• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. memerlukan waktu inkubasi selama jam. bahkan pembentukan ABTS. -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. memerlukan waktu inkubasi selama jam. bahkan pembentukan ABTS. -"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Spesi oksigen reaktif adalah kelas radikal bebas yang sangat berbahaya dalam tubuh karena dapat menyebabkan kerusakkan pada sel (Cortina-Puig et al. 2007). Spesi oksigen reaktif akan mencari pasangan elektron dari sel manusia yang sehat akibatnya sel akan mengalami kerusakan dan memicu kerusakan pada tingkat organ yang akan menyebabkan penyakit jantung, kanker, stroke, diabetes dan gejala penuaan dini (Ignatov et al. 2002). Untuk melawan radikal bebas, sebenarnya tubuh memiliki antioksidan endogen yaitu enzim katalase, peroksidase, superoksida dismutase (SOD), dan glutationa S-transferase. Jika terjadi paparan radikal yang berlebih dalam tubuh diperlukan antioksidan eksogen yang biasanya bersumber dari makanan. Selain untuk kesehatan manusia antioksidan juga digunakan secara luas dalam industri makanan, industri petroleum, industri karet dan sebagainya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan suatu metode yang tepat untuk mengukur sifat-sifat antioksidan pada berbagai jenis sampel baik antioksidan alami maupun sintesis.

Metode yang banyak digunakan untuk mengukur kapasitas dan aktivitas antioksidan adalah spektrofotometri, fluoresensi dan kromatografi (Cortina-Puig

et al. 2007). Pengukuran antioksidan menggunakan metode spektrofotometeri

seringkali terkendala terhadap preparasi sampel. Sebagai contoh, metode DPPH memang tidak memerlukan substrat sehingga memiliki keuntungan, yaitu lebih sederhana dan waktu analisis yang lebih cepat, tapi metode ini sangat peka terhadap cahaya. Preparasi sampel harus dilakukan dalam kondisi gelap selain itu tidak dapat digunakan untuk sampel yang memiliki konsentrasi tinggi. Demikian halnya dengan ABTS dan FRAP juga sangat sensitif terhadap cahaya,

bahkan pembentukan ABTS.

-Pengukuran kapasitas antioksidan selain terkendala masalah preparasi sampel juga ada beberapa pengukuran yang memerlukan peralatan yang mahal, seperti metode ORAC-FL (Du et al. 2009) dan kromatografi. Liu et al. (2000) menggunakan HPLC untuk menentukan kapasitas antioksidan golongan

memerlukan waktu inkubasi selama 12-16 jam dalam kondisi gelap (Tawaha et al. 2007).

(2)

manusia. Wijngaard et al. (2009) menentukan kapasitas antioksidan dari jeruk Irlandia dan sayuran sisa olahan produk menggunakan HPLC-DAAD dengan menggunakan metode pelarut bergradient yang diatur mulai dari 0-70 menit, volume injeksi 10μL. Penggunaan HPLC dalam mengukur kapasitas antioksidan memerlukan preparasi sampel dan waktu pendeteksian yang lama.

Biosensor merupakan metode yang banyak dikembangkan untuk mengatasi permasalah-permasalahan yang muncul dalam penentuan kapasitas antioksidan. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan menggunakan biosensor tidak dipengaruhi oleh cahaya dan juga tingkat kekeruhan dari sampel karena yang diukur adalah arus yang dihasilkan. Selain itu, biosensor juga dapat menenentukan dan memonitor kapasitas antioksidan pada sampel yang kompleks tanpa memerlukan pemisahan komponen terlebih dahulu (Mello & Kubota 2007). Biosensor elektrokimia merupakan alternatif metode yang dikembangkan untuk mengukur kapasitas antioksidan karena dapat mengukur dengan cepat, valid dan biayanya rendah (Campanella et al. 2004). Ada dua tipe biosensor elektrokimia yang digunakan untuk mengukur sifat-sifat antioksidan yaitu biosensor amperometri untuk mengukur mono dan poliefenol berbasis enzim tirosinase (Busch et al. 2006), lakase (Roy et al. 2005) dan peroksidase, serta biosensor untuk menguji kapasitas antioksidan berdasarkan aktivitas penangkapan radikal bebas berbasis sitokrom c (Cortina-Puig et al. 2007), DNA (Kamel et al. 2008 ) dan SOD (Campanella et al. 2005). Biosensor untuk mengukur kapasitas antioksidan berbasis enzim SOD untuk memonitor radikal superoksida menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingankan sitokrom c hal ini dikarenakan enzim SOD adalah enzim yang spesifik bereaksi dengan ion superoksida (Di et al. 2004). Enzim SOD adalah enzim yang melindungi organisme dari efek racun ion superoksida dengan mengkatalisis secara efisien dismutasi O2.- menghasilkan O2 dan H2O2

2O

melalui mekanisme transfer elektron reaksi oksidasi - reduksi (Emregül 2005).

(3)

3

Biosensor berbasis SOD sudah terbukti dapat mengukur kapasitas antioksidan berbagai jenis contoh seperti teh, minuman teh, produk herbal (Campanella et al. 2003a), anggur merah dan anggur putih (Campanella et al. 2004) dan alga (Campanella et al. 2005). Pada pengukuran yang dilakukan terhadap contoh minuman anggur merah dan anggur putih, dengan menggunakan metode spektrometri dan fluorometri menghasilkan perbedaan kapasitas antioksidan yang sangat besar dibandingkan dengan menggunakan metode biosensor. Hal ini menunjukkan metode biosensor lebih sensitif dibandingkan dengan menggunakan kedua metode lainnya. Salah satu kelemahan penggunaan enzim SOD dalam biosensor adalah harga enzim ini sangat mahal, oleh sebab itu penggunaan mikroba yang menghasilkan enzim tersebut adalah salah satu solusi untuk menekan biaya karena tidak diperlukan suatu pemurnian enzim. Penggunaan sel bakteri utuh E. coli telah dilakukan oleh Iswantini et al. (1998) sebagai komponen pengenal pada biosensor glukosa. Dimana pemanfaatan E.

coli sebagai komponen pengenal menghasilkan hasil yang cukup sensitif, akurat

dan praktis.

Salah satu bakteri yang menghasilkan enzim SOD adalah bakteri

Deinococcus radiodurans. Organisme ini tahan terhadap banyak agen yang

dapat menyebabkan mutasi pada DNA, seperti radiasi ion, sinar ultraviolet (UV), hidrogen peroksida, dan banyak lainnya. Bakteri D radiodurans merupakan bakteri yang dapat bertahan hidup terhadap radiasi yang sangat tinggi karena bakteri ini mempunyai mekanisme perbaikan DNA yang cepat dan mempunyai banyak salinan dari genomenya sendiri. Selain itu bakteri ini mudah berkembang dan tidak menimbulkan penyakit. Kemampuan bakteri ini yang tahan terhadap lingkungan ekstrim diperkirakan karena bakteri ini memiliki sistem antioksidan yang tinggi dimana di dalamnya terdapat enzim SOD dan katalase (Yuan et al. 2007). Berdasarkan hal ini maka bakteri D. radiodurans memiliki potensi yang besar sebagai komponen pengenal hayati pada biosensor antioksidan.

Perkembangan biosensor antioksidan berbasis enzim SOD saat ini telah mencapai generasi ketiga dan pengembangan juga diarahkan ke arah material nano. Biosensor generasi ketiga diantaranya dibuat dengan mengimobilisasi SOD dan partikel nano emas dalam jaringan sol-gel silika dengan adanya sisteina

(4)

pada permukaan elektroda emas (Di et al. 2004). Salah satu bahan yang berpotensi digunakan sebagai matriks imobilisasi SOD adalah zeolit, karena zeolit memiliki struktur yang sebagian besar tersusun dari silikon tetrahedral yang terhubung satu sama lain dengan atom oksigen membentuk pori yang khas dengan ukuran nano. Pori adalah tempat masuknya molekul gas maupun cairan dan menjerapnya dengan kuat.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensial zeolit alam tapi pemanfaatannya masih perlu dioptimalkan di segala bidang. Penelitian tentang pemanfaatan zeolit untuk sensor telah banyak dilakukan. Dai et al. (2004) mengimobilisasi sitokrom c menggunakan matrik zeolit jenis NaY. Selain itu zeolit yang telah dikalsinasi juga dimanfaatkan sebagai matrik pengimobilisasi peroksidase dan metilena hijau (Liu et al. 1999). Elektroda pasta karbon yang termodifikasi FeCl3

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Trivadila (2011) yaitu pemanfaatan SOD Deinococcus radiodurans yang diimobilisasi pada elektroda pasta karbon sebagai biosensor antioksidan. Penelitian yang dilakukan oleh Trivadila (2011) memiliki beberapa kekurangan yaitu spesifiksitas dan sensitivitas yang masih rendah. Oleh sebab itu perlu dilanjutkan untuk menentukan metode imobilisasi dan juga pengembangan ke arah material nano agar didapatkan hasil yang lebih baik lagi.

dan zeolit ternyata dapat meningkatkan arus yang dihasilkan dibandingkan dengan tanpa menggunakan zeolit (Balal et

al. 2009). Tapi sejauh ini belum ada laporan penggunaan nanokomposit zeolit

alam Indonesia sebagai material pengimobilisasi untuk enzim SOD D.

radiodurans. Sehingga penelitian ini menarik untuk dilakukan karena

penggunaan nanokomposit zeolit alam dan bakteri D. radiodurans yang berasal dari Indonesia belum banyak yang melakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan ekstrak protein enzim SOD dari D. radiodurans untuk diimobilisasi dalam nanokomposit zeolit alam Indonesia dan mengukur aktivitas ekstrak SOD dalam nanokomposit zeolit alam

(5)

5

yang diimobilisasi pada permukaan elektroda pasta karbon dan menentukan parameter kinetikanya dengan metode elektrokimia.

Hipotesis

Ekstrak protein enzim SOD dari D. radiodurans dalam nanokomposit zeolit alam Indonesia dan diimobilisasi pada permukaan elektroda pasta karbon termodifikasi ferosena dapat meningkatkan respon pada biosensor elektrokimia.

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan konsentrasi BC pada PM 2,5 di dua lokasi sampling, Bandung dan Lembang mulai bulan Maret 2004 – Desember 2005 menggunakan metode reflektans dengan 2 macam persamaan,

のタイプ I サイトカイン受容体と共発現した際に、恒常的に活性化することが報告され ている。これまでに私達は、IL-3

Akan tetapi, berdasarkan observasi dilapangan serta informasi dari informan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Merauke bahwa peneliti

Adanya penurunan nilai perusahaan pada perusahaan asuransi di Indonesia, serta terdapat perbedaan hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh tingkat pertumbuhan

Rumusan masalah penelitian adalah apa landasan penggunaan posisi bintang dan planet sebagai penentu arah kiblat, bagaimana teknik penentuan arah kiblat menggunakan azimut

Dari uji lanjut perbandingan berganda Duncan (Lampiran 8), bahwa khitosan ukuran 20 mesh sampai 40 mesh memberikan pengaruh yang berbeda terhadap MOR komposit dengan

bahwa ketentuan tentang Bangunan di Kota Bandung telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Bandung Nomor 14 Tahun 1998 tentang Bangunan di Wilayah

Gas karbon dioksoda (CO2) dapat digunakan sebagai gas residu pada bahan dielektrik cair (minyak) pada alat-alat tegangan tinggi, antara lain : kabel dan