dilakukan dengan cara membayar langsung secara tunai melalui Teller. BPR Unisritama terletak di lingkungan Universitas Islam

145 Pelaksanaa n bank sampah Sangat membawa manfaat bagi masyarakat Cermen untuk menjadikan sampah sebagai rupiah yang bernilai lebih  Beberapa masyarakat masih belum bisa

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

terapi musik instrumental 82% depresi ringan, 18% depresi berat, 2) setelah melakukan terapi musik instrumental 88% tidak depresi dan 12% depresi ringan, 3) hasil

Rasional Sitepu, M.Eng, selaku dekan Fakultas Teknik yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan kepada penulis untuk

Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan untuk mengumpulkan data dalam rangka memecahkan masalah atau menguji hipotesis.. Metode yang