• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Jumlah Guru dan Siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Jumlah Guru dan Siswa"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Data penelitian ini dikumpulkan dari dua SMA di Kota Bogor yaitu SMU Negeri Bogor, mewakili sekolah umum dan SMK Negeri Bogor, mewakili sekolah kejuruan. Kedua sekolah ini terletak di kota Bogor dengan status lahan yang digunakan adalah Hak Milik atas nama Pemerintah Daerah Kota Bogor dan termasuk sekolah yang berprestasi serta didukung fasilitas dan sarana prasarana kegiatan belajar mengajar di sekolah yang cukup memadai.

SMUN Bogor menempati lahan seluas 3.920 m2, sedangkan SMKN Bogor merupakan sekolah keahlian yang menempati lahan seluas 5885 m2. Kelancaran kegiatan pembelajaran di sekolah masing-masing dipimpin oleh satu orang kepala sekolah dan dibantu oleh empat orang wakil kepala sekolah yang memiliki tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yaitu sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana dan wakil kepala sekolah bidang hubungan masyarakat. Kedua sekolah dilengkapi pula dengan guru pengajar, guru BP/BK, petugas tata usaha, petugas perpustakaan, petugas laboratorium, komite sekolah, petugas kebersihan dan petugas keamanan sekolah.

Jumlah Guru dan Siswa

Perolehan dari data sekunder menunjukkan bahwa SMKN memiliki siswa yang lebih banyak dibanding SMUN, banyaknya jumlah siswa tersebut berkaitan dengan jumlah kelas dan luas lahan yang ada di dua sekolah tersebut. Jumlah guru di SMKN juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah guru di SMUN. Namun demikian rasio antara guru dengan siswa dari kedua sekolah tersebut tidak terlalu jauh berbeda yaitu 1 : 18 yang berarti bahwa setiap satu guru membimbing delapan belas siswa, untuk rasio di SMUN dan 1 : 17 atau dapat diartikan dengan pernyataan bahwa setiap satu guru membimbing tujuh belas siswa, untuk rasio di SMKN. Jumlah rombongan belajar dalam kelas untuk SMU dan SMK adalah sama yaitu antara 32 sampai 38 siswa, jadi pada penelitian ini sudah sesuai ketentuan dari Diknas (BPS 2006). Secara lebih jelas disajikan dalam Tabel 5.

(2)

Fasilitas Sekolah

Fasilitas dari kedua sekolah yang tersedia meliputi ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, ruang laboratorium, tempat ibadah, ruang komputer, ruang perpustakaan, toilet laki-laki dan perempuan secara terpisah, ruang UKS, ruang BK, ruang OSIS, lapangan olahraga dan ruang kelas. SMUN Bogor memiliki pembagian kelas X, XI dan XII sebanyak masing-masing sembilan. sehingga jumlah kelas keseluruhan adalah dua puluh tujuh kelas. Sedangkan SMKN Bogor memiliki pembagian kelas X, XI dan XII sebanyak masing-masing sebelas kelas sehingga jumlah keseluruhan kelas adalah tiga puluh tiga kelas (Tabel 5).

Tabel 5: Luas lahan,status kepemilikan,jumlah kelas, jumlah guru, jumlah siswa dan rasio guru dan siswa.

No Nama Sekolah Luas Lahan (m2) Status Kepemili kan Jumlah Kelas (ruang) Jumlah Guru (orang) Jumlah Siswa (orang) Rasio Guru:Siswa 1. SMUN 3920 Pemda 27 63 1113 1 : 18 2. SMKN 5885 Pemda 33 74 1262 1 : 17

Sumber : Data sekolah terpilih (2012)

Peraturan Sekolah

Kelancaran proses kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlepas dari peraturan-peraturan sekolah. Kedua sekolah yang dijadikan penelitian menerapkan peraturan dengan kedisiplinan dan pemberian sanksi yang disesuaikan permasalahannya. Kasus yang dihadapi di masing-masing sekolah dibedakan dalam dua kategori yaitu kategori kesatu dan kedua. Kategori kesatu meliputi kedisiplinan berpakaian, membolos pada jam sekolah, kedatangan tepat waktu, merokok, pertengkaran dan perkelahian, sedangkan kategori kedua meliputi pemakaian narkoba dan zat adiktif lainnya, kehamilan, pelecehan dan penyimpangan seksual. Sanksi yang diterapkan pada kategori kesatu adalah melalui teguran kepada siswa yang bersangkutan, surat teguran dan pemanggilan terhadap orang tua siswa jika masih berlanjut, jika tidak ada perubahan maka sanksi terakhir adalah dikeluarkan dari sekolah. Sanksi pada kasus kategori kedua adalah langsung diberhentikan atau dikeluarkan dari sekolah terhadap siswa yang bersangkutan. Lebih spesifik permasalahan yang dihadapi siswa SMKN Bogor selain tersebut diatas dilatar belakangi oleh faktor ekonomi keluarga yang relatif rendah, jadi dengan penghasilan keluarga yang rendah tersebut mengakibatkan

(3)

siswa di SMKN tidak dapat datang tepat waktu karena harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah, tidak memakai sepatu yang seragam karena sepatu yang dipakai telah rusak dan masih banyak contoh kasus lain yang berkaitan dengan faktor keuangan keluarga siswa.

Fasilitas dan peraturan sekolah yang baik saja dirasa tidak cukup untuk meningkatkan kualitas siswa, maka kedua sekolah tersebut melakukan pembimbingan dan penilaian terhadap siswa. Guru BP/BK secara klasikal dari kelas X sampai XII memberikan pembimbingan yang dilakukan secara intensif dan diintegrasikan dalam mata pelajaran Bimbingan Konseling, sedangkan masing-masing guru wali kelas secara khusus memberikan bimbingan dan penilaian secara personal terhadap siswa. Pada penelitian ini guru wali kelas diminta untuk memberikan penilaian terhadap masing-masing siswa contoh yang meliputi kebiasaan berkata kasar, emosional, kekerasan secara fisik, kekerasan melalui media elektronik dan efek negatif yang diberikan terhadap orang lain. Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa tersebut disajikan dalam bentuk kuesioner dengan pilihan jawaban menggunakan empat skala yaitu sangat setuju, cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju (Tabel 6).

Tabel 6: Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa

No Pernyataan Penilaian ( % ) Rata-rata skor Std. SS CS KS TS Total Skor (1) (2) (3) (4) 1. Berkata kasar 0.0 5.7 30.0 64.3 100 3.6 0.6 2. Emosional 0.0 5.7 20.0 74.3 100 3.7 0.6 3. Kekerasan fisik 0.7 0.7 5.0 93.6 100 3.9 0.4 4. Media elektronik 0.0 0.7 6.4 92.9 100 3.9 0.3 5. Pengaruh negatif 0.7 1.4 7.1 90.7 100 3.7 0.4 Keterangan:

SS = Sangat setuju; CS = Cukup Setuju; KS = Kurang Setuju; TS = Tidak Setuju

Std = Standar deviasi

Dari data di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata menurut penilaian guru/wali kelas kurang setuju/tidak setuju jika siswa siswi di sekolah masing-masing melakukan perilaku bullying secara fisik, verbal, membawa pengaruh negatif dan emosional.

(4)

Karakteristik Contoh Jenis Kelamin dan Usia Contoh

Contoh pada penelitian ini berjumlah 140 siswa yang terdiri dari siswa laki-laki sebanyak 70 orang (50 %) dan siswa perempuan sebanyak 70 orang (50 %). Contoh tersebut diambil dari dua sekolah menengah terpilih yang terdiri atas 70 orang (50%) siswa SMUN dan 70 orang (50%) siswa SMKN.

Usia contoh secara keseluruhan berkisar antara 14 sampai 18 tahun. Baik contoh laki-laki maupun perempuan memiliki persentase tertinggi usia 16 tahun (52.9 %) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 7).

Rata-rata usia contoh adalah 16 tahun dan usia tersebut termasuk dalam kategori remaja. Hal ini sesuai dengan data dari Diknas yang menyatakan tentang usia 16-18 tahun adalah usia yang sesuai untuk mengenyam pendidikan di tingkat SMA (BPS 2006).

Tabel 7: Sebaran usia contoh berdasarkan jenis kelamin Usia

(tahun)

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % 14 1 1.4 0 0 1 0.7 15 4 5.7 4 5.7 8 5.7 16 32 45.7 42 60.0 74 52.9 17 31 44.3 23 32.9 54 38.6 18 2 2.9 1 1.4 3 2.1 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 14 18 16.4± 0.7 15 18 16.3 ±0.6 14 18 16.4 ±0.7 Maksimum Rata-rata ± Std Uji Beda T(p) 0.31TB

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata Urutan Kelahiran

Contoh pada penelitian ini bervariasi jika ditinjau dari urutan kelahiran, mulai dari anak kesatu sampai kesembilan, namun dalam laporan hasil ditunjukkan dengan anak kesatu, kedua, ketiga dan lebih dari tiga. Secara keseluruhan, persentase terbesar anak urutan kesatu (45.7%) selebihnya menyebar rata dari kedua sampai lebih dari tiga. Hal yang sama terlihat pada contoh laki-laki (48.5%) maupun perempuan (42.8%) merupakan anak kesatu (Tabel 8).

(5)

Tabel 8: Sebaran urutan kelahiran contoh berdasarkan jenis kelamin

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

Karakteristik Keluarga Usia Orang tua

Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa usia orang tua contoh berkisar antara 33 sampai 70 tahun. Secara keseluruhan usia ayah contoh laki-laki berada pada kisaran usia 46-57 tahun (50.8%). Persentase terbanyak pada ayah contoh perempuan (51.5%), ibu contoh laki-laki (70.1%) dan ibu contoh perempuan (73%) berda pada kisaran usia antara 33 sampai 45 tahun. Rata-rata usia ayah contoh adalah 46.7 sampai 47.5 tahun sedangkan rata-rata usia ibu contoh adalah 42.7 sampai 44 tahun, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia orang tua contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 9).

Tabel 9 : Sebaran kategori usia orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin

Kategori Usia Ayah Usia Ibu

Contoh Laki-laki Contoh perempuan Contoh Laki-laki Contoh perempuan n % n % n % n % Meninggal 5 7.1 3 4.3 4 5.7 0 0.0 33– 45 24 36.9 34 51.5 45 70.1 53 73.0 46 – 57 33 50.8 28 42.4 18 26.9 14 23.4 58 – 70 8 12.3 4 6.1 2 3.0 3 3.6 Total 70 100 70 100 70 100 70 100 Minimum 37 38 33 34 Maksimum 62 70 62 61 Mean ± SD 47.5 ± 5.5 46.7± 5.6 44.0 ± 6.0 42.7 ± 5.6 Uji Beda T(p) 0.41TB 0.20TB

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata Urutan Kelahiran Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % 1 34 48.5 30 42.8 64 45.7 2 18 25.7 23 32.9 41 29.3 3 8 11.4 10 14.3 18 12.9 ≥4 10 13.1 7 9.9 17 12.0 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 1 9 1 9 2.00 ± 1.58 1 9 2.03 ± 1.65 0.8 TB Maksimum Mean ± SD 2.06 ± 1.74 Uji Beda T(p)

(6)

Hasil penelitian menunjukkan secara umum usia ibu dibawah usia ayah serta berada pada kelompok dewasa madya, hal ini sesuai dengan pendapat dari Hurlock (1978) yang menjelaskan bahwa usia terbagi atas tiga kategori diantaranya adalah kelompok usia dewasa awal (18-30), dewasa madya (30-60), dan dewasa lanjut (diatas 60). Dalam teori perkembangan yang disampaikan oleh Duvall (1957) menyatakan bahwa orang tua yang berada pada masa dewasa madya memiliki anggota keluarga yang berusia remaja didalamnya sehingga mempunyai tugas dalam perkembangan anak untuk membimbing dan membantu remaja menghadapi perubahan fisik yang cepat.

Pendidikan Orang Tua

Pendidikan yang ditempuh oleh orang tua contoh sangat beragam mulai dari jenjang SD/sederajat sampai jenjang S3. Pendidikan ayah dan ibu contoh yang terendah adalah SD sedangkan pendidikan tertinggi ayah contoh adalah S3 dan pendidikan tertinggi ibu contoh adalah S2 (Tabel 10).

Tabel 10: Sebaran pendidikan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin

Jenjang (tahun) Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu

Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Contoh Laki-laki Contoh Perempuan n % n % n % n % Lulus SD (6) 6 8.6 4 5.7 16 22.9 11 15.7 Lulus SMP (9) 9 12.9 4 5.7 7 10.0 8 11.4 Lulus SMA (12) 26 37.1 29 41.4 23 32.9 30 42.9 Lulus D3 (15) 2 2.9 3 4.3 6 8.6 4 5.7 Lulus S1(16) 21 30.0 22 31.4 15 21.4 15 21.4 Lulus S2 (18) 4 5.7 4 5.7 3 4.3 2 2.9 Lulus S3 (21) 2 2.9 4 5.7 0 0.0 0 0.0 Total 70 100 70 100 70 100 70 100 Minimum 6 6 6 6 Maksimum 21 21 18 18 Rata-rata ± SD 13.0 ± 3.6 13.8 ± 3.5 11.7 ± 3.9 11.9 ± 3.4 Uji Beda T(p) 0.19TB 0.73TB

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

Secara keseluruhan persentase tertinggi pendidikan ayah contoh laki-laki (37.1%) dan ayah contoh perempuan (41.4%). Persentase tertinggi pendidikan ibu contoh laki-laki (32.9%) dan ibu contoh perempuan (42.9%) adalah lulus SMA. Rata-rata lama pendidikan ayah contoh laki-laki (13.0) lebih rendah dari ayah contoh perempuan (13.8) serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Rata-rata lama

(7)

pendidikan ibu contoh laki-laki (11.7) lebih rendah dari ibu contoh perempuan (11.9) serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 10).

Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa pendidikan orang tua contoh cukup tinggi, hal ini terlihat dari jumlah persentase orang tua contoh yang beragam pendidikan di atas lulus SMP yang berarti bahwa orang tua contoh telah melewati batas minimal wajib belajar yaitu sembilan tahun atau lulus SMP. Hal ini dijelaskan dari data Diknas (BPS 2006) yaitu adanya program pemerintah mengenai pendidikan wajib belajar yang harus ditempuh oleh warga negara Indonesia minimal adalah sembilan tahun atau setara dengan lulus SMP.

Pekerjaan Orang tua

Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan kurang dari setengah ayah contoh (31.4%) bekerja sebagai pegawai swasta dan lebih dari setengah ibu contoh (67.1%) sebagai ibu rumah tangga (Tabel 11).

Tabel 11: Sebaran pekerjaan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis

Pekerjaan

Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total

Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu

n % n % n % n % n % n % Meninggal 5 7.1 3 4.3 4 5.7 0 0 9 6.4 3 2.1 PNS 20 28.6 12 17.1 21 30.0 7 10.0 41 29.3 19 13.6 Swasta 20 28.6 3 4.3 24 34.3 5 7.1 44 31.4 8 5.7 Wiraswasta 16 22.9 3 4.3 16 22.9 11 15.7 32 22.9 14 10.0 Buruh/sopir 4 5.7 0 0.0 1 1.4 0 0.0 5 3.6 0 0.0 BUMN 2 2.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 1.4 0 0.0 Pensiunan 1 1.4 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 0 0.0 Polri/TNI 2 2.9 1 1.4 4 2.9 1 1.4 6 4.3 2 1.4 IRT 0 0.0 48 68.6 0 0.0 46 65.7 0 0.0 94 67.1 Total 70 100 70 100 70 100 70 100 140 100 140 100

Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan persentase tertinggi (28.6%) pada ayah contoh laki-laki adalah sebagai pegawai swasta dan PNS (Pegawai negeri sipil), sedangkan jenis pekerjaan ayah contoh perempuan adalah sebagai swasta (34.3%). Pada jenis pekerjaan ibu contoh baik laki-laki (65.7%) maupun perempuan (68.6%) sebagai Ibu Rumah Tangga (Tabel 11).

(8)

Pendapatan Total Keluarga

Pendapatan total keluarga contoh adalah pendapatan yang diperoleh dari total pendapatan dalam keluarga per bulan yang berkisar kurang dari Rp.1,000,000 sampai lebih dari Rp. 7,000,000. Berdasarkan keseluruhan contoh (25.7%) terhadap total pendapatan keluarga adalah pada kisaran Rp. 1.000.001 – Rp. 2.000.000. Hal yang sama pula terlihat dari jenis kelamin yang menunjukkan proporsi tertinggi (25.7%) baik contoh laki-laki maupun perempuan berada pada kisaran Rp. 1.000.001 – Rp. 2.000.000 dan selebihnya menyebar rata pada kisaran kurang dari Rp. 1.000.000 sampai lebih dari Rp.7.000.000. Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan total keluarga contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05.

Tabel 12. Sebaran pendapatan total keluarga contoh berdasarkan jenis kelamin Pendapatan Total Keluarga Contoh

Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % ≤ Rp. 1.000.000 13 18.6 12 17.1 25 17.9 Rp. 1.000.001 – Rp. 2.000.000 18 25.7 18 25.7 36 25.7 Rp. 2.000.001 – Rp. 3.000.000 13 18.6 8 11.4 21 15.0 Rp. 3.000.001 – Rp. 4.000.000 9 12.9 13 18.6 22 15.7 Rp. 4.000.001 – Rp. 5.000.000 6 8.6 9 12.9 15 10.7 Rp. 5.000.001 – Rp. 6.000.000 4 5.7 4 5.7 8 5.7 Rp. 6.000.001 – Rp. 7.000.000 0 0.0 3 4.3 3 2.1 ≥ Rp. 7.000.001 7 10.0 3 4.3 10 7.1 Total 70 100 70 100 140 100

Hal ini sesuai dengan data yang dihimpun oleh Human resource community, yang menunjukkan bahwa upah minimum regional untuk daerah Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar Rp. 1.236.991 dan lebih spesifik terdapat perbedaan antar berbagai wilayah, seperti untuk wilayah Kota Bogor pada tahun 2012 adalah sebesar Rp. 1.174.200 dan upah minimum regonal untuk wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar Rp. 1.269.320 (www.hrcentro.com), sehingga dapat dikatakan bahwa hasil penelitian untuk pendapatan total keluarga pada contoh sebagian besar telah melewati batas UMR (Tabel 12).

Karakteristik Teman Contoh Kelompok Teman Berdasarkan Jumlah Teman Contoh

Contoh memiliki teman yang jumlahnya bervariasi mulai dari kisaran kurang dari tiga sampai lebih dari enam belas orang. Hasil penelitian

(9)

menunjukkan sebanyak 37.1 persen dari keseluruhan contoh memiliki teman yang berjumlah antara empat sampai tujuh orang, akan tetapi berdasar jenis kelamin terlihat bahwa contoh laki-laki memiliki teman yang lebih banyak yaitu empat sampai lima belas orang (37.1%) (Tabel 13).

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa contoh membutuhkan teman dalam lingkungan pergaulan sebagai ajang sosialisasi dan keseimbangan emosional, karena anggota keluarga jarang memenuhi tersebut yang disebabkan karena dalam anggota keluarga terutama orang tua dianggap terlalu tua untuk mengerti tentang remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978), yang mengatakan bahwa jumlah teman yang dimiliki anak untuk memuaskan kebutuhan mereka sangat bervariasi sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya.

Tabel 13: Sebaran jumlah teman contoh berdasarkan jenis kelamin Kisaran Jumlah Teman

( orang ) Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % ≤ 3 3 4.3 8 11.4 11 7.9 4 – 7 26 37.1 26 37.1 52 37.1 8 – 15 26 37.1 20 28.6 46 32.9 ≥ 16 15 21.4 14 20.0 29 20.7 Total 70 100 70 100 140 100

Papalia (2008) menyatakan bahwa jumlah teman yang sesuai akan saling mempengaruhi baik perilaku negatif maupun positif, akan tetapi pada anak laki-laki memiliki teman dalam jumlah yang lebih banyak karena laki-laki-laki-laki cenderung mendapatkan harga diri dengan mengalahkan orang lain. Aturan secara umum adalah jumlah teman yang dibutuhkan akan meningkat bila usia anak bertambah dewasa.

Kelompok Teman Berdasarkan Usia Teman Contoh

Penelitian menunjukkan lebih dari setengah jumlah contoh (62.9 %) memiliki teman yang berusia antara 15 sampai 18 tahun. Berdasarkan jenis kelamin juga menunjukkan bahwa contoh laki-laki, persentase tertinggi (65.7%) dan contoh perempuan (60%) memiliki teman yang berusia antara 15 sampai 18 tahun (Tabel 14).

Berdasarkan Tabel 14 dapat dikatakan bahwa antara contoh dengan teman contoh terdapat usia yang relatif homogen yaitu antara 15 sampai 18. Hal ini

(10)

sesuai dengan pendapat Papalia (2008) yang mengatakan bahwa remaja cenderung berteman dengan orang yang usianya sebaya karena adanya kesamaan perkembangan baik secara fisik, secara emosional dan secara kognitif, sehingga membuat akan merasa lebih nyaman dalam berteman

Tabel 14: Sebaran usia teman contoh berdasarkan jenis kelamin Kisaran Usia Teman

(tahun) Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % ≤ 14 9 12.9 8 11.4 17 12.1 15 – 18 46 65.7 42 60.0 88 62.9 19 – 22 12 17.1 13 18.6 25 17.9 ≥ 23 3 4.3 7 10.0 10 7.1 Total 70 100 70 100 140 100

Kelompok Teman Berdasarkan Pendidikan Teman Contoh

Hasil penelitian menunjukkan persentase tertinggi contoh (63.6%) memiliki teman dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai Perguruan Tinggi (PT). Berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa contoh perempuan (68.6%) dan contoh laki-laki (58.5%) juga memiliki teman yang berpendidikan antara SMA sampai PT. Contoh dengan teman contoh memiliki latar belakang pendidikan yang relatif sama sehingga memudahkan mereka untuk saling berkomunikasi dan berbagi informasi mengenai apapun yang diperoleh di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Papalia (2008) yang menyatakan bahwa remaja cenderung memilih teman yang satu lingkungan dengan dirinya dikarenakan adanya kesamaan lingkungan yang homogen (Tabel 15).

Tabel 15: Sebaran pendidikan teman contoh berdasarkan jenis kelamin

Pendidikan Teman Contoh

Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % SD – SMA 2 2.9 1 1.4 3 2.1 SMP – SMA 27 38.6 21 30.0 48 34.3 SMA – PT 41 58,5 48 68.6 89 63.6 Total 70 100 70 100 140 100

Kelompok Teman Berdasarkan Alasan Pertemanan Contoh

Hasil penelitian menunjukkan setengah jumlah contoh (50.7%) menggunakan pernyataan kesamaan kegiatan sebagai alasan contoh dalam memilih teman. Hal yang sama juga jika dilihat berdasarkan jenis kelamin

(11)

menunjukkan bahwa contoh laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan kegiatan sebagai alasan pertemanan, sehingga dapat dikatakan bahwa kesamaan kegiatan merupakan alasan terpenting dalam pertemanan remaja (Tabel 16). Tabel 16: Sebaran alasan pertemanan contoh berdasarkan jenis kelamin Alasan Pertemanan Contoh Laki-laki Contoh

Perempuan Total n % n % n % Kesamaan hobi 19 27.2 18 25.7 37 26.7 Kesamaan cita-cita 14 20.0 18 25.7 32 22.9 Kesamaan kegiatan 37 52.9 34 48.7 71 50.7 Total 70 100 70 100 140 100

Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978), yang menyatakan beberapa alasan penting yang dibutuhkan akan pertemanan adalah adanya perasaan menerima perhatian dan afeksi yang berupa kesamaan minat, kesamaan nilai dan kedekatan geografis.

Pola Asuh Sosial-Emosi

Fase remaja adalah fase pencarian identitas diri yang sangat penting untuk mendapatkan rasa percaya diri. Menurut teori Erickson, tugas utama remaja adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas diri yaitu sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan sebagai apa ditatanan sosial yang lebih besar (Crain 2007).

Hasil penelitian menunjukkan, lebih dari setengah contoh (50.7% - 58.6%) menyatakan sering pada pernyataan “jika saya berhasil menjadi juara kelas maka orangtua akan ikut senang, orang tua mengenal teman bermain saya baik di rumah maupun di sekolah dan orang tua memberikan kepercayaan terhadap pilihan saya dalam mencari teman bermain”. Contoh melaporkan dengan memberikan pernyataan “jarang” pada pernyataaan “Ketika saya berhasil (mendapat nilai bagus ) maka saya akan mendapat pujian dan hadiah dari orangtua, ketika saya gagal dalam ulangan orangtua akan mengajak menelusuri bersama penyebab kegagalannya agar tidak mengulanginya lagi dan kesedihan saya, bagi orangtua merupakan sesuatu yang harus di ungkapkan tetapi tidak yakin ada tindakan yang mampu menghilangkan kesedihan tersebut” dengan skor kurang lebih setengah jumlah contoh (34.3%-51.4%), namun sebanyak 44.3 persen contoh menyatakan

(12)

bahwa orang tua tidak mengijinkan anak marah untuk mengeluarkan kekesalannya (Lampiran 4).

Berdasarkan analisis jenis kelamin pada Lampiran 4, menunjukkan adanya perbedaan penerimaan pola asuh sosial-emosi yang diterima antara contoh laki-laki dan perempuan. Pernyataan-pernyataan yang menunjukkan perbedaan diantaranya adalah ketika anak berhasil mendapatkan prestasi maka orang tua akan memberikan hadiah, rata-rata skor perempuan (2.6) lebih tinggi dari laki-laki (2.3). Pernyataan yang menyebutkan bahwa orang tua akan memberikan solusi ketika anak takut menghadapi guru, diperoleh rata-rata skor perempuan (2.7) lebih tinggi dari laki-laki (2.3). Pernyataan lainnya yang mengatakan bahwa orang tua mengajarkan berempati memiliki rata-rata skor perempuan (3.4) lebih tinggi dari laki-laki (3.1). Pernyataan mengenai orang tua tidak yakin bahwa kesedihan yang diungkapkan anak akan menghilangkan kesedihan tersebut diperoleh rata-rata skor perempuan (2.6) lebih tinggi juga dari laki-laki (2.1).

Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan lebih dari setengah contoh (65.7%) mendapatkan kualitas pola asuh secara sosial dan emosi dengan kategori sedang, persentase pada contoh perempuan (61.4%) dan laki-laki (70.0%) juga berada pada kategori sedang dengan rata-rata skor perempuan (29.0) lebih tinggi dari laki-laki (27.4) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa orangtua contoh memperlakukan anak perempuan lebih baik dalam pola asuh sosial-emosi dibandingkan contoh laki-laki. Menurut Puspitawati (2012), menyatakan bahwa perlakuan orang tua dalam pengasuhan berbeda secara gender karena secara fisik dan genetik berbeda. Pada anak laki-laki diarahkan dengan kegiatan yang menuju independensi serta orang tua mempunyai ekspektasi agar menjadi kuat dan agresif dalam mencapai cita-cita, sedangkan anak perempuan diarahkan pada kegiatan pasif, sensitif serta hormat dan sopan namun menuju pembentukan emosi.

In-Box: 1

“Contoh (perempuan) mengatakan bahwa kedua orang tua menyayanginya dan jika contoh marah maka ibunya akan merayunya sampai contoh tidak marah lagi”

(13)

Tabel 17: Sebaran kategori pola asuh sosial-emosi contoh berdasarkan jenis kelamin

Kategori Pola asuh sosial-emosi

Jumlah

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Rendah (10 – 20) 5 7.1 2 2.9 7 5.0 Sedang (21 – 30) 49 70.0 43 61.4 92 65.7 Tinggi (31 – 40) 16 22.9 25 35.7 41 29.3 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 19 39 17 38 17 39 Maksimum Rata-rata ±SD 27.4 ± 4.2 29.0 ± 4.6 28.2 ± 4.5 Uji beda t 0.03**

Keterangan: ** Berbeda nyata pada p < 0.05

Keterikatan Teman Sebaya

Sebagai remaja, kebutuhan identitas sosial adalah sesuatu yang sangat kuat sehingga individu di masa ini akan menerima saja segala persyaratan yang diberikan oleh kelompok. Proses pencarian identitas diri dilakukan remaja untuk mendapatkan kejelasan mengenai dirinya dan untuk membentuk diri menjadi seorang yang utuh dan unik. Pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi terlalu bergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Pencarian identitas diri mereka dapatkan melalui pertemanan dengan sebaya yang saling pengaruh mempengaruhi. Bagi remaja penerimaan dalam pertemanan dengan saling keterikatan yang tinggi menjadi sangat penting karena bisa berbagi rasa dan pengalaman dengan teman sebaya dan kelompoknya. Keterikatan dengan teman sebaya menjadi model atau contoh bagi remaja dalam upaya pencarian identitas diri (Quiroz 2006).

Hasil penelitian yang disajikan pada Lampiran 5, menyatakan bahwa kurang dari setengah contoh merasa sering beranggapan bahwa orang tuanya

In-Box: 2

“menurut contoh (laki-laki) orang tua tidak pernah mengijinkan contoh mengeluarkan kekesalannya ketika marah dan juga tidak memberikan solusi ketika contoh bermasalah dengan guru, orang tua mengharuskan dirinya mampu mengatasi permasalahannya sendiri”.

(14)

khawatir dengan pergaulan dengan temannya, lebih senang curhat dengan teman, sering dihibur teman ketika sedih, merasa lebih nyaman dengan teman ketika ada masalah, menanggapi cerita teman jika menarik, sering juga meminta bantuan secara langsung, sering curhat dengan teman dan sering pula menghibur teman yang mendapatkan nilai jelek. Kurang dari setengah contoh menyatakan cukup sering pada pernyataan orang tua melarang bergaul dengan teman dengan alasan mengganggu pelajaran, cukup sering merasa kehilangan teman jika tidak masuk, meminjam uang kepada teman dan cukup sering pula teman memberikan pinjaman jika punya uang, dukungan dan hiburan dari teman. Kurang dari setengah contoh menyatakan kurang setuju pada pernyataan melakukan perbuatan tercela dengan alasan mencari pengalaman dan membutuhkan bantuan teman berupa barang dan jasa. Setengah dari contoh menyatakan tidak setuju jika harus memberitahukan orang tuanya ketika hendak bepergian setelah pulang sekolah dan kurang setuju pula jika harus menceritakan perihal teman-temannya kepada orang tua. Berdasarkan hasil yang telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa contoh tidak mudah terpengaruh atau tidak terlalu terikat oleh kelompok teman sebaya dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma atau aturan yang ada.

Tabel 18 menunjukkan hasil keseluruhan contoh berada pada kategori sedang dengan persentase sebesar 61.4 persen, proporsi tertinggi contoh laki-laki (71.4%) dan perempuan (51.4%) berada pada kategori sedang pula. Rata-rata skor perempuan (95.0) lebih tinggi dari laki-laki (92.8) namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05.

Hasil penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah dari Priatini (2006) dan Ruhidawati (2005) yang menyatakan teman sebaya memiliki arti penting dalam diri remaja dan keterikatan dengan kelompok teman sebaya memiliki persentase terbesar. Penelitian lain dari Rubin et al. (2010) mengatakan bahwa teman sebaya memiliki arti penting dalam pertemanan remaja. Hal ini disebabkan arti pentingnya teman sebaya dapat dilihat dari dukungan yang diberikan dalam pertemanan tanpa membedakan jenis kelamin.

Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan dari Quiroz (2006) yang mengatakan bahwa pencarian identitas diri remaja diperoleh melalui pertemanan

(15)

dengan sebaya yang saling mempengaruhi tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini didukung oleh pernyataan Santrock (2007) yaitu semakin tinggi skor keterikatan pada teman sebaya menunjukkan adanya keterikatan yang semakin kuat juga dalam diri remaja itu sendiri.

Tabel 18: Sebaran kategori keterikatan teman sebaya contoh berdasarkan jenis kelamin

Kategori Peran Teman Sebaya

Jumlah

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Rendah (32 – 64) 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang (65 – 96) 50 71.4 36 51.4 86 61.4 Tinggi (97 – 128) 20 28.6 34 48.6 54 38.6 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 76 116 74 112 74 116 Maksimum Rata-rata ± Std 92.8 ± 9.0 95.0 ± 8.6 93.9 ± 8.9 Uji Beda T(p) 0.15TB

Keterangan : TB = Tidak Berbeda Nyata

Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional Dimensi Mengenal Emosi

Hasil penelitian pada Lampiran 6, menunjukkan adanya sebaran kecerdasan emosional dimensi mengenal emosi berdasarkan jenis kelamin dengan proporsi terbesar contoh (45.7% - 56.4%) menyatakan sering mengetahui penyebab marah, mengungkapkan kemarahan dengan mengamuk, mengetahui penyebab kebahagiannya, cukup sering mengungkapkan kekesalan dengan mengucapkan kata-kata kasar dan cukup sering pula merasakan putus asa. Kurang dari setengah contoh (35.7% - 45.7%) menjawab jarang bahkan tidak pernah pada pernyataan “ketika marah mengungkapkannya dengan diam tidak bertegur sapa dan mengungkapkan kekesalannya dengan berkata halus”.

In-Box: 3

“Banyak hal yang bisa dilakukan dengan teman dari pada dengan orang tua atau adik-adiknya, biasanya dengan teman akan saling curhat, berbagi cerita dan berbagi apapun yang dimilikinya (uang, makanan dan pernak-pernik lainnya), tapi dengan teman pula akan saling berkompetisi untuk memperoleh yang diinginkannya”

(16)

Berdasarkan analisis jenis kelamin pada Lampiran 6 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kecerdasan mengenal emosi yang dilakukan oleh contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Pernyataan kecerdasan mengenal emosi yang menunjukkan perbedaan adalah pada pernyataan sering merasakan bahagia (0.015) dengan rata-rata skor perempuan (3.5) lebih tinggi dari laki-laki (3.2). Hasil dengan skor rata- rata yang sama antara laki-laki dan perempuan adalah dalam hal mengungkapkan kebingungan menghadapi sesuatu hal yang baru (2.6), mengetahui penyebab kebahagiannya (3.4),puas dengan kemampuan intelektualnya (2.8) serta puas dengan kondisi sosial yang ada (2.9).

Terdapat perbedaan skor rata-rata antara laki-laki dan perempuan yaitu perempuan lebih tinggi dari laki-laki pada pernyataan mengetahui penyebab kemarahan, mengungkapkan kekesalan dengan berkata kasar, mengetahui kebingungan terhadap sesuatu hal yang baru, mengetahui penyebab keputusasaan, sering merasa bahagia dan mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata yang halus. Sedangkan skor rata-rata laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan adalah pada pernyataan mengungkapkan kemarahan dengan diam tidak bertegur sapa dan mengungkapkan kemarahan dengan mengamuk.

Pada Lampiran 11, menunjukkan fakta bahwa secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin diperoleh persentase perempuan (58.6%) dan laki-laki ( 74.3%) berada dalam kategori sedang. Skor rata-rata perempuan (38.2) lebih tinggi dari laki-laki (37.5) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa contoh laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan untuk mengenal emosi mereka sendiri dengan baik, perasaan senang dan sedih serta yang lainnya dapat mereka kenali penyebabnya dengan pasti. Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Davis (2004), yang mengatakan bahwa kemampuan remaja mengenal emosi berguna untuk memahami emosi diri sendiri dan mampu membedakan emosi yang satu dengan emosi yang lainnya serta memahami sebab timbulnya emosi bahkan mampu memahami akibat dari emosi tersebut. Kemampuan mengenal emosi diri selanjutnya dapat pula ditingkatkan untuk mengenal emosi orang lain dan dengan kemampuan tersebut maka remaja dapat diterima dalam lingkungannya.

(17)

Kecerdasan Emosional Dimensi Mengelola Emosi

Kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan meskipun sesaat (Goleman 2002)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh (40.7% - 45%) menyatakan jika gugup akan merasa mual, sedih akan menangis, menjawab secara garis besar jika ditegur orang tua, perlu waktu mengatasi perasaan ketika terjadi sesuatu, menahan marah dengan menghela nafas dan menjawab pertanyaan dengan detail. Kurang dari setengah contoh (30.7% - 45%) menjawab jarang merasa lemas jika gugup, mengatasi gugup dengan melakukan aktifitas lain dan tidak pernah melupakan kemarahan (Lampiran 7).

Berdasarkan analisis jenis kelamin menunjukkan perbedaan pada kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Pernyataan yang menunjukkan perbedaan adalah merasa mual jika gugup, akan menangis jika sedih, akan berteriak girang jika bahagia dan perlu waktu untuk mengatasi perasaannya ketika terjadi sesuatu. Skor rata-rata perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki adalah pada pernyataan lemas jika gugup, melakukan aktifitas lain jika gugup,

In-Box : 4

“Contoh mengaku mampu mengenali emosi dirinya dengan pasti, yaitu ketika dirinya merasa sedih maka yang dirasakannya adalah suatu kesedihan yang membuatkan terpuruk dan ketika dirinya merasa bahagia maka yang dirasakannya adalah perasaan yang luar biasa menggebu-gebu dan bersemangat”.

(18)

menyendiri jika marah, menangis jika sedih, berteriak girang jika bahagia, menjawab garis besar jika ditanya orang tua, perlu waktu untuk mengatasi perasaannya, menjawab dengan detail dan bersikap biasa saja jika bahagia. Persentase yang sama antara laki-laki dan perempuan diperoleh pada pernyataan tarik nafas untuk mengatasi gugup dan menghela nafas jika gugup (Lampiran 7).

Pada Lampiran 11 menunjukkan fakta bahwa berdasarkan jenis kelamin diperoleh persentase kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi pada contoh laki-laki (92.9%) dan perempuan (81.4%) dan berada pada kategori sedang. Rata-rata skor perempuan (36.4) lebih tinggi dari laki-laki (33.8) serta terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa contoh perempuan memiliki kemampuan mengelola emosi dengan lebih baik dari pada contoh laki-laki.

Kecerdasan Emosional Dimensi Motivasi Diri

Kecerdasan emosional dimensi motivasi diri adalah suatu kemampuan yang harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh menyatakan sering beranggapan bahwa semua masalah pasti akan dapat diatasi

In-Box: 5

“jika terlalu sedih contoh(perempuan) merasa butuh waktu cukup lama untuk bangkit dari kesedihan tersebut karena contoh merasa perlu untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan dalam keadaan marah”

Sumber: Contoh kasus nomor 02

In-Box: 6

“ketika contoh (laki-laki)menyadari dirinya marah maka dicari penyebabnya dan secara sistematis akan mengolah emosinya dalam bentuk kata-kata dan tindakan yang mewakili perasaan”

(19)

dengan baik, belajar karena keinginan sendiri, ketika ujian maka akan belajar lebih giat lagi serta akan belajar dari pengalaman terdahulu. Kurang dari setengah contoh menyatakan sering merasa terpacu dengan teman yang berprestasi, namun pada contoh laki-laki merasa cukup sering untuk pernyataan tersebut. Kurang dari setengah contoh menyatakan cukup sering ketika menghadapi guru yang tidak menyenangkan maka akan terpecah konsentrasinya, menambah wawasan dengan membaca, menonton dan berdiskusi, mengerjakan tugas dengan senang hati dan akan mencari tahu penyebab kegagalannya, sedangkan ketika mendapat PR yang sulit, maka kurang dari setengah contoh menyatakan cukup sering berusaha mengerjakannya sendiri, tapi pada contoh laki-laki memberikan jawaban “jarang” (Lampiran 8).

Lampiran 11 menunjukkan kenyataan berdasarkan jenis kelamin yaitu contoh laki-laki (60%) dan contoh perempuan (80%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (33.2) lebih tinggi dari laki-laki (31.4) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada tahap α < 0.05. Hal ini berarti bahwa contoh perempuan lebih memiliki kecerdasan emosional dimensi motivasi diri dibanding laki-laki. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian dari Nurani (2003) yang menyatakan bahwa contoh memiliki kecerdasan emosional dimensi motivasi diri dengan sangat baik dan contoh perempuan lebih memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dengan lebih baik karena perempuan lebih mampu mengelola emosi dirinya sehingga termotivasi juga untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Pengendalian emosi yang baik akan dapat memotivasi diri dalam melakukan sesuatu. Motivasi diri tersebut akan memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang bisa memotivasi dirinya sendiri cenderung lebih produktif dan efektif setiap mengerjakan apapun (Goleman 2002).

Kecerdasan Emosional Dimensi Empati

Kecerdasan emosional dimensi empati adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang

(20)

lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan sering menangis jika menonton tayangan sedih meskipun pada contoh laki-laki menyatakan tidak pernah, sering juga menunggu teman untuk menceritakan masalahnya, menjenguk teman yang sakit, sering menghormati perbedaan pendapat dalam diskusi dengan teman. Setengah dari jumlah contoh menyatakan sering memperhatikan cerita teman ketika curhat dan sering menghibur teman yang bersedih meskipun terdapat perbedaan pada laki-laki dan perempuan, karena perempuan lebih memperhatikan perasaan temannya (Lampiran 9).

Lampiran 11, menunjukkan fakta pada jenis kelamin bahwa persentase tertinggi kecerdasan emosional dimensi empati pada contoh laki-laki (64.3%) berada pada kategori sedang dan contoh perempuan (74.3%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (31.9) lebih tinggi dari laki-laki (29.2) serta terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa empati contoh perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Penelitian lain yang membahas mengenai hal ini adalah dari Priatini (2006) menyatakan bahwa lebih setengah contoh memiliki kemampuan empati yang baik karena menurut Goleman (2002) menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

(21)

Kecerdasan Emosional Dimensi Membina Hubungan

Kecerdasan emosional dimensi membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berpamitan kepada orang tua jika hendak ke sekolah. Lebih dari setengah jumlah contoh mengucapkan permisi jika lewat di depan orang yang lebih tua dan mengucapkan selamat kepada teman yang berulangtahun. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan cukup sering memberikan bantuan pada teman yang kecelakaan dan menjadi juru damai buat teman yang berselisih. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan jarang kesulitan untuk beradaptasi dengan suasana baru dan akan membuka pembicaraan dengan orang yang lebih tua meskipun pada contoh laki-laki menyebar rata jawabannya pada jarang dan cukup sering. Setengah dari jumlah contoh menyatakan tidak pernah merasa harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Lampiran 10).

Berdasarkan analisis jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase tertinggi kecerdasan emosional dimensi membina huungan pada contoh perempuan (62.9%) berada pada kategori tinggi dan contoh laki-laki (51.4%)

In-Box: 7

“Contoh (perempuan) mengaku sangat berempati terhadap teman-temannya karena teman-teman-temannya juga memberikan perhatian pada diri contoh ketika contoh menghadapi masalah”

Sumber: Contoh kasus nomor 04

In-Box: 8

“contoh (laki-laki)sangat berempati terhadap teman yang menghadapi kesulitan, menurut contoh dengan banyak teman ketika terjadi masalah akan mendapatan banyak dukungan”

(22)

berada pada kategori sedang. Rata-rata skor perempuan (55.1) lebih tinggi dari rata-rata skor laki-laki (53.4) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa kemampuan membina hubungan dengan orang lain dimiliki oleh contoh laki-laki maupun contoh perempuan meskipun skor rata-rata contoh perempuan lebih tinggi dari laki-laki (Lampiran 11).

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wahyuningsih (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kecerdasan emosional membina hubungan dengan prestasi belajar siswa. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.

Orang-orang yang populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Kecerdasan Emosional Secara Total

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and it is expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (Goleman 2002).

Pada Lampiran 11 menunjukkan kategori berdasarkan masing-masing dimensi dari kecerdasan emosional yaitu dimensi mengenal emosi, dimensi

In-Box: 9

“contoh memiliki kemampuan membina hubungan yang sangat baik dengan orang lain, baik itu dalam komunikasi dan interaksi maupun perhatian dan

empati sehingga contoh banyak memiliki teman”

(23)

mengelola emosi, dimensi memotivasi diri, dimensi empati dan dimensi kemampuan membina hubungan serta secara total kecerdasan emosional. Keseluruhan kecerdasan emosional pada contoh laki-laki (72.9%) berada pada kategori sedang dan contoh perempuan ( 67.1%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (194.8) lebih tinggi dari laki-laki (185.3) serta terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan menunjukkan bahwa kecerdasan emosional anak perempuan lebih baik dibandingkan kecerdasan emosional anak laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Brudy and hall (2002) dalam Smith (2004) yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul “Sexuality and Emotion”. Buku tersebut menyebutkan bahwa orang tua lebih memberikan kebebasan kepada anak perempuan untuk menyampaikan dan mengungkapkan perasaannya dibanding anak laki-laki, sedangkan anak laki-laki diperlakukan dengan lebih keras agar menjadi kuat.

Perilaku Bullying Perilaku Bullying Secara Verbal

Bullying secara verbal merupakan perilaku berupa pemberian julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial) dan lain sebagainya. Hasil penelitian pada Lampiran 12, menyatakan bahwa setengah dari jumlah contoh menyatakan sering pada pernyataan memaki dengan kata-kata kasar dan berteriak jika marah, namun pada contoh laki-laki memberikan jawaban kadang-kadang pada pernyataan memaki dengan kata-kata kasar. Lebih dari setengah jumlah contoh memberikan jawaban kadang-kadang pada pernyataan mengumpat meskipun pada contoh perempuan lebih sering mengumpat dibanding laki-laki, memarahi, menyindir dan memanggil dengan panggilan ejekan.

In-Box: 10

“Contoh mengaku sudah sering kali mendapat teguran dari beberapa guru dan orang tua karena perilaku berkata kasar tersebut, namun diakuinya contoh masih saja sering melakukan hal tersebut karena dianggapnya hal itu masih lebih baik dari pada contoh harus ikut tawuran seperti remaja yang lain lakukan”.

(24)

Lampiran 16, menunjukkan bahwa persentase tertinggi perilaku bullying secara verbal pada contoh laki-laki (64.3%) dan perempuan (60%) berada pada kategori sedang. Rata-rata skor laki-laki (17.1) lebih tinggi dari perempuan (15.9) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan perilaku bullying secara verbal pada laki-laki dan perempuan. Contoh laki-laki menunjukkan perilaku bullying secara verbal lebih tinggi dari pada contoh perempuan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Nansel et al. (2001) dalam Santrock (2002) mengatakan bahwa anak laki-laki dari siswa SMP lebih mudah terpengaruh dibandingkan dengan anak perempuan. Kemungkinan anak laki-laki yang agresif akan menjadi sasaran korban bullying karena perilakunya yang menyebalkan bagi para pelaku bullying.

Perilaku Bullying Secara Fisik

Bullying secara fisik merupakan perilaku seperti memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, serta menindih anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Hasil penelitian pada Lampiran 13, menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh memberikan jawaban sering pada pernyataan memukul jika marah, menantang berkelahi, memukul sebagai peringatan, menampar jika ada yang meledek dan menonjok jika ada yang sinis. Kurang dari setengah contoh menyatakan sering mendorong jika kesal dan sering membantu teman berkelahi namun pada contoh perempuan tidak sesering dibandingkan dengan contoh laki-laki pada pernyataan tersebut.

Lampiran 16, menunjukkan kenyataan berdasarkan jenis kelamin bahwa persentase tertinggi perilaku bullying secara fisik pada contoh perempuan (78.6) dan laki-laki (70%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor contoh perempuan (23.4) lebih tinggi dari laki-laki (22.6) dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Artinya bahwa perilaku bullying secara fisik dilakukan oleh contoh laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan, namun contoh perempuan lebih sering melakukan bullying secara fisik dari pada laki-laki.

(25)

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Puspitawati (2006), Duke et al. (2010) dan Smith (2004) yang menyatakan bahwa laki-laki mendominasi kenakalan pada remaja atau laki-laki cenderung berperilaku bullying secara fisik. Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa perempuan tidak selalu menjadi pihak yang lemah dan menjadi korban, namun dengan adanya kesamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan untuk menunjukkan eksistensi diri sehingga membuat perempuan lebih percaya diri dan mampu melindungi dirinya sendiri. Salah satu bentuk pengakuan yang diharapkan dari remaja perempuan dari orang lain adalah dengan mem bully, kemudian yang di bully merasa takut atau cemas. Pendapat dari Gabor ( 1999) yang menyatakan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di negara Barat menemukan bahwa perempuan telah menjadi lebih agresif dari sebelumnya dan sudah mulai sering melakukan kejahatan lebih sering dari sebelumnya

Perilaku Bullying Secara Sosial

Bullying secara sosial atau relasional (pengabaian), digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau bahkan untuk merusak hubungan persahabatan. Bullying secara sosial adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau penghindaran. Bullying secara sosial atau relasional mencapai puncak kekuatannya di awal masa remaja, saat terjadi perubahan-perubahan fisik, mental, emosional dan seksual, ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya. Hasil penelitian menunjukkan

In-Box: 11

“Contoh tidak merasa bahwa dirinya berperilaku kasar karena meskipun teman-temannya menganggap bahwa contoh termasuk anak yang pemarah dan cenderung suka memukul kalau marah. Contoh menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata karena bentuk perlindungan diri terhadap serangan dari luar, meskipun yang terjadi sebetulnya menurut guru maupun teman-temannya adalah karena sifat contoh yang cenderung pemarah sehingga sering kali contoh terlibat dalam pemukulan terhadap temannya”.

(26)

bahwa kurang dari setengah jumlah contoh menjawab setuju pada pernyataan ketika ada teman bersikap tidak sama maka akan tersingkir dari pergaulan, mengintimidasi teman yang tidak solider, pelanggaran peraturan tersebut adalah dikucilkan atau diasingkan dan sengaja melakukan hal-hal tercela karena dorongan teman. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan kurang setuju pada pernyataan mengabaikan/mengacuhkan teman yang tidak solider dan menghindar dari teman yang tidak solider dalam pertemanan (Lampiran 14).

Berdasarkan analisis jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase tertinggi perilaku bullying secara sosial pada contoh perempuan ( 50%) dan contoh laki-laki (47.1%) berada pada kategori sedang. Rata-rata skor laki-laki (14.3) lebih tinggi dari perempuan (13.7), serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α<0.05 (lampiran 16). Hal ini memiliki makna bahwa antara laki-laki dan perempuan sama melakukan bullying secara sosial terhadap orang lain namun contoh perempuan lebih sering melakukan perilaku bullying sosial dari pada contoh laki-laki. Hal ini didukung dengan pernyataan Hurlock (1978) yaitu dalam kelompok teman bermain akan memutuskan hubungan bila memerlakukan secara antisosial atau jika perilakunya tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam kelompok. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk mengutamakan minat dan aktifitas kelompok sehingga menjadi pribadi yang sosial dan tidak egosentris.

Perilaku Bullying Secara Elektronik

Perilaku Bullying Secara Elektronik

Bullying elektronik, merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman

In-Box: 12

“Contoh mengatakan bahwa persoalan antar kelompok dalam pertemanan adalah karena adanya unjuk kekuatan terhadap kelompok atau orang lain untuk mendapatkan kekuasaan dan pengakuan. Menurut contoh yang harus dilakukan dalam pertemanan adalah adanya rasa solidaritas dalam

kelompoknya”.

(27)

video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya. Hasil penelitian yang ditunjukkan pada Lampiran 15 adalah lebih dari setengah jumlah contoh sering menyatakan setuju pada pernyataan mengirim sms makian dan e-mail gambar/kata-kata kasar jika kesal serta kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan setuju pada pernyataan menulis status agar orang lain tahu dan membalas mencemarkan nama orang lain di jejaring sosial. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan cukup setuju pada pernyataan menulis status jika sedih. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan kurang setuju pada pernyataan mencari pembelaan dari status yang dibuat, perasaan lega jika telah memperbaharui status dan biasa bercanda dan berantem lewat sms.

Lampiran 16, menunjukkan hasil berdasarkan analisis jenis kelamin yaitu contoh berada pada kategori rendah untuk contoh laki-laki (51.4) dan pada kategori sedang untuk contoh perempuan ( 55.7%). Rata-rata skor perempuan (17.8) lebih tinggi dari laki-laki (16.8), dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 . Hal ini berarti bahwa perilaku bullying secara elektronik sama-sama dilakukan oleh contoh laki-laki maupun contoh perempuan, namun contoh perempuan lebih sering melakukan bullying secara elektronik dibanding dengan laki-laki. Temuan ini sesuai dengan penelitian Duke et al. (2010); dan Frisen et al. (2007) yang menyatakan bahwa perempuan lebih tinggi dalam melakukan perilaku bullying secara sosial dan elektronik dibanding dengan laki-laki, hal ini disebabkan perempuan lebih senang dan nyaman berkelompok dalam melakukan kegiatan dengan bantuan alat elektronik.

In-Box: 13

“Contoh sering menggunakan hp dan komputer/laptop untuk menyerang orang lain secara tidak langsung, baik itu dengan kata-kata, animasi ataupun film yang tujuannya untuk memojokkan orang lain karena dengan alat elektronik merupakan media yang mudah diakses oleh siapapun di jaman yang serba modern ini”.

(28)

Perilaku Bullying Secara Total

Coloroso (2006) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut : (a) Ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power). Bullying bukan persaingan antara saudara kandung bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara. Pelaku bullying bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara verbal, lebih tinggi secara status sosial, atau berasal dari ras yang berbeda, (b) Keinginan untuk mencederai (desire to hurt). Menurut istilah bullying tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan korban. Bullying berarti menyebabkan kepedihan emosional atau luka fisik, melibatkan tindakan yang dapat melukai dan menimbulkan rasa senang di hati sang pelaku saat menyaksikan penderitaan korbannya, (c) Ancaman agresi lebih lanjut. Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali saja tapi juga repetitif atau cenderung diulang, (d) Teror. Unsur keempat ini muncul ketika ekskalasi bullying semakin meningkat.

Hasil penelitian berdasarkan total skor diketahui bahwa perilaku bullying yang berbeda nyata hanya pada perilaku bullying secara verbal yaitu skor contoh laki-laki lebih tinggi (17.1) dari pada perempuan (15.9). Berdasarkan analisis jenis kelamin dari skor total diperoleh data bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata pada perilaku bullying (Lampiran 16). Secara keseluruhan presentase tertinggi untuk contoh laki-laki (92.9%) dan perempuan (94.3%) berada pada kategori sedang. Rata-rata skor baik laki-laki maupun perempuan adalah sama (70.7 dan 70.8) namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada taraf α < 0.05. Hal ini memiliki arti bahwa baik contoh laki-laki maupun perempuan pernah melakukan bullying baik secara verbal, fisik, sosial maupun elektronik dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Penelitian lain yang membahas mengenai bullying adalah Maghfirah et al. (2010) menyatakan bahwa semakin negatif iklim sekolah maka semakin tinggi perilaku bullying di sekolah dan sebaliknya semakin positif iklim di sekolah maka semakin rendah perilaku bullying di sekolah.

(29)

Hubungan antar Variabel Penelitian Berdasarkan Analisis Jenis Kelamin Hasil analisis uji korelasi Pearson pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa karakteristik anak yang meliputi jenis kelamin berhubungan signifikan dan positif dengan kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi (r=0.297; p=0.01*), kecerdasan emosional dimensi memotivasi diri (r=0.221; p=0.01*), kecerdasan emosional dimensi empati (r=0.375; p=0.01*), total kecerdasan emosional ( r=0.309; p=0.01*). Hal ini berarti kecerdasan emosional contoh perempuan lebih tinggi dari pada contoh laki-laki karena menurut Smith (2004) menyatakan bahwa orang tua lebih memberikan kebebasan pada anak perempuan dalam mengungkapkan perasaan dan emosi, sementara anak laki-laki lebih diperlakukan secara keras dan tegas.

Jenis kelamin juga berhubungan signifikan dan positif dengan pola asuh sosial-emosi (r=0.181; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa pola asuh sosial-emosi pada contoh perempuan lebih baik dari contoh laki-laki karena menurut Santrock (2002) menyatakan bahwa orang tua cenderung memperlakukan anak perempuan dengan lebih lembut dalam hal belaian, pelukan, dekapan dan ungkapkan emosi dari pada dengan anak laki-laki (Lampiran 3).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian dari Febriandah (2001) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional berhubungan positif dengan interaksi pengasuh dengan anak dan pola asuh sosialnya. Pemberian stimulasi, pola asuh afeksi, pola asuh sosial, pola asuh disiplin, pengalaman pendidikan prasekolah (baik didalam maupun diluar pesantren), dan gender mempengaruhi kecerdasan emosional anak. Penelitian lain yang mendukung adalah Abidin (2011) menyatakan bahwa dari hasil uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan nyata negatif dengan gaya pengasuhan penyerangan, dan pengabaian namun berhubungan positif dengan gaya pengasuhan total. Pada penelitian tersebut juga menunjukkan jenis kelamin juga berhubungan nyata negatif dengan perilaku siswa dalam proses pembelajaran dikelas.

Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik sekolah yang meliputi jenis sekolah berhubungan signifikan dan positif dengan kecerdasan emosional dimensi empati (r=0.199; p=0.05**), kecerdasan emosional dimensi kemampuan membina hubungan (r=0.171; p=0.05**), dan total

(30)

kecerdasan emosional (r=0.196; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa tingkat kecerdasan emosional siswa SMKN lebih tinggi dari siswa SMUN, diduga karena jumlah siswa di SMKN lebih banyak maka memungkinkan anak berteman secara lebih banyak dengan orang lain sehingga mengasah kemampuan berempati dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain secara lebih baik. Menurut Goleman (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kekuatan dibalik kemampuan untuk mengatur kehidupan emosi dengan intelegensi yang merupakan dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan diri dan sosial (Lampiran 3).

Jenis sekolah juga berhubungan signifikan dan positif dengan perilaku bullying fisik (r=0.265; p=0.01*). Hal ini berarti bahwa perilaku bullying fisik siswa SMKN lebih tinggi dari siswa SMUN, diduga karena banyaknya jumlah siswa yang ada membuat rasa empati dalam diri remaja semakin kuat sehingga kemampuan membina hubungan juga dituntut untuk lebih tinggi lagi. Banyaknya teman membawa dampak terhadap cara pandang yang saling mempengaruhi, sehingga siswa SMKN memiliki kecenderungan untuk melakukan bullying secara fisik lebih tinggi dibanding dengan siswa SMUN. Jenis sekolah berhubungan signifikan dan negatif dengan perilaku bullying verbal ( r=0.257; p=0.01*) dan perilaku bullying sosial (r=0.189; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa perilaku bullying secara verbal dan sosial pada contoh siswa SMKN lebih rendah dari pada contoh siswa SMUN (Lampiran 3).

Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik orang tua yang meliputi pendidikan ayah berhubungan signifikan dan negatif dengan kecerdasan emosional dimensi memotivasi diri (r=0.190; p=0.05**), kecerdasan emosional dimensi empati (r=0.184; p=0.05**) dan total kecerdasan emosional (r=211; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka semakin rendah kecerdasan emosional pada dimensi memotivasi diri, kemampuan berempati dan total kecerdasan emosional. Semakin tinggi pendidikan ayah akan membawa dampak terhadap sedikitnya waktu yang diluangkan untuk keluarga karena prioritas utama adalah mencari nafkah dalam pekerjaannya, sehingga ayah cenderung mengabaikan perasaan dan emosi anak. Akibat dari sikap pengabaian dari ayah tersebut menjadikan anak menjadi tidak peka terhadap sekitar. Menurut

(31)

Papalia (2008), menyatakan bahwa anak akan menjadi cerdas secara emosi jika didukung dalam lingkungan keluarga (ayah, ibu dan anggota keluarga yang lain) yang baik (Lampiran 3).

Pendidikan ayah juga berhubungan signifikan dan negatif dengan keterikatan teman sebaya (r=0.205; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka keterikatan remaja dengan teman sebaya juga akan semakin kecil, karena diduga semakin tinggi pendidikan ayah maka alokasi waktu yang dimiliki ayah akan semakin banyak untuk pekerjaan terlebih data dari hasil penelitian ini menujukkan bahwa rata-rata ayah contoh adalah berusia 47 tahun dan menurut perkembangannya pada usia tersebut adalah masa seseorang sedang mengalami puncak karirnya, sehingg akan berimbas pada semakin sedikit waktu kebersamaan dengan anak dan penanaman nilai-nilai dalam keluarga menjadi kurang diperhatikan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Pranadji (2010) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara keeratan contoh dan ayah dengan tujuan hidup dan cita-cita (r=0.314; p=0.006*) yang berarti bahwa semakin erat contoh dengan ayah, maka tujuan hidup dan cita-cita contoh juga akan akan semakin tinggi prioritasnya. Semakin tinggi pendidikan ayah maka ayah memberikan pengasuhan yang semakin tinggi pula dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan dan pencapaian cita-citanya. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2001) menyatakan bahwa peranan penting dari pendidikan ayah adalah sebagai pengarah dan teladan untuk peran anak dikemudian hari.

Pendidikan ayah berhubungan signifikan dan positif dengan perilaku bullying secara fisik (r=0.207 ; p=0.01*). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ayah maka akan semakin tinggi pula tingkat perilaku bullying secara fisik. Tinggi pendidikan ayah membawa dampak terhadap kurangnya kelekatan dengan anak sehingga anak juga akan melakukan hal yang sama dengan teman sebaya, sehingga stimulasi sosial dan emosi anak akan menjadi berkurang dan hal inilah yang dapat mengakibatkan anak berperilaku negatif yaitu perilaku bullying secara fisik. Hal ini diperkuat oleh pendapat Miller (1999) yang menyatakan bahwa figur seorang ayah sangat mempengaruhi perilaku remaja.

Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik orang tua yang meliputi pendidikan ibu berhubungan signifikan dan negatif dengan

(32)

kecerdasan emosional dimensi motivasi diri (r=0.190; p=0.05**) dan total kecerdasan emosional (r=0.195; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin menurunkan kecerdasan emosional anak. Tingginya pendidikan ibu juga membawa dampak terhadap jenis pekerjaan dan tanggung jawab dalam pekerjaan ibu sehingga banyak waktu yang digunakan untuk mengurus pekerjaan dibandingkan untuk mengurus keluarga.

Pendidikan ibu berhubungan signifikan dan negatif dengan keterikatan teman sebaya (r=0.170; p=0.05**) hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin menurunkan keeratan dengan teman sebaya, karena semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin banyak waktu yang digunakan untuk mengaktualisasikan dirinya terhadap kesibukan pekerjaan dan kesibukan lainnya sehingga waktu kebersamaan dengan anak-anaknya juga menjadi terbatas dan dengan keterbatasan waktu tersebut mengakibatkan orang tua terutama ibu kurang memotivasi anak sehingga anak juga menjadi tidak terbiasa untuk memotivasi dirinya sendiri. Ibu kurang waktu untuk mengasah kemampuan kecerdasan emosional anak sehingga anak dalam pergaulan dengan teman menjadi ego dan kurang terikat sehingga anak juga akan dengan mudahnya berperilaku negatif terhadap orang lain (Lampiran 3).

Pendidikan ibu berhubungan signifikan dan positif dengan perilaku bullying verbal (r=0.215 ; p=0.05**), hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan semakin tinggi pula tingkat perilaku bullying secara verbal anak. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Maulani (2002) menyatakan bahwa pendidikan ibu berpengaruh dominan terhadap tingkat pengasuhan sosial bermain anak dan tingkat pengasuhan sosial bermain serta jumlah alat main berpengaruh dominant dan signifikan terhadap kecerdasan emosional anak. Penelitian Siregar (2000) juga menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kecerdasan emosional anak adalah nilai komunikasi dan riwayat hidup dan pendidikan ibu.

Hasil analisis uji Pearson menunjukkan bahwa karakteristik orang tua yang meliputi pendapatan total keluarga berhubungan signifikan dan positif dengan perilaku bullying verbal (r=0.193; p=0.05**). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendapatan total dalam keluarga akan semakin meningkatkan

Gambar

Tabel  5:  Luas  lahan,status  kepemilikan,jumlah  kelas,  jumlah  guru,  jumlah  siswa  dan rasio guru dan siswa
Tabel 7:  Sebaran usia contoh berdasarkan jenis kelamin  Usia
Tabel 8:  Sebaran urutan kelahiran contoh berdasarkan jenis kelamin
Tabel 10: Sebaran pendidikan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Surabaya pada putusan No.31/ARB/BANI-SBY/l/2012, dimana amar putusannya adalah: (a) Mengabulkan untuk sebagian atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah sesuai

Setelah melihat video tentang menganalisis posisi dan peran Indonesia di lingkup ASEAN, peserta didik mampu menguraikan informasi tentang peran Indonesia

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah hutan rakyat jamblang di

Blok 14 (Agromedis dan Penyakit Tropis) mempelajari tentang pelayanan kedokteran negara tropis, meliputi aspek klinis dari penyakit-penyakit infeksi yang berhubungan

Pengurus menjadi pengepul jamur hasil tanam anggota, pengurus sudah memiliki jaringan dengan para pedagang jamur. Antara pengurus dan pedagang jamur membuat kesepakatan

Peran Dinas Perhubungan selaku pembuat kebijakan dalam penyelenggaraan pelayanan bidang perhubungan khususnya angkutan kota selalu menginginkan memberikan pelayanan yang baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) mahasiswa telah memilikifasilitas- fasilitas dasar yang dibutuhkan untuk mengikuti pembelajaran daring; (2)

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa SD pada materi volume kubus dan balok.. Hasil tersebut