• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. informasi, dan kultur dewasa ini berada dalam sebuah kondisi tarik-menarik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. informasi, dan kultur dewasa ini berada dalam sebuah kondisi tarik-menarik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya lokal di dalam era modernisasi dan globalisasi ekonomi, informasi, dan kultur dewasa ini berada dalam sebuah kondisi tarik-menarik dalam kegiatannya dengan berbagai tantangan dan pengaruh globalisasi, yang menghadapkannya pada pilihan-pilihan yang dilematis. Di satu pihak globalisasi dilihat oleh budaya lokal sebagai sebuah peluang bagi pengembangan potensi diri dan keunggulannya dalam sebuah medan persaingan global yang kompleks. Di pihak lain globalisasi dilihat pula sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan budaya lokal itu sendiri (Piliang, 2005)

Globalisasi yang bergerak sekarang ini sangat ditentukan oleh kekuatan yang mengendarainya, seperti kekuatan ekonomi, kekuatan budaya yang dominan, kekuatan nilai-nilai dan ideologi yang popular di dunia ini yang didapatkan baik melalui media informasi dan teknologi. Oleh sebab itu, untuk dapat bertahan di dalam terpaan globalisasi yang inhuman maka pribadi, kelompok atau bangsa tentu perlu mempunyai identitas sendiri (Har Tilaar, 2007: 1-2).

Berkaitan dengan globalisasi, Giddens (2003:37) mengatakan, bahwa globalisasi yang bergerak sekarang ini membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi budaya konsumerisme, ideologi agama yang di bawa

(2)

budaya globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru di dalam masyarakat.

Globalisasi juga telah menimbulkan pertentangan antara nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi juga merambah wilayah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologi dan krisis identitas di banyak kalangan masyarakat. Fenomena ini menarik untuk dikaji karena ditenggarai dibalik fenomena tersebut ada pertarungan kepentingan atau ideologi ekstrim yang terstruktur dengan rapi.

Kota Mataram tak lepas dari arus besar globalisasi tersebut, selain kecenderungan perubahan pola fikir masyarakat dari tipe masyarakat komunal (gemeinchaft) ke masyarakat agregatif (gesellslschaft). Kecenderungan pragmatisme dan individualisme masyarakat kota berdanpak pula pada pemahaman dan sikap mereka terhadap tradisi dan adat yang mereka warisi dari leluhur mereka dahulu. Salah satu warisan tradisi yang masih bertahan hingga saat ini di Kota Mataram tepatnya di kelurahan Rembige adalah ritual adat batetulak. Menurut masyarakat Rembige sejak zaman dahulu leluhur mereka sudah melaksanakan tradisi ritual ini, tradisi ini dipercaya dapat menghilangkan bala (marabahaya atau tulak) yang ada di Kelurahan Rembige.

(3)

Masyarakat kelurahan Rembige kecamatan Selaparang merupakan masyarakat Sasak yang leluhurnya berasal dari Lombok Timur. Dinamika sejarah masyarakat Sasak Lombok tak lepas dari pengaruh agama Islam sebagai bagian dari kehidupan keseharian mereka yang sebelumnya mereka juga bersentuhan dengan agama Hindu dan kepercayaan-kepercayaan lokal mereka. Dinamika perkembangan pemahaman keislaman mereka terkait erat dengan praktik kehidupan berbudaya mereka. Beragamnya pemahaman berislam mereka juga berdanpak pada pemahaman dan sikap mereka terhadap praktik berbudaya, salah satunya pada ritual adat batetulak.

Seperti dikemukakan oleh Nur Kholis Majid (1999: 34), bahwa perkembangan proses islamisasi di Indonesia menjadi empat tahab. Pertama, Islam sufi, penekanan pemahaman Islam sufi lebih kepada pesan perdamaian, cinta kasih antara manusia dengan manusia lain, hubungan harmonis dengan alam sebagai wujud sifat rahman dan rahim pencipta. Berislam dengan model ini dekat dengan budaya setempat bahkan terjadi harmonisasi dengan kebudayaan setempat seperti dipraktekkan oleh para wali songo. Kedua, Islam fiqh, generasi Islam pada era itu lebih menekankan pada aturan-aturan beragama sesuai dengan kaidah syariat Islam. Ada empat mazhab yang dominan saat itu yaitu mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali ditambah dengan Mazhab Ja’fari. Ketiga, Islam politik, pada saat itu nusantara dalam era pergerakan revolusi melawan penjajah Belanda, berislam juga tidak lepas dari aktivitas politik, para ulama dan santri Nusantara yang belajar di Timur Tengah tak lepas dari berbagai aktivitas politik yang terkait erat dengan pergerakan kemerdekaan di Nusantara. Keempat, Islam

(4)

intelektual, model berislam ini berkembang setelah Indonesia merdeka dimana para pelajar mengkaji Islam dari sudut pandang ilmiah.

Begitu juga dengan perkembangan Islam di daerah Lombok. Dinamika perkembangan pemikiran Islam di daerah ini menjadi lebih beragam, karena tidak hanya dipengaruhi oleh empat tahap yang ditulis Majid tetapi juga dipengaruhi oleh aliran wahabi yang ikut serta masuk pada abat ke-20. Idiologi Islam wahabi ini mengusung gagasan pemurnian dalam berislam (purifikasi). Idiologi ini banyak bertentangan dengan pemahaman berislam secara kultural yang sejak awal menjadi ciri umat Islam di Lombok. Ketika pemahaman berislam secara kultural ini menjadi bagian praktik hidup keseharian masyarakat, ritual adat batetulak hidup berdampingan dan seiring dengan penghayatan berislam mereka. Persoalannya menjadi berbeda ketika di Kota Mataram (di Kelurahan Rembige khususnya) ada kelompok baru yang memahami praktik berislam mereka seperti ideologi wahabi, adanya kelompok baru yang memahami Islam dengan ideologi purifikasi ini membawa danpak pada pandangan berbudaya mereka. Salah satu danpak tersebut adalah ketidak setujuan mereka terhadap pelaksanaan ritual batetulak. Bagi mereka pelaksanaan ritual ini bertentangan dengan nilai-nilai murni Islam.

Dari informasi Mamik Aziz, salah satu tokoh masyarakat Rembige sejak dahulu pelaksanaan ritual batetulak berjalan sesuai apa yang dipercaya oleh masyarakat secara umum yakni dipercaya mampu menolak bala. Ritual ini diwarisi dari ulama pembawa Islam pertama ke tanah Lombok, warisan itu bukan hanya berbentuk ritual saja pada setiap bulan muharram tapi juga berbentuk

(5)

berbagai peninggalan para ulama pembawa Islam pertama di Lombok yang berupa Al-Qur’an, berbagai macam keris, tombak, kelewang dan lain-lain yang mereka simpan di sebuah rumah khusus yang mereka namakan gedeng. Benda-benda ini dikeramatkan dan hanya bisa dikeluarkan selama ritual berlangsung. Dari awal dilaksanakan ( abad ke-16) belum pernah terjadi penentangan terhadap pelaksanaan ritual ini, masyarakat menerima bentuk ritual ini sebagai warisan dari leluhur mereka yang perlu untuk terus dilestarikan.

Adanya pro dan kontra terkait pelaksanaan ritual ini melahirkan sebuah diskursus (wacana). Menurut Ricoeur (dalam Kuta Ratna, 2013: 529) wacana adalah peristiwa bahasa. Bahasa adalah “house of being” atau “rumah ada”. Maksudnya, bahasa adalah jalan bagi kita untuk menjelaskan dan memahami realitas dan tidak ada jalan lain. Bahasa berkaitan dengan subjek tertentu tetapi wacana dengan intersubjektif sebab wacana selalu ditujukan pada subjek lain, merupakan pesan dengan ciri arbitrer dan kontingental, bergantung pada sesuatu. Terkait dengan wacana seperti dijelaskan di atas, Di Rembige pelaksanaan acara ritual adat batetulak menjadi wacana hangat di masyarakat, di satu sisi ada sebagian besar kelompok masyarakat yang mewacanakan bahwa ritual ini perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya sebagai warisan budaya dari leluhur mereka dahulu, disisi lain terdapat sebagaian kecil kelompok masyarakat yang mewacanakan ritual ini bertentangan dengan nilai-nilai murni dalam Islam sehingga mereka menganggabnya bid’ah.

Dalam konteks wacana, menurut Foucault wacana adalah salah satu cara bagi kita untuk memahami realitas (dunia). Karena wacana merupakan jalan bagi

(6)

kita untuk mengetahui dan menjelaskan realitas, maka wacana merupakan satu faktor penting yang membentuk kita (kuasa wacana). Wacana merupakan cara berfikir, cara mengetahui dan menyatakan sesuatu. Karena ada beragam cara berfikir, cara menyatakan sesuatu, maka wacana tidak tunggal tapi beragam (plural atau multivokal). Lagi pula menurut Foucault ada berbagai perspektif, kepentingan dan kuasa yang berbeda dalam membentuk wacana. (Lubis, 2014: 83). Adanya beragamnya wacana terkait ritual adat batetulak di Rembige menunjukkan beragamnya cara berfikir, cara mengetahui dan menyatakan sesuatu pada masyarakat Rembige saat ini, hal itu bisa dijadikan sarana untuk memahami kondisi dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Sasak khususnya di daerah Rembige.

Walaupun ada sebagian kecil kelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan adanya pelaksanaan ritual ini, ritual batetulak terus berlangsung hingga saat ini, bahkan pemerintah Kota Mataram turut serta dalam acara ritual ini. Keterlibatan pemerintah Kota bukan hanya pada masalah pendanaan saja tapi juga keterlibatan aparat keamanan dalam menjaga ketertiban selama ritual berlangsung, aparat desa dan aparat kecamatan juga ikut hadir dan di acara puncaknya dihadiri oleh walikota. Harusnya dengan terlibatnya pemerintah di acara ritual ini pro dan kontra tentang pelaksanaan ritual ini tidak ada tapi dalam kenyataannya pro kontra itu tetap terjadi. Hal ini terkait dengan pemahaman keagamaan yang beragam.

Adanya para dai (ustad) dan mahasiswa lulusan Timur Tengah dengan beragam pemahaman keagamaan mereka juga melahirkan penafsiran tersendiri terhadap ritual ini. Mereka yang pemikirannya bercorak paham wahabi umumnya

(7)

membid’ahkan ritual batetulak karena dianggab tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Disamping itu kecenderungan tokoh masyarakat melibatkan pemerintah dalam pelaksanaan ritual ini juga terkait dengan ikut campurnya pemerintah dalam pelaksanaan ritual ini. Situsi ini menarik jika dikaitkan dengan relasi kuasa dan pengetahuan, dimana pengetahuan tak pernah netral. Adanya perbedaan atau keragaman tafsir terhadap ritual ini seiring dengan laju globalisasi pada masyarakat Rembige dan Mataram pada umumnya melahirkan sebuah diskursus yang menarik untuk diperbincangkan dan di teliti lebih jauh.

Adanya diskursus ini mempengaruhi keberlangsungan dan eksistensi ritual batetulak, bagi masyarakat Rembige ritual batetulak sudah menjadi bagian praktik kehidupan berbudaya mereka. Saat ritual berlangsung tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi dalam ritual ini, mulai orang tua hingga anak-anak, laki-laki dan perempuan. Ritual ini berlangsung selama tiga hari, proses ritual dimulai dari pembacaan hikayat-hikayat (bakayat) sebelum jam 24.00 WITA, para pembaca hikayat duduk di brugak khas Sasak, mereka dikelilingi oleh para pendengar yang sebagian besar adalah generasi muda. Bakayat adalah tradisi sastra masyarakat Sasak di Lombok yang berupa pembacaan hikayat dengan cara menembangkan yang disertai terjemahan dan penafsiran dalam bahasa Sasak secara bergantian oleh penembang (pemace) dan tukang cerita (bujangge). Tradisi apresiasi sastra semacam ini di kalangan etnik Sasak memiliki sejarah yang panjang. Data yang ada menunjukkan bahwa tradisi ini dimulai akhir abad ke-16 atau awal ke-17 dan masih berlanjut sampai sekarang ( Jamaluddin, 2011: 63-88 dalam Suyasa. 2015: 1102 ). Kitab Sastra Melayu Islam yang dibaca saat bakayat

(8)

diperlakukan sebagai karya sastra dakwah yang agung, yang disejajarkan dengan karya-karya sastra Jawa Islam yang datang lebih awal. Berbagai kitab sastra Melayu beredar di masyarakat yang dibawah oleh para pedagang yang singgah dan berdagang di Lombok, dan kemudian kitab ini dijadikan bacaan dalam berbagai kegiatan adat keagamaan. Tradisi ini kemudian berlanjut, dalam perjalanannya menyesuaikan dengan dinamika budaya lokal yang lebih awal. Beberapa karya sastra Melayu Islam disajikan dalam bentuk pertunjukan sebagaimana dalam sastra Sasak tradisional pengaruh Jawa. Bentuk penyajian ini dikenal dengan bakayat, nyaer, ngaji kayat, dan ngayat. Bakayat merupakan praktik budaya lokal Sasak yang didasarkan pada sastra Melayu Islam.

Acara puncak dari rangkaian ritual ini tepat jam 00.00 dini hari dimana benda-benda pusaka itu diarak mengeliling kampung hingga dua kali putaran. Para pengarak terdiri dari para tokoh masyarakat diikuti oleh anggota masyarakat yang lain baik laki-laki maupun perempuan dari yang tua hingga generasi muda dan ada juga anak-anak. Tradisi ritual ini perlu dilestarikan keberadaannya sebagai identitas budaya masyarakat bangsa khususnya masyarakat Sasak Rembige dan sebagai khasanah tradisi lisan nusantara secara umum.

Untuk menggali dan mengembangkan khasanah budaya nusantara, pengkajian tradisi lisan amat penting karena tradisi lisan dapat menjadi wahana dalam memahami jati diri bangsa sekaligus sebagai wahana dalam proses pewarisan budaya antar generasi. Sampai zaman komputerisasi digital yang serba canggih dewasa ini, kedudukan tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat nusantara pada umumnya masih penting. Hal ini karena bangsa Indonesia lebih

(9)

mengenal budaya lisan sebelum mengenal budaya tulis. Tradisi lisan yang ada dalam kehidupan masyarakat nusantara antara lain adalah berupa narasi, legenda, anekdot, wayang, pantun, dan syair. Dalam cakupan lebih luas, tradisi lisan juga berupa pembacaan sastra, visualisasi sastra dengan tari dan gerakan, termasuk pameran. Dia berkaitan dengan sistem kognitif masyarakat, seperti adat istiadat, sejarah, etika, sistem genealogi, dan sistem pengetahuan (Sularto, 2011).

Ritual adat batetulak merupakan salah satu warisan tradisi lisan Sasak yang masih lestari hingga saat ini (di era globalisasi). Ritual ini dilaksanakan secara masal oleh masyarakat Rembige, mereka percaya bahwa dengan dilaksanakannya ritual ini kampung mereka akan selamat dari berbagai macam bencana. Tulak berarti kembali yang artinya harapan atau semacam do’a dari semua penduduk Rembige, sebelum bencana itu datang, kampung mereka telah selamat dari segala hal yang berbau bencana.

Dimasa lalu kampung Rembige pernah mengalami bencana wabah kolera masal, banyak anggota masyarakat meninggal dunia akibat wabah ini begitu juga saat era kolonial (Belanda dan Jepang) kampung mereka berdasarkan keterangan dari para tokoh seringkali terhindar dari kejamnya penguasa kolonial. Keselamatan peristiwa historis ini sering dikaitkan dengan ritual batetulak. Pada saat pelaksanaan ritual kisah-kisah historis ini dibangkitkan kembali untuk mengenang dan memaknai kembali spirit mereka melakukan ritual khususnya buat generasi muda. Bagi mereka keselamatan bukan hanya berhubungan dengan sesuatu yang tanpak saja (kesehatan fisik, kerukunan antar tetangga, kebersihan lingkungan) tapi juga ada kaitan erat dengan yang tidak tanpak yakni penguasa

(10)

semesta yang terkait erat dengan sistem kosmologi mereka yaitu hablumminallah dan hablumminannas (relasi manusia dengan Tuhan dan relasi manusia dengan sesama manusia serta lingkungan). Dari penjelasan di atas, terdapat diskursus pada masyarakat Rembige beserta tokoh adat sebagai pemilik tradisi, agamawan (tuan guru), pemerintah Kota Mataram dan para budayawan mempunyai pandangan tersendiri tentang tradisi ritual adat batetulak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk diskursus yang berkembang saat ini terkait ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige di Kota Mataram?

2. Mengapa terjadi diskursus ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige Kota Mataram?

3. Implikasi apa yang terkandung dalam diskursus ritual adat batetulak pada masyarakat Kelurahan Rembige Kota Mataram?

4. Bagaimana strategi pewarisan ritual adat batetulak pada masyarakat Kelurahan Rembige saat ini?

(11)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan mengkaji, memahami dan mendeskripsikan tentang diskursus tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Sasak Rembige di Kota Mataram.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini mempunyai tujuan untuk menjawab masalah yang diajukan dalam permasalahan penelitian. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1). Untuk mengetahui bentuk diskursus terkait tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige Kota Mataram.

2). Untuk memahami lebih jauh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya diskursus (wacana) tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige. 3). Untuk menganalisis implikasi diskursus ritual adat batetulak pada masyarakat

Rembige Kota Mataram.

4). Untuk menjelaskan strategi pewarisan ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige.

(12)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoretis atau Akademis

Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan dapat:

1). Memberikan kontribusi terhadap pemahaman teoretis yang menyangkut diskursus tradisi budaya suatu masyarakat.

2). Memberikan kontribusi terhadap pengembangan keilmuan, khususnya kajian tradisi lisan suatu masyarakat yang belum banyak diminati masyarakat Indonesia.

3). Untuk memperkuat kajian diskursus dalam prespektif kajian budaya.

4). Menambah referensi tentang kajian ritual adat khususnya ritual adat batetulak pada masyarakat Sasak Rembige Kota Mataram.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1) Pemerintah dalam pelestarian tradisi lisan yang tetap dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya.

2) Pendokumentasian budaya khususnya tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige.

3) Peneliti lain terutama sebagai acuan, dan informasi bagi peneliti yang memiliki perhatian dan ketertarikan terhadap tradisi lisan nusantara.

4) Masukan kepada masyarakat Rembige tentang tradisi ritual adat mereka bila dikaji dari sudut pandang kajian budaya.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam penciptaan film pendek bergenre thriller menggunakan teknik canted angle tentang psikopat berjudul HATE ini metode yang akan digunakan yaitu metode kualitatif yang mana

Untuk aplikasi LNA radar ADS-B, maka pada penelitian ini diusulkan penggunaan FET-NE3210S01 secara dual-stage cascade untuk memperoleh gain dan kestabilan yang

Ketika mendengar kata multimedia, kita pasti akan membayangkan sesuatu yang dahsyat dan hebat, sesuatu yang berkaitan dengan komputer, dengan gambar diam atau

Dengan demikian, secara total bank akan menerima 19% dari nasabah dan subsidi atau sama dengan tahun lalu, sementara untuk KUR ritel akan turun sedikit menjadi 13,5%.

Penelitian yang memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian ini adalah penelitian kolaborasi yang dilakukan oleh Setyaningrum Rahmawaty dan Ucik Witasari

Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 15. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan

Pada kelopak mata atas dan bawah kiri, empat sentimeter dari garis pertengahan depan, dua koma lima sentimeter dibawah batas tumbuh alis terdapat memar berwarna memar