• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAKEKAT DAN MAKNA TEKNOLOGI BAGI KEBERADAAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HEIDEGGER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAKEKAT DAN MAKNA TEKNOLOGI BAGI KEBERADAAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HEIDEGGER"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG KAJIAN

HAKEKAT DAN MAKNA TEKNOLOGI BAGI KEBERADAAN

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HEIDEGGER

Fadhilah

Abstrak

Perkembangan teknologi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan berbagai fenomena yang secara esensial telah memberi makna bagi kehidupan manusia. Tulisan yang berjudul ‘Hakekat d an Makna Teknologi bagi Keberadaan Manusia Menurut Perspektif Heidegger’ adalah salah satu usaha refleksi atas fenomena tersebut. Salah satu pandangan Heidegger tentang teknologi adalah apa yang temuat dalam tulisannya tentang “Being and Time”. Teknologi oleh Heidegger dianalogikan sebagai kuil yang menumpahkan macam-macam makna, atau asal muasal berbagai pemaknaan, contoh lain: tugu/monumen yang memberi makna manusia mengingat sesuatu tentang sejarah yang tecermin dalam tugu itu. Tugu dan kuil tersebut akhirnya digantikan dengan teknologi sebagai seni. Hal ini berhubungan dengan pandangan Heidegger tentang makna benda-benda di sekitar manusia adalah karena manusia memberikan makna kepada benda-benda tersebut. Sebaliknya, jika hanya dilihat dari bendanya saja, maka kedua benda tersebut tidak bermakna apa -apa, karena keduanya adalah benda mati. Manusialah yang memberikan makna kepada tugu dan kuil, antara lain tugu sebagai monumen bersejarah dan kuil sebagai sarana manusia dalam aktivitas religiusnya. Makna lain dari kedua benda tersebut dapat juga karena memiliki nilai seni yang tinggi. Namun ketika kedua benda tersebut dihancurkan dan ditinggalkan manusia karena dianggap tak bermakna, maka benda-benda tersebut pun akan tak berarti apa-apa lagi. Pandangan ini dapat dianalogkan dengan teknologi kontemporer, sebagai contoh program komputer, mulai dari WS, Pentium I, Pentium II, Pentium III dan Pentium IV, dan seterusya. Begitupun dengan perangkat kerasnya, sekarang sebagian orang mulai beralih kepada note book/laptop yang dianggap lebih praktis dan manusiawi, karena kemudahan dalam penggunaannya. Dalam perspektif ini, manusialah yang memberikan makna terhadap produk-produk teknologi tersebut.

(2)

32

Pendahuluan

Berbagai corak pandangan tentang filsafat teknologi akhir-akhir ini menjadi salah satu alasan yang mendorong penulis untuk mencoba merefleksikan salah satu pemikiran tentang hakekat dan makna tekno-logi. Dalam hal ini penulis tertarik untuk mendeskripsikan kembali pen-dapat Heidegger tentang hakekat dan makna teknologi. Hal yang menarik bagi penulis dari pemikiran Heidegger tentang hakekat dan makna teknologi adalah karena Heidegger meman-dang teknologi dari perspektif eksistensi manusia yang secara konkret dapat dilihat dalam fenomena kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian Heidegger melihat teknologi tidak semata-mata teoritis, melainkan sebagai hasil perkembangan/evolusi pengetahuan manusia, sebagai manifestasi eksistensi dan fenomeno-logi tentang manusia.

Untuk dapat memahami hakekat dan makna teknologi dalam perspektif eksistensi dan fenomenologi manusia dalam pandangan Heidegger, di-butuhkan analisa dan refleksi yang mendalam melalui pendekatan eksistensialisme S. Kiekegaard dan fenomenologi Husserl sebagai landasan ontologis yang melatar-belakangi pemikirannya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa tulisan, artikel ataupun buku yang me-ngomentari pendapat Heidegger tentang teknologi, antara lain menyoroti latar belakang atau faktor yang mempengaruhi pandangan Heidegger terhadap teknologi dan menganalisa salah satu karya Heidegger yang terkenal “Being and Time”. Pandangannya dalam hal ini dipengaruhi oleh S. Kiekegaard

(1813-1855) sebagai sumber utama pemikiran eksistensialismenya, dan Edmund Husserl (1859-1938) sebagai filsuf fenomenologi yang mengilhami kerangka analisanya, serta metafisika modern Henry Bergson tentang “kesadaran” dan “intuisi” yang me-warnai filsafat hidupnya.

PokokPokok Pikiran Eksistensial -isme sebagai Landasan Ontologis Heidegger Tentang Manusia dan Teknologi

Sedikitnya terdapat 4 pemikiran yang jelas dapat disebut eksistensial-isme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Pe-ngertian eksistensi dalam filsafat eksistensialisme memil iki makna khusus, bukan sekedar berada dalam ruang dan waktu sebagaimana pe-ngertian eksistensi dalam kehidupan sehari-hari.

Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia yang berbeda dengan beradanya benda-benda. Beradanya benda-benda menjadi bermakna karena manusia. Eksistensi berasal dari kata: eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Dirinya di-sebut “aku”. Segala sesuatu di-hubungkan dengan dirinya. Mejaku, kursiku, temanku dll. Manusia me-nyibukkan dirinya dengan apa yang di luar dirinya dan menggunakan benda-benda yang ada disekitarnya. Dalam kesibukannya, manusia menemukan dirinya. Beberapa ciri persamaan

(3)

33 filsafat eksistensialisme antara lain sebagai berikut:

1) Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia ber-ada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanitis.

2) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi ber-arti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. 3) Di dalam filsafat eksistensialisme

manusia dipandang sebagai ter-buka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.

4) Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalam-an ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kemati-an, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada peng-alaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kemati-an, penderitakemati-an, perjuangan dan kesalahan.

Pokok pemikiran Heidegger dicurahkan untuk pemecahan yang konkrit terhadap persoalan tentang arti “berada” selama Heidegger hidup belum ada yang menjelaskan secara gamblang, menurutnya hanya samar-samar saja. Menurut Heidegger per-soalan “berada” harus dijelaskan

se-cara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologis. Dalam hal ini ia dipengaruhi oleh pandangan fenomenologi Husserl. Menurut Heidegger, eksistensi manusia ber-beda dengan dunia itu sendiri. Heidegger membedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde). Menurutnya “berada” hanya berlaku bagi manusia. Sedangkan “yang berada” (Seinde) berlaku untuk benda -benda mati yang menurut Heidegger makna keduanya berbeda. Manusia “berada” dalam arti aktif, dinamis dan berhadapan dengan benda -benda yang ada disekitarnya. Hal ini karena manusia memiliki “kesadaran” akan dirinya. Keberada-an mKeberada-anusia ini disebut “Dasein” yKeberada-ang berarti “berada dalam dunia”. Adapun benda -benda lain meskipun ada di sekitar manusia, namun jika di-pandang pada dirinya sendiri, berada-nya terpisah dari benda -benda yang lain. Benda-benda tersebut memiliki arti dan makna sepanjang dihubung-kan dengan manusia. (Harun Hadiwijono: 150).

Keberadaan manusia dalam ruang dan waktu diketahui melalui “kesadaran” tentang “aku”-nya ma-nusia. Hal ini berbeda dengan hakekat “ada” pada benda-benda mati. Manusia berada secara aktif dan dinamis. Manusia berada dalam dunia dan memiliki dunia. Manusia adalah subyek dalam dunia. Sedang-kan benda-benda, jika dipandang pada dirinya sendiri beradanya secara terpisah dengan benda lainnya, karena tidak saling menyapa. Hal inilah yang membedakan makna beradanya manusia dengan berada-nya benda-benda mati, yaitu karena “kesadaran”. Dalam kesadarannya, manusia berhadapan dengan

(4)

34 manusia lain, terikat oleh sesama manusia, bahkan terbelenggu oleh nasibnya. Meskipun demikian ma-nusia dapat keluar dari keberadaan semu (dalam pengertian sehari-hari) menuju keberadaan yang sesungguh-nya. Cara berada manusia antara lain dengan seolah-olah keluar dari dirinya, menyibukkan diri dengan apa yang ada di luarnya, menggunakan benda-benda di sekitarnya. Benda-benda hanya bermakna sejauh di-hubungkan dengan manusia. Sebalik-nya jika manusia tak membutuhkan, maka benda-benda tersebut tidak mempunyai makna apa-apa.

Pemikiran eksistensialisme dan fenomenologis tersebut menjadi latar belakang pandangan Heidegger ten-tang teknologi. Karena latar belakang pemikirannya yang eksistensialis dan fenomenologis, serta dipengaruhi oleh filsafat hidup Bergson, maka pandangan Heidegger terhadap tek-nologi juga sangat humanistis . Pokok-pokok Pikiran Heidegger tentang Teknologi

Dalam buku yang berjudul Filsafat Teknologi Suatu Pengantar, karangan asli Dr. Don Idhe dan diterjemahan oleh Yudian W. Asmin, Penerbit Al Ikhlas, Surabaya Indo-nesia, tahun 1995, cetakan ke I, antara lain menguraikan pemikiran Heidegger tentang teknologi.

Pemikiran Heidegger tertuang dalam tulisannya tentang Being and Time (Ada dan Waktu). Heidegger merespon analisa “kesadaran modern” gaya Husserl melahirkan analisa kuat terhadap praksis biasa. Dalam buku utamanya Being and Time (1927), dikemukakan argumen-tasi bahwa pengetahuan saintifik

berbeda dari posisi-posisi yang dominan pada waktu itu dan merupakan suatu penyimpangan dari dan bergantung pada pengetahuan praksis yang lebih primitif.

Hubungan primer kita dengan dunia/lingkungan pengalaman per-tama tidaklah bersifat konseptual, tetapi adalah hubungan jasmaniah praksis yang tercermin dalam ak-tivitas keseharian. Contoh: Palu dalam konteks penggunaanpeng -gunaan khusus yang relasional, dimana palu itu menjadi suatu bagian dari bidang tugas, yang menunjuk pada paku, sol-sol sepatu, produksi artifak. Tetapi palu yang dipakai itu bukan suatu obyek semata, melain-kan secara aktual kegunaannya menunjukkan corak pengetahuan praktis tertentu yang tidak bersifat konseptual, tetapi bersifat jasmaniah.

Teknologi dipandang sebagai peran dalam pengalaman awal manusia terhadap lingkungan. Namun hal itu nampak, justru ketika teknologi berfungsi secara tidak baik. Pada saat teknologi berfungsi dengan baik, hal itu justru perannya tidak nampak. Contoh mesin ketik/komputer, ketika sedang digunakan tanpa ada masalah, maka perannya tidak nampak, tetapi justru ketika ada hambatan, maka peran mesin ketik tadi lebih nampak. Contoh lain mobil yang sering dipakai sebagai alat transportasi dalam menjalankan tugas sehari-hari. Ketika tidak ada masalah, seperti mogok tiba-tiba dll, maka fungsi/peran mobil tidak terlalu dirasakan. Namun ketika di tengah jalan mobil yang dikendarai tiba-tiba mesinnya mogok, maka baru terasa bahwa peran/fungsi atau hubungan mobil dengan pekerjaan manusia sangat tersebut sangat penting.

(5)

35 Dalam eseinya yang berjudul “The Question Concerning Techno-logy”, Heidegger menarik kesimpulan tentang teknologi, bahwa secara ontologis, teknologi mendahului sains. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perkembangan teknologi awal dengan adanya penemuan berbagai alat penting dalam masa sebelum sains berkembang pesat, seperti alat pengukur waktu dan jarak (sundial, elypsadra dan gnomon) pada filsafat pasca Aristoteles, pada masa Hellenika Romawi, sejak Archimedes (287-252). Sejak masa itu dianggap sebagai masa perkembangan tekno-logi dan eksperimen. Dengan pe-nemuan-penemuan tersebut, justru bermanfaat bagi pengembangan sains berikutnya. Penggunaan mate-matika, metode eksperimental dan observasi saintifik, teori itu sendiri harus dipandang sebagai suatu corak alat dalam cara pandang teknologis.

Tentang teknologi sebagai wujud/ada, adanya teknologi sebagai wujud keberadaan manusia. Wujud teknologi adalah ciptaan manusia. Contoh: adanya palu menunjukkan sesuatu yang ada di balik palu, yaitu komunitas kerja/proyek. Esensi palu adalah sesuatu yang memperkuat sesuatu. Dari sisi ini, maka Heidegger memandang esensi teknologi sebagai salah satu cara beradanya manusia. Dengan demikian, makna palu bagi manusia menunjukkan komunitas manusia yang berhubungan dengan kerja/proyek.

Esensi Teknologi berbeda dengan Teknologi itu sendiri

Pandangan Heidegger tentang hal ini dilandasi oleh pemikiran tentang eksistensialisme, bahwa

esensi manusia berbeda dengan eksistensinya. Begitu pun dengan teknologi. Esensi teknologi berbeda dengan teknologi itu sendiri. Esensi teknologi adalah aktivitas/produk manusia. Dengan kata lain teknologi adalah bentuk aktivitas dan hasil aktivitas manusia. Di sisi lain teknologi dipandang sebagai instrumen/alat bagi manusia.

Dalam contoh “palu” sebagai alat kerja proyek, dapat juga sebagai alat untuk mengesol sepatu. Fungsi palu adalah untuk memperkuat. Di sisi lain adanya palu memberikan gambaran tentang hal -hal di balik palu. Palu dapat mencerminkan ko-munitas kerja manusia yang berbeda dengan palu itu sendiri.

Pada masa sekarang hal ini bisa diambil contoh, misalnya tekno-logi komputer yang dirancang untuk dijadikan sebagai alat penyimpan data yang memudahkan manusia dalam aktivitas kerja yang memerlu-kan data base. Dengan kata lain teknologi komputer dalam hal ini dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan eksistensi manusia dalam dunia kerja yang membutuh-kan penyimpanan data.

Teknologi bukan hanya sebagai alat, tetapi sebuah jalan yang membuka sesuatu, dari yang semula tidak nampak menjadi nampak/pem-buka pikiran/kerangka pemikiran; memberi pemaknaan baru. Sebagai pembuka pikiran dari hal yang semula tidak nampak menjadi nampak, hal ini bisa dicontohkan dengan adanya penemuan mikroskop sebagai alat untuk melihat benda yang sangat kecil dalam j arak dekat dengan kaca pembesar. Begitu juga dengan di-temukannya teleskop/alat teropong bintang, memungkinkan manusia

(6)

36 dapat melakukan perhitungan kalen-der Hijriyah dengan lebih tepat. Di era sekarang dengan perkembangan teknologi IT dan internet, HP, TV dan radio memungkinkan manusia dapat melihat dan mendengar berbagai informasi dan fenomena yang se-belumnya tidak nampak/tidak dapat dilihat atau ditangkap. Dengan HP seseorang bisa mengetahui posisinya dimana.

Esensi teknologi antara lain sebagai Gestall/enframing: set to reveal/world as bestand/standing resarve. Contoh: ketika melihat sungai, maka yang ada dalam pikiran kita adalah sungai dapat menjadi sebuah cadangan pembangkit tenaga listrik. Teknologi dalam hal ini dapat dipandang sebagai aset yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia di masa yang akan datang.

Teknologi adalah suatu pe-ngetahuan. Sebagai cara untuk me-ngetahui. Teknologi sebagai episteme = ilmu murni yang memberi kita pengetahuan. Sedangkan techne = pekerjaan tukang/art. Dalam arti ini, teknologi adalah knowledge yang sejajar dengan science. Dengan demikian teknologi berbeda dengan techne yang hanya bermakna sebagai pekerjaan tukang.

Teknologi dapat menjadi alat yang membebaskan diri manusia dari hegemoni/pandangan yang salah/ tidak tepat tentang sesuatu yang mengikat manusia. Heidegger tidak setuju dengan pandangan Aristoteles tentang 4 causa (causa formalis, causa materialis, causa finalis dan causa efisien) yang telah meng-hegemoni masyarakat kuno. Dalam makna teknologi sebagai alat yang membebaskan manusia dari hege-moni/pandangan yang salah antara

lain dapat dilihat dalam contoh penemuan alat teropong bintang yang mampu mendorong munculnya revo-lusi Copernicus. Sebelum teropong bintang ditemukan, masyarakat Yunani percaya bahwa bumi adalah sebagai pusat tata surya (pandangan geosentris). Namun setelah alat teropong bintang ditemukan, maka pandangan geosentris tersebut berubah/digantikan menjadi pandang-an heliosentris, yaitu bahwa mata-harilah yang menjadi pusat tata surya kita.

Teknologi dianalogikan sebagai kuil yang menumpahkan macam-macam makna, atau asal muasal berbagai pemaknaan, contoh lain: tugu/monumen yang memberi makna manusia mengingat sesuatu tentang sejarah yang tecermin dalam tugu itu. Tugu dan kuil tersebut akhirnya digantikan dengan teknologi sebagai seni. Hal ini berhubungan dengan pandangan Heidegger tentang makna benda -benda di sekitar manusia adalah karena manusia memberikan makna kepada benda-benda ter-sebut. Sebaliknya, jika hanya dilihat dari bendanya saja, maka kedua benda tersebut tidak bermakna apa-apa, karena keduanya adalah benda mati. Manusialah yang memberikan makna kepada tugu dan kuil, antara lain tugu sebagai monumen ber-sejarah dan kuil sebagai sarana manusia dalam aktivitas religiusnya. Makna lain dari kedua benda tersebut dapat juga karena memiliki nilai seni yang tinggi. Namun ketika kedua benda tersebut dihancurkan dan ditinggalkan manusia karena di-anggap tak bermakna, maka benda-benda tersebut pun akan tak berarti apa-apa lagi. Pandangan ini dapat dianalogikan dengan teknologi dari

(7)

37 sisi yang lain. Ketika dahulu orang belum menemukan teknologi canggih, maka beberapa penemuan di bidang teknologi yang pada waktu itu sangat membantu manusia dalam me-laksanakan aktivitasnya sehari-hari, maka teknologi yang ada tersebut dianggap sangat bermakna bagi hidup manusia. Tetapi setelah ada penemuan teknologi canggih, maka teknologi lama tidak lagi dianggap bermakna bagi manusia. Contoh: penggunaan komputer pertama kali dengan program WS dan sekarang dengan ditemukannya program Windows dengan Pentium I, II, III, IV, dst., maka orang tidak lagi mem-berikan makna pada program kom-puter yang dianggap sudah usang dan ketinggalan jaman. Begitupun dengan perangkat kerasnya, se-karang sebagian orang mulai beralih kepada notebook/laptop yang di-anggap lebih praktis dan manusiawi, karena kemudahan dalam peng-gunaannya.

Dalam perspektif ini, manusialah yang memberikan makna terhadap produk-produk teknologi tersebut. Manusia menjadi ukuran dan subyek yang memberi makna. Namun di sisi lain, selain mengandung berbagai macam makna teknologi juga telah banyak membawa berbagai dampak negatif bagi kehidupan manusia, contoh: dengan adanya HP, internet, dan TV di era informasi telah mem-berikan berbagai macam makna bagi hidup manusia, baik makna eko-nomis, bisnis, etis, religius, hiburan dan lain-lain.

Demikianlah garis besar pan-dangan Heidegger tentang teknologi yang dapat direfleksikan lebih jauh lagi dalam fenomena kehidupan

manusia sebagai wujud eksistensi diri manusia dari sisi yang lain.

Kesimpulan: Tanggapan dan Kritik Berdasarkan uraian di atas maka nampak jelas pandangan Heidegger tentang teknologi yang bersifat humanistis, karena dilandasi oleh pemikirannya tentang eksis-tensialisme S. Kiekegaard dan feno-menologi Husserl, serta adanya pengaruh filsafat hidup Bergson. Karena filsafatnya yang bercorak eksistensialis tersebut, Heidegger menempatkan teknologi dalam wujud dan peranan d ari segi praksis sebagai cara beradanya manusia.

Dalam kesadaran manusia yang terikat dengan keberadaan manusia lain, menyebabkan peran teknologi menjadi kompleks, sesuai dengan makna yang diberikan oleh manusia terhadap teknologi tersebut. Manusia menjadi tolok ukur adanya dan peranan teknologi. Dari sisi ini penulis menilai pandangan Heidegger ten-tang teknologi cenderung subyektif. Namun pada fenomena perkembang-an teknologi canggih, ada ke-cenderungan manusia terkadang justru dikendalikan oleh teknologi, sehingga makna teknologi bukan lagi manusia yang menentukan, melain-kan otonomi teknologi yang justru membuat manusia bergantung dan tunduk pada sistem teknologi yang ada (teknologi deterministik). Dengan demikian, manusialah yang menjadi obyek teknologi.

Dalam dimensi etis kedudukan manusia dalam ilmu/science dan teknologi adalah sebagai subyek dan obyek sekaligus. Hal ini karena esensi manusia dan eksistensinya terikat dengan dunia sekitar, dimana

(8)

38 teknologi sekarang telah mampu mengendalikan dan mengatur manusia. Contoh dalam layanan telekomunikasi, identitas pengguna jasa layanan berada dalam kontrol teknologi telekomunikasi. Dalam administrasi kependudukan, nomor KTP juga sebagai salah satu bentuk kontrol teknologi terhadap manusia. Begitu juga dalam sistem peng-ambilan uang melalui ATM dengan menggunakan nomor PIN adalah bukti konkrit manusia dikendalikan oleh sistem teknologi.

Meskipun demikian, secara umum pandangan Heidegger me-rupakan pemikiran yang sangat lekat dengan realitas hidup manusia sekarang, bahkan di era informasi global, ketika Heidegger tidak lagi sempat meresponnya, karena tak lagi “berada” dalam dunia. Pandangan tentang teknologi yang humanistis dari Heidegger seharusnya dapat dijadikan landasan etis bagi pe-ngembangan dan penggunaan teknologi pada masa kini dan yang akan datang yang cenderung me-nempatkan manusia sebagai obyek teknologi. Hal ini tentunya harus dikembalikan kepada subyek

(ma-nusia) teknologi yang bertanggung jawab, karena bagaimanapun juga tujuan sains dan teknologi harus diprioritaskan untuk kepentingan dan kesejahteraan hidup manusia. Dengan demikian terhadap dampak sains dan teknologi yang negatif hendaknya semaksimal mungkin manusia mencegah/mengantisipasi-nya.

Referensi

Don, Idhe. (1995). Filsafat Teknologi Suatu Pengantar, cetakan ke I, Penterjemah Yudian W. Asmin, Penerbit Al Ikhlas, Surabaya Indonesia.

Harun, Hadiwijono. (2005). Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cetakan ke 21, Kanisius, Yogyakarta. Van Melsen. (1992). Ilmu

Penge-tahuan dan Tanggung Jawab Kita, Gramedia, Jakarta.

Jacob, Teuku. (1996). Menuju Tekno-logi Berperikemanusiaan, Yaya-san Obor, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait