• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 Tuberkulosis (TB), penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, sejak ditemukan di abad 20 telah menjadi masalah kegawatdaruratan global bagi kemanusiaan. Diperkirakan tahun 2010 terdapat 8.500.000 sampai 9.200.000 kasus dan 1.200.000 sampai 1.500.000 kematian (termasuk kematian akibat TB dengan HIV-positif). TB menjadi penyebab utama kematian penyakit karena infeksi di seluruh dunia setelah HIV (WHO, 2011).

Menurut pengalaman dari berbagai negara, strategi DOTS (Directly Observed

Treatment, Short-course chemotherapy) telah terbukti efektif untuk pengendalian TB. Indonesia mengadopsi DOTS sebagai strategi penanggulangan nasional dengan ekspansi secara bertahap dan sampai saat ini Indonesia sudah menempati peringkat yang lebih baik, yaitu dari peringkat tiga menjadi peringkat kelima untuk penyakit TB di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus pada tahun 2011 adalah sebesar 680.000 dan estimasi insidensi berjumlah 450.000 kasus baru per tahun (WHO, 2012).

Dalam program pengendalian TB di Indonesia tantangan menjadi semakin berat, dengan kondisi Negara Indonesia sekarang masih termasuk dalam kelompok negara yang berpendapatan menengah kebawah, dengan munculnya masalah penderita TB yang mengidap HIV (ko-infeksi TB/HIV) dan kejadian multiple drug resistance (MDR) TB yang merupakan permasalahan yang muncul sebagai risiko diantaranya karena faktor putus obat. Hal ini menjadikan tingkat kompleksitas masalah TB menjadi semakin tinggi (WHO, 2011).

Sejak tahun 1995, Program Nasional Penanggulangan TB mengadopsi strategi DOTS dan telah diterapkan di semua puskesmas. Dalam perkembangannya, strategi DOTS dikembangkan untuk BP4 dan rumah sakit. Saat ini, jumlah rumah sakit yang sudah melaksanakan strategi DOTS sekitar 38% dari semua rumah sakit yang ada di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).

(2)

Pada bulan Juli 2009 telah dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik terhadap rumah sakit tingkat provinsi diseluruh Indonesia (18 rumah sakit). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa hanya 17% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS dengan hasil optimal, 44% rumah sakit dengan hasil sedang dan 39% rumah sakit dengan hasil kurang. Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa komitmen direktur rumah sakit sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan DOTS di rumah sakit. Hal ini sangat penting mengingat permasalahan yang dihadapi di lapangan menunjukkan bahwa angka penemuan TB di rumah sakit cukup tinggi, tetapi keberhasilan pengobatan masih rendah dan angka putus berobat masih cukup tinggi, sehingga berpotensi menciptakan masalah besar yaitu peningkatan terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis. Dalam mengantisipasi keadaan ini maka diterbitkan pedoman manajerial DOTS di rumah sakit sebagai acuan dalam pelaksanaan pelayanan TB dan pelaksanaan manajemen pelayanan TB di rumah sakit merupakan bagian dari upaya pencapaian MDGs 2015 serta kaitannya dengan akreditasi rumah sakit (Kemenkes RI, 2010).

Probandari et al., (2010) melakukan penelitian cross-sectional menggunakan laporan morbiditas pasien rawat jalan, register laboratorium dan register pasien TBC mulai dari 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2005. Hasil studi ini menunjukkan bahwa dari 19% sampai 53% kasus TB dan 4% sampai 18% dari kasus TB dengan BTA positif di rumah sakit yang berpartisipasi dalam strategi DOTS-PPM (Publice Private Mix) diindikasikan tidak dilakukan diagnosis dan pengobatan dengan standar DOTS. Melihat hasil studi ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar pasien TB yang dirawat di PPM-DOTS rumah sakit yang telah terlibat dalam program TB yang dipilih sebagai lokasi penelitian tidak dikelola dengan strategi DOTS, hal ini merupakan permasalahan yang harus disikapi secara komprehensif. Komitmen individu yang kuat dari profesional kesehatan, dukungan organisasi, kepemimpinan, dan kebijakan yang relevan di rumah sakit dan program TB nasional sangat diperlukan untuk memperkuat implementasi DOTS di rumah sakit.

(3)

Pada fase 2010-2014, perluasan dan akselerasi strategi DOTS di rumah sakit lebih difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan RS dalam penanggulangan penderita TB yang secara garis besar meliputi: penemuan penderita TB secara mikroskopis, pengobatan, pemantauan keteraturan pengobatan, serta terjaminnya ketersediaan OAT yang mengacu pada International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) dengan memperhatikan hak-hak pasien TB (ISTC, 2009). Melalui pemantapan jejaring internal dan eksternal rumah sakit yang terlibat dalam penyediaan pelayanan TB harus diperkuat. Dengan berpedoman pada faktor - faktor manajerial rumah sakit, perlu diupayakan cara-cara untuk menjaga agar penderita dapat berobat secara teratur, karena hal ini sangat mendukung keberhasilan dalam pengobatan TB. Salah satunya dengan memperkuat pemantauan terhadap keteraturan pasien selama menjalani masa pengobatan (Kemenkes RI, 2010).

RSUD Muntilan telah melaksanakan strategi DOTS sejak bulan Maret tahun 2009, dengan menerapkan kerja sama jejaring internal antar semua unit yang terkait di rumah sakit dan jejaring eksternal dengan dinas kesehatan, puskesmas, fasilitas layanan kesehatan lain setempat serta merujuk kasus sulit kepada rumah sakit yang lebih memadai. Direktur telah berkomitmen dengan membuat kebijakan, penetapan standar operasional pelayanan, pengawasan kualitas pelayanan, serta pencatatan dan pelaporan dalam rangka penerapan DOTS di rumah sakit. Cakupan dari pelayanan RSUD Muntilan tahun 2011 menunjukkan 133 kasus TB dewasa, 93 diantaranya adalah kasus TB BTA positif, 27 kasus BTA (-) rontgen (+) dan 13 kasus TB ektra paru, serta kasus TB anak terdapat 97 kasus. Kontribusi rumah sakit secara keseluruhan mencapai 26,49 % terhadap semua kasus yang ditemukan di wilayah Kabupaten Magelang. Kasus ketidakteraturan berobat penderita dewasa ada 39 kasus atau 29,32% dari seluruh penderita yang diobati. Tercatat kasus pindah ke puskesmas sebanyak 5 kasus sedangkan kasus drop out ada 2 kasus atau 2,15% dari jumlah seluruh BTA (+) yang diobati. Hal ini menunjukkan untuk kasus defaut masih di bawah angka yang ditetapkan dari Depkes < 5%, namun angka kesembuhan (cure rate) sebesar 74, 59 % masih dibawah target Depkes 85% (Depkes RI, 2007).

(4)

Data dari RSUD Muntilan tahun 2011 menunjukkan angka ketidakteraturan berobat sebesar 29,32%, hal ini disebabkan belum optimalnya pelaksanaan strategi DOTS di rumah sakit serta ketaatan penderita dalam menyelesaikan pengobatan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktor-faktor manajerial pelayanan TB di rumah sakit yang berhubungan dengan keteraturan pasien dalam berobat.

Continuity of care diartikan sebagai kesinambungan perawatan, yaitu hubungan yang berkelanjutan antara pasien dan profesional kesehatan yang bertujuan untuk edukasi dan kelangsungan pengobatan pasien dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan dan akan berdampak pada keteraturan pengobatan pasien (Martin, 2008). Sehingga peran perawat dalam edukasi sangat bermanfaat bagi keteraturan berobat pasien TB, hal ini sesuai dengan standar 3 faktor manajerial TB rumah sakit (Kemenkes RI, 2010). Namun, beberapa penulis telah menunjukkan bahwa kontinuitas merupakan istilah yang telah digunakan dalam berbagai hal yang salah satunya berhubungan dengan perawatan dari seorang profesional kepada pasien untuk menjamin kelangsungan informasi melalui pendekatan yang konsisten untuk kepentingan terapeutik kepada pasien (Salisbury et al., 2009). Ini sesuai dengan rantai efek perbaikan mutu, yaitu untuk mencapai tingkat mutu yang diharapkan diperlukan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang inisiatifnya harus dilakukan dari berbagai level/konteks yang didasarkan pada unsur-unsur yang terdapat dalam pelayanan kesehatan. Tingkat/konteks tersebut terdiri dari: pasien, sistem mikro, sistem makro, dan lingkungan (Berwick, 2002). Continuity of care dalam penanganan penderita TB merupakan bagian yang harus diupayakan untuk mencegah terjadinya resistensi akibat putus obat, sehingga menjadi hal yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan (Shlaes et al., 1997).

Beberapa aspek continuity of care dalam sistem DOTS bisa diterapkan di rumah sakit seperti penunjukan pengawas menelan obat, yang diharapkan setiap hari bisa ikut memantau proses menelan obat di rumah, pemberian edukasi kepada penderita dan keluarga supaya pasien dapat memahami pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya. Untuk pasien, karena alasan ekonomi bisa diberikan

(5)

pilihan alternatif fasilitas pelayanan yang terdekat dengan rumah supaya pasien dapat menekan ongkos transportasi. Monitoring dengan TB 01 dan TB 02 serta upaya mengontak pasien untuk mengingatkan ataupun pasien yang tidak datang pada saat hari kontrol merupakan hal yang bermanfaat supaya keteraturan pasien dalam berobat dapat dicapai. Berkaitan dengan jejaring eksternal terbatas pada mekanisme rujukan serta memastikan pasien sampai ditempat rujukan dan melanjutkan pengobatan. Pendidikan dan pelatihan teknis bagi petugas kesehatan merupakan upaya dalam rangka peningkatan pelayanan yang bermutu di rumah sakit. Beberapa unsur dalam faktor manajerial ini tertuang dalam beberapa standar manajerial yang diterbitkan oleh Kemenkes (Kemenkes RI, 2010).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah: Apakah faktor-faktor manajerial pelayanan TB di rumah sakit yang berhubungan dengan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara faktor-faktor manajerial pelayanan TB rumah sakit dan keteraturan berobat pasien dalam menjalani pengobatan TB di rumah sakit.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi hubungan antara monitoring dengan TB 01, TB 02 dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB.

b. Mengidentifikasi hubungan antara penunjukan PMO dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB.

c. Mengidentifikasi hubungan antara edukasi kepada penderita dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB.

d. Mengidentifikasi hubungan antara edukasi kepada PMO dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB.

(6)

e. Mengidentifikasi hubungan antara upaya mengontak penderita pada waktunya kontrol dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB. f. Mengidentifikasi hubungan antara tawaran alternatif fasilitas pelayanan

yang terdekat dengan rumah dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB.

g. Menggali sejauh mana kebijakan manajerial rumah sakit mempunyai implikasi terhadap upaya pemantauan keteraturan berobat pada tingkat mikro diatas.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada RSUD Muntilan mengenai implikasi kebijakan manajerial rumah sakit terhadap upaya pemantauan keteraturan berobat pasien TB di rumah sakit.

2. Sebagai kajian terhadap pelaksanaan continuity of care dalam pengobatan TB di rumah sakit dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan DOTS di rumah sakit.

E. Keaslian Penelitians

Dari hasil penelusuran literatur, penulis mendapatkan beberapa penelitian yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan TB, diantaranya adalah : Tabel 1. Keaslian penelitian

Peneliti (tahun) Tujuan penelitian Lokasi Rancangan penelitian Subjek penelitian Hasil penelitian Widjanarko et al., 2009 Mengidentifi-kasi faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan, dengan membanding- kan pasienTB patuh dan tidak patuh

Kabupaten Semarang, Grobogan dan Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia Studi retrospektif eksplorasi komparatif, dan deskriptif kualitatif 130 pasien TB untuk di-wawancarai ,63 berhasil diwawancarai, 67 tidak bisa diwawancarai karena pindah tempat/tidak bisa dilacak Ketidakpatu-han terhadap pengobatan dikarenakan pasien mera -sa sudah lebih baik , faktor ekono-mi , reaksi efek samping maupun kurangnya dukungan

(7)

sosial Vijay et al.,

2010

Mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan default pada pasien TB BTA positif yang ditangani secara DOTS di India di India Penelitian observasi dengan kohort retrospektif Pasien baru dengan TB BTA positif yang berusia di atas 15 tahun. Jumlah populasi 10.639 terdiri dari 9.952 patuh dan 687 tidak patuh. Kemudian diambil 687 kasus dan 687kontrol Hal-hal yang menjadi faktor risiko terjadinya default di antaranya tingkat pengetahuan yang rendah, miskin, kurangnya dukungan keluarga, kurangnya motivasi dari petugas kesehatan, maupun reaksi efek samping obat Muture et al., 2011 Mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan pengobatan mangkir yang ditangani di Nairobi, Kenya di Nairobi, Kenya Studi kasus kontrol Jumlah populasi 5.659 diambil dari 30 lokasi, 120 kasus dan154 kontrol dipilih secara acak Hal-hal yang berhubungan dengan mang kir di antara nya adalah merasa sudah lebih baik, reaksi efek samping obat, pengetahuan yang rendah, miskin, lebih suka menggu nakan obat herbal, peng gunaan alkohol dan jenis kelamin laki-laki.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah penelitian sebelumnya meneliti faktor-faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan berobat pada pasien TB, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini meneliti faktor-faktor manajerial pelayanan TB di rumah sakit yang mempengaruhi keteraturan berobat pada pasien TB.

Referensi

Dokumen terkait

Anthosianin tinggi mempunyai aktivitas antioksidan besar, sehingga dapat dijadikan bahan dari produk makanan sehat (Purwanto, 2004). Berdasarkan hasil penelitian

pada mahasiswa FKIP Universitas Lampung angkatan 2014 yang berasal dari. luar Propinsi Lampung dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Pada penelitian ini dipelajari pengaruh konsentrasi asam sulfat, jenis kertas dan waktu fermentasi terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari limbah kertas melalui

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Penelitian umumnya mencakup dua tahap, yaitu penemuan masalah dan pemecahan masalah. Penemuan masalah dalam penelitian meliputi identifikasi bidang masalah, penentuan

risiko penularan kusta paling tinggi terdapat pada orang yang tidur sekamar dengan pasien kusta, sedangkan risiko penularan tertinggi kedua pada orang yang tinggal