• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

185

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada penelitian yang berjudul pengembangan kemandirian bagi kaum difabel yang difokuskan pada peran Paguyuban Sehati dalam pemberdayaan difabel di Kabupaten Sukoharjo, dapat diambil kesimpulan dari data informan bahwa banyak ditemukan permasalahan yang dialami oleh difabel mulai dari permasalahan sosial, ekonomi, psikologi, budaya, pendidikan hingga aksesibilitas. Stereotip di masyarakat yang masih memandang difabel sebagai kaum yang lemah membuat mereka termarjinalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Peminggiran kaum difabel menghambat interaksi yang leluasa antar difabel dengan masyarakat yang impactnya justru mengakibatkan rendahnya partisipasi difabel dalam forum kemasyarakatan. Terbatasnya akses difabel terhadap peluang kerja ditambah dengan minimnya soft skill yang dimiliki oleh difabel menjadi bukti bahwa mayoritas difabel masuk dalam siklus lingkaran kemiskinan yang membuat mereka menggantungkan hidupnya kepada orang lain.

Pemberdayaan difabel adalah salah satu upaya dari Paguyuban Sehati yang selama ini menjadi wadah bagi difabel di wilayah Kabupaten Sukoharjo untuk memberikan nafas segar bagi para difabel agar bisa mengembangkan dirinya dan memiliki kehidupan yang layak tanpa ada diskriminasi. Para difabel sangat perlu untuk meningkatkan kualitas dirinya terutama menghilangkan

citra “ketergantungan” terhadap orang lain. Sehingga pengembangan

kemandirian bagi difabel adalah salah satu program urgent baik bagi Pemerintah maupun organisasi non-pemerintah seperti LSM dan Komunitas peduli difabel untuk memberikan hak-hak difabel sebagai warga negara yang memiliki derajat yang sama dimata hukum tanpa melihat perbedaan fisik.

(2)

Strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Paguyuban Sehati untuk meningkatkan kemandirian dalam diri difabel dengan melalui berbagai program-program yaitu (1) character building yaitu training dan motivasi, (2) kewirausahaan melalui KUBE, pelatihan ketrampilan dan expo produk, (3) sosialisasi tentang difabel, peer konseling, gender dan KDRT serta HAM, (4) pendidikan dengan sanggar inklusi, (5) advokasi untuk Jamkesmas, SIM D dan fasilitas publik, (6) partisipasi terutama dalam Musrengbangkel, dan terakhir (7) perkoperasian baik simpan pinjam maupun usaha.

Pada hasilnya dampak yang diterima oleh difabel di Kabupaten Sukoharjo yang menjadi anggota di Paguyuban Sehati telah mengalami peningkatan baik dalam segi psikologi, sosial dan ekonomi. Difabel lebih percaya diri dan berpengetahuan luas karena pengalaman yang mereka dapatkan selama mengikuti kegiatan di Paguyuban. Selain itu, pandangan masyarakat juga mulai terbuka terhadap mereka dengan tidak memandang difabel sebagai kaum yang lemah. Secara ekonomi difabel juga meningkat baik dengan pekerjaan atau wirausaha yang berbasis ketrampilan baru sehingga memberikan pendapatan yang mampu menopang kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa difabel yang aktif dalam mengikuti kegiatan Paguyuban Sehati berkembang lebih mandiri dan tidak lagi menggantungkan diri mereka terhadap keluarga maupun orang lain.

B. Implikasi

1. Implikasi Teoritis

Implikasi teoritis didasarkan pada teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori struktural fungsional oleh Talcott Parsons. Dalam teori ini Parsons menjelaskan tentang empat fungsi imperatif dalam sebuah sistem yang menjadi satu kesatuan yang disebut dengan skema AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latency). Parsons juga menjelaskan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sehingga dalam bermasyarakat harus ada empat fungsi AGIL untuk tetap memposisikan

(3)

masyarakat dalam keadaan stabil atau seimbang karena suatu sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau equilibrium. Dalam penelitian pemberdayaan difabel yang dilakukan oleh Paguyuban Sehati ini melihat teori AGIL sebagai dasar analisis bagi Paguyuban untuk menentukan arah pengembangan kemandirian bagi kaum difabel.

Paguyuban Sehati menganalasis kebutuhan difabel dalam segala aspek baik psikologi, ekonomi hingga kebutuhan sosial agar bisa menyesuaikan diri sejajar dengan masyarakat non-difabel pada umumnya. Paguyuban juga menciptakan formulasi tujuan melalui visi dan misi organisasi yang direalisasikan melalui program-program pemberdayaan yang didalamnya menginternalisasi nilai serta norma melalui strategi pendidikan maupun budaya. Antara difabel dan Paguyuban juga memliki kontrol satu sama lain termasuk elemen-elemen didalam kegiatan pemberdayaan. Hasil penelitian yang menunjukkan berkembangnya kemandirian dalam diri difabel menguatkan teori struktural fungsionalisme bahwa strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Paguyuban Sehati telah memenuhi kriteria empat fungsi imperatif AGIL sehingga merujuk kearah keseimbangan sistem yang dibuat oleh Paguyuban untuk para difabel di Kabupaten Sukoharjo. Penelitian menunjukkan bahwa dampak sosial yang merubah persepsi masyarakat terhadap difabel telah memberikan difabel kesempatan untuk menghapus gejolak yang membuat keseimbangan dalam masyarakat goyah.

2. Implikasi Metodologis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan merupakan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus digunakan untuk memperoleh kebenaran mengenai pentingnya pemberdayaan difabel untuk peningkatan kemandirian yang dilakukan oleh Paguyuban Sehati di Sukoharjo. Penulis menggunakan teknik

(4)

pengumpulan data wawancara, observasi, dan studi literatur untuk mendapatkan data yang akan dianalis. Proses dari penelitian sendiri berlangsung kurang lebih empat bulan mulai dari bulan Oktober 2015 hingga Januari 2016. Data yang terkumpul kemudian dianalisis melalui field note dari petikan hasil wawancara antara penulis dengan informan. Untuk memberikan data yang lebih jelas dan mendalam maka penulis juga menambahkan data observasi dan dokumentasi.

Sebelum melakukan wawancara penulis membuat interview guide sebagai pedoman untuk turun lapangan mencari informasi terkait dengan pemberdayaan difabel oleh Paguyuban Sehati. Informan yang diwawancarai adalah difabel anggota Paguyuban Sehati, keluarga difabel, masyarakat difabel dan pengurus Paguyuban Sehati. Purposive sampling dipakai oleh penulis sebagai teknik pengambilan sampel yang digunakan, karena dalam menentukan informan penulis harus memilih informan-informan yang sesuai dengan kebutuhan data penelitian. Dalam penelitian menggunakan trianggulasi data (sumber) yaitu pengumpulan data menggunakan beberapa sumber data untuk mengumpulkan data yang sama. Dengan mencari data yang sama untuk mencari kebenaran dari masalah dan mengecek kebenaran suatu informasi pada waktu dan alat yang berbeda dalam hal ini penulis memanfaatkan data dari keluarga dan tetangga difabel sebagai alat validitas data. Analisis yang digunakan model analisis interaktif dengan proses pertama pengumpulan data dilanjutkan reduksi data untuk memilih data yang diperlukan sesuai dengan fokus penelitian. Data kemudian disajikan dalam bentuk narasi dan matriks yang akhirnya disimpulkan atau diverifikasi.

3. Implikasi Empiris

Difabel adalah seseorang berkebutuhan khusus yang menjalani teknis kehidupan sehari-hari dengan cara yang berbeda karena menyesuaikan dengan keterbatasan fisik yang dimiliki oleh masing-masing difabel.

(5)

Perbedaan fisik yang dimiliki oleh difabel dengan masyarakat yang non-difabel lainya tidak menjadi bahan klasifikasi maupun kategorisasi yang menjadikan keduanya terpisah secara struktural. Difabel mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai seorang warga negara dan sebagai seorang manusia secara kodrati. Penyebab dari seseorang yang menjadi difabel bisa karena suatu penyakit yang menyebabkan kerusakan pada otot maupun organ tubuh dan juga bisa disebabkan karena kecelakaan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep difabel hanyalah berlaku dalam segi medis tidak ada kaitanya dengan segi sosial maupun pada sisi kehidupan yang lain seperti peran dan hak dalam ekonomi, politik serta budaya.

Kaum difabel di Indonesia mengalami permasalahan miris yang membuat mereka terkekang dalam lingkup kehidupan masyarakat yang kaku. Mereka hidup ditengah-tengah masyarakat yang mempersepsikan difabel sebagai kaum yang lemah dalam sistem kemasyarakatan. Kelemahan yang mereka lihat didasarkan dari keterbatasan fisik dan ketertutupan individu difabel itu sendiri. Banyak masalah yang dihadapai oleh difabel mulai dari diskriminasi, ekonomi lemah yang berujung kemiskinan hingga aksesibilitas yang tidak terjangkau bagi mereka. Perlakuan masyarakat yang belum terbuka terhadap difabel menginspirasi para difabel di Kabupaten Sukoharjo untuk mendirikan sebuah wadah yang berisikan kaum minoritas khususnya difabel agar bisa mengaktualisasikan diri mereka tanpa ada kecaman maupun pengucilan dari masyarakat yaitu Paguyuban Sehati.

Setelah mengikuti berbagai kegiatan dan program-program dari Paguyuban Sehati yang menyangkut hampir seluruh sisi kehidupan difabel sehari-hari, para difabel mengalami peningkatan yang positif yaitu peningkatan kemandirian. Peningkatan tentu sesuai dengan harapan masyarakat agar para difabel tidak lagi bergantung terhadap orang lain dan memiliki power untuk melakukan perubahan dalam hidupnya.

(6)

Diskriminasi kini diharapkan tidak lagi menjadi permasalahan yang menimpa kaum minor seperti difabel, masyarakat harus lebih peduli dan bertoleransi antar sesama tanpa melihat fisik masing-masing. Kemandirian yang telah ditunjukkan oleh difabel menjadi point yang penting untuk diperhatikan mengingat dengan begini masyarakat dapat melihat kekuatan yang dimiliki oleh difabel sehingga bisa menciptakan kehidupan bermasayarakat yangs seimbang dan tertaur.

C. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap para difabel anggota Paguyuban Sehati di Kabupaten Sukoharjo, temuan dari penulis yang bisa menjadi masukan adalah sebagai berikut :

1. Bagi para difabel pentingnya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan baik di Paguyuban Sehati maupun kegiatan diluar Paguyuban yang dapat mengembangkan potensi dirinya sehingga difabel dapat memiliki mental percaya diri dan mandiri. Kedepanya difabel dapat menghilangkan ketergantungan terhadap orang lain dan memiliki kehidupan yang layak tanpa diskriminasi. 2. Bagi pihak keluarga pememberian dukungan baik dalam bentuk

materi maupun non materi yang dapat mendorong difabel untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas. Contoh dukungan keluarga dengan mengantar difabel ketempat kegiatan yang tidak bisa dijangkau oleh para difabel. Keluarga juga harus menghilangkan pola pikir yang menganggap difabel sebagai sebuah aib yang harus ditutupi agar tidak menghambat kehidupan difabel sehari-hari.

3. Bagi masyarakat pememahaman difabel sebagai seseorang berkebutuhan khusus yang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban sejajar sebagai sesama warga negara. Masyarakat juga mulai melibatkan para difabel dalam forum-forum

(7)

kemasayarakatan agar tercipta kehidupan bermasyarakat yang rukun tanpa ada marjinalisasi.

4. Bagi pemerintah realisasi pembangunan inklusif yang melibatkan difabel sebagai obyek maupun subyek pembangunan sangat ditunggu sehingga fasilitas publik yang dibuat bisa tepat guna dan tepat sasaran. Difabel juga perlu mendapatkan perhatian khusus melalui program pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

5. Bagi Paguyuban Sehati perbaikan manajemen organisasi menjadi prioritas terutama pada bagian administrasi karena masih bersifat manual sehingga data base difabel anggota Paguyuban masih sangat lemah. Regenerasi kepengurusan harus menjadi point utama agar kedepanya Paguyuban Sehati bisa meningkatkan eksistensinya di masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu diplomasi yang dilakukan oleh Menteri Ali Alatas ini lebih dititik beratkan pada perbaikan citra bangsa Indonesia di mata dunia Internasional, sedangkan upaya

Selain itu, pada tahun 2021 pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk Bantuan Sosial Tunai (BST) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat. Namun program BST ini

Lampu LED menunjukkan nilai tegangan terendah pada daya 9 watt sebesar 12.5 volt di tegangan line to neutral dan 21.1 volt di tegangan line to line pada sisi tegangan

informasi publik ini dibatasi dengan hak individual dan privacy seseorang terkait dengan data kesehatan yang bersifat rahasia (rahasia medis). Jadi dalam hal ini dapat dianalisis

Bahan atau campuran ini tidak diklasifikasikan sebagai toksikan dengan organ target khusus, paparan berulang.

#erdasarkan hasil pengukuran awal yang telah kami lakukan dil!kasi pekerjaan maka dengan ini kami mengusulkan agar dilakukan addendum 102.1 9 pekerjaan tambah kurang ;

Berdasarkan pengamalan industri takaful, syarikat merupakan wakil (al-Wakil) kepada peserta dan peserta sebagai pewakil (al-muwakkil), skim takaful atau dana yang diuruskan

Mata Diklat ini membekali peserta dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dasar profesi PNS, sikap dan perilaku disiplin PNS dan pengetahuan tentang Kedudukan dan Peran PNS