62
BIMBINGAN DAN KONSELING BERBASIS PERKEMBANGAN
BAGI ANAK DISLEKSIA
Arum Setiowati
BK-FKIP-Universitas PGRI Yogyakarta
Abstrak
Bimbingan dan Konseling Perkembangan adalah layanan bimbingan dan konseling yang dirancang dengan memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan atau kelemahan, minat, dan isue-isue yang berkaitan dengan tahapan perkembangan siswa dan merupakan bagian penting dan integral dari keseluruhan program pendidikan. Konselor sebagai pendidik profesional memberikan pelayanan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Salah satu masalah dalam perkembangan siswa sekolah dasar adalah disleksia. Disleksia adalah sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar. Komponen program bimbingan dan konseling perkembangan bagi anak disleksia adalah pelayanan dasar, pelayanan responsif, pelayanan individual dan dukungan sistem.
Kata Kunci: bimbingan dan konseling perkembangan, disleksia
I. PENDAHULUAN
Sepanjang perjalanan kehidupan individu akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan individu akan mencapai hasil yang optimal ketika dilaksanakan dengan berbagai stimulasi yang maksimal dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksud antara lain lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan tentu saja lingkungan sekolah. Sekolah merupakan faktor penentu bagi keberhasilan perkembangan kepribadian individu terkait predikatnya sebagai
peserta didik. Kepribadian disini mencakup berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Dalam praktiknya sekolah ikut berperan sebagai pengganti keluarga dan guru berperan sebagai pengganti orangtua.
Lingkungan sekolah merupakan salah satu lingkungan yang banyak memberikan pengaruh besar kepada individu ketika melewati masa pertumbuhan dan perkembangan. Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan formal berkewajiban memberikan suasana belajar yang baik
63
bagi peserta didik. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, ke-pribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan amanah undang undang maka sekolah berkewajiban melaksana-kan proses pendidimelaksana-kan yang terbaik bagi setiap peserta didik. Kenyataan yang dijumpai adalah setiap peserta didik memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain. Keanekaragaman karakter peserta didik dapat menimbulkan gangguan dalam pembelajaran ketika tidak mendapat perhatian dan tindakan yang tepat. Pendidik sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran di sekolah adalah pihak yang akan bersingunggan langsung dengan peserta didik. Salah satu tenaga kependidikan adalah guru bimbingan dan konseling atau disebut konselor sekolah. Pe-mahaman yang benar dan mendalam tentang karakteristik setiap peserta didik adalah hal mutlak yang harus dimiliki
oleh guru bimbingan dan konseling, agar dapat mengoptimalkan potensi peserta didik dalam berbagai bidang yakni bidang pribadi, bidang sosial, bidang akademik atau belajar, dan bidang karir.
Pemerintah mulai membuka ke-bijakan untuk mengoptimalkan per-kembangan peserta didik dari tingkat sekolah dasar dengan memfasilitasi seorang konselor sekolah. Peraturan pemerintah No 17 tahun 2010 pada Pasal 171 ayat 2 c menyebutkan bahwa konselor sebagai pendidik profesional memberikan pelayanan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Melalui peraturan tersebut jelas bahwa bidang garapan konselor pendidikan adalah peserta didik dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Secara umum pendidikan akan berlangsung dengan maksimal ketika tidak dijumpai berbagai kendala dalam pelaksaannya, sehingga baik pendidik maupun peserta didik dapat melaksana-kan aktivitas belajar mengajar dengan lancar. Menurut Santrock (2008: 230) mengungkapkan bahwa kegiatan pem-belajaran paling umum melibatkan tiga area akademik yakni pelajaran mem-baca, bahasa melalui tulisan dan matematika. Faktanya dilapangan dapat
64
dijumpai sejumlah siswa yang meng-alami kendala terkait tiga area akademik tersebut. Salah satu kendala yang terjadi adalah gangguan belajar pada aktivitas membaca, terutama keterampilan fonologis anak dalam memahami bagaimana suara dan huruf mampu membentuk sebuah kata. Gangguan anak dalam kemampuan untuk membaca dan mengeja dikenal dengan istilah disleksia. Disleksia atau dyslexia merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara. Secara harfiah disleksia berarti kesulitan yang ber-hubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Disleksia disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubung-kan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis. Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa.
Peran guru di sekolah termasuk guru bimbingan dan konseling menjadi salah satu faktor penentu karena guru akan memiliki kompetensi dan waktu yang
sangat cukup untuk berinteraksi dengan siswa dalam mengembangkan ke-mampuan membaca yang dimiliki oleh siswa. Anak-anak disleksia membutuh-kan seorang guru yang mengerti bagaimana frustasi anak-anak yang tidak mampu melakukan apa yang murid-murid lain lakukan dengan mudah yaitu membaca dan melafalkan huruf. Mereka membutuhkan guru yang memahami bahwa kesulitan ini adalah karena perbedaan otak, bukan karena kemalas-an, kurangnya kecerdaskemalas-an, ataupun kurangnya motivasi.
Konsep bimbingan dan konseling berbasis perkembangan melihat masalah disleksia sebagai salah satu fakta yang dapat menimpa peserta didik ketika melewati tahap perkembangan terutama tahap perkembangan usia sekolah dasar. Anak dengan disleksia memerlukan guru yang mampu memahami dan bersedia untuk belajar bagaimana mengajar semua kelemahan mereka. Mereka juga membutuhkan guru yang tahu bahwa mereka menderita kecemasan. Siswa ini takut bahwa guru mereka akan membuat mereka terlihat bodoh di depan teman-teman mereka.
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Bimbingan dan Konseling Ber-basis Perkembangan
Bimbingan dan konseling bertujuan membantu peserta didik agar memiliki
65
kompetensi mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin atau me-wujudkan nilai-nilai dalam tugas per-kembangan yang harus dikuasai seoptimal mungkin.
Bimbingan dan Konseling Perkem-bangan adalah layanan bimbingan dan konseling yang dirancang dengan memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan atau kelemahan, minat, dan isue-isue yang berkaitan dengan tahapan perkembangan siswa dan merupakan bagian penting dan integral dari keseluruhan program pendidikan. Tujuan Bimbingan dan Konseling Perkembangan :
1. Membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal sesuai de-ngan nilai-nilai Pancasila, kemam-puan, bakat, minat, dan cita-citanya. 2. Mengenal lingkungan dirinya yang
meliputi lingkungan pendidikan, pekerjaan, sosial kemasyarakatan, dan alam.
3. Membuat keputusan dan pilihan secara realistis.
4. Merumuskan rencana pribadinya yang berkaitan dengan rencana pen-didikan, karir, dan rencana kehidup-an lainnya
5. Mewujudkan potensi dan mengem-bangkan minat dan cita-citanya. 6. Membantu individu agar dapat
men-capai tugas-tugas perkembangannya
yang meliputi aspek pribadi-sosial, akademik, dan karir.
Konsep bimbingan dan konseling perkembangan berdasarkan ketercapaian tugas perkembangan individu pada setiap jenjangnya. Tugas-tugas per-kembangan merupakan serangkaian tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang waktu kehidupan manusia. Apabila berhasil maka akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas perkembang-an berikutnya. Apabila gagal akperkembang-an me-nyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbul-kan penolamenimbul-kan masyarakat, dan kesulitan dalam menuntaskan tugas belajar se-lanjutnya. (Havighurst, 1961).
Tugas-tugas perkembangan bagi setiap fase perkembangan dalam rentang kehidupan individu dapat diuraikan sebagai berikut:
1 Tugas perkembangan usia bayi dan kanak-kanak (0,0 – 6,0 tahun) a. Belajar berjalan
b. Belajar memakan makanan padat
c. Belajar berbicara
d. Belajar buang air kecil dan buang air besar (toilettraining) e. Belajar mengenal perbedaan
jenis kelamin
f. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis
66
g. Belajar memahami konsep-konsep sederhanan tentang kehidupan sosial dan alam h. Belajar melakukan hubungan
emosional dengan orangtua, saudara, dan orang lain
i. Belajar mengenal konsep baik dan buruk (mengembangkan kata hati)
j. Mengenal konsep, norma atau ajaran agama secara sederhana. 2 Tugas perkembangan usia sekolah
dasar (7,0 – 12 tahun)
a. Belajar memperoleh keterampil-an fisik untuk melakukan permainan
b. Belajar membentuk sikap positif, yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis (dapat merawat ke-bersihan dan kesehatan diri) c. Belajar bergaul dengan teman
sebaya
d. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya e. Belajar keterampilan dasar
dalam membaca, menulis, dan berhitung
f. Belajar mengembangkan konsep (agama, ilmu pengetahuan, adat istiadat) sehari-hari
g. Belajar mengembangkan kata hati (pemahaman tentang benar-salah, baik-buruk)
h. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi (bersikap mandiri)
i. Belajar mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan social
j. Mengenal dan mengamalkan ajaran agama sehari-sehari. 3 Tugas perkembangan usia remaja
(13 – 19 tahun)
a. Menerima fisiknya sendiri ber-ikut keragaman kualitasnya b. Mencapai kemnadirian
emosio-nal dari orang tua atau figur yang mempunyai otoritas (mengembangkan sikap respek terhadap orangtua dan orang lain tanpa tergantung kepadanya) c. Mengembangkan keterampilan
komunikasi interpersonal
d. Mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar
e. Menemukan manusia model yang dijadikan pusat identi-fikasinya
f. Menerima diri sendiri dan me-miliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri
g. Memperoleh self-control
(kemampuan mengendalikan sendiri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup
67
h. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap dan perilaku) yang kekanak-kanakan i. Bertingkah laku yang
ber-tanggung jawab secara social j. Mengembangkan keterampilan
intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga Negara
k. Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan)
l. Memiliki sikap positif terhadap pernikahan dan hidup ber-keluarga
m. Mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
4 Tugas perkembangan usia dewasa awal (20 – 40 tahun)
a. Mengembangkan sikap, wawas-an, dan pengalaman nilai-nilai (ajaran) agama
b. Memperoleh atau mulai me-masuki pekerjaan
c. Memilih pasangan hidup
d. Mulai memasuki pernikahan dan hidup berkeluarga
e. Mengasuh, merawat dan men-didik anak
f. Mengelola hidup rumah tangga g. Memperoleh kemampuan dan
kemantapan karir
h. Mengambil tanggung jawab atau peran sebagai warga masyarakat
i. Mencari kelompok sosial (kolega) yang menyenangkan. 5 Tugas perkembangan usia dewasa
akhir (40 – 60 tahun)
a. Memantapkan pemahaman dan pengalaman nilai-nilai agama b. Mencapai tanggung jawab sosial
warga Negara
c. Membantu anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia
d. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-peubahan yang terjadi pada aspek fisik (penurunan kemampuan dan fungsi)
e. Memantapkan keharmonisan hidup berkeluarga
f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir
g. Memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa, baik di lingkungan kerja maupun masyarakat.
6 Tugas perkembangan usia dewasa tua (lansia 60 tahun – mati)
a. Lebih memantapkan diri dalam mengamalkan ajaran agama b. Mampu menyesuaikan diri
dengan menurunnya kemampu-an dkemampu-an kesehatkemampu-an fisik
68
c. Dapat menyesuaika diri dengan masa pension (jika pegawai negeri) dan berkurangnya
“in-come”, penghasilan keluarga
d. Dapat menyesuaikan diri dengan kematian pasangan
e. Membentuk hubungan dengan orang lian yang seusia
f. Memantapkan hubungan yang lebih harmonis dengan anggota keluarga (isteri, anak, menantu, cucu, dan saudara).
B. Ketidakmampuan Belajar Disleksia
Pemahaman yang menyeluruh tentang ketidakmampuan belajar akan didapatkan oleh pembaca ketika kita memulai dari hal yang bersifat umum terlebih dahulu. Dalam proses pem-belajaran prestasi belajar yang memuas-kan dapat diraih oleh setiap anak didik jika mereka dapat belajar dengan wajar terhindar dari berbagai ancaman ham-batan dan gangguan. Namun sayangnya ancaman hambatan dan gangguan di-alami oleh anak didik tertentu. Sehingga mereka mengalami kesulitan dalam be-lajar. Pada tingkat tertentu memang ada yang anak didik yang dapat mengatasi kesulitan belajarnya, maka bantuan guru atau orang lain sangat diperlukan oleh anak didik (Djamarah, 2002 : 199).
Pengertian tentang kesulitan belajar yakni suatu kondisi dimana siswa tidak
dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan ataupun gangguan dalam belajar (Djamarah, 2002:201). Kondisi siswa yang meng-alami kesulitan belajar ditandai ketika siswa mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan. Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat
permanen dan berpotensi menghambat
berbagai tahap belajar siswa.
Kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah, seperti: Learning
Disorder (ketergantungan belajar),
adalah keadaan di mana proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang bertentangan. Learning
Disability (ketidakmampuan belajar),
adalah ketidakmampuan seorang siswa dalam belajar, Learning Disfunction (ketidakberfungsian belajar), adalah gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anak-anak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di
69
atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam proses belajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial intelektual yang sama. Berdasar paparan tersebut, salah satu kondisi yang dapat dialami siswa terkait kesulitan belajar adalah
learning disability atau ketidakmampuan
belajar.
Istilah ketidakmampuan adalah
ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di mana siswa
tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya. Kita sering mendengar dua istilah yang berkaitan yakni ketidakmampuan dan kecacatan. Dahulu istilah ketidak-mampuan dan cacat dapat digunakan dalam situasi dan kondisi yang sama. Pada perkembangannya kedua istilah tersebut mengalami perbedaan makna. Ketidakmampuan atau disability adalah keterbatasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Cacat atau
handicap adalah kondisi yang diberikan
kepada seseorang yang menderita ketidakmampuan (Lewis dalam Santrock, 2008: 220).
Berdasarkan definisinya, anak yang mengalami ketidakmampuan belajar
atau dikenal juga dengan istilah gangguan belajar adalah sebagai berikut (Santrock, 2008: 229).
1 Mempunyai kecerdasan yang normal atau diatas normal
2 Kesulitan pada satu atau biasanya beberapa mata pelajaran
3 Tidak memiliki maalah atau gang-guan lain, misalnya retardasi mental yang menyebabkan kesulitan yang ia alami itu.
Beberapa konsep umum ketidak-mampuan belajar yang dialami oleh anak dalam hal ini sebagai peserta didik adalah masalah kemampuan men-dengar, berkonsentrasi, berbicara, berpikir, memori, membaca menulis dan mengeja. Salah satu jenis ketidak-mampuan dalam belajar yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ketidakmampuan anak untuk membaca dan menulis yang sering disebut dengan istilah disleksia.
Bryan & Bryan (dalam Abdur-rahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa. Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu ke-biasaan membaca, kekeliruan mengenal
70
kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka, (Mercer, 1983) dalam Abdurrahman (1999).
1 Dalam kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajar membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampak-kan ketegangannya seperti menger-nyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru.Pada saat mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada baris yang terlompat tidak terbaca.
2 Dalam kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisip-an, penggantipenyisip-an, pembalikpenyisip-an, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca.
3 Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca.
4 Gejala serba aneka tampak seperti membaca kata demi kata, membaca
dengan penuh ketegangan, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat.
III. PEMBAHASAN
Bimbingan dan Konseling Kompre-hensif - Perkembangan berangkat dari gagasan Myrick (1993:25) yang menyatakan ” developmental guidance and counseling assumes that human nature moves individuals sequentially and positively toward self-enhancement. It recognizes there is a force within each of us that make us believe that we are special and there is no body like us. It also assumes that our individual potentials are valuable assets to society and the future of humanity.
Program bimbingan dan konseling komprehensif perkembangan disusun untuk memfasilitasi seluruh aspek perkembangan siswa. Gysbers & Handerson (Moore – Thomas, 2004 : 257) mengemukakan bahwa program bimbingan dan konseling perkembangan disajikan secara reguler dan sistematis sehingga memungkinkan siswa untuk memiliki kompetensi yang sesuai dengan tahap pertumbuhan dan per-kembangannya.
Bimbingan dan konseling berbasis perkembangan memberikan ruang pada guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah untuk memfokuskan perhatiannya tidak sekedar pada
71
gangguan emosional siswa, melainkan lebih mengupayakan pencapaian tujuan dalam kaitannya dengan tugas-tugas perkembangan siswa, menjembatani tugas-tugas perkembangan yang muncul pada saat tertentu, dan meningkatkan sumber daya serta kompetensi konselor dalam memberikan bantuan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan siswa secara optimal.
Secara umum perkembangan anak di Indonesia akan mulai memasuki usia sekolah dasar pada rentang usia kronologis yakni 7 – 12 tahun. Menurut Havighurst salah tugas perkembangan yang diemban individu pada usia 7- 12 tahun atau masa anak-anak akhir yakni anak mampu untuk belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung. Mayoritas anak akan menghabiskan banyak waktu di sekolah untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Aktivitas belajar akan sering menggunakan kemampuan seorang individu dalam tiga kegiatan dasar yakni membaca menulis dan berhitung. Kegiatan tersebut menjadi modal awal untuk keberlangsungan proses belajar individu pada tingkatan selanjutnya. Gangguan yang terjadi pada ketiga kegiatan dasar dalam belajar tersebut akan memberikan hambatan bagi individu untuk sukses melaksanakan tugas perkembangan selanjutnya.
Individu diharapkan mampu melewati setiap tahap perkembangan dengan baik dan optimal, sehingga dapat naik ke tahap perkembangan selanjut-nya. Berdasarkan kubus perkembangan dipaparkan bahwa Aspek perkembangan kematangan intelektual pada tingkatan sekolah dasar yakni mengenai konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan dan perilaku belajar, menyenangi berbagai aktivitas perilaku belajar, dan melibat-kan diri dalam berbagai aktivitas perilaku belajar.
Faktanya tidak semua anak usia sekolah dasar mampu menjalankan tugas membaca menulis dan berhitung dengan mudah. Sebagian anak mengalami gangguan serius dalam ketiga aktivitas dasar belajar. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mem-punyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antara-nya puantara-nya anggota keluarga yang kidal.
Anak yang menderita ketidak-mampuan belajar disleksia sering mengalami kesulitan ketika melakukan kegiatan menulis dengan tangan, mengeja, serta menyusun kalimat. Mereka terkadang menulis dengan sangat lamban, tulisan tangan mereka terlihat tidak beraturan susah dibaca dan
72
banyak terdapat kesalahan ejaan karena ketidakmampuan mereka untuk menyesuaikan huruf dan bunyinya. Gangguan dalam membaca tentu saja sangat berpengaruh bagi keberlanjutan perkembangan hidup anak karena
kemampuan membaca merupakan kemampuan yang sangat mendasar dan paling dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan terutama dalam bidang akademik peserta didik. Kesulitan mem-baca pada anak penderita disleksia tentu saja akan berpengaruh pada kemampu-annya memahami mata pelajaran yang lain. Dalam pelajaran matematika, misalnya, anak akan kesulitan memahami simbol-simbol. Karena anak yang mengalami disleksia, akan ber-pengaruh ke seluruh aspek kehidupan-nya. Komunikasi anak dengan disleksia kadang-kadang berbicara pun maksud mereka sulit dipahami. Besar kemung-kinan anak dengan disleksia akan mengalami hambatan dalam segala bidang perkembangannya.
Layanan bimbingan dan konseling diperlukan oleh seluruh siswa, termasuk di dalamnya siswa yang mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini mempengaruhi banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas
sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa individu yang mengalami kesulitan ini berpengaruh pada kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan bahwa gangguan ini menghambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan mereka.
Seluruh siswa ingin memperoleh pe-mahaman diri, meningkatkan tanggung jawab terhadap kontrol diri, memiliki kematangan dalam memahami lingkung-an, dan belajar membuat keputusan. Setiap siswa memerlukan bantuan dalam mempelajari cara pemecahan masalah, dan memiliki kematangan dalam memahami nilai-nilai. Siswa berharap disayangi dan dihargai oleh pendidik, siswa memiliki kebutuhan untuk belajar memahami kekuatan dan kelemahan pada dirinya. Termasuk didalamnya anak yang mengalami ketidakmampuan atau gangguan belajar disleksia. Bagi beberapa pihak masih ada anggapan bahwa siswa dengan disleksia adalah siswa yang bermasalah. Padahal jika kita lihat anak dari ciri-ciri anak disleksia yakni (Santrock, 2008: 229) Mempunyai kecerdasan yang normal atau diatas normal, Kesulitan pada satu atau biasa-nya beberapa mata pelajara, Tidak
73
memiliki masalah atau gangguan lain, misalnya retardasi mental yang menyebabkan kesulitan yang ia alami itu. Melalui ciri pertama jelas bahwa anak dengan disleksia tergolong anak normal baik secara bentuk fisik maupun secara rata-rata kecerdasannya. Per-kembangan anak disleksia adalah : 1 Aspek Emosi
Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.
Menurut Chall (1979) dalam Santrock (2008 : 421) secara umum perkembangan membaca individu akan
melalui lima tahap yakni ; a). Tahap 0. Dari kelahiran sampai grade satu , anak mulai menguasai prasyarat untuk membaca. b). Tahap 1 Di grade satu dan dua, banyak anak mulai belajar membaca. c). Tahap 2 Di grade dua dan tiga, anak makin lancar dalam membaca. d). Tahap 3 Di grade empat sampai delapan, anak makin mampu mendapatkan informasi dari bacaannya. e). Tahap 4 Di sekolah menengah atas, banyak murid yang telah menjadi pembaca yang kompeten.
Lebih lanjut diungkapkan oleh Chall bahwa anak yang berada pada tahap 3 mayoritas berada pada tingkat Sekolah Dasar yang masih melakukan aktivitas belajar membaca. Anak ketika berada pada tahap 3 terkadang masih kesulitan untuk memahami informasi teks dari berbagai perspektif. Sehingga ketika ada anak yang belum memiliki keahlian membaca sampai tahap, maka anak akan mengalami kesulitan serius dalam bidang akademik. Anak yang mengalami kesulitan belajar rentan untuk menjadi anak yang labil secara emosi. Hal ini dapat muncul ketika anak dengan disleksia kurang mendapat perhatian khusus dari pendidik, mereka dibanding-bandingkan dengan anak yang lain dalam hal proses pembelajaran yang tentu saja sangat memberatkan bagi mereka. Anak dengan disleksia akan
74
merasa berbeda ketika teman yang lain sudah mampu dan lancar sementara ia sendiri sangat kesulitan. Keadaan seperti itulah yang terkadang membuat emosi anak dengan disleksia labil, karena mereka belum memahami keadaan dirinya sepenuhnya. Beberapa masalah emosi lain yang dapat muncul pada anak dengan disleksia misalnya anak cenderung melawan dengan orang lain, karena mereka merasa dikucilkan dari lingkungannya.
2 Aspek Sosial
Menurut Seifert dan Hoffnung (1994) dalam Desmita (2008), diungkap-kan bahwa sekolah mempengaruhi perkembangan anak melalui dua kurikulum yaitu academic curriculum
dan hidden curriculum. Academic
curriculum meliputi sejumlah kewajiban
yang diharapkan dikuasai oleh anak. Kurikulum ini akan membantu anak dalam memperoleh pengetahuan akademis dan pengetahuan intelektual yang dibutuhkan di masyarakat. Hidden
curriculum meliputi sejumlah norma,
harapan, penghargaan yang implisit untuk dipikirkan dan dilaksanakan dengan cara tertentu. Kurikulum ini menyangkut hubungan sosial sekolah, khususnya yang berkenaan dengan sosial guru dan siswa dan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat. Kurikulum ini secara tidak langsung memberikan
harapan sosial pada anak pada tingkatan tertentu. Misalnya anak usia sekolah dasar kelas atas (Kelas 4, 5, 6) idealnya mereka sudah lancar membaca dan menulis agar mampu masuk dalam lingkungan sosialisasi dengan teman yang lain.
Masalah lain yang mungkin meng-ganggu perkembangan sosial anak adalah mereka sering disangka bahkan dicap menjadi anak yang malas, anak bodoh. Anak dengan disleksia akan mengalami rasa rendah diri, mereka rentan untuk keluar dari pergaulan sosial dengan teman sebayanya karena mereka merasa ada yang berbeda dengan dirinya.
Ruang lingkup program bimbingan dan konseling, termasuk layanan bimbingan dan konseling perkembangan pada intinya mengacu pada empat komponen utama yang gagas oleh Gysbers dan Henderson (Muro dan Kottman, 1995: 5) yaitu : 1) guidance
curriculum, 2) responsive service, 3) individual planning, 4) system support. 1. Guidance Curriculum (Pelayanan
Dasar)
Gysbers & Handerson(Muro & Kottman, 1995:5) mengungkapkan
guidance curriculum is the core of the developmental approach. Kurikulum
bimbingan menggambarkan tujuan untuk setiap kegiatan bimbingan dan
75
merancang kompetensi siswa pada setiap tingkatannya.
Gysbers (CSCA, 2000:29) menge-mukakan “ ... the curriculum component typically consist of student competen-cies and structured activities presented systematically trhough classroom or group activities. The curriculum is orga-nized around three major content areas: academic, career and personal/social.
Fokus perilaku yang dikembangkan melalui pelayanan dasar menyangkut aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan karir. Layanan dasar ini diperuntukan bagi semua siswa (jadi termasuk siswa dengan disleksia), dengan tujuan untuk membekali siswa dengan pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan yang normal, memajukan pertumbuhan pribadi yang positif dan mendampingi mereka untuk memperoleh dan me-manfaatkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk pengisian peran hidup mereka yang banyak. Materi layanan yang disampaikan oleh guru bimbingan dan konseling bagi untuk fungsi preventif misalnya mengenal aktivitas dan kebiasaan yang baik dalam belajar, termasuk bagaimana membaca dan menulis.
2. Pelayanan Perencanaan
Indivi-dual
Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada konseli agar
mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di lingkungannya (Dirjen PMPTK, 2007:210).
Komponen layanan perencanaan individual terdiri dari berbagai aktivitas yang difokuskan sebagai pendampingan setiap per-orangan siswa agar dapat mengembangkan, menganalisis dan mengevaluasi tujuan serta rencana pendidikan, karier dan pribadinya. Kegiatan-kegiatan perencanaan indivi-dual ditujukan pada objek yang sama untuk seluruh siswa menurut tingkat jenjang pendidikannya. Fungsi konselor dalam komponen ini meliputi pemberian pertimbangan, penempatan dan penilai-an individual.
Komponen layanan perencanaan individu sangat tepat untuk diaplikasi-kan pada siswa dengan disleksia, karena hal ini bersifat kasuistis dan spesifik. Layanan perencanaan individu yang dapat diberikan menurut Kristiantini
Dewi (Indigrow Child Development
Center ) adalah :
a. Guru bimbingan dan konseling men-jalin komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru kelas
76
b. Guru bimbingan dan konseling berkoordinasi dengan guru kelas mengusahakan anak duduk di barisan paling depan di kelas
c. Guru senantiasa mengawasi men-dampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50.
d. Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
e. Guru mengarahkan anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup. f. Guru membimbing dan melatih anak
menulis sambung sambil memper-hatikan cara anak duduk dan me-megang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan
huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s,
q”, bentuk zig zag:”k, v, x,
z”, bentuk linear:”J, t, l, u, y, j”, bentuk hampir serupa:”r, n, m, h”
g. Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara tersebut sukar diterima oleh sang anak.
3. Pelayanan Responsif
Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang mengahadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas per-kembangan. Konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan orang tua, guru, alih tangan kepada ahli
77
lain adalah ragam bantuan yang dapat dilakukan dalam pelayanan responsif (Dirjen PMPTK, 2007: 209).
Disleksia yang terjadi pada siswa didik adalah permasalahan yang kompleks, berbagai faktor dapat mem-pengaruhi perkembangannya. Ketika komponen layanan dasar dan layanan perencanaan individu telah diusaha- kan dengan optimal oleh guru bimbingan dan konseling, namun anak belum menunjukkan perubahan yang positif. Perlu dengan segera mem- bawa peserta didiknya berkonsultasi kepada tenaga medis profesional yang lebih ahli di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin mudah pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
4. Dukungan Sistem
Administrasi dan manajemen suatu program-konseling-komprehensif di sekolah menuntut suatu kesinambungan sistem pendukung. Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, me-melihara, dan meningkatkan program bimbingan secara menyeluruh melalui pengembangan 77rofessional, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasihat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program,
penelitian dan pengembangan (CSCA, 2000:38).
Dirjen PMPTK (2007:212) men-jelaskan bahwa yang dimaksud dengan dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya teknologi informasi dan komunikasi), dan pengembangan kemampuan profesional konselor secara berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada konseli atau mem-fasilitasi kelancaran perkembangan konseli. Dukungan sistem ini meliputi aspek-aspek : (1) pengembangan jejaring (networking), (2) kegiatan manajemen, (3) riset dan pengem-bangan.
Guru bimbingan dan konseling senantiasa dituntut untuk menambah pemahaman dan memperluas penge-tahuan yang berkaitan tentang layanan bimbingan dan konseling. Terkait pembahasan disleksia pada anak maka hal yang dapat dilakukan pada aspek pengembangan jejaring ialah memper-luas kerjasama dengan stake holder misalnya orang tua atau wali murid, wali kelas, guru mata pelajaran, serta kepala sekolah agar mereka memahami peran masing-masing terkait perlakuan yang kita berikan kepada siswa yang mengalami disleksia. Mengadakan kerjasama dengan ahli bidan yang terkait
78
misalnya dengan psikolog puskesmas setempat, lembaga tumbuh kembang anak, serta dokter.
Kegiatan manajemen dilakukan dengan pengembangan staf, guru bimbingan dan konseling senantiasa berusaha untuk meng “up grade” dan meng “up date” ilmu bimbingan dan konseling dengan mengikuti kegiatan seminar atau workshop yang berkaitan tentang anak disleksia, aktif dalam forum atau organisasi profesi yakni ABKIN Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia agar mampu mengangkat dan mendiskusikan per-masalahan nyata yang dialami peserta didik pada pengambil kebijakan.
IV. KESIMPULAN
1 Layanan bimbingan dan konseling pada tingkat sekolah dasar mem-punyai dasar hukum yang jelas yakni Peraturan pemerintah No 17 tahun 2010 pada Pasal 171 ayat 2 c, sehingga peserta didik tingkat sekolah dasar menjadi subyek kajian ilmu bimbingan dan konseling. 2 Bimbingan dan konseling berbasis
perkembangan mengupayakan pen-capaian tujuan -tugas perkembangan siswa secara optimal. Konselor menjembatani tugas-tugas perkem-bangan yang dijalani siswa pada tahap sekarang menuju tahap selanjutnya, dan meningkatkan
sumber daya serta kompetensi konselor dalam memberikan layanan yang profesional kepada peserta didik.
3 Disleksia adalah salah satu ketidak-mampuan belajar yang dapat dialami oleh peserta didik, terutama tingkat sekolah dasar. Disleksia adalah gangguan anak dalam kemampuan untuk membaca dan mengeja, hal ini akan berpengaruh bagi perkem-bangan hidup anak karena
kemampuan membaca merupakan kemampuan mendasar terutama dalam bidang akademik.
4 Komponen program bimbingan dan konseling perkembangan bagi anak disleksia adalah pelayanan dasar, pelayanan responsif, pelayanan individual dan dukungan sistem.
DAFTAR PUSTAKA
Syaiful Bahri Djamarah, (2002) .
Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka
Cipta.
Abdurrahman, Mulyono. (1999).
Pen-didikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Connecticut School Counselor Associatiton (2000). Connecticut
Comprehensive School Counseling Program. Connecticut : CSCA
incorporation with CACES and CSDE.
79
Dirjen PMPTK Depdiknas. (2007).
Rambu-rambu Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling. Jakarta.
Muro, James J & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling In
The Elementary and Middle School : A Practical Approaches. USA :
Wm. C Brown Communication, Inc. Moree, Cheryl .(2004).”Comprehensive
Developmental School Counseling Program” dalam Professional School Counseling : A Handbook of Theories, Program & Practices. Ed. Erford, Bradley T. Austin – Texas :
CAPS Press.
Moree, Cheryl .(2004).”Comprehensive Developmental School Counseling Program” dalam Professional School Counseling : A Handbook of Theories, Program & Practices. Ed.
Erford, Bradley T. Austin – Texas :
CAPS Press.
Nurdayati dan Purwandari (2009). Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan. Volume 02 Nomor 02 September 2009.
Santrock, J. (2008). Psikologi
Pen-didikan; Edisi Kedua.McGraw-Hill
Company, Inc. Alih bahasa oleh Tri Wibowo. Jakarta: Prenada Media Group.
http://www.alodokter.com/disleksia diakses senin 12 Oktober 2015 jam 13.30 WIB.
https://www.mail-archive.com/milis-
nakita@news.gramedia-majalah.com/msg02653.html
diakses jumat 07 Nopember 2015 jam 14.00 WIB.