Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
PENGEMBANGAN BUKU AJAR DAN MEDIA PEMBELAJARAN TEMATIK BAHASA RUPA TRADISIONAL BAGI SISWA SEKOLAH
MENENGAH DI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
Rudi Irawanto Universitas Negeri Malang
kreatifrudi@yahoo.com
ABSTRAK
Bahasa rupa tradisonal yang lazim terdapat pada karya relief candi, hiasan pada tempat-tempat ibadah atau pada struktur ornamentatif atribut pada seni pertunjukan tradisional. Pada perkembangannya bahasa rupa meliputi struktur visual, sistem perlambangan yang digunakan, dan karakter pencitraan yang diungkapkan. Pada praktiknya pemahaman terhadap struktur bahasa rupa tradisonal tidak berjalan dengan baik, karena sistem bahasa rupa yang diajar di sekolah-sekolah formal lebih banyak berkiblat pada struktur bahasa rupa modern yang bertitik tolak dari konsep estetika Barat. Pemahaman terhadap terhadap kearifan tradisional yang salah satunya diungkapkan dalam struktur bahasa rupa tradisional perlu diangkat kembali. Prototype buku ajar tematik yang diperuntukkan bagi siswa sekolah menengah. Buku ajar tersebut terdiri dari 2 bagian utama, yaitu bagian penjelasan tentang sejarah kebudayaan nusantara dan bagian pembacaan bahasa rupa tradisional.
Kata kunci: buku ajar, bahasa rupa
Bahasa rupa merupakan struktur pencitraan dalam satu sistem visual. Bahasa rupa diturunkan dari pemahaman masyarakat pendukungnya terhadap citra-citra visual dua maupuan tiga dimensional dan pemahaman terhadap konsep-konsep estetika yang menjadi titik tolak sistem pencitraan yang dilakukannya. Pada beberapa kasus bahasa rupa merupakan manifestasi kearifan lokal dalam bentuk citra-citra visual. Bahasa rupa menjadi sarana pembelajaran moral dan sistem etika pertama yang diajarkan kepada generasi yag lebih muda, sebelum manusia mengenal sistem bahasa tulis ataupun bahasa verbal.
Pada perkembangannya sistem bahasa rupa tradisional, seperti yang tercantum di relief candi, banyak ditinggalkan. Kondisi tersebut lebih bayak disebabkan terdapatnya kesenjangan pengetahuan tentang sistem bahasa rupa tradisional dengan sistem bahasa rupa modern. Bahasa rupa modern yag diturunkan dari konsep estetika Barat (Yunani) tidak memberikan ruang yag cukup untuk
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
melakukan apresiasi filosofis ataupun penasiran kreatif. Bahasa rupa modern mengandalkan sistem moment opname, satu moment gambar statis yang bermakna tunggal. Pada bahasa rupa tradisonal memuat lebih dari satu makna tunggal sehingga memberikan ruang postif untuk pegembangan kreatifitas dan kearifan lokal.
Pengajaran bahasa rupa tradisonal yag disusun secara tematis bagi siswa sekolah menengah diharapkan mampu mengelimiasi kesenjangan pemahaman terhadap bahasa rupa tradisonal dengan bahasa rupa modern. Pemahaman terhadap bahasa rupa tradisional khususnya di wilayah konservasi budaya akan memberikan penyadaran kepada para siswa terhadap kekayaan budaya rupa yang ada disekitarnya. Kondisi tersebut diharapkan mampu membangkitkan semangat kebangsaan dalam konteks penyadaran budaya di level sekolah menengah.
Bahasa rupa dibangun dari penyadaran masyarakat terhadap pencitraan visual di lingkungannya. Bahasa rupa menjadi mediator pembelajaran terhadap logika, etika, maupun estika dari masyarakat pendukungnya. Bahasa rupa dalam segala perwujudannya dapat dilihat sebagai sarana ekspresi diri yang di dalamnya merangkum pemahaman kosmologi dan sistem budaya masyarakatnya (Tabrani, 1991). Pemahaman terhadap bahasa rupa menjadi sarana untuk memahami pola fikir masyarakat. Pada tataran awal bahasa rupa ditampilkan dengan cara yang sederhana yang dan bersifat fisik semata-mata, tetapi pada perkembangan selanjutnya bahasa rupa menampilkan konsep-konsep yang lebih rumit dan abstrak. Relief pada candi beserta elemen estetis yang menyertai merupakan salah satu bentuk bahasa rupa tradisional yang membutuhkan pengetahuan khusus untuk membaca dan mencermatik makna-makna visual yang tergambar pada tiap-tiap panil.
Bahasa rupa tradisional ditampilkan sebagai atribut visual yang simbolis. Fenomena tersebut dapat ditelusuri dari relief pada candi, ornamen pada tempat ibadah ataupun pada perangkat seni visual, misalnya pada wayang atau tata busana pada seni tari tradisonal. Simbolisme dalam bahasa rupa tradisional merupakan media transformatif pengajaran kearifan lokal dalam bentuk gambar dua maupun tiga dimensional. Pemahaman terhadap bahasa rupa tradisional memudahkan dalam
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
memahami sistem nilai budaya yang menjadi dasar dalam penggambaran citra-citra visual tersebut.
Bahasa rupa tradisional tidak semata-mata memaparkan citra-citra fisik secara dua ataupun tiga dimensioal tetapi juga berperan sebagai ruang ekspresi simbolis. Pemaparan konsep-konsep kosmologi ataupun relegiusitas diungkapkan melalui simbol-simbol harafiah. Visualisasi konsep-konsep yang berhubungan dengan kosmologis ataupun relegisitas yang rumit diwujudkan dalam bentuk yang beragam. Keberagaman ungkapan simbolisme dalam bahasa rupa tradisional diantaranya dipengaruhi oleh perkembangan relegiusitas masyarakat pendukungnya.
Pada intinya simbol-simbol yang berkonotasi sakral senantiasa memiliki korelasi dengan ontologi dan kosmologi serta berkaitan dengan konsep-konsep dalam estetika dan moralitas (Geertz, 1995:51). Nilai-nilai simbolis yang dibawa dalam bahasa rupa berhubungan dengan adat atau kepercayaan tertentu. Karakter warna, stilasi ornamentasi, pencitraan objek-objek visual hingga elemen-elemen pendukung citra-citra visual senantiasa sarat dengan makna-makna simbolis.
Pada konteks ini keberadaan bahasa rupa menjadi bagian yang berhubungan dengan kaidah-kaidah budaya visual (visual culture). Bahasa rupa dapat dipandang dalam 2 pendekatan, yaitu melihat bahasa rupa sebagi proses transformatif budaya rupa dan memposisikan bahasa rupa sebagai proses pemberdayaan budaya rupa itu sendiri (Sachari, 2007: 18). Keberadaan bahasa rupa sebagai bagian dalam proses transformasi, menempatkan bahasa rupa, khususunya bahasa rupa tradisonal, sebagai bagain dalam proses perkembangan kebudayaan secara umum. Penggayaan dalam bahasa rupa, baik dalam skala stilatif maupun deformatif, dipandang sebagai luaran dari proses konstruksi budaya tengah terus berubah.
Keberadaan gaya visual dalam bahasa rupa tradisional dapat dilihat sebagai bagian dari proses pemberdayaan nilai-nilai budaya. Pada dimensi kesejarahan bahasa rupa dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kerumitan budaya verbal yang tidak membumi, utamanya dalam konteks pembelajaran moral dan etika. Budaya rupa mampu melahirkan tafsir-tafsir budaya yang tidak semata-mata berangkat dari sesuatu kasat semata-mata, tetapi mampu menterjemahkan kosep moral yang rumit dalam bentuk yang terpapar secara sederhana. Bahasa rupa sebagai
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
bagian dari budaya visual melihat nilai-nilai budaya sebagai sesuatu yang dapat ditelusuri dari produk budaya yang tampak dipermukaan (Primadi, 1995).
Penampilan bahasa rupa dalam perkembangannya mengalami proses penggayaan ataupun perusakan (stilatif dan deformatif) sebagai salah satu tahap dalam proses pencitraan visual. Ragam hias pada candi, ornamentasi pada seni tradisional hingga hiasan pada tempat-tempat sakral pada umumnya tidak tergambar secara realis. Pemahaman terhadap konsep kosmologis ataupun relegiusitas lainnya, dapat mempermudah pemahaman terhadap bahasa rupa tradisional tersebut.
Karakter bahasa rupa tradisonal yang diungkapkan dalam visualisasi bahasa rupa pada relief candi ataupun pada elemen seni pertunjukan tradisional diasumsikan mampu mencitrakan inklusiftas nilai-nilai budaya secara lebih arif sehingga transfer nilai-nilai dapat terjadi secara simultan. Penelitian ini bertujuan menciptakan pola-pola atau rambu-rambu bahasa rupa tradisinal sehingga mampu diaplikasikan kepada para siswa sekolah menengah pertama agar proses alineniasasi budaya antara gerenasi tua dan generasi yang lebih muda tidak terlampau jauh. Buku ajar dan media pembelajaran tematik menjadi salah satu media yang dinilai efektif untuk meragkum dimensi nilai-nilai budaya yang rumit dalam wujud visual yang lebih atraktif dan lebih sederhana.
Bahasa Rupa Tradisional
Bahasa rupa tradisional merupakan ekspresi masyarakat pendukungnya. Penggunaan citra-citra visual yang terpapar dalam berbagai bentuk, menyiratkan upaya para perupa tradisonal yang tidak hanya sekadar menampilkan sesuatu yang tersurat , tetapi berupaya menampilkan atribut-atribut yang tersirat (simbolis). Simbol menjadi salah satu kunci dalam memahami citra-citra visual pada bahasa rupa tradisional. Simbol sebagian besar berbentuk kata-kata, disamping berbentuk lukisan, bunyi-bunyian musik, peralatan mekanis atau objek alamiah (Geertz, 1992:56).
Keindahan yang muncul dalam bahasa rupa tradisional dilahirkan dari perhitungan-perhitungan yang sifatnya pralogis. Pada kondisi tersebut peran mitologi menjadi penting. Cassier (1990:39) melihat bahwa mitologi tidak sekadar persoalan takhayul dan khayalan, karena mitologi memiliki bentuk yang konseptual
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
dan sistematis, tetapi tidak memungkinkan mengupas struktur mitologi secara rasional. Mitologi (mite) terletak diantara simbol dan tanda. Berkenaan dengan simbol dan tanda Ahimsa-putra (1997) mengungkapkan bahwa simbol merupakan sesuatu yang bermakna referensial. Simbol mengacup pada pengertian yang lain, sedangkan tanda tidak mengacu pada sesuatu. Tanda tidak bermakna, tetapi memiliki nilai. Nilai dalam tanda masih tergantung pada konteks, sedangkan simbol tetap bermakna walaupun konteksnya tidak ada.
Menurut Pierce (dalam Van Zoest, 1992:8-9) simbol merupakan bagian dari tanda. Simbol terbentuk dari hubungan tanda dengan acuannya. Hubungan tanda dan acuannya memiliki 3 prinsip. Pertama hubungan tanda dengan acuannya yang didasarkan pada kemiripan, tanda tersebut disebut ikon. Kedua, hubungan tersebut terjalin karena kedekatan eksistensi tanda tersebut, tanda ini disebut indeks. Ketiga, hubungan tersebut terbentuk secara konvensional. Tanda ini disebut simbol.
Pada bidang semiotika, yaitu studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, Charles Sanders Pierce merupakan salah satu tokoh semiotik disamping Ferdinand de Sausure. Pierce membangun semiotika berdasarkan hukum-hukum dalam logika, sementara Saussure membangun semiotika dari liguistik. Teori-teori Pierce tentang tanda lebih bersifat umum, sehingga dapat diterapkan pada segala jenis tanda. Sementara Saussure banyak meminjam istilah-istilah dari liguistik. Pembacaan tanda-tanda visual pada umumnya kesulitan bila menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Pierce maupun Saussure. Semiotika visual merupakan salah satu upaya mentransfer semiotika dalam bahasa visual, sehingga pembacaan tanda-tanda visual relatif lebih mudah. Pembacaan terhadap fenomena visual dalama kaca mata semiotika visual dapat dilihat dalam 3 klasifikasi yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pagmatik
Konsep-konsep dalam semiotika visual (visual semiotic), dapat dijadikan pijakan untuk menganalisis sistem pertandaan dalam karya-karya visual secara lebih jeli, termasuk didalamnya karya ragam hias adati. Semiotika visual merupakan pengembangan lebih lanjut dari ilmu semiotika yang telah dikembang Pierce dan Saussure. Pembacaan tanda dalam semiotika visual diturunkan dalam konsep yang dikembang Roland Barthes yang memilah-milah wacana naratif dalam serangkaian fragmen ringkas yang beruntun yang disebut leksia-leksia (Budiman,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
2003:53). Leksia-leksia tersebut yang membawa berbagai kemungkinan makna alam suatu wacana. Kode-kode pembacaan dalam semiotika visual lebih jauh dikembang oleh Hawkess yang membagi pembacaan tanda-tanda visual dalam 5 kode. Kode-kode tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kultural. Tiap-tiap leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu kode tersebut, sehingga makna yang tersirat dapat diungkap.
Simbol pada Bahasa Rupa Tradisional
Pemahaman tentang simbol dan tanda pada umumnya dikembalikan pada teori-teori dalam semiotika. Simbol dipandang sebagai bentuk tanda yang maknanya dibangun secara konvensional. Simbol-simbol memiliki makna referensial. Referensi makna tersebut mengacu pada kesepakatan dalam komunitas tersebut. Simbol burung dalam ragam hias memiliki makna pelepasan dalam wujud persatuan antara manusia dan Tuhan. Makna tersebut dibangun dan hanya berlaku dalam komunitas tertentu.
Penyodoran simbol-simbol merupakan upaya manusia untuk belajar menerima sikap, nilai dan rasa hati yang disesuaikan dengan lingkungan sosial tertentu. Peran simbol dalam tautan ini merujuk pada konsep yang diberikan Geertz, yang meletakkan simbol sebagai bentuk yang terkait dengan agama (kepercayaan). Geertz melihat agama sebagai sistem simbol (1992:4).
Referensi makna simbol dalam religi menurut Geertz diangkat dari konsep-konsep dalam religi tersebut. Geertz pada bagian lain memberikan contoh bahwa matra psikologis dapat diabstraksi secara teoritis dari peristiwa-peristiwa tertentu sebagai totalitas-totalitas empiris, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan antara realitas empiris dengan realitas simbolis. Pendapat dari Geertz dikaitkan dengan pendapat Pierce memberikan penjelasan bahwa simbol-simbol dapat diabstraksi pada konteks yang berbeda. Sistem simbol pada dasarnya menyediakan semacam pola atau cetakan, dengan demikian proses-proses yang berada diluar sistem tersebut tetap dapat diberi bentuk-bentuk tertentu. Penggunaan pola-pola tersebut pada gilirannya dapat memberikan pengertian teoritis terhadap realitas yang sedang dihadapi.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Berangkat dari paparan Geertz tersebut dapat digunakan untuk melihat bentuk-bentuk bahasa rupa sebagai suatu sistem simbol yang memiliki kedekatan makna dengan simbol-simbol religius. Bahasa rupa tradisional merupakan abstraksi simbolis dari objek-objek real. Simbolisasi dalam bahasa rupa tradisional merujuk pada pemahaman masyarakat pendukungnya terhadap objek-objek real disekitarnya.
Bahasa Rupa pada Candi
Bahasa Rupa pada candi merupakan reperesentasi sistem simbol yang dianut pada masyarakat pada kurun waktu tersebut. Sistem simbol tersebut diturunkan dari kaidah –kaidah dalam relegi yang mereka anut. Sistem simbol tersebut berkaitan dengan cara membaca tanda dan mengkaitkannya dengan referensi atau realitas yang ada.
Gambar merupakan perwujudan atau representasi realitas.Pada senirupa tradisional representasi realitas tidak diwujudkan dalam satu matra, tetapi berbentuk multi matra. Gambar dalam pemahaman tradisional merupakan ungkapan fikiran atau gagasan melalui media visual yang tidak terbatas pada satu waktu tunggal. Gambar tidak difungsikan sebagai manivestasi ruang 3 dimensi dalam ungkapan 2 dimensi, tetapi merupakan medium visualisasi gagasan.
Ungkapan dalam relief candi merupakan cerita yang telah dipahami terlebih dahulu. Fungsi releif adalah memperkuat tutur verbal yang telah disampaikan terlebih dahulu. Fungsi relief lebih kepada fungsi-fungsi ilustratif. Fung-fungsi tersebut berperan seperti ilustrasi pada cerita pendek, yang perannya memperkuat cerita yang telah disajikan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Relief di beberapa candi lazimnya dibaca mengikuti arah jarum jam dalam istilah jawa kuno disebut dengan mapradaksina, yang artinya Timur. Pembacaan relief tersebut tampak pada Candi Borobudur. Kasus pada candi Jago relief dibaca berlawanan dengan jarum jam atau disebut prasawya. Lazimnya pembacaan relief dimulai dari gambar di pintu masuk candi dan mengikuti arah jarum jam. Pola pembacaan relief ini berbeda dengan pola pembacaan gambar modern yang menempatkan objek secara tunggal.
Candi Jago atau Jajagu memiliki 3 karakter relief yang b erbeda. Setiap cerita yang berbeda di pahatkan pada tingkat atau lantai yang berbeda. Pada lantai 1 bercerita tentang cerita Tantri, yang merupakan cerita fabel atau binatang. Pada latai dua berisi tentang cerita Kunjarakarna dan ajaran-ajaran Hindu dan Budha.
Gambar Relief cerita Tantri Kamandaka pada candi Jago
Struktur Bahasa Rupa pada Releif
Bahasa rupa pada candi memiliki beberapa pola yang khas. Pola –pola tersebut berbeda dengan bahasa rupa pada seni lukis Barat. Pola penggambaran pada candi memiliki beberapa kecenderungan yang tidak sama dengan pola lukisan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Barat. Pola gambar relief terdiri dari 3 komponen utama, yaitu 1) objek utama, 2) Objek penyerta, dan 3) Ilustrasi pendukung.
Objek utama merupakan objek yang menjadi inti dari adegan dalam satu panil. Objek utama dapat digambar sebagai tokoh tunggal ataupun sebagai tokoh yang jamak. Objek sebagai tokoh tunggal ditampilkan secara singkat dalam satu adegan.
Gambar Tokoh burung dan kura-kura dalam cerita tantri di relief Candi Jago
Objek penyerta merupakan objek yang mengiringi kehadiran objek utama. Objek penyerta lazimnya berupa ilustrasi pendukung suasana dalam satu adegan. Objek-objek penyerta lazimnya berbentuk tdak utuh, misalnya digambarkan hanya sebagian dari tubuh. Lazimnya kepal atau badan tanpa kaki. Pada beberapa adegan kehadiran tokoh penyerta pada awalny a merupakan tokoh utama yang berganti peran sebagai tokoh penyerta.
Burung
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Gambar Relief dengan multi adegan
Bagian Ilustrasi pendukung dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok , yaitu latar depan, latar belakang dan orenamen ilustratif. Bagian latar depan lazimnya berbentuk tumbuh-tumbuhan atau figur yang melengkapi objek utama. Latar depan pada umumnya berperan sebagai penanda lokasi.
Gambar Tumbuhan sebagai latar depan lokasi menunjukkan lokasi tempat kejadian tersebut. Tokoh penyerta Tumbuhan sebagai latar depan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Latar belakang dan latar depan memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai identitas geografis. Fungsi kedua latar ini menandakan periodisasi kejadian yang berkonotasi pada urutan kejadian.
Gambar Tumbuhan dan gunung dalam relief Arjuna sedang bertapa.
Pembacaaan Bahasa Rupa Tradisional
Bahasa rupa tradisional memiliki struktur pembacaan yang berbeda dengan bahasa visual barat. Bahasa rupa yang digunakan pada relief itu disebut sebagai Ruang Waktu Datar (RWD), yang sangat berbeda dengan Naturalis-Perspektif-Momen Opname (NPM) dari Barat. Secara umum, RWD lebih mementingkan gesture atau gerakan badan, sehingga figur tokoh digambarkan secara lengkap (kepala-kaki), sedangkan NPM sangat peduli dengan mimik wajah.
Ruang waktu datar merupakan ruang pada gambar yang tidak mengenal waktu tunggal. Pada sebuah panil (relief) waktu bersifat multi latar (layer) dengan dimensi waktu yang saling bertumpuk. Ruang waktu datar memungkinkan dalam satu adegan terdirid ari multi waktu yang saling berurutan.
Naturalis-Perspektif-Momen Opname (NPM) merupakan konsep waktu dalam gambar barat. Naturalis-Perspektif-Momen Opname (NPM) hanya mementingkan adegan dalam dasatu waktu tertentu. Kondisi tersebut dapat dijumpai pada gambar komik . Gambar komik menyajikan adegan secara sekuensial
Tumbuhan sebagai latar depan dan latar belakang
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
dan berurutan dalam beberapa panil yang berbeda. Pada perspektif barat unsur waktu merupakan elemen penting dalam sebuah karya seni. Semua seni yang berkiblat ke Barat proyeksi tentang waktu digambar secara utuh. Beberapa aliran seni Barat menempatkan elemen waktu sebagai bagian dalamide berkarya. Karya seni dengan tema impresionise, ekspresionisme dan naturalisme menempakan waktu sebagai tolok ukur keberhasilan karya.
Gambar Adegan dalam komik dengan konsep Naturalis-Perspektif-Momen Opname (NPM)
Pada bahasa visual tradisional di nusantara elemen waktu bukan merupakan elemen yang utama. Unsur wktu bersifat relatif yang diutamakan merupakan persepsi tentang waktu. Pada konteks tersebut elemen waktu merupakan faktor pelengkap adegan, bukan sebagai bagian utama dalam adegan.
Produk Pengembangan
Produk pengembagan ini berupa buku ajar tematik yang terdiri dari 38 halaman dan terdiri dari 3 bab. Ketiga Bab tersebut terdiri dari bab 1 arti kebudayan, tentang bab 2 tentang tumbuhnya kebudayaan nusantara, dan bab3 figur bahasa rupa.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Gambar Relief dengan konsep Ruang Waktu Datar (RWD)
Kosep Ruang Waktu Datar (RWD) menempatkan adegan tidak secara sekuensial, tetapi secara bertumpuk-tumpuk dalam satu adegan. Konsep Ruang Waktu Datar (RWD) menempatkan inti adegan pada posisi inti. Posisi inti dapat berada di sudut kanan atau kiri gambar. Peletakan posisi tersebut tergantung pada asal pembacaan relief. Beberapa relief di baca dari kiri atau kanan bangunan.
Gambar Sekuensi adegan dengan konsep Ruang Waktu Datar (RWD)
1
1
1
1
1
1
2
2
2
3
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Pada gambar tersebut memperlihatkan beberapa adegan yang digambar secara bertumpuk-tumpuk.
PENUTUP
Konsep Ruang Waktu Datar (RWD) merupakan konsep visual yang mengabaikan waktu tunggal dalam sekuensi adegan gambar. Konsep tersebut dapat dijumpai dalam relief candi di nusantara. Model penggambaran dengan konsep Ruang Waktu Datar (RWD) dijadikan pijakan dalam menggembangkan buku ajar yang sesuai dengan karakter siswa.
Konsep buku ajar yang dikembangkan berpijak pada konsep Ruang Waktu Datar (RWD) sehingga para siswa dapat memahami cara menggambar dalam konteks bahasa rupa tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Cassier, Ernes. 1990. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Catles, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama dan Politik di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
De Jong. 1975. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yojakarta : Kanisius.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1976. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat PenelItian Sejarah Dan Budaya Proyek PenelItian Dan Pencatatan.
Geertz, ClIfford.1995. The Relegion of Java. London: Free Pres Peperback.
Hadiwijono, Harun. 1983. Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Ihromi, T.O. 1981. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Kartodirejo, Sartono. 1993. Tujuh Ratus Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai.Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.
Geertz, Clifford. 1974. Kebudayaan dan Agama. Diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman. 1995. Yogjakarta: Kanisius
Koentjaraningrat. 1993. Bunga Rampai Kebudayaan MentalItas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1993. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta. Magnis-Suseno, Frans. 1996. Etika Jawa Sebuah AnalIsa Falsafahi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Muchtarom, Zaini. 1981. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
Mulder, Niels. 1996. Pribadi Dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Mulder, Niels. 1972. Kepribandian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016
Sachari, Agus.1994. Proses Transformasi Budaya Dan Pengaruhnya Terhadap Pergeseran Nilai-Nilai Estetika Desain Di Indonesia Periode 1900-1990-An. Thesis Pasca Sarjana ITB Tidak Diterbitkan. PPS ITB.
Simuh.1996. Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.Yogyakarta: Bentang.
Slametmuljana. 1979. Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara. Soerjadi, Janet.1982. Tinjauan Perlambang pada Ragam Hias Batik Adat Solo.
Skripsi Tidak Diterbitkan. FTSP ITB.
Sujamto. 1997. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dhahara Prize.
Tabrani, Primadi. 1995. Belajar Dari Sejarah dan Lingkungan Sebuah Renungan Mengenai Wawasan Kebangsaan dan Dampak Gloibalisasi. Bandung: ITB. Van, Peursen. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.