• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Pemulihan Ekonomi 2022 Melalui Peningkatan Daya Beli Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tantangan Pemulihan Ekonomi 2022 Melalui Peningkatan Daya Beli Masyarakat"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. VI, Edisi 9, Mei 2021

Optimalisasi Potensi Peternakan

Sapi Potong di Indonesia

p. 8

ISO 9001:2015

Certificate No. IR/QMS/00138

ISSN 2502-8685

Tantangan Program

Pengembangan Kampung

Nelayan Maju

p. 12

Tantangan Pemulihan Ekonomi

2022 Melalui Peningkatan Daya

Beli Masyarakat

(2)

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

KONSUMSI daging sapi yang meningkat dari tahun ke tahun membuat Indonesia harus mengimpor daging sapi setiap tahun. Hal ini dikarenakan peternakan sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Dalam hal peternakan sapi, Indonesia masih dihadapkan pada penggunaan lahan yang belum optimal, teknologi yang kurang memadai dan belum merata serta rendahnya permodalan pengembangan ternak terutama dalam usaha pembibitan. Pengembangan usaha ternak sapi potong dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber daya lahan secara optimal dan tepat guna yang disesuaikan dengan keadaan alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, sarana dan prasarana, teknologi peternakan, dan lainnya.

INDONESIA memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Sektor perikanan berkontribusi menyumbang sebesar 2,65 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun, kekayaan laut Indonesia belum diiringi dengan kesejahteraan nelayan sebagai aktor utama pada sektor ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2021 membuat program pengembangan Kampung Nelayan Maju (Kalaju) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas nelayan. Dalam pelaksanaan program ini, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti kurangnya kesadaran masyarakat nelayan untuk hidup bersih, kampung nelayan yang rentan dengan bencana alam, dan lainnya.

Kritik/Saran

http://puskajianggaran.dpr.go.id/kontak

Dewan Redaksi

Redaktur

Dwi Resti Pratiwi Ratna Christianingrum

Ade Nurul Aida Ervita Luluk Zahara

Editor

Marihot Nasution Riza Aditya Syafri Satrio Arga Effendi

PEMULIHAN ekonomi pada tahun 2022 akan berfokus pada pemulihan daya beli masyarakat dan dunia usaha serta diversifikasi ekonomi. Di tengah ketidakpastian akan kapan berakhirnya pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi tahun 2022 masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang merupakan tumpuan bagi perekonomian Indonesia juga masih terkontraksi hingga triwulan I-2021. Hal ini tentunya perlu untuk menjadi perhatian pemerintah agar pemulihan ekonomi pada tahun 2022 dapat tercapai.

Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.

Pemimpin Redaksi

Rendy Alvaro

Tantangan Pemulihan Ekonomi 2022 Melalui Peningkatan

Daya Beli Masyarakat

p.3

Optimalisasi Potensi Peternakan Sapi Potong di

Indonesia

p.8

Tantangan Program Pengembangan Kampung Nelayan

(3)

Tantangan Pemulihan Ekonomi 2022 Melalui

Peningkatan Daya Beli Masyarakat

oleh

Damia Liana

*

)

D

alam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021 (Musrenbangnas), pemerintah menetapkan sejumlah target makroekonomi dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi pada 2022, diantaranya pertumbuhan ekonomi 5,4 - 6,0 persen, tingkat pengangguran terbuka 5,5 - 6,2 persen, tingkat kemiskinan 8,5 - 9,0 persen, rasio gini 0,376 - 0,378, serta indeks pembangunan manusia 73,44 - 73,48 persen. Untuk mencapai pemulihan ekonomi tersebut, pemerintah menetapkan dua pilar diantaranya adalah pemulihan daya beli dan usaha serta diversifikasi ekonomi. Pemulihan daya beli dan usaha dilakukan melalui (a) penuntasan krisis kesehatan; (b) pemberian bantuan untuk pemulihan dunia usaha; (c) menjaga daya beli rumah tangga; (d) percepatan pembangunan infrastruktur padat karya; dan (e) program khusus seperti percepatan pembelajaran offline (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, 2021).

Upaya pemerintah ini tentunya akan dihadapkan pada sejumlah tantangan, terutama di tengah pola konsumsi masyarakat yang belum membaik, khususnya pola konsumsi masyarakat kelompok menengah - atas yang

Abstrak

Pemulihan ekonomi pada tahun 2022 akan berfokus pada pemulihan daya beli masyarakat dan dunia usaha serta diversifikasi ekonomi. Di tengah ketidakpastian akan kapan berakhirnya pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi tahun 2022 masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang merupakan tumpuan bagi perekonomian Indonesia juga masih terkontraksi hingga triwulan I-2021. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian pemerintah agar pemulihan ekonomi pada tahun 2022 dapat tercapai.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: damia.liana@dpr.go.id

cenderung masih tertahan. Menurut Ekonom Senior Centre of Reform on

Economics (CORE), Hendri Saparini,

kelompok masyarakat berpendapatan menengah-atas dianggap masih cenderung belum bergerak melakukan konsumsi, padahal 20 persen kelompok masyarakat menengah - atas dan 40 persen kelompok menengah menyumbang sebesar 82 persen dari struktur konsumsi Indonesia, sedangkan 40 persen kelompok menengah-bawah hanya menyumbang sebesar 17 persen (CNNIndonesia, 2020). Konsumsi masyarakat merupakan kontributor utama dalam mendukung perekonomian Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2020) menunjukkan, dalam satu dekade terakhir konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 56 persen terhadap perekonomian Indonesia. Pola konsumsi masyarakat yang masih tertahan ini perlu menjadi perhatian pemerintah agar pemulihan ekonomi di tahun 2022 mendatang dapat tercapai. Mengingat pentingnya peran konsumsi/ daya beli masyarakat dalam rangka untuk pemulihan ekonomi, maka pada tulisan ini akan mengulas terkait tantangan dalam pemulihan ekonomi di tahun 2022 mendatang melalui peningkatan daya beli masyarakat, sebagai penggerak perekonomian.

(4)

Kinerja dan Tantangan Konsumsi Rumah Tangga Untuk Pemulihan Ekonomi Indonesia

Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan namun juga pada kehidupan sosial dan perekonomian. Pembatasan mobilitas masyarakat untuk memutus penyebaran Covid-19 menyebabkan sejumlah negara jatuh ke dalam jurang resesi termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan konsisten mengalami kontraksi sejak triwulan II-2020 hingga triwulan I-2021, masing-masing sebesar -5,32 persen, -3,49 persen, -2,19 persen, dan -0,74 persen. Kontraksi pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari peran pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang juga mengalami tren pertumbuhan negatif yaitu -5,52 persen pada triwulan II -2020, -4,05 persen pada triwulan III-2020, -3,61 persen pada triwulan IV-2020 dan -2,23 persen triwulan I-2021. Sebagai upaya untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi, secara bertahap pemerintah mulai melakukan pembukaan terhadap kegiatan ekonomi dan juga melonggarkan aturan mobilitas masyarakat. Akan tetapi, hal ini belum dapat mendorong daya beli masyarakat untuk tumbuh secara positif. Untuk itu, Gubernur Bank Indonesia memutuskan melakukan revisi pada perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 hingga 2 kali di sepanjang awal tahun 2021. Pada awalnya Bank Indonesia (BI) memperkirakan pada tahun 2021 ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 4,8-5,8 persen, kemudian BI melakukan koreksi ke bawah dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3-5,3 persen, dan pada bulan April lalu BI kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1-5,1 persen (Kompas.com, 2021). Ekonom CORE, Yusuf Rendy mengatakan bahwa revisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh BI dikarenakan

pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang belum sepenuhnya pulih, terlihat dari beberapa indikator seperti indeks penjualan riil yang masih mengalami pertumbuhan negatif dan juga adanya pemangkasan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 oleh

International Monetary Fund (IMF) yaitu

dari 4,8 persen menjadi 4,3 persen, sedangkan untuk tahun 2022 IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,8 persen, lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang diperkirakan dapat tumbuh hingga di atas 6 persen (Bisnis.com, 2021). Selain IMF, Asian Development Bank (ADB) turut memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 yaitu dari 5,3 persen menjadi 4,5 persen dan seiring dengan adanya peningkatan pemulihan ekonomi pada 2022 maka pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan sebesar 5 persen. Ekonom Senior ADB, James Villafuerte menyatakan bahwa konsumsi

masyarakat merupakan faktor yang sangat penting, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia akan didorong oleh permintaan domestik. (ADB, 2021; Kontan, 2021).

Belum pulihnya daya beli masyarakat juga terlihat dari tren Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih

berada pada posisi pesimis hingga triwulan I-2021. Ekonom Institute

for Development of Economics and Finance (Indef, 2021), Eko Listiyanto

mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat masih tertekan akibat Covid-19, sisi produksi lebih optimis jika dibandingkan dengan sisi permintaan. Hal ini tercermin dari tren kenaikan pada Purchasing Managers Index (PMI) yang sudah berada pada level optimis (diatas 50) sedangkan tren IKK masih berada pada level pesimis (dibawah 100) selama triwulan I-2021. Artinya kenaikan dari sisi bisnis masih lebih kencang dibandingkan dengan konsumsi masyarakat. Selain itu, walaupun terjadi kenaikan pada PMI, inflasi inti yang merupakan gambaran dari permintaan

(5)

Gambar 2. Realisasi Kredit Konsumsi Selama Pandemi Covid-19 (Rp miliar) Gambar 1. Indeks Keyakinan Konsumen Selama

Pandemi Covid-19

Sumber: Bank Indonesia, diolah.

barang dan jasa yang tercatat masih relatif rendah, hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah (Kontan, 2021).

Pada April tahun 2021, daya beli masyarakat sudah mulai menunjukkan perbaikan seiring dengan adanya momentum bulan Ramadhan. Hal ini terlihat dari IKK yang sudah mulai memasuki angka optimis walaupun tidak naik secara signifikan yaitu sebesar 101,5. Namun jika dibandingkan dengan Ramadhan dua tahun lalu, konsumsi masyarakat ini belum sepenuhnya pulih, tercermin dari inflasi tahun 2021 yang hanya sebesar 0,13 persen sangat jauh jika dibandingkan dengan inflasi pada Ramadhan tahun 2019 sebesar 0,68 persen. Artinya meski sudah ada kenaikan konsumsi pada tahun 2021, tetapi angkanya masih lemah untuk mendorong pemulihan ekonomi (Kompas.com, 2021).

Pemerintah melihat adanya peluang bahwa tingkat konsumsi masyarakat menengah atas mampu untuk menjadi katalis bagi pemulihan ekonomi,

namun konsumsi kelompok masyarakat menengah-atas ini masih tertahan akibat masih adanya pembatasan mobilitas pada pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan pariwisata lintas daerah (KEM-PPKF, 2021). Untuk itu, pemerintah memberikan insentif pajak berupa PPnBM ditanggung pemerintah (DTP) untuk kendaraan bermotor dan PPN DTP untuk properti dalam rangka mendorong konsumsi masyarakat kalangan menengah-atas. Namun insentif ini belum cukup kuat untuk mendorong daya beli masyarakat. Hal ini sejalan dengan realisasi penyaluran kredit kendaraan bermotor yang

mengalami penurunan selama awal tahun 2021 yaitu dari Rp105.762 miliar pada Januari tahun 2021, menjadi Rp101.738 miliar pada Maret tahun 2021. Sedangkan menurut data BI tahun 2021 realisasi saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru untuk kendaraan bermotor pada triwulan I-2021 juga masih terkontraksi sebesar 6,8 persen.

Belum pulihnya konsumsi masyarakat juga terlihat dari penjualan ritel yang masih mengalami tren pertumbuhan negatif yaitu dari -0,27 pada Januari tahun 2020 menjadi -17,08 pada Maret tahun 2021. Untuk itu, pemerintah berencana untuk memberikan insentif

(6)

Rekomendasi

Pemulihan ekonomi Indonesia yang masih belum stabil yang terlihat dari beberapa indikator di atas seperti daya beli masyarakat, inflasi, ritel, dan juga kredit konsumsi merupakan catatan yang harus menjadi perhatian pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan beberapa hal. Pertama, pelaksanaan program vaksinasi dapat dipercepat dan dilakukan secara merata di seluruh provinsi Indonesia, karena vaksinasi merupakan salah satu kunci agar pergerakan masyarakat dapat kembali normal sehingga dapat mendorong daya beli masyarakat. Kedua, mempercepat rencana insentif pada industri ritel karena menurut Ekonom CORE, Piter Abdullah insentif ini dapat mendorong masyarakat menengah-atas untuk kembali berbelanja (Bisnis.com, 2021). Ketiga, mempertimbangkan kembali untuk memperpanjang program BST bagi kelompok menengah ke bawah agar daya beli masyarakat kelompok tersebut dapat tetap

terjaga dan tingkat kemiskinan tidak kembali meningkat. kepada industri ritel seperti insentif

pada otomotif dan properti. Diharapkan insentif ini tidak hanya mendorong industri ritel namun juga mendorong konsumsi masyarakat (Bisnis.com, 2021).

Selain itu, pada tahun 2021 pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk Bantuan Sosial Tunai (BST) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat. Namun program BST ini hanya akan diperpanjang hingga bulan Juni tahun 2021. Program BST yang berlaku hanya sampai bulan depan ini perlu untuk diantisipasi oleh pemerintah, karena penghentian BST ini berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, terutama di tengah belum stabilnya perekonomian Indonesia. Selain itu, penghentian BST juga dapat berdampak pada bertambahnya jumlah angka kemiskinan di Indonesia. Pada Februari tahun 2021, BPS mencatat jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 27,55 juta jiwa atau 10,19

persen, naik jika dibandingkan dengan Maret tahun 2020 sebesar 9,78 persen dan September tahun 2019 sebesar 9,22 persen. Pada tahun 2020, Bank Dunia juga memperkirakan bahwa, tanpa bantuan sosial masyarakat miskin Indonesia akan bertambah sebesar 8,5 juta jiwa. Penghentian BST tentunya tak hanya berdampak pada penurunan daya beli namun juga dapat menghambat pemulihan ekonomi pada tahun 2022. Pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 masih akan dibayangi oleh ketidakpastian, serta berpotensi kembali menghambat laju pertumbuhan konsumsi masyarakat. Terutama

setelah munculnya varian baru dari Covid-19, adanya peningkatan kembali kasus positif Covid-19 pada beberapa negara, program vaksinasi yang tidak merata, dan juga adanya risiko lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia akibat peningkatan interaksi masyarakat saat momen Ramadhan dan Idul Fitri 2021.

Daftar Pustaka

ADB. 2021. Asian Development Outlook 2021.

Badan Pusat Statistik. 2021. Berita Resmi Statistik.

Bank Indonesia. 2021. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia.

Bappenas. 2021. Musrenbangnas 2021-Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.

Bisnis.com. 2021. BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan 2021, Bukti Ketidakpastian Masih Tinggi?. Dari https://ekonomi. bisnis.com/read/20210420/9/1383931/ bi-pangkas-proyeksi-pertumbuhan-2021-bukti-ketidakpastian-masih-tinggi. 16 Mei 2021.

CNNIndonesia. 2020. Perlu Dorong Belanja Orang Menengah dan Kaya Agar Tak Resesi Dari https:// www.cnnindonesia.com/ekono

(7)

mi/20200812062508-532-534706/perlu- dorong-belanja-orang-menengah-dan-kaya-agar-tak-resesi. 21 Mei 2021 Kementerian Keuangan. 2021. KEM-PPKF 2022 Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.

Kompas.com. 2021. BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 4,1-5,1 Persen. Dari https://money.kompas.com/

read/2021/04/20/150325726/bi-pangkas-

proyeksi-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2021-jadi-41-51-persen.16 Mei 2021.

Kompas.com. 2021. Daya Beli Masih Lemah, BI Revisi Proyeksi Pertumbuhan Kredit. Dari https://money.kompas.com/

read/2021/02/18/190000626/daya- beli-masih-lemah-bi-revisi-proyeksi-pertumbuhan-kredit. 17 Mei 2021. Kompas.com. 2021. Ekonomi RI Diproyeksi Minus 1 Persen di Kuartal I 2021. Dari https://money.kompas.com/ read/2021/05/04/125927826/ekonomi-ri- diproyeksi-minus-1-persen-di-kuartal-i-2021?page=all. 16 Mei 2021.

Kontan.co.id. 2021. Proyeksi ADB: Ekonomi Indonesia Tumbuh 4,5% Tahun Ini dan 5% di 2022. Dari https://nasional.

kontan.co.id/news/proyeksi-adb- ekonomi-indonesia-tumbuh-45-tahun-ini-dan-5-di-2022. 17 Mei 2021.

Indef. 2021. Ekonomi Ramadhan 2021, Lesu atau Bergairah?.

(8)

Optimalisasi Potensi Peternakan

Sapi Potong di Indonesia

oleh

Linia Siska Risandi

*

)

Rosalina Tineke Kusumawardhani

**

)

Abstrak

Konsumsi daging sapi yang meningkat dari tahun ke tahun membuat Indonesia harus mengimpor daging sapi setiap tahun. Hal ini dikarenakan peternakan sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Dalam hal peternakan sapi, Indonesia masih dihadapkan pada penggunaan lahan yang belum optimal, teknologi yang kurang memadai dan belum merata serta rendahnya permodalan pengembangan ternak terutama dalam usaha pembibitan. Pengembangan usaha ternak sapi potong dapat dicapai dengan memanfaatkan lahan secara optimal dan tepat guna yang disesuaikan dengan keadaan alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, sarana dan prasarana, teknologi peternakan yang berkembang dan kelembagaan serta kebijakan yang mendukung.

D

alam sepuluh tahun terakhir, rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia mencapai 2,37 kg per kapita per tahun dan cenderung mengalami peningkatan. Konsumsi daging sapi tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, pertambahan jumlah penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, peningkatan konsumsi atau demand tersebut belum mampu diimbangi oleh pertumbuhan dari sisi

supply atau produksi. Untuk tahun 2020,

kebutuhan daging sapi secara nasional sebesar 717,15 ribu ton kemampuan produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 515,63 ribu ton (71,9 persen). Alhasil, defisit sebesar 201,52 ribu ton atau 28,1 persen kebutuhan daging sapi nasional masih harus dipenuhi melalui impor.

Besarnya angka defisit tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada impor. Belum lama ini, Menteri BUMN, Erick Tohir, berencana membeli peternakan sapi di Belgia untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Padahal jika dilihat, Indonesia masih memiliki

lahan tidur yang luas untuk dijadikan peternakan sehingga Indonesia dapat mengurangi dari ketergantungan impor. Berdasarkan latar belakang di atas, artikel ini akan membahas tentang potensi peternakan sapi di Indonesia guna mengurangi ketergantungan impor daging sapi.

Potensi Peternakan Sapi Potong Selama satu dekade terakhir, populasi atau produksi sapi potong di Indonesia bergerak fluktuatif dan cenderung stagnan pada periode 2011-2020. Di sisi lain, permintaan atau kebutuhan daging sapi pada periode yang sama cenderung mengalami peningkatan (khususnya 2016-2020) dan jumlah kebutuhannya jauh lebih besar dari produksinya. Implikasinya, neraca daging sapi selalu defisit setiap tahunnya (Gambar 1). Karena hal tersebut, pemerintah selalu mengambil kebijakan impor sebagai solusi tercepat dan termudah untuk memenuhi kekurangan pasokan daging dalam negeri.

Berkaca dari defisit pemenuhan kebutuhan daging sapi tersebut, maka perlu dilakukan pengembangan peternakan sapi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagai

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: liniasiskarisandi@gmail.com **) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: rosalina@dpr.go.id

(9)

Gambar 1. Perkembangan Kebutuhan dan Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun

2011-2020 (ribu ton)

Sumber : BPS dan Ditjen PKH, diolah. salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan impor yang selalu berulang di setiap tahun. Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat besarnya potensi yang dimiliki Indonesia untuk mengembangkan peternakan sapi. Ekonom Center of Reform in Economic (CORE), Yusuf Rendy, menyatakan potensi sapi potong di Indonesia cukup besar (Tribunnews, 2021). Potensi tersebut dapat terlihat dari beberapa hal yang dapat mendukung pengembangan peternakan sapi di Indonesia.

Pertama, ketersediaan lahan. Dalam praktiknya, lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak sapi yaitu lahan sawah, padang penggembalaan atau padang rumput, lahan perkebunan, hutan dan lahan pekarangan.

Selain lokasi peternakan, lahan juga merupakan sumber pakan pokok dan sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi (Sangadji, 2018). Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK, 2015), lahan pertanian yang terluas adalah lahan kering campur semak atau kebun campur sebanyak 27,2 juta hektar (ha) (14,2 persen), tegalan 10,1 juta ha (5,3 persen), perkebunan 12,8 juta ha (6,6 persen) dan sawah 7,8 juta ha (4,1 persen). Sedangkan lahan terlantar ada seluas 29,8 juta ha yang terdiri dari semak belukar 13,8 juta ha, semak belukar rawa 7,7 juta ha, lahan terbuka 5 juta ha, padang rumput atau savanna 2,6 juta ha dan lahan bekas tambang 0,6 juta ha. Ini artinya,

Indonesia masih memiliki banyak lahan potensial untuk dikembangkan menjadi peternakan sapi potong. Dari sisi status, lahan-lahan potensial tersebut berstatus tanah ulayat, hutan produksi atau area penggunaan lain, dan lahan terlantar yang sudah ada pemilik Hak Guna usahanya (HGU). Namun, persoalan pembebasan lahan menjadi salah satu kendala pengembangan peternakan sapi potong. Persoalan tersebut adalah dibutuhkannya pendekatan khusus kepada masyarakat adat untuk lahan berstatus tanah ulayat, diperlukan pengurusan izin pinjam pakai ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk lahan berstatus hutan produksi, mahalnya biaya sewa izin pinjam pakai kawasan hutan yang mencapai Rp1,6 juta per ha, serta masih adanya puluhan ribu ha lahan terlantar yang belum dicabut HGU-nya (Detik, 2015).

Kedua, ketersediaan pakan. Dalam proses pemeliharaan sapi potong, ketersediaan pakan sangat penting. Berbagai jenis sumber pakan yaitu rumput-rumputan (rumput gajah, rumput alam), kacang-kacangan (daun turi, daun lamtoro), limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, kedelai, daun ketela pohon, jerami kacang hijau, jerami kacang panjang, dan kulit singkong), limbah industri pertanian (onggok singkong, kulit nanas, dedak padi, bungkil sawit), daun-daunan dari tanaman pohon (daun akasia, daun mahoni, daun dan batang pisang, daun bayam, daun munggur, daun wora-wari, daun dadap, daun mangga, daun johar, daun randu, daun jambu, daun belimbing, daun sono, daun duwet, daun bunga sepatu dan daun pepaya) (Handayanta, 2015). Secara alamiah, daya dukung alam Indonesia dan aktivitas pertanian sebagai salah satu sektor utama ekonomi Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pakan tersebut dan sangat besar potensinya. Namun, masalah yang muncul adalah masih terdapat lahan kering yang kurang

(10)

mendukung penyediaan pakan hijauan bagi peternakan sapi (baik langsung maupun melalui limbah hasil pertanian), akibat lahan kering pada umumnya memiliki karakteristik kurang subur dan kurang air (ketersediaan air tergantung curah hujan). Alhasil, fluktuasi

ketersediaan pakan hijauan secara periodik selalu terjadi setiap tahun, dimana kelebihan pada saat musim penghujan dan kekurangan selama musim kemarau (Handayanta, 2015). Ketiga, potensi pengembangan sistem integrasi sapi-sawit. Saat ini, Kementerian Pertanian (Kementan) sedang mengembangkan sistem integrasi sapi-sawit, dimana pengembangan sapi potong

di perkebunan sawit ini telah dikembangkan oleh perusahaan penggemukan (feedlot). Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia dengan luas penguasaan lahan mencapai lebih dari 16 juta hektar. Potensi dari luasnya lahan kelapa sawit ini dapat dioptimalkan untuk pengembangan sub sektor peternakan di Indonesia melalui penyediaan pakan ternak bungkil inti sawit atau Palm Kernel Meal/PKM. Dengan produksi inti sawit sebesar 9,8 juta ton, Indonesia berpotensi menghasilkan PKM sebesar 4,42 juta ton/tahun (Wartaekonomi, 2021). Dengan potensi besar ini, maka integrasi sawit-sapi perlu terus dikembangkan dengan menyelesaikan beberapa kendala dan tantangan seperti masih rendahnya investasi untuk integrasi, implementasi pengembangan baru mencangkup 3 persen dari lahan potensial, kekhawatiran sejumlah pelaku usaha dalam menghadapi risiko usaha, kekhawatiran kotoran hewan yang mengkonsumsi pakan dari limbah sawit bisa menjadi media perkembangan binatang pengganggu tanaman, serta kurangnya pengetahuan tentang integrasi, penguasaan teknologi pengelolaan limbah ternak, dan

penguasaan teknologi pengolahan limbah sawit (Bisnis, 2019).

Dari sisi ketersediaan lahan, ketersediaan pakan dan potensi pengembangan integrasi sawit-sapi yang sudah dipaparkan di atas, maka pengembangan sapi guna mengurangi ketergantungan impor sangat potensial dilakukan oleh pemerintah. Namun, upaya tersebut sebaiknya juga dibarengi dengan menyelesaikan beberapa

kendala lain yang bersifat fundamental, diantaranya:

Pertama, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi. Berdasarkan BPS dalam P4UI (2013) penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri selama ini 97,7 persen berbasis peternakan rakyat. Dari keseluruhan peternakan rakyat tersebut, mayoritas peternak sapinya dikerjakan oleh umur 50 tahun ke atas atau mencapai 56,48 persen. Dari 56,48 persen tersebut, mayoritas berpendidikan SD ke bawah, yakni sekitar 78,33 persen (SUTAS, 2018). Tingkat pendidikan yang rendah membuat peternak masih beternak dengan cara tradisional yang membuat kurangnya terapan teknologi peternakan sehingga menghasilkan produksi yang tidak optimal.

Kedua, masih sedikit peternak

melakukan usaha pembibitan. Hingga saat ini, BPS menyebutkan bahwa dari seluruh rumah tangga usaha peternakan sapi terdapat 65 persen peternak

melakukan usaha pengembangbiakan dan 33,94 persen usaha penggemukan. Sedangkan untuk usaha pembibitan hanya 0,10 persen. Sedikitnya usaha pembibitan ini berpotensi mengganggu keberlanjutan proses pengembangbiakan dan penggemukan di masa mendatang.

Daftar Pustaka

Bisnis. 2019. Integrasi Lahan Sawit Dan Peternakan Sapi Masih Minim Investasi. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/ read/20191023/99/1162593/integrasi- lahan-sawit-dan-peternakan-sapi-masih-minim-investasi, tanggal 21 Mei 2021.

(11)

Rekomendasi

Pengembangan peternakan sapi di Indonesia sangat potensial dilakukan. Namun, masih terdapat beberapa kendala yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar mampu memanfaatkan potensi yang ada. Pertama, menciptakan regulasi pemanfaatan lahan kawasan hutan yang lebih memudahkan bagi masyarakat untuk melakukan pengembangan peternakan sapi (baik dari sisi prosedur maupun biaya sewa), dengan tetap mempertimbangkan dampak lingkungan. Kedua, melakukan percepatan pencabutan HGU lahan terlantar, yang kemudian diredistribusi kepada masyarakat yang hendak melakukan pengembangan peternakan sapi. Ketiga, mendorong kerja sama antara pemerintah, swasta dan universitas dalam rangka pengembangan inovasi teknologi pakan, sumber daya air, pengelolaan limbah ternak, pengelolaan limbah sawit untuk pakan ternak dan pembibitan sapi. Keempat, meningkatkan kapasitas peternak dan pelaku usaha perkebunan sawit rakyat melalui edukasi dan pelatihan terkait pengembangan peternakan sapi berkelanjutan, integrasi sawit-sapi, dan pemanfaatan berbagai teknologi peternakan sapi. Kelima, mendorong peternakan rakyat meningkatkan usaha pembibitan guna mewujudkan peternakan sapi yang berkelanjutan, melalui bantuan bibit, pelatihan dan pendampingan. Bisnis. 2019. Integrasi Kebun Sawit Dan

Peternakan Sapi Belum Efektif. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/

read/20190911/99/1146932/integrasi- kebun-sawit-dan-peternakan-sapi-belum-efektif, tanggal 21 Mei 2021. BPS. 2017. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Peternakan 2017 (SOUT2017). Jakarta : BPS.

BPS. 2018. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018. Jakarta : BPS. Detik. 2015. RI Punya Banyak

Lahan Buat Peternakan Sapi Tapi Pembebasannya Sulit.. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi- bisnis/d-3026285/ri-punya-banyak- lahan-buat-peternakan-sapi-tapi-pembebasannya-sulit, tanggal 21 Mei 2021.

Handayanta., Rahayu., Wibowo. 2015. Aksesibilitas Sumber Pakan Ternak Ruminansia pada Musim Kemarau di Daerah Pertanian Lahan Kering. Jurnal Sains Peternakan Vol. 13(2):105.

Kementerian Pertanian. 2020. Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi. Jakarta : Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.

Sangadji, Insun., Rajab. 2018. Potensi Wilayah Dan Daya Dukung Lahan Dalam Menunjang Ketersediaan Pakan Ternak Bagi Pengembang Sapi Potong. Jurnal Ilmu-Ilmu Kehutanan dan Pertanian Vol.2 No.2: 219-229.

Tribunnews. 2021. Erik Thohir Akan Beli Peternakan Sapi Di Belgia Ekonom Memanfaatkan Potensi Lokal Secara Maksimal. Diakses dari https://www. tribunnews.com/bisnis/2021/04/21/ erick-thohir-akan-beli-peternakan-sapi- di-belgia-ekonom-manfaatkan-potensi-lokal-secara-maksimal, tanggal 18 Mei 2021.

Wartaekonomi. 2021. Potensi Bungkil inti Sawit Penuhi Pakan Ternak Nasional. Diakses dari https://www. wartaekonomi.co.id/read339391/potensi- bungkil-inti-sawit-penuhi-pakan-ternak-nasional, tanggal 18 Mei 2021.

(12)

Nelayan sebagai pelaku utama dalam aktivitas perikanan harusnya mendapatkan perhatian. Guna memperbaiki kehidupan nelayan, pemerintah telah melakukan beberapa program. Salah satunya merevitalisasi perkampungan nelayan pada Program Seribu Kampung Nelayan Mandiri, Tangguh, Indah dan Maju (SEKAYA MARITIM) 2015-2019 dan program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tahun 2011-2014. Namun, program tersebut belum maksimal dalam membenahi permasalahan nelayan, masih ada masyarakat nelayan yang miskin dan pemukiman kumuh, sarana dan prasarana yang masih banyak kekurangan, dan infrastruktur pelabuhan dan desa masih belum maksimal untuk melayani kebutuhan masyarakat nelayan (Hermawanto, 2019). Pada tahun

2021, pemerintah melalui KKP akan melakukan pengembangan Kampung Nelayan Maju (Kalaju) sebagai salah satu program prioritas. Tulisan ini akan mengkaji apa saja tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan program pengembangan kampung nelayan dan potret kondisi kampung nelayan yang telah ada selama ini.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: ollanivabiola@yahoo.com

M

enurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP (2020), dari 8,3 juta km2 luas

wilayah Indonesia, sebesar 6,4 juta km2

adalah wilayah perairan yang terdiri dari 16.671 pulau besar kecil. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2020), mencatat bahwa hasil perikanan menyumbang sebesar Rp419.982 miliar untuk PDB atau sebesar 2,65 persen dari total PDB. Keanekaragaman hayati laut Indonesia menyimpan potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat di pesisir.

Namun, hal ini tidak sejalan dengan kondisi kehidupan nelayan di Indonesia. Data KKP tahun 2018, mencatat bahwa jumlah nelayan di Indonesia berjumlah 2,7 juta orang. Jumlah tersebut mayoritas berada dalam ambang batas kemiskinan dan menyumbang 25 persen dari angka kemiskinan nasional. Penelitian dengan menggunakan data Survei Ekonomi Nasional/Susenas tahun 2017, mencatat bahwa nelayan merupakan salah satu profesi yang termiskin di Indonesia, dimana sebesar 11,34 persen orang di sektor perikanan tergolong dalam penduduk miskin (Anna, 2020).

Abstrak

Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Sektor perikanan berkontribusi menyumbang sebesar 2,65 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun, kekayaan laut Indonesia belum diiringi dengan kesejahteraan nelayan sebagai aktor utama pada sektor ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2021 membuat program pengembangan Kampung Nelayan Maju (Kalaju) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas nelayan. Dalam pelaksanaan program ini, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti kurangnya kesadaran masyarakat nelayan untuk hidup bersih, kampung nelayan yang rentan dengan bencana alam, belum adanya perencanaan wilayah kampung nelayan yang jelas serta keterbatasan anggaran.

Tantangan Program Pengembangan

Kampung Nelayan Maju

oleh

Ollani Vabiola Bangun*)

Marihot Nasution**)

(13)

Program Pengembangan Kampung Nelayan Maju

Dalam buku II Nota Keuangan (NK) beserta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2021, Program Kampung Nelayan Maju merupakan salah satu kegiatan prioritas KKP. Dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) KKP tahun 2021, alokasi program Kampung Nelayan Maju dianggarkan sebesar Rp27 miliar melalui Ditjen Perikanan Tangkap untuk 40 lokasi. Namun, berdasarkan pernyataan Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini (2021), KKP menargetkan pengembangan 25 lokasi kampung nelayan di Indonesia yang berasal dari APBN yang akan dilaksanakan melalui program padat karya.

Kalaju merupakan konsep perwujudan lingkungan permukiman nelayan yang maju, bersih, sehat dan nyaman yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas kehidupan nelayan dan keluarganya. Beberapa persyaratan yang harus dimiliki kampung nelayan untuk dikembangkan menjadi kampung nelayan maju adalah sebagai berikut: (1) mata pencaharian keluarga sebagai nelayan di lokasi minimal 60 persen; (2) lokasi kampung dekat dengan pendaratan ikan ataupun pelabuhan perikanan; (3) terdapat kelembagaan nelayan; serta (4) memiliki akses transportasi dan komunikasi yang memadai. Selain itu, beberapa bentuk kegiatan yang akan dilakukan dalam program ini antara lain: perbaikan fasilitas umum seperti penyediaan sarana air bersih, sarana mandi cuci kakus (MCK), saluran air, pengelolaan sampah dan akses jalan (Antaranews, 2021)

Potret Kampung Nelayan dan

Tantangan Program Pengembangan Kampung Nelayan Maju

Hermanto (2019), menyebutkan bahwa mayoritas nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional. Nelayan tradisional umumnya rentan terhadap beberapa permasalahan seperti rendahnya

tingkat kesejahteraan masyarakat, keterbatasan akses permodalan, cuaca ekstrim, rendahnya penguasaan teknologi, rendahnya tingkat pendidikan, permasalahan gizi dan kesehatan, serta permukiman dan lingkungan. BPS mencatat terdapat penurunan jumlah rumah tangga nelayan dimana pada tahun 2003 terdapat 2,49 juta rumah tangga turun menjadi 1,68 juta pada tahun 2018. Jumlah nelayan juga mengalami penurunan yaitu sebesar 3,31 juta pada tahun 2003 turun menjadi 1,69 juta nelayan pada tahun 2018. Sementara itu, Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir KKP (2020), menyebutkan bahwa permukiman desa pesisir yang dihuni oleh nelayan yang berpenghasilan rendah menyebabkan kondisi kumuhnya permukiman nelayan. KKP mencatat bahwa pada tahun 2018, ditemukan sebanyak 1.070 desa atau sekitar 8,32 persen desa tepi pantai yang ditemukan pemukiman kumuh didalamnya.

Ketersediaan fasilitas pendidikan juga belum memadai di kampung nelayan. Berdasarkan pendataan potensi desa (Podes) pada tahun 2018, hanya

terdapat 78,5 persen desa tepi laut yang memiliki SD negeri dan 29,7 persen SD swasta. Selanjutnya untuk jenjang SMP, hanya terdapat 35,2 persen desa tepi laut yang memiliki SMP negeri dan hanya 19,8 persen yang memiliki SMP swasta. Lalu untuk jenjang SMU hanya sebanyak 12,3 persen desa yang memiliki SMU negeri dan 10,7 persen yang memiliki SMU swasta. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang tingkat pendidikan yang akan ditempuh maka semakin sedikit kemampuan desa/kampung untuk memenuhi jenjang tingkat pendidikan tersebut.

Potret desa nelayan saat ini juga dapat dilihat melalui kondisi sanitasi dan sumber air minum. Pada tahun 2011, hanya terdapat 60,54 persen penduduk desa tepi laut yang telah menggunakan jamban sendiri, 12,76 persen yang masih menggunakan jamban bersama (umum), dan sebesar

(14)

26,7 persen yang menggunakan bukan jamban. Selanjutnya pada tahun 2018, terdapat peningkatan penggunaan jamban sendiri menjadi 84,14 persen. Namun, masih terdapat masyarakat yang menggunakan jamban bersama (umum) sebesar 9,40 persen dan 6,46 persen yang masih menggunakan bukan jamban. Selanjutnya pada aspek sumber air minum, pada tahun 2011 sebanyak 45,3 persen penduduk menggunakan air sumur, dan sekitar 15 persen menggunakan air ledeng/kemasan, sisanya berasal dari mata air ataupun sumber klasifikasi air lainnya. Sementara itu, pada tahun 2018 penggunaan

sumber air ledeng/kemasan meningkat menjadi 35,71 persen. Hal ini diakibatkan oleh semakin buruknya kualitas air di tepi laut. Penggunaan air sumur berkurang menjadi 27,48 persen dan sisanya berasal dari mata air ataupun sumber klasifikasi air lainnya.

Melihat kondisi dari kampung nelayan yang ada saat ini, pengembangan kampung nelayan merupakan program yang penting dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat nelayan, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi nelayan. Beberapa tantangan yang akan dihadapi dalam keberlanjutan program ini antara lain:

Pertama, kesadaran masyarakat nelayan akan kebersihan.

Masyarakat merupakan aktor utama dalam aktivitas pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan terhadap terciptanya kampung nelayan maju. Dalam Arifiani dan Mussadun (2016) menyatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki kebiasaan membuang sampah ke laut karena menganggap hal itu lebih mudah dan praktis tanpa mengeluarkan biaya. Sangat rendahnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah salah satu penyebab lingkungan pesisir menjadi kumuh. Ditambah lagi tidak adanya fasilitas pengangkutan sampah bagi desa-desa yang berada di wilayah pesisir.

Kedua, pemukiman kampung nelayan rentan bencana.

Berdasarkan data yang di rilis Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2020, mencatat bahwa kenaikan air laut dan cuaca ekstrim dapat menggerus permukiman dan infrastruktur sekitarnya. Kepadatan pemukiman di kampung nelayan juga telah mendesak pantai sehingga mengakibatkan pemukiman di kampung nelayan sangat rawan terhadap abrasi dan rob.

Ketiga, belum optimalnya rencana penataan wilayah kampung nelayan. Pemerintah sebenarnya telah memiliki Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah disebutkan mengenai Rencana Tata Ruang Laut (RTRL). Namun, kedua dokumen tersebut belum secara rinci membahas tentang pengelolaan kampung nelayan, khususnya

permukiman kumuh nelayan. Dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 pasal 245 disebutkan bahwa RTRL diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun, berdasarkan kajian Putri & Nurlaili (2018), menyatakan bahwa pemerintah belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terhadap pemukiman nelayan karena nelayan dianggap nomaden.

Keempat, keterbatasan anggaran. Secara umum, pembenahan kampung nelayan maju membutuhkan anggaran yang besar, karena masih banyak

fasilitas yang harus dilengkapi khususnya fasilitas seperti pendidikan, MCK,

air bersih, fasilitas kesehatan dan pengelolaan sampah. Apabila seluruh pembiayaan dibiayai melalui APBN, tentunya hal ini akan memberatkan pemerintah khususnya Kementerian KKP sebagai pelaksana program.

(15)

Rekomendasi

Dalam melakukan pengembangan kampung nelayan yang berkelanjutan ada beberapa aspek yang menjadi perhatian seperti aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya. Adapun beberapa rekomendasi yang dapat menjawab tantangan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah memberikan edukasi dan peningkatan pendidikan masyarakat nelayan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat. Serta, penyediaan dan perbaikan sistem pengangkutan sampah di wilayah pesisir. Kedua, mitigasi bencana dan melakukan pelatihan kepada nelayan dan masyarakat pesisir untuk memberikan pengetahuan terkait bencana khususnya yang sering terjadi di daerah pesisir. Ketiga, RTRL harusnya diintegrasikan ke dalam dokumen khusus yang secara tegas membahas tentang pengelolaan permukiman kampung nelayan. Pengembangan permukiman harus melibatkan unsur-unsur yang melibatkan kehidupan masyarakat nelayan sehingga dapat berkelanjutan dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat serta peningkatan penataan lingkungan fisik dan ekologisnya tidak hanya mementingkan aspek ekonomi. Pemerintah juga wajib mendorong setiap daerah (pemda) untuk secara lanjut memiliki aturan terkait penataan permukiman kampung nelayan secara khusus. Keempat, komitmen dalam pengelolaan dan penyediaan anggaran (investasi modal) dari seluruh stakeholders. Dukungan pembiayaan dapat dilakukan dengan kerjasama lintas kementerian dan pemda, BUMN, swasta maupun perbankan. Misalnya dengan memanfaatkan fasilitas dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membangun fasilitas yang diperlukan seperti sarana pendidikan, air bersih, MCK dan penyediaan dan perbaikan sistem pengangkutan sampah di wilayah pesisir. Daftar Pustaka

Anna, Zuzy. 2019. Pemanfaatan Model Bio-Ekonomi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Yang Berkelanjutan. Orasi Ilmiah

Antaranews.com. 2021. Pengembangan Kampung Nelayan Maju diakses

melalui https://www.antaranews.com/ infografik/2084642/pengembangan-kampung-nelayan-maju-2021 pada 18 mei 2021

Arifiani, N. A. & Mussadun, M. 2016. Studi Persepsi Masyarakat Terhadap Tingkat Keberlanjutan Wilayah Pesisir Kecamatan Sarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 4(3), 171-186. doi:10.14710/ jwl.4.3.171-186

Badan Pusat Statistik. 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir: Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir

Hermawanto, Eko. 2019. Efektifitas Program Sekaya Maritim Dalam

Meningkatkan Penghasilan Masyarakat Nelayan (Studi di Desa Muara

Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak). Jurnal KAPemda. Vol. 14. No.8 KKP. 2021. SiaranPers Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor: SP.230/ SJ.5/III/2021 diakes pada https://kkp. go.id/ pada 18 mei 2021

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Putri, H. M & Nurlaili. 2018. Tata Kelola Pemukiman Nelayan di Wilayah Perkotaan Pesisir Utara Jakarta. Buletin Ilmiah “MARINA” Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol.4. No.1 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

(16)

“Siap Memberikan Dukungan Fungsi Anggaran

Secara Profesional”

Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635, Fax. 021-5715635 Twitter: @puskajianggaran Instagram: puskajianggaran

Gambar

Gambar 2. Realisasi Kredit Konsumsi Selama Pandemi Covid-19 (Rp miliar)Gambar 1. Indeks Keyakinan Konsumen Selama

Referensi

Dokumen terkait

Untuk tahun 2021, pemerintah melanjutkan program penanganan Covid- 19 dan pemulihan ekonomi nasional dengan anggaran sebesar Rp 699,43 triliun. Fokus

PENETAPAN JUMLAH KELUARGA PENERIMA MANFAAT DAN TAHAP PENYALURAN BANTUAN SOSIAL BERAS SEJAHTERA DAN BANTUAN PANGAN NON TUNAI TAHUN 2018. JUMLAH KELUARGA

Untuk penerima BST, syaratnya tidak menerima PKH dan BPNT yang merupakan bantuan sosial yang telah disalurkan Pemerintah kepada masyarakat yang kurang mampu jauh

Bantuan sosial yang didapatkan oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari Program Keluarga Harapan (PKH) adalah uang tunai sebesar Rp. Penyaluran bantuan dilakukan sebanyak

365 KAPUAS BARAT TELUK

1 KAPUAS TIMUR ANJIR MAMBULAU TIMUR JL KALI ANJIR SERAPAT KM 7 RT 014 ADAK.. TRANS

3844 Selat SELAT UTARA Handel Berkar Makmur RT.08 Kel.. Trans Kalimantan

Dengan hormat, dalam rangka Program Bantuan Pemerintah bagi Usaha Pariwisata (BPUP) Tahun 2021 sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional di tahun 2021