Dwi Susilo Komar
Department of Social Anthropology, Universitas Indonesia
Abstract
This written describe the social phenomena of circular migration by individual or groups of individuals in order to obtain employment resources in a territory that is outside of individual origin territory come from. Movement into a territory in order to appeased life need, and they, indeed, have no intend to be permanent residents in destination territory. Later, they will return to their each families who stay remain of their origin territory. Circular migrants went to a territory in the context of this research begins to capitalize on social relations have been owned by actors with previous migrants had known through relations. They tried to activated their social relations because this social relations is the social capital of actors/circular migrants to obtain employment resources that have been done by previous migrants who participated either as construction workers or food vendors. From this two context, Both will clearly show the social grouping of actors/circular migrants which each form a unity of social network.
This written also explain social network based on two context of employment resources effort to fostered and maintained by actors, because previous migrants or circular migrants, both interdependent and well earned need each other. Social relations are materialized, binding individuals in a social network go into as to know the ‘logika situasional’ which interchange explained in power relation with reward and sanction used in social network to achieve their purpose in appease life need of actors.
Key Words: Circular Migrants, Employment Resource, Social Network, and Social Relation is Social Capital
Permasalahan tenaga kerja di perkotaan yang memiliki keterkaitan dengan urbanisasi dan migrasi, mulai menjadi topik yang ramai dibicarakan oleh para ahli sejak 1970an (C.Manning dan T.N. Effendi, 1985: 1). Perpindahan penduduk semacam ini terutama dari pedesaan ke perkotaan merupakan suatu faktor utama yang mendorong pesatnya pertumbuhan kota-kota di Negara sedang berkembang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa migrasi sebagai suatu proses perpindahan penduduk, mengalami peningkatan yang cukup berarti pada beberapa dasawarsa belakangan ini, terutama di Negara-Negara yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Perpindahan penduduk dan
sumber daya lain dari desa ke kota diharapkan dapat memberikan tenaga kerja dan mendorong industrialisasi di perkotaan (C.Manning dan T.N. Effendi, 1985: 8).
Ida Bagus Mantra dan Sunarto Hs (dalam Kartomo Wirosuhardjo, dkk. 1986:
213-217) menerangkan bahwa
perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Perpindahan orang-orang Jawa ke pulau-pulau lain baik spontan maupun disponsori oleh pemerintah, mobilitas non permanen (merantau) dari suku Minangkabau, dan perpindahan suku Bugis-Makasar ke daerah-daerah pantai di Indonesia. Perpindahan penduduk secara geografis ini meliputi gerakan (movement)
penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Untuk batas wilayah umumnya dipergunakan batas administrasi, misalnya propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau pedukuhan.
Saefullah (1994: 35)
mengemukakan bahwa perpindahan penduduk atau yang dikenal dengan migrasi merupakan suatu refleksi dari adanya pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Keterbatasan sumber daya dan lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi menjadi faktor dominan bagi penduduk meninggalkan daerah asal.
Di dalam tulisan lainnya, dijelaskan bahwa faktor pendorong masyarakat pindah dari desa seperti perbandingan antara jumlah penduduk dan luas lahan pedesaan yang timpang. Mc.Suprapti (1990: 1) menuliskan bahwa dengan terbatasnya pemilikan lahan dan lapangan kerja di desa mendorong penduduk mencari tambahan penghasilan di luar sektor pertanian. Umumnya, mereka mencari kerja di kota. Dengan artian bahwa ketersediaan sumber daya di pedesaan sangat terbatas untuk jumlah penduduk yang terdapat di desa. Sedangkan, Nathan Keyfits dan Wijoyo Nitisastro (dalam Ahmad Sahur, dkk. 1988: 25) mengatakan sebab utama
gerakan perpindahan berhubungan dengan ekonomi: kesulitan hidup di desa karena makin besarnya jumlah penduduk dan kurangnya kesempatan bekerja di luar sektor pertanian.
Fenomena Migrasi
Migrasi yang diartikan sebagai suatu perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain, perlu ditinjau khususnya pada migrasi di Indonesia secara regional yang penting untuk ditelaah secara khusus melalui faktor-faktor pendorong dan penarik bagi orang-orang untuk melakukan migrasi terkait dengan sentralisasi dalam pembangunan. Dilain pihak, komunikasi termasuk transportasi yang semakin berkembang dan lancar. Lebih jauh, dijelaskan bahwa migrasi merupakan perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara (Rozy Munir 1981: 116).
Koentjaraningrat pun menjelaskan dalam penelitiannya yang di tulis dalam sebuah buku „Masyarakat Desa di Selatan Jakarta‟ (1975: 104),”.... form their areas
to other specific locations, which offer more opportunities for employment and in which they settle more or less permanently
....” . Disini beliau mencoba untuk memberikan gambaran mengenai pola
migrasi penduduk yang berada di salah satu wilayah di Jakarta Selatan. Pola migrasi disini diistilahkan dengan migrasi tetap atau permanent removal atau ‘orang yang pindah‟.
Dalam satu pengertian lain, bahwa migrasi adalah perpindahan yang bersifat resmi serta mempunyai tendensi pasti, yakni untuk tinggal menetap dan mencari nafkah di tempat (negara) yang baru (Ramadhan K.H. dan Abrar Yusra, 2005: 11). I.B. Mantera (1985 dalam Rozy Munir, 1981: 117) memperkenalkan istilah lainnya, yakni commuting atau migran pulang-pergi yang mana jika dalam jangka waktunya lebih pendek misalnya dalam satu hari, yaitu pergi pagi dan sore kembali yang dilakukan secara terus-menerus setiap harinya. Selain itu, dikenal pula beberapa bentuk perpindahan tempat (mobilitas):
Perubahan tempat yang bersifat rutin, misalnya orang yang pulang balik kerja (reccurent movement);
Perubahan tempat yang tidak bersifat sementara, seperti perpindahan bagi para pekerja musiman (circular
movement); dan
Perubahan tempat tinggal dengan tujuan menetap dan tidak kembali ke tempat semula (non-recurrent
movement).
Graeme J. Hugo (1982) melihat migrasi yang dibedakan berdasarkan sifatnya ada dua, yaitu migrasi permanen dan migrasi non permanen. Keduanya sama-sama berbicara mengenai perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya namun, hanya berbeda pada niatannya. Dimana dengan adanya niatan atau keinginan migran untuk pindah tempat tinggal secara tetap di daerah tujuan maka migran tersebut dikategorikan kedalam migran permanen. Jika migran tersebut tidak memiliki niatan untuk menetap di suatu wilayah yang ditujunya sebagai tempat pindah maka migran tersebut dikategorikan kedalam migran non-permanen/migran sirkuler. Zelinsky (1971: 225-226) dalam Hugo (1982: 60) mendefinisikan migrasi konvensional sebagai “perubahan tempat tinggal yang bersifat permanen ataupun semi-permanen” dan migrasi sirkuler sebagai “biasanya sebuah keberagaman dari pergerakan jangka pendek, berulang atau siklus alami, tetapi semuanya memiliki kesamaan kurangnya dari beberapa yang dinyatakan bermaksud pada akhirnya merubah niatan untuk bertempat tinggal dalam jangka waktu panjang secara permanen.
Mc Suprapti (1990: 13-15) menjelaskan bahwa migrasi sirkuler sudah berlangsung sejak tahun 1930-an, seperti migrasi panenan ke Sumatera bagian
selatan untuk memanen lada dan cengkeh (Graeme J Hugo, 1986: 58). Akhir-akhir ini sejak perang kemerdekaan, gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota cukup menonjol. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa alasan tertentu, seperti: keamanan, pendidikan, dan pekerjaan. Namun, hanya permasalahan pekerjaan yang masih menjadi faktor utama masyarakat untuk melakukan migrasi.
Diungkapkan Hugo (1982: 70) bahwa tujuan migrasi sirkuler adalah untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga yang menetap di desa guna memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hal ini, para migran sirkuler pergi ke kota untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik dan hasil dari apa yang diperolehnya di kota itu digunakan sebagai tabungan untuk keluarganya yang tetap tinggal di daerah asalnya.
Dalam penelitian Hugo (1982) menerangkan mengenai migran sirkuler bahwa pengiriman hasil pekerjaan berupa upah uang ke keluarganya yang tinggal di desa atau tanah asal sebagai hasil pendapatan migran di kota merupakan hal yang utama dilakukan migran sirkuler. Penggunaan uang kiriman tersebut pada umumnya dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari seperti, makan, membeli pakaian, pendidikan, selamatan, serta membeli barang-barang
kebutuhan rumah tangga keluarga migran yang berada di desa (daerah asal). Disamping itu, dijelaskan bahwa uang yang dikirimkan juga dipergunakan untuk membangun ataupun merenovasi rumah di desa. Dalam masyarakat Jawa hal ini dianggap bahwa rumah disamping sebagai kebutuhan tempat tinggal, juga berfungsi sebagai simbol status. Oleh karena itu, kemegahan sebuah rumah sering kali mencerminkan kemampuan pemiliknya.
Dalam pandangan Hugo (1982: 61) bahwa migran sirkuler (circular migrant) sama dengan migran permanen yakni, dengan tujuan untuk pindah dari daerah asal ke daerah tujuan yang biasanya dengan maksud mencari akses lapangan pekerjaan. Hanya saja yang membedakan migran sirkuler dengan migran permanen yakni, keinginan atau niatan untuk tidak tinggal secara menetap di daerah tujuan. Adapun tujuan migran sirkuler untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga yang menetap di desa (daerah asal). Dalam hal ini, para migran pergi ke kota untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik melalui akses sumber daya yang tersedia dan diperolehnya di daerah tujuan yang pada akhirnya hasil dari perolehan sumber daya itu akan dikirimkan kembali ke keluarga migran sirkuler yang ada di daerah asal.
Selain itu, migran sirkuler juga pulang ke daerah asal pada saat hari-hari
raya keagamaan dan juga pada saat ada kegiatan atau upacara adat yang berkaitan dengan daur hidup (kelahiran, khitanan, pernikahan, kematian). Namun demikian, tak sedikit migran sirkuler yang kembali ke desa sewaktu-waktu dalam jangka waktu yang tetap seperti dua minggu, sebulan atau dua bulan sekali. Hal ini mungkin juga cenderung ditunjang oleh faktor jarak, biaya, dan kemudahan sarana transportasi. Biasanya migran sirkuler ini, di dalam keluarga di daerah asalnya berstatus sebagai kepala keluarga (suami) meskipun banyak diantara mereka yang berstatus sebagai seorang anak lelaki dewasa yang sudah lulus sekolah dan melanjutkannya dengan pergi merantau. Hampir semua kegiatan migran sirkuler ini melakukan kegiatan di kota untuk meningkatkan pendapatan keluarga yang menetap di daerah asal (desa).
Menurut pandangan Gordon Temple (1986: 86) dalam Suprapti (1990), salah satu sasaran tujuan para migran pencari kerja itu adalah kota yakni, kota Jakarta. Jakarta dipilih karena para migran merasa bahwa kota inilah yang memberi harapan dan berpotensi paling besar untuk mendapatkan dan mengakses kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan. Dalam penelitian ini yang terkait dengan migran sirkuler di Jakarta, mereka bukanlah dengan tangan kosong datang ke kota Jakarta, melainkan bermodalkan
pemanfaatan akses melalui hubungan sosial yang terbentuk antara aktor migran sirkuler dengan aktor migran yang sudah terlebih dahulu mengadu nasib di Jakarta. Hal ini sebagai upaya bagi migran sirkuler untuk mendapatkan sumber daya (penghasilan yang lebih baik) dengan berlandaskan pada modal sosial1 (ikatan kekerabatan, tetangga, dan bahkan pertemanan) untuk mencapai daerah tujuan.
Kemudian lebih lanjut, Suprapti (1990: 17) menjelaskan bahwa ikatan kekeluargaan dan hubungan baik antara mereka yang telah berhasil di kota dengan warga yang ditinggalkan di daerah asal merupakan salah satu daya tarik dan akses tersendiri bagi perantau seperti migran sirkuler menuju kota Jakarta. Melalui informasi dan dapat mengakses migran yang telah terlebih dahulu berhasil dan berpengalaman di kota Jakarta, mereka menjadi modal warga sedaerah asal untuk melakukan mobilitas sirkuler ke Jakarta. Biasanya seorang migran yang telah lama menekuni kegiatan informal dan berhasil
1 Dalam Agusyanto (2010: 99-110) bahwa
modal sosial adalah hubungan sosial yang mana konsep ini telah lama digunakan dalam dunia bisnis, ekonomi, perilaku organisasi, ilmu politik, ilmu kesehatan masyarakat atau ilmu-ilmu sosial pada umumnya – dengan berbagai definisi yang saling terkait ikatan-ikatan sosial dalam dan antar jaringan sosial. Ikatan-ikatan sosial ini mempunyai nilai yang dapat meningkatkan produktivitas (baik secara individual maupun kolektif). dengan kata lain, ikatan-ikatan sosial dapat mepengaruhi produktivitas individu dan jaringan sosial (jaringan sosial sebagai satu kesatuan sosial).
di Jakarta menjadi akses bagi kerabat di kampung asal untuk memperoleh pekerjaan.
Akses (Bermigrasi) Migran Sirkuler di Jalan Timor, Menteng-Jakarta
Kehidupan para migran sirkuler yang kini tinggal di Jakarta dalam penelitian yang dilakukan pada tulisan ini memang banyak diantaranya yang bekerja sebagai buruh tani di daerah asal. Meskipun ada yang lulusan dari sekolah menengah atas, menengah pertama, tamatan sekolah dasar bahkan sampai ada yang tidak tamat sekolah dasar di daerah asalnya yang kemudian melanjutkan dengan mencari pekerjaan dikarenakan keterpaksaan atas kondisi ekonomi keluarga masing-masing migran. Mereka memanfaatkan akses informasi dimana kerabat, tetangga, atau teman mereka yang sudah berhasil mengadu nasib dalam memperoleh sumber daya pekerjaan (penghasilan dan memperoleh penghidupan yang lebih baik) sebagai buruh bangunan di Jakarta. Sebenarnya, bukan hanya Jakarta yang menjadi kota tujuan para migran sirkuler ini, hanya saja dengan adanya akses sumber daya yang para migran ini cari terdapat di Jakarta, mengakibatkan para migran tersebut melabuhkan kota Jakarta sebagai destinasi perantauan.
Banyak diantara para migran sirkuler dalam penelitian ini yang memang ikut bekerja sebagai buruh bangunan yang mana sudah digeluti oleh migran yang terlebih dahulu merantau ke Jakarta. Migran yang terlebih dahulu merantau ke Jakarta, sampai saat ini sudah dapat hidup mapan yakni, dengan melihat kemampuan dirinya untuk memiliki tempat tinggal pribadi, kendaraan pribadi, sampai dengan akses pekerjaan sebagai buruh bangunan pada sebuah perusahaan kontraktor walaupun bersifat informal dan bentuknya wiraswasta namun, secara keberlanjutan dapat mengakomodir kehidupan keluarganya di Jakarta. Pada akhirnya, migran tersebut memilih untuk menjadi warga tetap Jakarta. Dengan demikian, migran ini dapat dijadikan akses atas sumber daya pekerjaan oleh kerabat, teman, dan tetangga di daerah asalnya. Tetapi, ada beberapa migran sirkuler lainnya yang memilih untuk membuka usaha sendiri di Jakarta walaupun diawalnya, migran sirkuler ini juga membutuhkan bantuan dan dukungan dari migran yang terlebih dahulu merantau ke Jakarta.
Mengandalkanhubungan emosional dan untuk kepentingan, antara migran sirkuler dengan migran yang telah berhasil di Jakarta, hal ini membuat anggapan bahwa pembangunan pesat di Jakarta atas kesempatan kerja, memberikan
kesempatan bagi migran sirkuler untuk mengadu nasib ke kota karena akses yang diperoleh dari kerabat atau kenalan tentang kemudahan mencari pekerjaan dan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan dari daerah asal (Bungaran Silaban dkk., 1980: 61-65 dalam Suprapti, 1990).
Hal tersebut dilakukan oleh para aktor dalam masyarakat penelitian ini melakukan perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat melakukan migrasi juga karena adanya akses yang bersumber pada hubungan sosial yang mereka miliki dengan kenalan mereka yang sudah sukses di suatu wilayah sebagai akses bagi mereka dalam melakukan kegiatan migrasi.
Hildred Geertz (dalam Ahmad Sahur, dkk. 1988: 69) mengungkapkan bahwa tali ikatan yang dirasakan terkuat, adalah tali ikatan kepada kumpulan yang tidak berbentuk dan bersifat sementara, yang terdiri dari para tetangga terdekat atau ikatan dengan anggota keluarga yang terdekat. Didasari dari pemikiran sederhana tersebut, bahwa dengan menggunakan ikatan-ikatan kenalan yang sudah dimiliki dapat memberikan bantuan yang salah satunya dalam mengakses sumber daya pekerjaan di perkotaan.
I.B. Mantra menerangkan bahwa pada penelitiannya mengenai migran sirkuler yang tidak jauh berbeda dengan migran lainnya bahwa mereka (para migran) akan mengatasi satu bentuk kendala memperoleh pemukiman di daerah tujuan dengan bertempat tinggal bersama orang-orang sedaerah asal atau kerabat, yang menganut pandangan hidup (nilai dan norma) yang sama (dalam Kartomo Wirosuhardjo, dkk. 1986: 212).
Migrasi dari satu wilayah ke wilayah lain karena dorongan utamanya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang lebih tinggi bersama kendala-kendala yang akan dihadapi di daerah tujuan untuk menangani terbatasnya ketersediaan sumber daya di daerah asal (C.Manning dan T.N.Effendi, 1991: 7). Sehingga pemukiman di daerah tujuan (perantauan) hanya sebagai tempat tinggal sementara selama mengumpulkan penghasilan dari pekerjaannya itu. Kemudian para migran ini akan kembali ke daerah asalnya setelah memperoleh apa yang ditujunya.
Dibalik itu semua, para migran sirkuler berupaya untuk memperoleh sumber daya pekerjaan dan mengatasi kendala-kendala yang mereka hadapi di daerah tujuan, seperti pada konteks kelompok migran sirkuler yang tinggal di Jalan Timor, Menteng Jakarta dilakukan dengan mengaktifkan dan membina
hubungan sosial diantara migran yang diikutinya tersebut. Banyak diantara mereka yang ikut dengan kerabat atau teman ataupun tetangga yang berasal dari kampung daerah asalnya tinggal, yang telah mampu bertahan lama di kota Jakarta. Upaya migran sirkuler ini dilakukan untuk memperoleh sumber daya penghasilan yang lebih baik dengan mengacu pada migran yang diikutinya. Bahkan dalam satu bentuk pekerjaan yang sejenis pula seperti buruh bangunan, meskipun ada beberapa diantaranya yang memilih pekerjaan lain yakni, pedagang makanan.
Tujuan para migran sirkuler yang tinggal (sementara) di Jalan Timor, Jakarta ini bermigrasi bukan berniat untuk tinggal menetap, melainkan ingin memperoleh penghasilan yang lebih baik melalui akses sumber daya pekerjaan yang diperolehnya dari migran yang telah terlebih dahulu mengadu nasib ke Jakarta guna memenuhi kebutuhan hidup dan permasalahan-permasalahan ekonomi para migran dan keluarganya yang menetap di daerah asalnya.
Migran sirkuler pada konteks penelitian ini berjumlah kurang lebih 10 orang. Ada diantara mereka yang sudah cukup lama di Jakarta, adapula yang belum begitu lama menginjakkan kaki di daerah perantauan (Jakarta). Para migran sirkuler ini ada yang berasal dari daerah Jawa
Tengah dan Jawa Barat. Mereka tinggal sendiri di Jakarta tanpa keluarga mereka sedangkan, keluarga para migran ini tetap berada di daerah asal mereka masing-masing.
Melihat para migran sirkuler ini sebelum merantau ke Jakarta, mereka bekerja sebagai buruh tani dan tak sedikit dari mereka yang menganggur di daerah asalnya. Namun, dengan mengandalkan penghasilan dari mata pencaharian sebagai buruh tani, hanya mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari mereka untuk makan sedangkan untuk kebutuhan anak sekolah, hajatan, dan tambahan merenovasi rumah, mereka tidak dapat mengandalkan dari penghasilan sebagai buruh tani. Dengan begitu, para migran sirkuler memanfaatkan hubungan sosial yang dimiliki dengan migran terdahulu yang berada di Jakarta untuk memperoleh sumber daya pekerjaan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Adapun kedatangan para migran di Jakarta, memanfaatkan hubungan sosial dengan migran yang diikutinya. Kemudian adapun pekerjaan yang dalam kesehariannya mereka lakukan merupakan pekerjaan yang sebelumnya telah digeluti oleh migran yang memiliki ikatan-ikatan sosial dengan migran sirkuler di Jakarta. Selain itu, ada beberapa diantara migran sirkuler lainnya yang memilih bekerja menjadi pedagang makanan dengan membuka lapak sebuah warung dagang
makanan di depan gudang Jalan Timor yang menjadi tempat tinggal (sementara) mereka.
Hubungan Sosial Adalah Akses Migrasi
Upaya-upaya yang dilakukan oleh migran yang terdahulu atas akses suatu informasi baik kepada kerabat, teman, tetangga, maupun teman se-profesinya itu menunjukkan sebuah jaringan dalam bentuk informasi. Dalam Boissevain (1972: 85) dijelaskan bahwa posisi seseorang yang berada dalam sumber daya dapat memberikan akses informasi yang strategis atau sumber daya seperti pekerjaan yang dapat dilalui melalui aktor tersebut. Kemudian, dapat dilihat berarti sebuah jaringan merupakan seperangkat hubungan konkrit antar pelaku dengan pelaku yang lain.
Terbentuknya suatu jaringan sosial di sini, merupakan strategi untuk mengakses sumber daya oleh para migran sirkuler terhadap suatu kondisi dimana kebijakan pendistribusian sumber daya oleh pemerintah yang kurang mampu mengakomodir kebutuhan bagi kesejahteraan mereka di daerah asal. Bagi para migran, keterbatasan sumber daya dan pranata-pranata formal yang belum berfungsi dengan baik, maka potensi membentuk jaringan sosial diantara pelaku-pelaku ekonomi menjadi
meningkat (Barnes, 1969; dan Mitchell, 1969).
Hubungan sosial2 yang mengikat antar individu pada masyarakat migran sirkuler dengan migran yang terdahulu diperlihatkan dalam konteks pekerjaan mereka di Jakarta. Dalam hubungan yang terjalin diantara migran sirkuler ini, terlihat jaringan sosial antar aktor dalam konteks pekerjaan. Dalam Agusyanto (2007: 69-70) pun dikatakan bahwa memang di daerah perkotaan, pihak kerabat tidaklah banyak menyediakan atau menjanjikan seseorang untuk mendapatkan dukungan atau bantuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Namun, bagi mereka yang baru menginjakkan kakinya ke dalam kehidupan kota, pihak kerabat merupakan rujukan utama dalam mendapatkan dukungan atau bantuan dalam menunjang kehidupannya. Lebih lanjut, Agusyanto menjelaskan bahwa bila pihak kerabat tersebut mampu memberikan bantuan atau dukungan terhadap pencapaian tujuan-tujuan individu yang bersangkutan, hubungan dengan pihak kerabat itu akan selalu dibina.
Masih dalam penjelasan Agusyanto (2007: 70-71), dikehidupan perkotaan, bidang-bidang kehidupan yang dijalani
2 Hubungan sosial atau saling
keterhubungan merupakan interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau berulang) yang akhirnya diantara mereka terikat satu sama lain dengan atau oleh seperangkat harapan yang relatif stabil (Agusyanto, 2007:14).
oleh orang-orang dengan ikatan kerabatan, tetangga, dan pertemanan sangat bervariasi dan jarang sekali saling bersinggungan satu sama lain apalagi sama-sama mencari nafkah atau bekerja. Oleh karena itu, bagi mereka yang berada dalam ikatan profesi yang sama dan yang masih punya ikatan tersebut, tentunya satu sama lain akan saling membantu dan melindungi. Dengan kata lain, melalui hubungan emosional dan berlatar belakang relasional antar aktor, pencapaian oleh migran sirkuler sebagai upaya pemenuhan kebutuhan guna menunjang keberlangsungan keluarga di daerah asal dan kebutuhan hidupnya sendiri, ikatan-ikatan tersebut terus dibina dan dikembangkan sehingga terjadi pertukaran antara para migran sirkuler dengan migran terdahulu. Dimana para migran terdahulu mendapatkan sumber daya manusia sebagai tenaga pekerja dan migran sirkuler mendapatkan apa yang mereka inginkan berupa sumber daya pekerjaan.
Hubungan tersebut terus diaktifkan oleh para aktor untuk memperoleh penghasilan agar dapat mengatasi masalah perekonomian dan memenuhi kebutuhan hidup, dikarenakan adanya keterbatasan akses sumber daya pekerjaan yang terdapat di daerah asalnya akan tercapai di daerah tujuan. Sehingga para aktor dalam penelitian ini mengandalkan hubungan (ikatan-ikatan sosial) dan kepercayaan
(trust) yang terus dibina untuk memperoleh kepentingan serta tujuan dari para aktor dalam penelitian ini.
Jaringan Sosial Sumber Daya Pekerjaan Migran Sirkuler
Memanfaatkan hubungan sosial untuk bisa mengakses sumber daya, tujuan para migran sirkuler ini melakukan mobilisasi dapat tercapai. Berdasarkan sejarah migrasi dari masing-masing aktor yang terlibat, terlihat adanya pengembangan hubungan sosial sebelumnya yang telah dilakukan oleh para aktor tersebut.
Pemecahan atas permasalahan yang dihadapi para migran sirkuler di Jakarta sebagai daerah tujuan, yang mana permasalahan tempat tinggal dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dengan mengakses sumber daya yang tersedia di Jakarta melalui migran yag diikutinya membuat tujuan mereka melakukan migrasi yakni guna memenuhi kebutuhan hidup dapat tercapai. Hasil yang dicapai para migran sirkuler ini tampak pada benda berupa uang maupun barang dapat mereka tabung dan kirimkan ke keluarganya di daerah asal para migran sirkuler.
Para aktor disini melakukan migrasi karena adanya keinginan mereka untuk dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari sumber daya pekerjaan
yang mereka akses melalui migran yang diikutinya di daerah tujuan, memang keterbatasan sumber daya di daerah asal sangat menyulitkan mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan harian mereka dan keluarga dalam bidang ekonomi. Secara tegas Michael Todaro (1979) mengatakan bahwa alasan utama migrasi adalah ekonomi (Sunarto Hs, 1985: 34). Oleh karena itu, dengan adanya akses sumber daya yang tersedia di daerah yang berada di luar dari daerah mereka masing-masing berasal, para aktor ini melakukan migrasi. Hubungan sosial yang sudah dibina oleh para aktor sebelumnya baik itu secara kerabat, tetangga, se-daerah asal atau pun pernah menjadi teman se-profesi memberikan akses sumber daya bagi para aktor untuk mencapai kepentingannya. Memanfaatkan hubungan tersebut, para migran sirkuler ini berani untuk datang ke Jakarta. Karena di Jakarta, para migran sirkuler ini memanfaatkan hubungan itu untuk memperoleh sumber daya pekerjaan baik sebagai buruh bangunan yang memang sudah digeluti oleh migran terdahulu maupun sebagai pedagang makanan yang memang juga sudah digeluti migran terdahulu tetapi baru dirintis usahanya dengan tujuan yang sama untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.
Pertimbangan penghasilan yang didapat para migran sirkuler ini di daerah
tujuan sebagai salah satu pertimbangan utamanya juga. Meskipun biaya pengeluaran yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para migran di daerah tujuan tetapi, dibanding dengan pendapatan yang mereka peroleh saat mereka bekerja di daerah asal, jumlah uang yang disisakan untuk ditabung masih lebih besar uang yang dihasilkan dari perolehan merantau di Jakarta. Dengan demikian, hal inilah yang menjadi satu dari berbagai pertimbangan para migran sirkuler sampai saat ini masih terus bertahan di daerah perantauan Jakarta.
Mengandalkan Hubungan sosial yang merupakan modal untuk dapat mengakses sumber daya dan sebagai salah satu strategi yang digunakan para migran sirkuler untuk dapat bertahan di daerah perantauan. Dengan cara memelihara jaringan sosial diantara sesama migran sirkuler, mereka mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi di Jakarta. Dengan mengembangkan dan memelihara jaringan sosial antar aktor bagi para migran sirkuler di daerah perantauan menunjukkan adanya tiga pola yaitu, jaringan sosial yang didasarkan pada sistem kekerabatan dan kekeluargaan. Jaringan sosial semacam ini sengaja dibentuk dan dikembangkan sebagai salah satu strategi untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi di kota. Jaringan sosial yang dibina dan
dikembangkan dengan kelompok-kelompok sosial dalam pola hubungan sosial dengan orang yang memiliki usaha atau kondisi yang lebih baik. Jaringan sosial yang dibentuk pada kelompok-kelompok sosial baru guna saling memenuhi kebutuhan diantara para migran.
Jaringan sosial yang dikembangkan dan terus dibina oleh para migran sirkuler dalam kasus ini dapat ditelusuri sejak para migran yang bersangkutan pertama kali berangkat bermigrasi, karena memang sejak awal keberangkatan seorang migran sirkuler ini tidak lepas hubungannya dari migran yang diikutinya telah merantau ke Jakarta. Dalam data temuan lapangan yang peneliti peroleh, umumnya ketika pertama kali seorang migran melakukan migrasi ke Jakarta, dirinya tidak berangkat seorang diri, melainkan ada migran yang telah terlebih dahulu bermigrasi dan dimintai tolong oleh para calon migran sirkuler ini untuk ikut bekerja dan merantau bersamanya.
Mengacu pada temuan lapangan yang telah penulis paparkan di bab sebelumnya mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam jaringan sosial migran sirkuler (Jalan Timor), maka dapat teridentifikasi bagaimana para migran sirkuler ini memanfaatkan hubungan sosial dalam mengakses sumber daya. Oleh karena itu, keterlibatan para aktor yang
memiliki peran penting dalam mengakses sumber daya, terlihat dalam bentuk sebuah sosiogram jaringan sosial. Setiap aktor memiliki jalannya sendiri-sendiri untuk dapat mengakses sumber daya dari migran terdahulu. Selain itu, profesi yang digeluti para aktor ini merupakan profesi yang sudah terlebih dahulu digeluti migran sebelumnya meskipun ada beberapa diantara mereka yang membentuk profesi baru sebagai upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi para migran sirkuler untuk dapat bertahan di daerah tujuan Jakarta tetapi secara tidak sadar, hal ini memunculkan arus jaringan sosial migran sirkuler untuk memperoleh sumber daya pekerjaan melalui pemanfaatan hubungan sosial baik itu kekerabatan, tetangga, se-daerah asal, maupun pernah se-profesi. Sehingga salah seorang aktor yang juga memiliki peranan penting dalam sosiogram jaringan sosial ini tampak memiliki beberapa peran sekaligus.
Dari hasil penelitian, berikut akan dijelaskan hubungan yang terbangun antar aktor-aktor terlibat dalam jaringan sosial migran sirkuler meliputi hubungan berdasarkan profesi sebagai buruh bangunan; dan hubungan berdasarkan profesi sebagai pedagang makanan. Aktor-aktor yang terkait dalam penjelasan selanjutnya adalah aktor-aktor yang memang memiliki peranan penting dalam
jaringan sosial migran sirkuler (Jalan Timor, Jakarta) untuk dapat melihat pola-pola jaringan sosial yang terbentuk karena keterlibatan mereka dalam mengalirkan dan mengakses sumber daya guna memenuhi kebutuhan hidup.
Pemeliharaan Hubungan dan Jaringan Sosial yang Terbina3
Permasalahan tempat tinggal para migran sirkuler menjadi satu kendala yang harus mereka hadapi di daerah tujuan Jakarta. Namun, dalam konteks penelitian ini, para migran sirkuler baik itu yang bekerja sebagai buruh bangunan maupun pedagang makanan, mereka dapat mengatasi permasalahan tempat tinggal ini sejak tahun 2006 tanpa harus mengeluarkan biaya untuk menyewa sebuah tempat tinggal di Jakarta. Para aktor menempati sebuah tempat tinggal di area lahan gudang di Jalan Timor, Menteng milik perusahaan yang menjadi tempat dimana aktor (migran sebelumnya) bekerja. Sehingga hal ini menjadi satu bentuk pemecahan masalah mereka di daerah tujuan.
Dengan tinggal di sana, para migran sirkuler dapat dengan cuma-cuma, tanpa harus membayar biaya sewa tempat tinggal setiap bulannya sehingga mereka
3 Dikutip dari salah satu judul Subbab
yang terdapat di dalam buku “Jaringan Sosial dalam Organisasi” yang ditulis oleh Ruddy Agusyanto tahun 2007.
dapat meminimalisir pengeluaran dan upaya mengumpulkan hasil yang diperolehnya dari sumber daya pekerjaan yang mereka lakoni dapat dimaksimalkan. Tempat tinggal mereka saat ini memang bersifat sementara, sejauh aktor (migran sebelumnya) dapat membina hubungan kerja yang baik dengan perusahaan. Hal ini pun diperlukan adanya dukungan dari para aktor yang terlibat dalam sumber daya pekerjaan buruh bangunan sehingga ada pemenuhan hak dan kewajiban diantara para buruh bangunan dengan pimpinannya. dengan begitu, dalam konteks pekerjaan buruh bangunan, hubungan ini harus terus dibina dan diperlihara sehingga kepentingan para aktor dapat terus tercapai. Dalam hal ini, pemeliharaan hubungan itu coba diperlihatkan dalam bentuk reward yang kerap diperoleh para buruh bangunan tersebut.
Adapun reward yang nyata dalam konteks buruh bangunan berdasarkan data temuan lapangan yakni, pemberian bonus mingguan diluar dari upah yang seharusnya diterima oleh para buruh bangunan; pemberian bantuan berupa uang ketika para buruh bangunan mengadakan suatu acara seperti slametan maupun bangun rumah atau biaya untuk berobat para pekerjanya ketika sakit atau bantuan dana ketika diantara pekerjanya ada yang mengalami musibah; pemberian tunjangan hari raya; dan memberikan bonus haji
seperti yang diterima oleh kedua aktor buruh bangunan sebagai dua orang kepercayaan pimpinannya (aktor yang merupakan migran sebelumnya) di proyek.
Reward yang diterima para buruh
bangunan ini dilakukan sebagai upaya agar kepercayaan (trust) para aktor dapat terus dijaga dalam setiap pelaksanaan proyek bangunan. Hal ini sebagai suatu gambaran timbal balik, dimana aktor (migran yang sebelumnya) butuh tenaga kerja manusia dan hasil pekerjaan yang bagus dalam setiap proyek agar aktor (migran sebelumnya) dapat terus menjalin kerjasama dengan perusahaan dan para buruh bangunan yang merupakan migran sirkuler ini butuh uang sebagai penghasilan yang mereka peroleh untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga yang tetap berada di daerah asalnya masing-masing.
Begitu pula dengan para aktor migran sirkuler yang bekerja sebagai pedagang makanan. Mereka tinggal di area lahan gudang Jalan Timor, dimana area tersebut menjadi tempat tinggal bagi para migran sirkuler yang menekuni kerja sebagai buruh bangunan. Namun, mereka dapat tinggal di sana karena ada orang kepercayaan dalam pekerjaan sebagai buruh bangunan tersebut. Sehingga para migran sirkuler yang bekerja sebagai pedagang makanan perlu memelihara dan membina hubungan dengan para migran
sirkuler yang bekerja sebagai buruh bangunan. Dengan begitu pemeliharaan hubungan dalam jaringan kepentingan ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti: menghargai para buruh bangunan yang memang tempat itu dikhususkan untuk para buruh bangunan; sewaktu para buruh bangunan ini butuh makan dalam kondisi para buruh bangunan ini sedang sepi proyek dan tidak ada masukan bagi mereka, para pedagang makanan memberikan makan bagi mereka karena warung dagang dalam penelitian ini selain untuk menambah penghasilan yakni untuk mengatasi permasalahan di pekerjaan buruh bangunan yang tidak ada setiap saat sehingga risiko adanya waktu menganggur dan tidak menerima penghasilan itu kerap dirasakan; dan menikmati hiburan bersama seperti menonton televisi juga terkadang bermain voli bersama di waktu libur. Hal inilah yang diupayakan para pedagang makanan sebagai bentuk pemeliharaan dan pembinaan hubungan sosial mereka tinggal agar keberadaan mereka tinggal di sana dapat diterima dan pekerjaan yang setiap senin sampai sabtu mereka operasionalkan di depan tempat tinggal (sementara) mereka itu dapat terus berjalan.
Kesimpulan
Dalam tulisan ini memiliki dua pertanyaan besar yakni: pertama, bagaimana jaringan sosial mengatasi
keterbatasan dan akses atas sumber daya (pekerjaan) yang tersedia di daerah para migran sirkuler ini masing-masing berasal dan memanfaatkan hubungan sosial melalui migran terdahulu untuk melakukan kegiatan migrasi? Dan yang kedua, bagaimana pemeliharaan dan membina hubungan sosial antar aktor (migran sirkuler) dengan migran terdahulu untuk dapat mengatasi kendala (tempat tinggal) di daerah tujuan? Dua pertanyaan tersebut memiliki saling keterhubungan yang penting untuk memusatkan tulisan pada analisa jaringan sosial dalam menjawab fenomena migrasi baik individu maupun sekelompok individu di suatu wilayah.
Tulisan ini menjabarkan bahwa upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi di kalangan masyarakat masih menjadi satu alasan utama bagi mereka untuk melakukan kegiatan migrasi. Hal ini karena pertama, adanya ketidakmerataan pembangunan dan sumber daya yang tersedia di suatu wilayah. Ketidakmerataan ini merupakan suatu kondisi dimana tidak adanya sumber daya di suatu wilayah yang mengakibatkan seseorang maupun sekelompok individu untuk melakukan migrasi. Kedua, seandainya pun ada sumber daya yang tersedia di suatu wilayah namun, tidak adanya akses untuk menuju sumber daya tersebut bagi individu maupun sekelompok individu. Selain itu, yang ketiga adalah penghasilan yang
diperoleh di suatu daerah tujuan merupakan alasan bagi mereka untuk bermigrasi. Ditambah lagi dengan adanya relasi yang dimiliki para migran sirkuler dengan migran terdahulu di suatu wilayah lain sehingga kegiatan migrasi ini dapat dilakukan. Alasan-alasan inilah yang mengakibatkan individu guna memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan bermigrasi.
Dalam konteks migrasi ini sendiri, banyak para ahli demografi maupun kependudukan yang melihat migrasi dengan berbagai definisinya. Namun, pada konteks penelitian ini, dialamatkan pada para migran yang tidak memiliki identitas kartu tanda penduduk (KTP) di daerah tujuan (dalam konteks ini Jakarta) dan memang tidak memiliki niatan untuk menetap di wilayah tujuan, seperti yang sudah diungkapkan pada bab-bab sebelumnya. Seperti yang dijelaskan oleh Graeme J. Hugo (1982: 61). Migrasi dibagi menjadi dua kategori pertama, migrasi permanen yaitu berpindah dari satu daerah ke daerah lain dan dengan niatan untuk menetap di daerah tujuan secara permanen. Kedua, migrasi non permanen (circular) yang juga merupakan suatu perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain hanya saja tidak memiliki niatan untuk tinggal menetap di daerah tujuan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup para individu ini, pada awalnya memanfaatkan informasi tentang migran terdahulu yang telah berhasil di suatu daerah tujuan. Dari informasi inilah yang diupayakan mereka dengan menjadi migran sirkuler. Namun, informasi ini tidak dengan sendirinya dapat mereka akses melainkan adanya hubungan sosial atau ikatan-ikatan kekerabatan, pertemanan, ataupun ketetanggan sehingga upaya mencapai suatu sumber daya atas pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup dari segi ekonomi dapat diatasi. Dalam tulisan ini telah dijelaskan bahwa pemberian informasi mengenai pekerjaan melalui hubungan sosial yang sudah dibina merupakan modal yang digunakan sebagai akses untuk memperoleh pekerjaan yang digambarkan dalam bentuk jaringan sosial antar sesama migran sirkuler di kota besar seperti Jakarta. Dengan memanfaatkan akses informasi tersebut, hubungan-hubungan sosial yang sudah dimiliki para calon migran sirkuler tersebut diaktifkan untuk dapat memperoleh sumber daya pekerjaan seperti yang dilakoni oleh migran yang terdahulu baik buruh bangunan maupun pedagang makanan.
Penelitian pada tulisan ini, ditemukan bahwa para migran sirkuler yang berprofesi sebagai buruh bangunan dan pedagang makanan ini, kini tidak memiliki kendala untuk masalah tempat
tinggal karena dengan berperan dalam aktor jaringan sosial buruh bangunan maupun pedagang makanan pada jaringan sosial dalam konteks di penelitian ini, mereka dapat menggunakan tempat tinggal yang diupayakan untuk mengatasi permasalahan tempat tinggal yang mereka hadapi tanpa mengeluarkan biaya setiap bulannya untuk membayar sewa tempat tinggal di Jakarta. Permasalahan ini sudah mereka atasi sejak tahun 2006 karena sebelum tahun tersebut, banyak diantara mereka yang harus menyewa ruangan untuk tinggal di Jakarta.
Dari penjelasan singkat diatas, terdapat beberapa poin penting yang merupakan hasil temuan lapangan yang sudah digambarkan dan diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Pertama, dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pemahaman secara teoritis mengenai fenomena migrasi sirkuler yang dilakukan sekelompok individu dalam memperoleh sumber daya
pekerjaan dengan memanfaatkan
hubungan-hubungan sosial yang mereka miliki. Dengan begitu, kata kuncinya berada pada hubungan sosial, dimana hubungan sosial merupakan modal sosial yang menjadi akses dan pemecahan masalah (problem solving) untuk memperoleh sumber daya pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan-hubungan sosial disini digambarkan dalam
ketiga tipe jaringan sosial yang telah diungkapkan oleh Agusyanto (2007: 34), dari ketiga tipe jaringan sosial yakni:
Dalam jaringan interest (jaringan kepentingan) Terdapat adanya kepentingan para aktor/para migran sirkuler dalam rangka memperoleh sumber daya pekerjaan sebagai upaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya di daerah asal. Serta bagi aktor migran terdahulu atau migran yang sudah menjadi warga permanen Jakarta juga guna memenuhi kebutuhan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja agar hubungan dengan perusahaan dimana dirinya bekerja dapat terus dibina. Selain itu, hubungan antara migran sirkuler dan migran terdahulu terus dibina dapat terlihat jelas hasilnya dalam upaya mengatasi kendala tempat tinggal di daerah tujuan. Dengan adanya hubungan sosial yang didasari pada kepentingan untuk mendapatkan pekerjaan, para aktor ini melakukan migrasi sirkuler, karena jika tidak ada kepentingan maka hubungan sosial yang terjalin antara para aktor ini tidak akan terjalin dan dibina seperti yang terlihat stabil hingga saat ini.
Agusyanto (2007: 77-80) menjelaskan bahwa hubungan-hubungan sosial yang dibina oleh para aktor (tindakan instrumental) dalam rangka memperoleh sumber daya yang tersedia membentuk suatu jaringan sosial yang
berhubungan satu sama lainnya ataupun tidak. Namun, bila dilihat dari pertukaran-pertukaran yang terjadi pada setiap hubungan sosial yang terjadi (pertukaran yang spesifik), masing-masing jaringan sosial sebenarnya merupakan bagian kumpulan atau pengelompokan yang lebih kecil yang bergabung menjadi satu-dan terdiri dari jaringan-jaringan hubungan akibat pengaktifan hubungan emosi dan hubungan power.
Pada jaringan sentiment (jaringan emosi) dijelaskan bahwa dengan memanfaatkan ikatan emosi antar aktor, para migran sirkuler ini dapat mencapai suatu sumber daya pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika para migran terdahulu yang dikenalnya sudah sukses di Jakarta terhadap sumber daya pekerjaan yang dilakoninya, hal ini secara sadar maupun tidak, memunculkan arus migrasi untuk memperoleh sumber daya pekerjaan bagi para aktor lainnya berdasarkan pada hubungan emosi, baik ikatan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan, maupun orang yang sudah dikenalnya dalam satu profesi pekerjaan.
Dan dalam jaringan Power, pada tipe jaringan ini berdasarkan pada konteks penelitian, ditemukan bahwa jaringan emosi dan jaringan kepentingan termuat dalam satu jaringan power, dimana sumber daya yang dicapai para aktor disini dilihat berdasarkan dua konteks sumber daya
pekerjaan yang digeluti yakni, buruh bangunan dan pedagang makanan. Sehingga para aktor yang berstatus sebagai migran sirkuler ini memiliki peran sebagai pekerja dari aktor yang sudah menggeluti dua konteks pekerjaan terlebih dahulu. Kedua konteks ini memiliki pusat atau
power yang mempolakan struktur dalam
dua konteks sumber daya. Dengan kata lain, para migran sirkuler yang termasuk ke dalam dua konteks jaringan sosial tersebut harus memenuhi dan memperoleh haknya sebagai pekerja dari bos masing-masing konteks pekerjaan yang mereka geluti. Sehingga terlihat adanya pemenuhan antara hak dan kewajiban diantara para aktor yang terlibat. Karena dengan begitu, maka kontrol dan pola kerja terus direkonstruksi sampai terbentuk logika situasional. Dari sini, maka akan terlihat adanya distribusi penghargaan dan sanksi (reward and sanction) yang terstruktur dengan peraturan-peraturan dan perintah-perintah oleh pusat power.
Dengan demikian, dari ketiga hubungan tersebut terus dipelihara dan dibina berdasarkan masing-masing konteks sumber daya pekerjaan yang dilakoni para aktor. Kemudian pokok dari penggunaan paradigma jaringan sosial dalam mengkaji fenomena migran sirkuler terletak pada hubungan sosial yang terbentuk antar aktor/manusia (Agusyanto, 2010: 103). Hubungan-hubungan sosial inilah yang
merupakan modal sosial bagi para aktor dengan terus dibina dan dipelihara untuk memperoleh sumber daya dalam mencapai kepentingan mereka guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena hubungan sosial yang terbentuk merupakan hasil interaksi sosial yang berkelanjutan antar aktor yang pada akhirnya menciptakan seperangkat harapan yang relatif stabil. Dari hubungan sosial ini maka akan menciptakan keuntungan-keuntungan bagi para aktor untuk kepentingan memperoleh penghasilan yang lebih baik melalui dua konteks pekerjaan yang digeluti para aktor. Adanya kepentingan antar aktor maka hubungan sosial akan terus dibina dan diperlihara sehingga menciptakan suatu hubungan sosial yang berkualitas, karena jika tidak adanya kepentingan antar aktor maka hubungan sosial tidak akan terjadi dan tidak relatif stabil dibina.
Kedua, dengan adanya penelitian ini semoga dapat memberikan pemahaman praktis mengenai fenomena migran sirkuler. Karena adanya kebutuhan yang harus terpenuhi, sedangkan keterbatasan sumber daya di suatu wilayah dan tidak adanya akses untuk mencapai sumber daya tersebut mengharuskan para individu untuk melakukan migrasi agar dapat memperoleh sumber daya pekerjaan dan mendapatkan penghasilan yang besar/lebih di wilayah lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan berbagai faktor pendorong dan
penarik yang menjadi latar belakang alasan masyarakat melakukan migrasi sirkuler, ternyata dibalik itu semua melalui paradigma jaringan sosial dapat terlihat dengan jelas bahwa adanya keterkaitan antara para calon migran sirkuler dengan migran terdahulu yang telah sukses bermigrasi di daerah tujuan dan dalam konteks penelitian ini daerah tujuan itu adalah Jakarta.
Pentingnya dibutuhkan suatu cara memandang tertentu atas suatu fenomena agar dapat memberikan penjelasan dan pemahaman secara mendalam. Sepertinya halnya fenomena migrasi sirkuler yang bertujuan memperoleh sumber daya pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup para aktor dan meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga yang tetap berada di daerah asal. Mengacu pada beberapa ahli mengenai hubungan sosial adalah modal sosial, Agusyanto (2010:103) mengatakan bahwa modal sosial bila melalui hubungan sosial merupakan investasi atau „nilai‟ sehingga seseorang mampu memanfaatkan sumber daya-sumber daya yang terkandung dalam hubungan sosial tersebut.
Kemudian dari hasil tulisan ini, semoga bermanfaat bagi institusi yang terkait sebagai masukan meskipun penulis menyadari bahwa hasil penelitian dan penulisan yang dilakukan ini tidak dapat secara langsung memberikan kontribusi
untuk menentukan suatu kebijakan yang menyangkut permasalahan kependudukan, terutama masalah kehidupan sosial-ekonomi dalam meningkatkan pemerataan sumber daya pekerjaan dan pranata-pranata formal yang belum berfungsi dengan baik, maka potensi membentuk jaringan sosial antar aktor ekonomi semakin meningkat karena kurang mampunya pemerintahan mengakomodir kebutuhan atas kesejahteraan para aktor di daerah asal. Fenomena ini jangan hanya dilihat sebagai pendatang yang akan memenuhi jumlah penduduk dan disinyalir meningkatkan angka kriminalitas di suatu wilayah seperti Jakarta. Fenomena migran sirkuler ini dapat dilihat bahwa kedatangan
mereka ke kota dalam rangka
meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga yang ada di daerah asal melalui modalnya adalah hubungan sosial yang dimiliki para aktor migran sirkuler dalam mengakses sumber daya pekerjaan yang telah lama dilakoni migran yang diikutinya atau fenomena migran sirkuler ini terjadi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah dengan mendistribusikan ekonomi .
Referensi:
Agusyanto, Ruddy. 2007 Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
_________ 2010 Fenomena Dunia Mengecil. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.
Barnes, J.A. 1969 “Network and Political
Process”, Social Network in Urban Situations. Ed. J Clyde Mitchell.
Manchester: Manchester University Press. Hlm 51-76.
Boissevain, Jeremy. 1972 Friends of
Friens: Network, Manipulators, and Coalitions. Netherlands: A
Blackwell Paperback.
Hs, Sunarto. 1985 Penduduk Indonesia dalam Dinamika Migrasi. Yogyakarta: Dua Dimensi.
Hugo, Graeme J. 1982 Circular Migration
in Indonesia. Population and Development Review, Vol. 8 No.1. hlm 59-83.
Koentjaraningrat. 1975 Masyarakat Desa di Selatan Jakarta. Masyarakat Indonesia. Seri Monografi No.-1.
Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. 1985 Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM. Jakarta: PT.Gramedia.
Mitchell J.Clyde. 1969 Social Network in
Urban Situations: Analyses of Personal relationship in Central African Town. Manchester, England: University of Manchester Press.
Munir, Rozy. 1981 Migrasi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI.
Saefullah, H. Asep Djaja. 1994 Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan: Studi Kasus di Jawa Barat. Prisma. No.7. Tahun XXIII. Sahur, Ahmad, dkk. 1988 Migrasi,
Kolonisasi, Perubahan Sosial. Yayasan Ilmu Ilmu Sosial (YIIS). Jakarta: PT. Pustaka Grafika Kita. Suprapti, Mc, dkk. 1990 Adaptasi Migran
Musiman Terhadap Lingkungan Tempat tinggalnya (Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wirosuhardjo, Kartomo, dkk. 1986 Kebijaksanaan kependudukan dan Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi-UI.
Yusra, Abrar dan Ramadhan K.H. 2005 Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI.