• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALIRAN GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ALIRAN GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

“Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.06 Tahun 2016 Tentang

Aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)”

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:

Muhammad Rizal Rizqi Faisal NIM. : 1111043100003

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1438H/2017M

(2)
(3)
(4)
(5)

Muhammad Rizal Rizqi Faisal, 1111043100003 , GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI “Analisis Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 06 Tahun 2016. Perbandingan Mazhab dan Hukum Tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR)”. Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak masalah dalam urusan keagamaan. Negara ini begitu sensitif terhadap isu -isu yang berhubungan dengan agama.Tidak hanya konflik antar agama, konflik internal dalam satu agama pun kadang masih terjadi di negara ini. Seperti dalam agama Islam, adanya kasus sunni-syiah, selain itu juga muncul kasus tereksposnya kelompok Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) pada bulan Februari tahun 2015. Kasus tersebut telah mempengaruhi kehidupan sosial yang ada, Mulai timbul keresahan dalam masyarakat yang membuat orang-orang yang awam menjadi bingung, mereka tidak tau mana yang benar dan mana yang salah. Dengan demikian atas keresahan tersebut, lembaga agama Islam terbesar, yaitu Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa untuk meghilangkan keresahan yang terjadi di masyarakat. Berkaitan dengan kasus terakhir di atas yaitu kasus GAFATAR, MUI menyatakan dalam fatwanya bahwa kelompok gafatar adalah aliran yang sesat.Terkait fatwa tersebut timbul pertanyaan, Bagaimana kriteria sesat menyesatkan menurut MUI dan hukum Islam secara umum?Bagaimana kajian fiqh mengenai dalil-dalil yang digunakan MUI dalam penetapan fatwa gafatar?

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui penjelasan kriteria sesat menyesatkan menurut Majelis Ulama Indonesia dan Hukum Islam. Untuk mengetahui kajian fiqh dalil-dalil yang digunakan Majelis Ulama Indoesia dalam menetapkan fatwa Nomor: 06 Tahun 2016 tentang Gafatar.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian dilengkapi dengankajian kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan.

Kata kunci: Fatwa, MUI, Gafatar.

(6)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada allah swt. dialah

sumber tempat bersandar, dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, rahman

dan rahim tetap menghiasi namanya. sehingga penulis diberikan kekuatan fisik,

mental serta psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ALIRAN

GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI “Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.06 Tahun 2016 Tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)”

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para

keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya, yang telah membuka pintu keimanan

yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan pencerahan atas

kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi

umat manusia hingga akhir zaman.

Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai gelar

Sarjana Syariah (S1) pada program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Selama proses perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat

bantuan dan motivasi dari berbagai pihak sehingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

(7)

3. Ibu Hj. Siti Hana Lc, M.A. Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab

dan Hukum.

4. Bapak Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A. Dan Bapak H. Qosim Arsyadani,

MA. dosen pembimbing skripsi ini yang telah meluangkan waktu,

memberikan masukan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.

5. Bapak dan ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan

pikirannya untuk mendidik penulis.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang jug

memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam

penulisan skripsi.

7. Orang tua penulis Ayahanda Didin Dim Yati dan Ibunda Rossadah tercinta

yang selalu penulis hormati dan sayangi yang selalu mencurahkan kasih

sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat serta doa

demi kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu memberikan rahman dan

rahimnya kepada mereka, aamiin.

8. Seluruh teman-teman seperjuangan penulis kelas PMF angkatan 2011.

(8)

materil penulis panjatkan doa semoga Allah SWT. membalasnya dengan imbalan

pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal shaleh yang tidak pernah

surut mengalir pahalanya, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

dan semua pihak. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.

(9)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN... iii

ABSTRAK... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...7

D. Metode Penelitian...8

E. Study Review Terdahulu...10

F. Sistematika Penulisan Skripsi...11

BAB II ALIRAN SESAT DAN FATWA MUI A. Eksistensi MUI sebagai Mufti... 12

1. Definisi Fatwa...12

(10)

C. Aliran Sesat Dalam Islam ... 20

1. Definisi Aliran Sesat... 20

2. Kriteria Aliran sesat... 21

D. Proses Fatwa MUI Tentang Aliran GAFATAR... 23

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) A. Sejarah dan Status Kelembagaan MUI... 27

B. Metode Penetapan Fatwa MUI... 33

C. Sejarah dan Ajaran Gafatar... 41

D. Prosedur Penetapan Fatwa ... 47

BAB IV ANALISIS KRITERIA SESAT DAN DALIL-DALIL FATWA GAFATAR MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) A. Analisis Kriteria Aliran Sesat Menurut MUI... 48

B. Analisis Kajian Fiqh Mengenai Dalil-Dalil yang Digunakan MUI Dalam Penetapan Fatwa Gafatar.………... 60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

(11)
(12)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum yang segala aspek kehidupannya diatur dalam peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Adapun peraturan yang tertulis berbentuk undang-undang, sedangkan yang tidak tertulis berbentuk hukum adat yang sampai sekarang masih berlaku di beberapa daerah. Ada berbagai macam aspek kehidupan yang diatur antara lain aspek ekonomi, politik, hukum, dan sosial.

Merinci kepada aspek sosial yang pada hakikatnya adalah kehidupan bermasyarakat, yaitu interaksi gafatar antar individu dan lembaga. Hubungan timbal balik antara satu orang kepada orang lainnya dan lembaga satu dengan lembaga lainnya. Namun, perlu di pahami bahwa interaksi tersebut tidak boleh mengganggu hak-hak dasar yang telah dimiliki oleh manusia sejak lahir, atau yang disebut dengan hak asasi

manusia.1 Dan Indonesia dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah

mengatur berbagai macam hak asasi manusia yang harus dilindungi. Dari sekian banyak hak asasi manusia ada salah satu hak asasi yang sangat penting keberadaannya yaitu hak beragama. Dalam undang-undang dasar pasal 28 dijelaskan bahwa setiap individu berhak meyakini agama masing-masing. Dengan demikian, setiap orang yang beragama harus dilindungi keberadaannya berdasarkan aturannya. Setiap orang yang beragama harus saling menghormati meskipun berbeda keyakinan.

Namun, undang-undang yang ada tidak menunjukkan fungsi prefentifnya, yaitu tidak mencegah dan mengantisipasi adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi kemudian. Terbukti dengan begitu banyaknya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama, baik itu

1Heri Herdiyanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, Dan Aktif

(13)

persoalan internal dalam satu agama maupun persoalan antar lintas agama. Sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta; Aliansi Nasional Bhineka

Tunggal Ika2 menyebut Yogyakarta semakin kehilangan semangat

toleransi. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah menjadi catatan buruk pelanggaran hak beribadah di daerah ini. Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Agnes Dwi Rusjiyati, mengatakan kasus intoleransi pada 2015 hinngga Maret 2016 paling b anyak terjadi di Kabupaten Sleman. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat ibadah, pelanggaran aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan

tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus.3Masih banyak

lagi kasus-kasus lainnya yang terjadi di beberapa daerah.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak masalah dalam urusan keagamaan. Negara ini begitu sensitif terhadap isu -isu yang berhubungan dengan agama, sebagai gambaran bahwa negara Indonesia mengakui adanya lima agama resmi. Namun demikian, menurut Menteri Agama masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali, menilai wajar masih adanya konflik-konflik antar agama yang terjadi di tanah air ini. Meski demikian, ia tetap melihat tingkat toleransi antar umat beragama di Indonesia lebih baik dibandingkan

dengan negara-negara lainnya di dunia.4

Perlu diingat, bukan hanya konflik antar agama saja yang terjadi di Indonesia, konflik internal dalam satu agama pun kadang masih terjadi di negara ini. Sebagai contoh, pada tahun 2012 terjadi konflik antara

sunni-2 Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika adalah aliansi keberagaman kebudayaan dan kepercayaan, yang bekerja untuk mempertahankan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang beragam dan menjunjung konstitusi.

3 Shinta Maharani, Kasus Intoleransi Di Yogyakarta tinggi, arikel diakses pada 11 maret 2016, www.tempo.com

4Sabrina Asril,“Menteri Agama: Konflik Beragama Wajar, Yang Tak Wajar “tukang

(14)

3

syiah di Madura.5 Kedua kelompok tersebut merupakan bagian dari

sejarah agama Islam. Konflik yang terjadi di Sampang tersebut, merupakan konflik yang masuk kategori ekstrim, karena dalam konflik tersebut telah menewaskan beberapa orang dan yang lainnya terluka. Dengan kata lain, konflik ini bukan lagi konflik berbeda pendapat, tetapi sudah mencapai konflik fisik yang telah menimbulkan kematian. Selain kasus sunni-syiah, peristiwa lainnya muncul, seperti yang terjadi pada bulan februari tahun 2015, yaitu tereksposnya kelompok Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR).

Menurut Ken Setiawan (mantan pengikut MUI sekaligus pendiri situs NII crisis center) mengungkapkan bahwa organisasi bernama Gerakan Fajar Nusantara atau GAFATAR merupakan suatu bentuk pecahan dari Negara Islam Indonesia (NII). Ken mengatakan bahwa selepas dibubarkannya NII dibentuk suatu organisasi yang bernama al-Qiyadah Islamiyyah di bawah pimpinan Ahmad Musadeq. Beberapa waktu kemudian, Ahmad Musadeq ditahan oleh pihak kepolisian dengan tuduhan telah menistakan agama selama 2,5 tahun. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran penodaan agama didasarkan pada pasal Penetapan Presiden Republik Indonesia No 1 tahun 1965 Jo. pasal 156 butir a Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) setelah bebasnya Musadeq dari penjara, kemudian dirinya kembali mendirikan sebuah komunitas bernama Milah Abraham.

Komunitas yang didirikan Ahmad Musadeq selepas terbebas dari penjara tersebut ternyata juga dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) lantaran dianggap sesat dan keluar dari jalur syariat Islam. Ini berdasarkan salah satu ayat dalam al-Qur’an surat an-Nissa ayat 115 yang berbunyi:

ﻣَ

ﻪِ

ﻟّ

ِ

ﻮَ

ﻧُ

ﻦَ

ﻨِ

ﻣِ

ﺆْ

ﻤُ

اﻟْ

ﻞِ

ﺒِ

ﺳَ

ﺮَ

ﻴْ

ﻏَ

ﻊْ

ﺒِ

ﺘّ

َ

ﻳَ

وَ

ى

ﺪَ

ﻬُ

اﻟْ

ﻪُ ﺗَ

ﻟَ

ﻦَ ﻣَ

ﻴّ

َ

ﺒَ

ﺪِ ﻣِ

ﻌْ

ﺑَ

ﻦْ

لَ

ﺳُ

ﺮّ

َ

اﻟ

ﻖِ

ﻗِ

ﺸَ

ﻳُ

ﻦْ

ﻣَ

وَ

ﻣَ

ِ

ﺮً

ا

ت

ْ

ءَ

ﺳَ

وَ

ﻢَ

ﻨّ

َ

ﻬَ

ﺟَ

ﻪِ

ﻠِ

ْ

ﻧُ

وَ

ﻟّ

َ

ﻮَ

ﺗَ

5Zuhairi Misrawi,“Konflik Sunni-Syiah di Madura?”,artikel diakses pada 28 agustus 2012, www.sindonews.com

(15)

Artinya:Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Tak henti sampai disitu, Musadeq akhirnya membentuk lagi sebuah organisasi bernama gafatar pada tahun 2011. Kali ini gafatar banyak diterima oleh masyarakat lantaran beberapa kegiatan yang dilakukan

organisasi tersebut dinilai positif dikarenakan lebih bersifat sosial.6

Namun pada akhirnya, kelompok gafatar tersebut senasib dengan kelompok-kelompok yang sebelumnya.

Dari kasus keagamaan tersebut, tentunya mempengaruhi kehidupan sosial yang ada, khususnya di daerah dimana kasus tersebut terjadi. Mulai timbul keresahan dalam masyarakat dengan kasus terebut, akan membuat orang-orang yang awam menjadi bingung, mereka tidak tau mana yang benar dan mana yang salah. Maka atas keresahan tersebut, lembaga agama islam terbesar, yaitu Majlis Ulama Indonesia menjalankan tugasnya, dengan mengeluarkan fatwa yang akan mengurangi atau meghilangkan keresahan yang terjadi di masyarakat. Berkaitan dengan kasus terakhir di atas yaitu kasus gafatar, MUI menyatakan dalam fatwanya bahwa kelompok gafatar adalah aliran yang sesat.

Aliran sesat ditinjau dari bahasa terdiri dari dua kata yaitu aliran dan sesat. Kata aliran berasal dari kata alir yang berarti kata aliran adalah sesuatu yang mengalir (tentang hawa, air, listrik, dan sebagainya); sungai kecil, selokan, saluran untuk benda air yang mengalir (seperti pipa air); gerakan maju zat air (fluida), misal gas, uap atau cairan secara 6 Fadli. “asal usul gafatar ternyata tidak jauh berbeda dengan nii”. artikel diakses

(16)

5

berkesinambungan.7 Arti kata sesat adalah salah jalan, tidak melalui jalan

yang benar, keliru, berbuat yang tidak senonoh, menyimpang dari

kebenaran.8 Pengertian aliran sesat apabila dikaitkan arti katanya dapat

dimaknakan sebagai suatu gerakan yang berkesinambungan (terus menerus) yang menyimpang dari kebenaran.

Berdasarkan paparan di atas, penulis memfokuskan pembahasan kepada fatwa MUI NOMOR 6 TAHUN 2016 Tentang Gafatar. Dalam hal ini, penulis akan menganalisis dalil-dalil yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa tersebut menurut kajian fiqh. Selanjutnya akan menganalisis kriteria-kriteria sesat yang dijadikan patokan MUI menurut ulama-ulama islam. Dengan demikian penulis memberikan judul terhadap penelitian ini sebagai berikut:

ALIRAN GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI “Analisis FatwaMajelis Ulama Indonesia No.06 Tahun 2016 Tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)”

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

A. Apa definisi aliran Gafatar?

B. Pokok-pokok pemikiran aliran Gafatar?

C. Apa yang menyebabkak aliran Gafatar dinyatakan sesat oleh MUI? D. Apakah yang menjadi pertimbangan MUI sehingga menyatakan

Gafatar sebagai aliran sesat dan dilarang berkembang di Indonesia?

7 Departemen Pendidikan Naisonal, Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia, (jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 42.

8 Departemen Pendidikan Naisonal, Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia, hal. 1337.

(17)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan skripsi ini adalah kajian fiqih mengenai dalil-dalil yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa GAFATAR. Pokok permasalahan di atas diurai dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. apa sajakah faktor yang menjadi kriteria aliran atau sekte dianggap sesat menyesatkan menurut MUI dan hukum Islam?

b. Apa sajakah dalil-dalil yang digunakan MUI dalam penetapan fatwa sesat aliran gafatar?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian.

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penjelasan kriteria sesat menyesatkan menurut Majelis Ulama Indonesia dan Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui kajian fiqh dalil-dalil yang digunakan Majelis Ulama Indoesia dalam menetapkan fatwa Nomor: 06 Tahun 2016 tentang Gafatar.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: a. Manfaat Akademis:

Adapun tujuan penelitian bagi dunia akademis yaitu:

1) Memberikan pengetahuan dan informasi tentang kriteria sesat menurut MUI dan Hukum Islam.

(18)

7

2) Menambah khazanah keilmuan di bidang aqidah dan fikih terkait ajaran sesat yang menyesatkan.

b. Manfaat Masyarakat:

Adapun manfaat dari penelitian ini untuk masyarakat yaitu: 1) Memberikan pemahaman tentang kriteria aliran-aliran sesat. 2) Memberikan masukan agar masyarakat lebih waspada dan

berhati-hati dalam menerima organisasi yang

mengatasnamakan agama Islam di lingkungan mereka. D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas peristiwa yang berlangsung di lapangan. Apa yang di hadapi dalam penelitian adalah sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh di dalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan termasuk dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus,

yang mengarahkan perhatian pada spesifikasi kasus-kasus tertentu.9

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah cara pandang yang digunakan dalam melihat permasalahan penelitian. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis isi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 06 Tahun 2016 Tentang Fatwa Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

menurut Sugiyono, metodologi kualitatif merupakan metode

9 Burhan Bungin¸Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), cet. 3, hal. 82.

(19)

penelitian yang naturalistik karena digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek yang alamiyah (natural setting) dimana peneliti adalah

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan

hasil penelitian lebih menekankan maknna daripada generalisasi.10

sehingga pendekatan ini, peneliti dapat menafsirkan makna pada teks berita dengan menguraikan cara bagaimana media mengkontruksikan berita tersebut.

oleh karena itu, karena fokusnya pendekatan penelitian ini adalah interpretatif dan naturalistik terhadap pokok kajiannya, maka dalam menggunakan penelitian kualitatif, peneliti berusaha melakukan studi gejala dalam keadaan alamiah. penelitian kualitatif juga berusaha membentuk pengertian terhadap fenomena sesuai dengan makna

yang lazim digunakan oleh subjek penelitian.11

3. Sumber Data

Dalam penelitian hukum empirik, data primer diperoleh langsung dari data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara dengan subjek penelitian. Di dalam penelitian ini, digunakan pula data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat yang dibedakan dalam beberapa macam:

a. Bahan hukum primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam skripsi ini adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 10Sugiyono,Metodologi Penelitian Kualitatif dan R&D,(Bandung:: Alfabeta, 2013). h. 8-9

11Jamroni dan Suhaimi,Metode-metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 28.

(20)

9

06 Tahun 2016 Tentang Fatwa Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). b. Bahan hukum sekunder yaitu: berupa buku-buku, makalah seminar,

jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, situs, testimony, koran maupun blog, karya ilmiyah berita berita dimedia massa dan lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini berpedoman pada “buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN jakarta tahun 2016/2017.”

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain.

Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.

E. Review Study Terdahulu

1. Skripsi milik Acep Mulingki Oktadi Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Bengkulu yang berjudul “ANALISIS POLA PEMBINAAN

(21)

ARGAMAKMUR BENGKULU UTARA”.

Dalam skripsi ini, penelitian bertujuan untuk mengetahui pola pembinaan terhadap aliran Islam Amanat Keagungan Ilhai di Arga makmur Bengkulu Utara dan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pembinaan terhadap aliran Islam Amanat Keaguangan Ilahi di Argamakmur Bengkulu Utara. Sangat berbeda dengan pembahasan skripsi yang saya kerjakan, yang akan menjelaskan beberapa kajian fiqh dalam dalil-dalil yang digunakan majelis ulama indonesia untuk menetapkan fatwa nomor 06 tahun 2016 tentang gerakan fajar nusantara. Dan kesamaannya ialah pembahasan seputar aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam.

2. Skripsi milik Anggelia Felia Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan

Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau “STRATEGI MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA PEKANBARU DALAM MENGANTISIPASI BERKEMBANGNYA ALIRAN-ALIRAN SESAT”.

skripsi ini, penelitian bertujuan untuk mengetahui cara Majelis Ulama Indonesia dalam upaya mengantisipasi berkembangnya aliran-aliran sesat yang ada di Indonesia. Sangat berbeda dengan pembahasan skripsi yang saya kerjakan, yang akan menjelaskan beberapa kajian fiqh dalam dalil-dalil yang digunakan majelis ulama indonesia untuk menetapkan fatwa nomor 06 tahun 2016 tentang gerakan fajar nusantara. Dan kesamaannya ialah pembahasan seputar aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, Pembagian kedalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini, dengan tehnik penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

(22)

11

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan perincian sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan penulisan serta library research, studi pustaka dan sistematika penulisan. Dengan berangkat dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar penelitian Bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II LANDASAN TEORITIS MENGENAI FATWA

Bab II ini membahas tentang tinjauan umum mengenai fatwa dalam kajian fiqh, yang meliputi pengertian fatwa, kedudukan fatwa, syarat-syarat fatwa dan metode pembuatan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

Bab III ini membahas tentang gambaran umum mengenai Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang meliputi sejarah dan status kelembagaan MUI, metode penetapan fatwa MUI, daN Sejarah terbentuk dan Ajaran Gafatar.

BAB IV ANALISIS KRITERIA SESAT DAN DALIL-DALIL FATWA GAFATAR MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

Bab IV ini membahas tentang analisis kriteria sesat menyesatkan menurut MUI dan Hukum Islam secara Umum dan Analisis Kajian Fikih mengenai dalil-dalil yang digunakan MUI dalam Penetapan Fatwa Nomor: 06 Tahun 2016 Tentang GERAKAN FAJAR

(23)

NUSANTARA (GAFATAR).

BAB V PENUTUP

Dalam Bab V ini penulis mengakhiri penulisan ini dengan memberikan beberapa kesimpulan dan juga menyampaikan beberapa saran yang berhubungan dengan kajian penulisan.

(24)

ALIRAN SESAT DAN FATWA MUI

A. Eksistensi MUI sebagai Mufti 1. Definisi Fatwa

Fatwa bagi sebagian orang sebagai sebuah ketentuan yang harus dijalankan juga sebagai anjuran. Fatwa berasal dari bahasa Arab

aftaa-yufti,yang secara sederhana berarti memberi keputusan.1 Fatwa adalah

jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah hukum. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang di buat dengan gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar.2 Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:

َﻦِﻣ ُﻞِﻜْﺸُﯾ ﺎّﻤَﻋ ُباَﻮَﺠْﻟا

ِﺔﱠﯿِﻧْﻮُﻧﺎَﻘﻟاِوَاِﺔﱠﯿِﻋْﺮَﺸﻟا ِﻞِﺋﺎَﺴَﻤﻟا

3

Artinya: “Jawaban dari permasalahan-permasalahan syariah dan hukum”

Fatwa secara terminologis berarti penjelasan hukum syar’i dalam menjawab suatu persoalan yang diajukan seseorang, baik penjelasannya jelas (terang) atau tidak jelas (ragu-ragu) baik penjelasan itu mengarah pada kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat.4

Menurut Khalil Ahmad, sebagai mana di kutif oleh Fuad Thohari, terkadang fatwa dibaca al-futya. Bentuk plural al-fatwa adalah al-afta’. Sebagai contoh, jika

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyah,

2010), h. 308.

2 Ahyar A. Gayo, “kedudukan Fatwa MUI Dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi

Syariah”, Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM

RI, 2011, h.13.

3 Ahmad Mukhtar Umar, Mu’jam Lughah Arabiyya Mu’ashirah, (Kairo: ‘Alim

al-Kutub, 2008), juz III, h. 1672.

4

Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA’I, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2012), h 58.

12

(25)

si fulan adalah seorang mujtahid yang dihadapkan pada persoalan seseorang yang menikah tanpa wali, kemudian si fulan memikirkannya dengan menggunakan dalil syar’i atau dengan istinbath (penetapan) hukum, kemudian mengambil kesimpulan bahwa tidak sah nikah tanpa wali, kesimpulan ini disebut fatwa. Fulan yang berfatwa disebut mufti dan orang yang meminta fatwa disebut mustafti.5

Fatwa dapat didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat.6 Fatwa biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif. Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam menerangkan hukum-hukum syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya.

Fatwa yang dimaksudkan untuk mencari jawaban dari suatu masalah telah diatur didalam surat An-Nisa ayat 127:

ﻟٱ ﻰَﻤَٰﺘَﯾ ﻲِﻓ ِﺐَٰﺘِﻜۡﻟٱ ﻲِﻓ ۡﻢُﻜۡﯿَﻠَﻋ ٰﻰَﻠۡﺘُﯾ ﺎَﻣَو ﱠﻦِﮭﯿِﻓ ۡﻢُﻜﯿِﺘۡﻔُﯾ ُ ﱠﻟﻠہٱ ِﻞُﻗ ِۖءٓﺎَﺴﱢﻨﻟٱ ﻲِﻓ َﻚَﻧﻮُﺘۡﻔَﺘ ۡﺴَﯾَو

َﻻ ﻲِﺘٰﱠﻟٱ ِءٓﺎَﺴﱢﻨ

ُﻛ ﺎَﻣ ﱠﻦُﮭَﻧﻮُﺗ ۡﺆُﺗ

ٰﻰَﻤَٰﺘَﯿۡﻠِﻟ ْاﻮُﻣﻮُﻘَﺗ نَأَو ِن َٰﺪۡﻟِﻮۡﻟٱ َﻦِﻣ َﻦﯿِﻔَﻌ ۡﻀَﺘ ۡﺴُﻤۡﻟٱَو ﱠﻦُھﻮُﺤِﻜﻨَﺗ نَأ َنﻮُﺒَﻏ ۡﺮَﺗَو ﱠﻦُﮭَﻟ َﺐِﺘ

ﺎ ٗﻤﯿِﻠَﻋ ۦِﮫِﺑ َنﺎَﻛ َ ﱠﻟﻠہٱ ﱠنِﺈَﻓ ٖﺮۡﯿَﺧ ۡﻦِﻣ ْاﻮُﻠَﻌۡﻔَﺗ ﺎَﻣَو ِۚﻂ ۡﺴِﻘۡﻟﭑِﺑ

.

Artinya:. Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah:

"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya. (Q.S An-Nisa: 4: 127)

5 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA’I, h. 59.

6 Ensiklopedia Hukum Islam jilid I, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, h.326.

(26)

14

2. Apakah MUI Memenuhi Kriteria Sebagai Mufti

Untuk menetapkan hukum Islam, seorang mufti harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan ulama. mengutip dari buku Fuad thahari menurut Ibnu Qoyyim secara khusus, syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mufti antara lain:7

a. Memahami Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait (ulum Al-Qur’an)

b. Mengetahui sebab-sebab turunya ayat- ayat Al-Qur’an dan sebab- sebab keluarnya hadis

c. Mengetahui ayat Al-Qur’an yang nasikhah (ayat yang menghapus) dan ayat Al-Qur’an yang mansukhah (ayat yang dihapus)

d. Mengetahui secara persis ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat musytabihat ( samar )

e. Mengetahui secara detail penta’wilan Al-Qur’an dan penafsirannya secara valid dan akurat

f. Mengetahui secara mendetail tentang hadis-hadis Rasulullah S.A.W.

g. Mengetahui ayat-ayat Makiyah ( ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah S.A W. Sebelum hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Mekah ) dan Madaniyah ( ayat-ayat yang turun sesudah hijrah kendatipun tidak turun di Madinah )

h. Mengetahui ilmu-ilmu agama Islam secara menyeluruh, seperti ilmu Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu, Balaghah, dan ilmu lain yang menunjang dalam menetapkan fatwa.

i. Mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (mashlahah

al-‘ammah)

j. Harus terhindar dari sikap tercela dan mengutamakan kepentingan ilmiah.

7 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I, h.62.

(27)

Dari rumusan syarat-syarat yang berbeda yang disampaikan oleh beragam pakar ushul fiqh, syarat mufti itu dikelompokkan pada empat kelompok sebagai berikut:8

1. Syarat umum. Karena ia menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan hukum syara’ dan pelaksanaannya, maka ia harus seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalanya.

2. Syarat keilmuan: yaitu bahwa ia ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat sebagaiman syarat yang berlaku bagi seseorang mujtahid antara lain mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i mengetahui secara baik dalil-dalil aqli.

3. Syarat kepribadian: yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seseorang mufti karena ia secara langsung akan menjadi ikutan bagi umat dalam beragama. Dua syarat ini bahkan tidak dituntut dari seseorang mujtahid karena tugasnya hanya meneliti dan menggali.

4. Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi di uraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk membidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang (sakinah) dan berkecukupan. Ditambahkan sifat oleh Imam Ahmad menurut yang dinukilkan oleh Ibn al-Qoyyim yaitu: mempunyai niat dan itikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal di tengah umat. Al-Asnawi secara umum mengemukakan syarat mufti, yaitu sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perawi hadis karena dalam tugas-tugasnya memberi penjelasan sama dengan tugas perawi.

Begitu pentingnya posisi mufti, hampir seluruh kitab Ushul Fiqih membicarakan dan menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan persyaratan ketat yang harus dimiliki setiap mufti (orang yang akan memberikan fatwa) maka dengan demikian fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk

8

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, ( Jakarta: Kencana 2014 ), h. 486.

(28)

16

hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.9 Secara prinsipil dan beberapa hal yang telah diuraikan diatas bahwa Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak. Walaupun secara substansi bahwa fatwa memiliki otoritas hanya sebatas dalam rangka responsif, proaktif, dan antisipatif yang sifatnya tidak mengikat namun tidak mengurangi keluhurannya dalam rangka menjalankan dan menunaikan tanggung jawab serta tugasnya demi melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam menuju kehidupan umat manusia yang berada pada jalan lurus dan garis yang benar.

Jika diamati fatwa-fatwa MUI memberi kesan pada masarakat bahwa MUI tidak professional dan tidak banyak mengetahui persoalan-persoalan perkembangan keislaman di masyarakat. Selain itu juga terkesan MUI tidak mendalam pengusaannya tentang ilmu-ilmu keislaman.

Buktinya banyak ulama dan tokoh masyarakat yang mampu membantah fatwa MUI dengan argument-argumen yang mematahkan. Ditambah lagi fatwa-fatw MUI tidk dapat mengcover ormas-ormas (NU, Muhammadiya, dll), Misalnya yang terjadi pada fatwa haram rokok bagi anak-anak dan wanita hamil. Juga tentang fatwa haramnya golput.

Jika fatwa-fatwa MUI memberi kesan bahwa ulama dan kiyai yang ada di MUI tidak professional atau belum memenuhi syarat sebagai ulama dan mujtahid, ini akan membahayakan kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.

Beberapa pertanyaan dan keraguan tentang MUI:

1. Sudahkah ulama yg bertugas di MUI memenuhi syarat sebagai mufti atau mujtahid? Jika belum, tentu fatwanya tidak sah, alias tidak sah diikuti.

2. Sudahkah ulama di MUI itu diuji secara professional oleh ulama atau mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid? Jika belum, mengapa mereka berani mengeluarkan fatwa yang memberi kesan “urun-rembuk”.

9

Ija Suntana, Daya Ikat Fatwa, (Bandung: Unversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2009), h. 3.

(29)

Yakni tidak menunjukkan sebagai seorang mufti yang benar berani bertanggung jawab atas fatwanya kelak di hadapan Allah swt.

3. Mengapa di MUI belum ada forum Mujtahid yang layak untuk menguji para calon mujtahid yang akan bertugas di MUI? Jika belum ada, mengapa mereka tidak diuji di negeri muslim yg telah memiliki mujtahid seperi Mesir dan Iran?

4. Dalam sepengetahuan seorang Prof. DR dalam bidang ilmu tafsir, apalagi lulusan SI dan S2, belum pasti memenuhi syarat sebagai mujtahid, kecuali telah lulus diuji oleh seorang mujtahid atau beberapa mujtahid dalam bidang hukum Islam.

5. Lebih fatal lagi jika ulama atau kiyai di MUI mengeluarkan fatwa berdasarkan pesan sponsor, atau mengikuti kebijakan pemerintah yang tidak paham ajaran Islam. Dan lebih bahaya lagi jika fatwa MUI mengikuti kepentingan politisi. Seperti mengharamkan Golput. Apa dasarnya dalam Al-Qur’an dan hadis? Yang jelas dan qath’i dalilnya adalah kita haram mematuhi penguasa zalim dan ulama su’ (ulama yang buruk mentalnya).

6. Supaya lebih professional, bagaimana kalau calon-calon ulama dan kiyai yg akan bertugas di MUI diuji secara formal kemampuan dan pengusaannya tentang ilmu-ilmu keislaman, juga moral dan pribadinya? Supaya tidak membingungkan dan membinasakan umat dan masyarakat. Sungguh akan lebih berbahaya jika seorang ulama di MUI diangkat berdasarkan kedekatannya dengan penguasa. Bukan berdasarkan ketinggian ilmunya dan kemuliaan akhlaknya.10

10 Muhammad Dainuri, MUI Dalam tinjauan Proporsional dan Profesional,

http://daeeleea.blogspot.co.id/2013/06/mui-proporsional-dan-profesional.html (Diakses:15-03-18 Jam: 15:20

(30)

18

B. Teori Kebebasan Ekspresi Beragama

agama-agama resmi di Indonesia dijamin keberadaanya oleh negara dengan adanya regulasi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau penodaan Agama. namun anehnya masih ada beberapa kelompok yang ingin menghapuskan sebagian atau keseluruhan dan isi undang-undang tersebut. seperti misalnya Musdah Mulia bersama 7 LSM yang pernah mengajukan Judicial Review terkait Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tersebut, sehingga kemudian menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Salah satu dasar gugatannya diantaranya adanya ketidakpastian hukum, sehingga dianggap menjadi alat penekan kelompokk mayoritas untuk memaksakan kebenaran kepada kelompok minoritas. Anggapan tersebut terlihat aneh, adanya jaminan perlindungan agama resmi malah dianggap alat penekan kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya. Padahal negara Indonesia notabene negara multikultural yang memilik ragam, budaya, bangsa, bahasa dan agama telah rukun dan damai dibawah naungan Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Yayan Sopyan, masyarakat diberikan hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaanya, sebagaimana tertuang dalam amanat konstitusi, selain itu negara pun turut bertanggung jawab dalam meningkatkan ketakwaan dan menuntun warganya untuk berprilaku mulia. Karenanya bila ada wacana kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat termasuk didalamnya kebebasan untuk menyiarkan keyakinan dan pemahaman keagamaan yang “menyimpang” dan bertentangan dengan “mainstream” keyakinan dan pemahaman keagamaan pada umumnya, hal itulah pada dasarnya yang merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara. Para pemohon dalam pengajuan uji materi UU No. 1/PNPS/1965 berdalih dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hal kebebasan berasgama dan berkeyakinan. sehingga hal tersebut tanpa sadar malah melupakan hak asasi pemeluk agama resmi yang diakui negara. Hal tersebut diulas Sodikin dalam makalahnya sebagai berikut: “Realitas menunjukkan berbagai peristiwa yang

(31)

mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bidang keagamaan yang belakangan ini muncul. Hak kebebasan beragama ini dijadikan alasan untuk secara bebasa menganut kepercayaan sendiri tanpa juga memperatikan hak beragama orang lain.”

Secara sederhana seolah perlindungan agama resmi dan pelanggaran aliran kepercayaan baru bertentangan dengan Hak Asasi Manusia untuk berekspresi dengan berkeyakinan, sehingga kemudian dianggap bertentangan dengan hak konstitusional warga negara. Artinya kelompok pemohon dalam uji materi undang-undang ini ingin memberikan ruang bebas seluas-luasnya kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memeluk agama, keyakinan dan kepercayaan apa saja walaupun bertentangan dengan agama resmi yang diakui negara. Sehingga kebebasan yang diberikan akan menghilangkan perlindungan atas kemurnian agama resmi yang sudah ada. maka kemudian memungkinkan munculnya sempalan-sempalan aliran yang mirip dengan agama Islam, agama Katolik, agama Kristen, agama Hindu, agama Budha, dan agama Konghucu. Bila hal ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan agama resmi yang sudah diakui negara tadi akan pudar keasliannya, dan secara tidak langsung hak konstitusional warga negara untuk memeluk agamanya akan terlanggar.

Menurut penulis, pemahaman akan Hak Asasi Manusia dalam memeluk agama yang diusung oleh kelompok pemohon uji materi UU No.1/PNPS/1965 tidaklah relevan dalam konteks keindonesiaan. Karena filosofi dari HAM itu sendiri tidak lain memberikan kewajiban kepada seseorang untuk menghormati hak asasi orang lain. Artinya ada kewajiban menghormati agama yang sudah ada diatas tuntutan hak untuk membuat inovasi agama baru. Pengakuan adanya hak asasi pada seseorang berarti mengakui adanya kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang lain artinya adanya kewajiban asasi semua orang untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian, hubungan antara hak dan kewajiban adalah resiprokal yang harmonis, karena pengakuan hak pada pada pihak tertentu berimplikasi kewajiban pada pihak lain.11

11 Nuraahim Yunus, “Hak Konstitutional Warga Negara Dalam Beragama”. (Surat

Kabar ADALAH) 01 Januari 2017

(32)

20

C. Aliran Sesat Dan Fatwa 1. Definisi Aliran Sesat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sesat memiliki arti tidak melalui jalan yang benar; salah jalan atau menyimpang dari kebenaran (tentang agama dan sebagainya). Sedangkan menyesatkan berarti membawa kejalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan).12 Sehingga dapat disimpulkan bahwa sesat adalah usaha untuk mempengaruhi orang untuk menyimpang dari kebenaran atau menuju jalan yang salah.

Sesat dalam bahasa arab disebut dengan dhalal atau dhalalah. Al- Qurthubi, menyatakan bahwa asal dari kata dhalal atau al-ghaybubah (tersembunyi/gaib). Menurut Al-Alusi dan Abu Hilal al-‘Askari, asal dari

dhalal adalah al-halak (rusak). Kemudian Al-Baghawi menggabungkan

keduanya bahwa asal dari dhalal adalah al-halak wa al-ghaybubah (rusak dan tersembunyi). Al-Qurthubi mengatakan bahwa dhalal hakikatnya adalah pergi meninggalkan kebenaran, diambil dari tersesatnya jalan, yaitu menyimpang dari jalan yang seharusnya.13

Dhalal secara mutlak mencangkup orang yang tersesat dari petunjuk, baik sengaja maupun karena kejahilan, dan tentu saja ia akan mendapatkan adzab. Penyebab kesesatan adalah karena kejahilan (bodoh atau tidak tahu tentang ajaran agama), lalu orang jahil itu mengikuti leluhurnya atau oorang-orang yang dikasihinya sehingga ia menyimpang dari jalan yang lurus karena kejahilannya terhadap perintah dan larangan Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau bisa juga karena hanya mengikuti

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sesat, http://kbbi.web.id/sesat. Diakses pada 21 Mei

2016, pukul 18.51 WIB.

13

Yahya Abdurrahman, Sesat (Dhalal), http://hizbuh-tahrir.or.id/2008/08/01/sesat-dhalal/. Diakses pada 21 Mei 2106, Pukul 19.18 WIB.

(33)

nafsunya tanpa petunjuk dari Allah sehingga ia berpaling dari menuntut ilmu syari’ dan mengetahui kebenaran.14

Al-Jili mengatakan bahwa jalan sesat adalah jalan yang ditempuh berbagai pemeluk agama dan keyakinan selain umat nabi Muhammad Saw. Tetapi keyakinan mereka telah dinodai oleh sikap politeistik dan ateistik, sehingga mereka terpecah-belah dan tersesat. Dengan demikian Al-Jili dengan tegas menyampaikan bahwa jalan Muhammad adalah jalan yang lurus, jalan yang menyampaikan kepasa kebahagian sejati tanpa ada kesulitan sedikitpun.15

2. Kriteria Aliran Sesat

untuk menilai suatu aliran dikategorikan sesat atau tidak dalam pandangan islam maka harus dilihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Quran maupun sunnah.16 secara umum ajaran Islam dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu Ushul yang merupakan ajaran pokok yang mencakup aqidah dan ibadah serta furu’ yang merupakan rincian dari ajaran pokok yang juga mencakup aqidah dan ibadah.

secara metodologis suatu ajaran dapat dikatakan sesat jika menyimpang dari ajaran pokok yang bersumber dari al-Quran dan sunnah . contohnya adalah pengingkaran terhadap hari akhir dan kenabian Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi. sedangkan perbedaan dalam rincian-rincian ajaran (Furu) tidak dianggap sebagai sebuah kesesatan, melainkan hanya dipandang sebagai perbedaan pendapat dalam hal aqidah dinamakan aliran. sedangkan perbedaan pendapat dalam hal fiqih disebut mazhab.

majelis ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan 10 (sepuluh) kriteria untuk menilai suatu aliran kepercayaan dipandang sebagai aliran sesat atau tidak. jika suatu aliran kepercayaan dipandang sebagai aliran sesat atau

14 Ummu Tamim, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad,

2010) h.7-8

15

Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn Arabi, Rumi

dan Al-Jili, (Jakarta; PT. Mijan Publika, 2011) h.302-303.

16 Yulkarnain. Harahap, Jurnal“Aliran sesat dalam perspektif hukum pidana islam dan

Hukum pidana nasional” H.03

(34)

22

tidak. jika suatu aliran terdapat salah satu atau lebih dari 10 kriteria tersebut, maka aliran tersebut sudah dapat dikatakan sebagai suatu aliran sesat.

pertama, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam. Kedua,

meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadits. ketiga, meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran. Keempat, mengingkari otentisitas dan kebenaran isi al-Quran. Kelima, melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Keenam, mengingkari kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Ketujuh, menghina, melecehkan atau merendahkan para nabi dan rasul. kedelapan, mengingkari nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. kesembilan, mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, shalat wajib tidak 5 waktu. kesepuluh, mengkafiri sesama muslim hanya karena bukan termasuk kelompoknya.17

disamping itu, ada beberapa indikator untuk menilai suatu aliran keagamaan dipandang sesat. pertama, mengingkari kekadiman Allah SWT.

Kedua, mendustakan salah seorang Rasulullah. ketiga, mengingkari sunah

rasul. keempat, mengingkari mabi muhammad adalah nabi terakhir, dengan kata lain meyakini adanya nabi sesudah nabi Muhammad SAW. Kelima, memiliki aqidah yang bertentangan denga al-Quran dan hadits yang telah disepakati oleh para ulama (ijma).

secara teknis di Indonesia, pihak yang mempunyai otoritas untuk menyatakan bahwa suatu aliran termasuk sesat adalah pemerintah melalui bakorpakem setelah ada penelitian mendalam tentang sejauh mana kesesatannya. adapun proses untuk menyatakan sesat adalah. pertama, penelitian dilapangan oleh Departemen Agama, hal ini untuk melihat apakah suatu aliran menunjukan indikasi meresahkan masyarakat dan menodai agama, kemudian, Kedua, melakukaan koordinasi dengan instansi terkait yaitu kejaksaan, polda dan mendagri. jika bakorpakem sudah menyatakan sesat, maka kanwil depag melalui para penyuluh agama akan berusaha

17 Sigit Pranowo, “Sepuluh kriteria aliran sesat”,

http://www.eramuslim.com//ustadz-menjawab/aqidah/10-kriteria-aliran-sesat.htm. (diakses: 04 april 2018)

(35)

membina mereka untuk bertaubat dan kembali pada ajaran yang benar. terhadap para pengikut aliran sesat, tidak boleh ada aksi anarkis mereka karena hal tersebut akan menimbulkan hal yang tidak baik.18

sesat tidaknya suatu aliran bermula dari fatwa yang dikeluarkan MUI. kekuatan suatu fatwa tergantung pada kredibelitas lembaga yang mengeluarkan fatwa. Fatwa dapat dianggap sebagai sebuah pendapat hukum jika fatwa tersebut dikeluarkan oleh orang atau lembaga yang kredibel maka fatwa tersebut tidak dapat diabaika. Diindonesia MUI merupakan forum ulama, cendikiawan dan pemimpin umat islam dari 46 ormas islam, sehingga gaung dari fatwa MUI cukup besar bahkan berskala nasional.

D. Proses Fatwa MUI Tentang Aliran GAFATAR

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah sebuah ajaran atau aliran sesat. Ketua Umum MUI KH. ma’aruf Amin menyampaikan fatwa tersebut dalam konferensi pers di kantor MUI jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, hari Rabu.

Yang meyakini paham dan ajaran keagamaan Gafatar adalah Murtad, dan wajib bertaubat. Ajaran Gafatar telah menggabungkan beberapa agama di antaranya Islam, Yahudi, Nasrani, yang itu dinilai telah melecehkan. KH. Ma’aruf Amin meminta pemerintah wajib melarang penyebaran aliran Gafatar serta setiap paham dan keyakinan serupa. Selain itu melakukan penindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemimpin Gafatar t terus menyebarkan aliran dan ajaran keagamaannya.

Seluruh umat Islam di seluruh Indonesia juga di minta memperkeruh kondisi itu dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Untuk itu segala kerugian terhadap aset yang dibakar dan dirampas agar dipulangkan kembali atau diganti.

18

Yulkarnain. Harahap, Jurnal“Aliran sesat dalam perspektif hukum pidana islam dan

Hukum pidana nasional” H.05

(36)

24

Fatwa tersebut dikeluarkan setelah MUI melakukan pertemuan bersama dengan perwakilan dari daerah di seluruh Indonesia dan juga pertemuan dengan Kejaksaan Agung. Setelah melalui proses tersebut maka MUI menetapkan Gafatar sebagai organisasi atau ajaran yang menyesatkan dan tidak diperkenankan untuk berdiri kembali.

Dalam jumpa Pers Ketua Umum didampingi oleh Ketua Bidang Fatwa MUI Khuzaemah T. Yanggo, Ketua Komisi Fatwa Hasanuddin, dan Sekkretaris Komisi Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh.19

Vonis sesat MUI itu dapat dipandang sebagai perwujudan dari peran MUI sendiri, disamping sebagai pelanjut dari tradisi takfir yang telah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam yang cukup awal. Di dalam Muqaddimah Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi (warasatul anbiya’), pelayan umat (khadimul ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah Muhammad Saw. Selanjutnya , dijelaskan bahwa sebagai

warasatul anbiya’, Ulama Indonesia menyadari bahwa merupakan suatu

kewajiban bersama (fardlun jama’iy) untuk menegakkan kebeneran dan keadilan dengan cara yang baik dan terpuji. Kemudian, diungkapkan pula bahwa Ulama Indonesia menyadari peran dan fungsinya sebagai pemimpin umat yang harus lebih ditingkatkan, sehingga mampu mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan Aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan ibadat, menuntun umat dalam mengembangkan akhlakul karimah agar terwujud masyarakat yang berkualitas (khair ummah). Bila dikaitkan dengan persoalan fatwa tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi MUI ini. Di samping berkaitan dengan peran dan funsi MUI itu, pemberian fatwa terhadap umat juga berhubungan dengan tekad MUI untuk tidak membiarkan umat dalam kebingungan.

Di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia disebutkan bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan

19 Yan Chrisna Dwi Atmaja, MUI Menetapkan Fatwa Gafatar Sesat,

www.satuharapan.com diakses pada Rabu, 03 Februari 2016. 13.13 WIB.

(37)

membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Tekad ini dilanjutkan dengan klaim MUI sebagai pengayom umat dan sebagai lembaga yang paling kompeten dan paling dipercaya. Dinyatakan di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendikiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga yang paling berkompeten bagi pemecahan dan menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.20

sejalan dengan klaimnya itu di Bab IV yang mengatur tentang “Kewenangan dan Wilayah Fatwa” dinyatakan di Pasal 1 bahwa MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum fikih dan masalah aqidash yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.21

Dengan demikian, MUI berkepentingan dengan kebenaran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan Islam Indonesia. Dari sinilah MUI merasa berkewajiabn mengawal atau menjaga umat agar tetap pada jalur kebeneran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan. Atas dasar inilah MUI akan selalu memberikan fatwa (jawaban atau penjelasan) di setiap ada persoalan baru yang muncul, baik yang yang berkenaan dengan persoalan i’tiqadi maupun syar’i, persoalan akhlak maupun hukum. Apalagi kalau persoalan keagamaan yang muncul itu berkaitan dengan masalah penyimpangan atau penyelewengan agama, maka MUI akan segera meresponnya walaupun tidak diminta.22

20

Dr. Hm. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, dalam

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, jakarta: Sekretaris Majelis Ulama Indonesia,2010,

h.3-4.

21 Dr. Hm. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, dalam

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, jakarta: Sekretaris Majelis Ulama Indonesia,2010, h.7

(38)

26

Klaim MUI sebagai lembaga yang berkompeten dan berwenang memang mengindikasikan suatu klaim diri bahwa paham MUI lah yang benar atau MUI lah yang berkompeten dan berwenang menetapkan kebenaran beragama di Indonesia. Dengan sepuluh kriteria aliran sesat yang telah di tetapkan oleh MUI, maka segala bentuk paham dan praktek keagamaan yang memenuhi salah satu unsur itu tidak lagi dipandang sebagai bentuk perbedaan, tapi ditetapkan sebagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang sesat dan menyesatkan.

22Di Pedoman Dasar Majeslis Ulama Indonesia Bab III tentang “Sifat dan Fungsi” Pasal

4 mengenai “Fungsi” dinyatakan bahwa MUI merupakan pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.

(39)

A. Sejarah dan Status Kelembagaan Majlis Ulama Indonesia (MUI)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 26 Juli 1975 M atau 17 Rajab 1375 H di Jakarta berdasarkan Pedoman Dasar 2005 pada Bab I 162 pasal 1 ayat (2).1 Bermula dari konferensi para ulama di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam bentukan pemerintah pada waktu KH. M. Dahlan sebagai Menteri Agama, tanggal 30 September s.d. 4 Oktober 1970, pada waktu itu diajukan saran untuk memajukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiaan sosial dengan membentuk sebuah majelis para ulama Indonesia yang diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa.2

Tahun 1974 diadakan lokakarya nasional Persatuan Dakwah Nasional, Dakwah Muslim Indoensia, presiden pada waktu itu Soeharto menyarankan perlunya sebuah badan nasional bagi para ulama untuk mewakili kaum muslimin dalam sebuah wadah pertemuan antar umar beragama. Pada tanggal 24 Mei 1975 ketika presiden Soeharto menerima delegasi Dewan Masjid Indonesia, ia menekankan kembali perlunya dibentuk Majelis Ulama Indonesia dengan alasan agar kaum muslimin bersatu dan sadar bahwa permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan turut sertanya ulama. Menteri Dalam Negeri Amin Machmut juga menganjurkan daerah-daerah agar membentuk Majelis Ulama dan hasilnya Mei 1975 sebanyak 26 propinsi telah membentuk Majelis Ulama daerah.3

Pada tanggal 1 Juli 1975 pemerintahan Soeharto melalui Departemen Agama mengumumkan penunjukkan sebuah panitia persiapan pembentukan Majelis Ulama tingkat Nasional, dengan ketua H. Sudirman, penasehat Dr.

1 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, (Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005), h. 31.

2 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 66.

3 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h. 55.

27

(40)

28

Hamka, KH. Abdullah Syafi'i dan KH. Syukri Ghazali. Pada muktamar nasional ulama tanggal 21-27 Juli 1975 dengan akhir muktamar disepakati "Piagam Pembentukan MUI" dengan ditanda tangani 66 orang peserta dan mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia, dengan ketua umum pertama yaitu Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dipanggil Buya Hamka.4 Tanda berdirinya MUI diabadikan dalam bentuk penandatanganan Piagam Pembentukan MUI terdiri dari; 3 orang ulama, 26 orang ketua MUI dari se-Indoensia, 10 orang ulama dari unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan Polri, serta 13 orang ulama yang hadir dari sebagai pribadi. Kesepuluh Ormas Islam tersebut adalah: NU (KH. M. Dahlan), Muhammadiyah (Ir. H. Basit Wahid), Syarikat Islam (H. Syafi'I Wirakusumah), Perti (H. Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah (Anas Tanjung), Mathla'ul Anwar (KH. Saleh Su'aidi), GUPPI (KH. S. Qudratullah), PDI (H. Sukarsono), DMI (KH. Hasyim Adnan), Al-Itthiadiyah (H. Zaenal Arifin Abbas).5

Sebagai organisasi sosial keagamaan MUI telah menetapkan visinya sebagai berikut: Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridha dan ampunan Allah swt (baldah

tayyibah wa rabbun gafur) menuju masyarakat berkualitas (khairu al-'ummah)

demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin ('izzul al-Islam wa al-

muslim) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi

dari rahmat bagi seluruh alam (rahmah li al-'alamin).6 Disamping visi, ditetapkan pula misi untuk mencapai sasaran visi tersebut, yaitu:7

1. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah al-hasanah), sehingga mampu

4

Rusjd Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981), h. 68.

5 Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama

Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001), h. 41.

.

6 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 21.

7 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 21.

(41)

mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, serta menjalankan syariat Islamiyah.

2. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi mungkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyakat berkualitas

{khairu al-'ummah) dalam berbagai aspek kehidupan.

3. Mengembangkan ukhuwwah al-Islamiyyah dan bekersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran utama MUI yang akan dilakukan berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan dalam Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 yaitu:8

1. Sebagai ahli waris tugas para Nabi (warasah al-anbiya) yang menyebarkan ajaran Islam, terwujudnya kehidupan Islami, dan memperjuangkan perubahan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) dalam memberi fatwa diminta atau tidak diminta, mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi umat yang beragam aliran dan organisasi keagamaan.

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ra'iy wa khadim al- 'ummah) dimana melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan dalam bimbigan dan fatwa keagamaan.

4. Sebagai Penegak Amar Makruf Nahyi Munkar dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah. Pejuang dakwah (mujtahid da'wah) dengan berusaha merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu al- 'ummah) sejalan dengan ajaran Islam.

5. Sebagai pelopor gerakan pembaharuan {al- tajdid) yaitu gerakan pembaharuan pemikiran Islam.

8 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 24-26.

(42)

30

6. Sebagai Pelopor Gerakan Islah adalah sebagai juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Menempuh jalan al-jam'u wa al-

taufiq (penggabungan dan pengkompromi/persesuaian) dan tarjih (mencari

hukum yang tebih kuat), sehingga terpelihara persaudaraan (ukhuwwah) umat Islam Indonesia.

Disamping peran yang telah digariskan, MUI juga menetapkan fungsinya pada Pedoman Dasar 2005-2010, antara lain:9

1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim dalam mengaomi umat dan mengmebangkan kehidupan yang Islami

2. Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zu'ama' dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang

ukhuwwah al-Islamiyyah

3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan kosultasi antar umat beragama

4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.

Dengan kesungguhan ikhtiar, ketakwaan dan permohonan ampun kepada Allah swt. MUI bermaksud turut serta dalam memajukan umat Islam, bangsa dan negara Indonesia di bawah naungan ridha dan ampunan Allah, sehingga terwujdnya negara baldah tayyibah wa rabbun gafur.10

Berdirinya komisi fatwa MUI tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya lembaga MUI itu sendiri, dimana MUI itu dibentuk untuk memajukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah majelis para ulama Indonesia yang diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa.11

Komisi fatwa ada sejak ditetapkannya susunan kepengurusan MUI pusat dengan ketua pertama Buya Hamka, dan ketua komisi pertama adalah Syukri

9 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 32.

10

Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 92.

11 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 92.

(43)

Ghozali. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Tahun 1975 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena baru saja dibentuk, kemudian baru pada 1976 sampai dengan 1984 MUI mengeluarkan fatwanya. Tahun 1985 sampai dengan 1986 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena MUI ingin menghindari pengeluaran fatwa terlampu banyak dan adanya kritik habis-habisan dalam fatwanya tentang adu tinju yang dilarang oleh agama Islam, masyarakat beranggapan MUI tidak perlu menanggapi hal ini.12

Sifat khusus dari tugas MUI adalah memberi nasihat, karena itu MUI tidak boleh melakukan program praktis, dan hal ini disampaikan sejak awal oleh Presiden Soeharto pada Konferensi Nasional Pertama para ulama tanggal 21 Juli 1975, bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program praktis seperti menyelenggarakan madrasah, masjid, rumah sakit dan lainnya, karena ada organisasi Islam lain yang telah mengelolanya, disamping itu MUI juga dilarang berpolitik praktis, karena ada partai politik seperti PPP dan PDI, serta Golkar.13

MUI dalam pedoman dasarnya melaksanakan tugas dalam memberi fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah ataupun kaum muslim mengenai persolan keagamaan dan kebangsaan, sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan Musyawarah Alim Ulama I di Istana Merdeka tanggal 21 Juli 1975 bahwa diharapkan MUI berperan sebagai pemberi fatwa dalam mengatasi perbedaan pendapat dalam menjalankan ibadah14 dan MUI juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam permusyawaratan antargolongan agama.15

12

Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Tahun 2005, h. 79.

13 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama,

h. 324.

14 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama,

h. 320.

15

Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi

tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h. 63.

(44)

32

Pada waktu berdiri hingga tahun 1986, MUI tidak membuat pedoman berfatwa, yang mengakibatkan ketidakseragaman dalam mengeluarkan fatwa, misalnya antara pusat dan daerah, sebagai contoh MUI Sumatera Barat membolehkan peternakan kodok yang bersidang pada 21 Juli 1984, sementara MUI Nusa Tenggara Barat mengharamkan peternakan kodok. Melihat gejala itu, maka MUI pusat melakukan sidang pada 12 Nopember 1984 dengan kesimpulan bahwa berternak kodok boleh atas dasar mazhab Maliki dan memakannya dilarang atas dasar mazhab Syafi'i.16

Pada tanggal 30 Januari 1986 MUI pusat mengeluarkan buku pedoman rinci untuk berfatwa dan MUI bertanggung jawab untuk mengeluarkan fatwa atas masalah kaum muslimin dan kebangsaan. MUI daerah apabila ingin berfatwa harus berkonsultasi dengan MUI pusat sebelum mengeluarkan fatwanya. Buku pedoman itu juga mengatur bahwa komisi fatwa tidak boleh mengeluarkan fatwa tanpa adanya tanda tangan ketua umum MUI setempat.17

Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M, berdasarkan salah satu fungsi MUI sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemeintah, baik diminta maupun tidak diminta, sehingga secara kesejarahan komisi fatwa sebagai perangkat organisasi terpenting dalam Majelis Ulama Indonesia.18

16 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi

tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h.85-86.

17 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi

tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h.87.

18

Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama

Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001), h. 46.

(45)

B. Metode Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Hasil sidang pleno MUI pada 18 Januari 1986 menetapkan dasar-dasar berfatwa di lingkungan MUI, yaitu:

1. Setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah rasul yang mu'tabarah,19 serta tidak bertentangan dengan kemasalahatan

umat.

2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul, keputusan Fatwa

hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’', qiyas dan mu'tabar serta dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih al mursalah, dan sadd

al-zari'ah.

3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para ahli hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.

Selain itu juga ditetapkan prosedur penetapan fatwa sebagai berikut:

1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.

2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya qat'i hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nas-nya dari Alquran dan sunnah.. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil

Tarjih, (pendapat yang terkuat) setelah memperhatikan fiqih muqaranah

(perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah usul fiqih muqaranah yang berhubungan dengan usaha mencari pendapat yang terkuat. MUI

19

pembatasan akses dimaksud di atas ditegaskan dalam hasil keputusan Munas Alim Ulama NU 1993 di situbondo. Berasarkan keputusan Munas tesebut, yang dimaksud kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab empat mazhab. Dalam perumusan tersebut tampak bahwa klasifikasi al-kutub al-mu’tabarah lebih ditekankan pada persoalan fikih. Rumusan yang lebih luas diputuskan dalam Munas Bndar Lampung yang menegaskan bahwa Kitab al-mutabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal jama’ah.

(46)

34

dalam menetapkan fatwa melakukan pendekatan dengan tiga cara.yaitu:

Pertama, pendekatan dengan menggunakan dalil yang jelas , yaitu

berpegang pada dalil Alqur'an dan hadis, sehingga fatwa yang dilakukan apabila telah jelas hukumnya (al-Ahkam al- Qat'iyah) disampaikan sebagaimana adanya. Kedua, pendekatan qawli, yaitu jawabannya dicukupi oleh pendapat (qawl) dalam al-kitab al-mu'tabarah apabila terjadi perubahan sosial maka dilakukan telaah ulang terhadap qawl tersebut. Dan

ketiga, pendekatan manhaji, yaitu dilakukan degan ijtihad jama'iy (ijtihad

kolektif).20

Komisi fatwa MUI melakukan ijtihad jika terjadi khilafiyah di kalangan mazhab dengan cara:

a) Al-Jam'u wa al-Taufiq,

Apabila seorang Mujtahid tidak menemukan jalan untuk mentarjih salah satu dari dua dalil yang berlawanan, hendaklah berusaha untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut (Al-Jam'u wa

al-Taufiq). Yakni mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang

lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi.21 Berlainan dengan tarjih, dalam taufiq ini, kedua dalil yang berlawanan itu diberlakukan semua. Penggunaan metode al-jam'u wa al-taufiq yaitu mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi.

Cara men-jama' dan men-taufiq dua buah dalil yang nampak berlawanan dengan cara:22

1) Men-ta’wil salah satu dalil sehingga tidak berlawanan dengan nas lain dan

20 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika Kontemporer

(Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan Comdes

Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h.217.

21 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami, h,

477.

22 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami, h,

477.

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai bentuk tindak kekerasan ini mengakibatkan dampak negatif bagi korban baik dampak psikis, mental maupun fisik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung

Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah

Berdasarkan hasil analisis data secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan dalam mengenal huruf hijaiyah melalui metode bermain pada anak usia 4-5 tahun di

Dengan demikian dapat disimpulkan seluruh siswa memberikan respon sangat positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw

Risiko Partus Prematurus pada Kehamilan dengan Infeksi Saluran Kemih.. Cermin Dunia Kedokteran

Ketatnya persaingan dan pertumbuhan pusat perbelanjaan modern yang sangat ekspansif disertai fenomena adanya pendatang baru pusat perbelanjaan modern yang mengalami kendala

kehadiran pegawai. Absensi harian berlaku untuk bagian operasional saja bagian Pengawas Lapangan tidak memerlukan absensi harian. Hal ini disebabkan karena PT. Maju

Dari pernyataan hasil wawancara maka dapat dianalisis bahwasanya mengembangkan potensi peserta didik merupakan salah satu tugas guru, akan tetapi ada beberapa faktor