• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles mengatakan manusia itu adalah zoon politicon, artinya bahwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles mengatakan manusia itu adalah zoon politicon, artinya bahwa"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Balakang

Manusia sebagai makhluk individu biasa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat.1

Aristoteles mengatakan manusia itu adalah “zoon politicon”, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya.2Dalam memenuhi kebutuhannya, seorang manusia akan selalu berusaha untuk membentuk suatu kehidupan bersama dengan manusia lain.3

Secara naluriah, seorang manusia akan mencari lawan jenisnya untuk hidup bersama. Sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling tarik menarik satu sama lain untuk hidup bersama.4

Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang didalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah

1Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 1. 2J. B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta : Prenhallindo, 2001, hal. 12.

3

Tim Kerja Pengadaan Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Tahun Ajaran 1995-1996, Diktat

Pengantar Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan SM-FHUI, 1995-1996.

4Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 6, Bandung: Sumur Bandung, 1981, hal. 7

(2)

mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga sendiri.5

Perkawinan adalah suatu persekutuan atau perserikatan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan-peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi.6

Perkawinan dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan hakekatnya adalah bertemunya dua makhluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Seiring dengan hal tersebut, maka dapat diartikan juga bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan abadi serta tidak putus begitu saja, karena pada asasnya bahwa perkawinan adalah merupakan ikatan yang kuat.7

Setelah dilangsungkannya peristiwa perkawinan, maka otomatis timbul bermacam-macam :8

5

Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta : Universitas Indonesia, 1989, hal 3

6Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH., MH, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Cet. 1, Jakarta : Gitama Jaya, 2005, hal. 43.

7

Titik Triwulan Tutik, SH., MH, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cet. 1, Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2006, hal. 137.

8Dr. Wienarsih Imam Subekti, SH., MH dan Sri Soesilowati Mahdi, SH, Hukum Perorangan

(3)

1. Hubungan hukum suami dan isteri itu sendiri yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

2. Hubungan hukum suami dan isteri terhadap harta yang menimbulkan hak penguasaan harta bersama.

3. Hubungan hukum suami dan isteri terhadap anak yang menimbulkan kekuasaan orangtua terhadap anak.

4. Hubungan hukum suami isteri terhadap masyarakat yang menimbulkan hak suami melindungi isterinya terhadap pihak ketiga.

Perkawinan menurut undang-undang diharapkan berlangsung kekal. Dalam hal ini maka pemutusan perkawinan dengan cara lain selain kematian, tidak dimungkinkan. Undang-undang menganggap perceraian sebagai suatu pengecualian dari prinsip kekal abadinya perkawinan, yang sejauh mungkin harus dihindarkan. undang-undang menganggap suatu perceraian sebagai suatu hal yang terpaksa harus dimungkinkan karena dalam hal itu timbul suatu keadaan bagi suami-isteri dimana dari mereka itu tidak dapat diharapkan tetap hidup bersama sebagai suami-isteri. Prinsip tersebut tidak dapat disimpulkan dari satu pasal yang secara tegas mengatur mengenai hal kekalnya perkawinan akan tetapi dapat disimpulkan dari prinsip-prinsip pengaturan tentang perkawinan yang terdapat di dalam KUHPerdata. Ketentuan undang-undang tersebut antara lain sebagai berikut :9

9

Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH, Hukum Perkawinan Perdata_Syarat Sahnya

Perkawinan_Hak dan Kewajiban Suami-Isteri_Harta Benda Perkawinan, Cet.2, Jakarta : Penerbit

(4)

1. Pasal 208 KUHPerdata.

Melarang perceraian yang didasarkan atas permufakatan kedua belah pihak suami-isteri.

2. Pasal 209 KUHPerdata.

Perceraian dilakukan hanya berdasarkan alasan-alasan yang secara limitatif ditentukan oleh undang-undang.

3. Untuk menuntut perceraian yang berkepentingan harus meminta izin dari pengadilan, dimana hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua suami-isteri.

Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.10

Dengan menyandang status sebagai Kepala Rumah Tangga, maka sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami untuk memenuhi salah satu kewajibannya yang mana dalam hal ini juga merupakan hak isteri, yaitu mengenai pemberian nafkah. Hal ini diatur dalam Pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang isinya menyatakan bahwa :

1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

10

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1994., hal.1.

(5)

2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Tidak hanya pihak suami yang mempunyai kewajiban, perempuan dalam statusnya sebagai isteri dan ibu dari anak-anak juga mempunyai hak untuk memperoleh jaminan kesejahteraan yang dalam hal ini adalah nafkah. Hal ini berkaitan dengan beban berat yang dipikul oleh perempuan atau isteri sebagai pelaku reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui dan juga merawat anak) yang tidak bisa dialih-perankan kepada suami. Selain anak, masih ada tugas-tugas kerumahtanggaan lain yang harus dijalankan oleh seorang isteri yaitu mengelola rumah tangga, melayani suami, dan juga bahkan ikut mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.11

Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam ruang lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja juga sehingga mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga.12

11Anjar Nugroho, Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan : Perspektif Kesetaraan Laki-Laki

dan Perempuan Dalam Islam.

http://pemikiranislam.wordpress.com/2012/08/20/hak-hak-perempuan-dalam-perkawinan. diakses 20 Agustus 2012.

12Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan Nomor 271, Makalah Juni, 2008, hal. 8.

(6)

Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat, seringkali hasrat serupa itu kandas ditengah jalan oleh adanya berbagai hal.13

Tidak mudah untuk menjaga keutuhan atau kekekalan perkawinan tersebut dikarenakan perkawinan berarti menyatukan dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, dimana perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan telah mengakibatkan adanya perbedaan dalam perilakunya, peran, dan posisi serta kepentingan dan juga kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Apalagi bila pria dan wanita sebagai suami-isteri tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing dengan baik, jelas akan menimbulkan kesalahpahaman, percekcokan, kekhilafan dan pertentangan.14

Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam perkawinan hampir dihadapi oleh semua pasangan yang telah menikah, hanya saja ada pasangan-pasangan yang menganggap bahwa masalah yang ada merupakan hal yang wajar dalam perkawinan dan mereka mampu mengatasi serta mencari jalan keluarnya. Namun ada juga pasangan yang tidak dapat atau tidak mampu mengatasi segala permasalahan yang muncul dalam perkawinan yang kemudian pada akhirnya menyebabkan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi. Menurut pasangan yang seperti ini, apabila perkawinan tetap dipertahankan maka baik pihak suami maupun isteri dan juga

anak-13

Drs. Lili Rasjidi, SH., LLM, Alasan Perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hal. 4.

14Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Cet. 1, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1991., hal. 202.

(7)

anak (bila ada) akan mengalami penderitaan, sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan yang merupakan tujuan utama dari suatu perkawinan malahan tidak akan tercapai.15

Dalam kondisi perkawinan yang terus menerus diwarnai dengan pertentangan dan percekcokan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan landasan hukum dari perkawinan di Indonesia memberikan jalan keluar yang baik dan dianggap dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, yaitu dengan adanya lembaga perceraian, guna mencegah kerusakan lebih parah dari kedua pasangan tersebut dan menghindarkan kerugian yang lebih besar apabila perkawinan tetap dilanjutkan.

Perceraian adalah suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka yang perlu untuk tidak menimbulkan malapetaka lain yang lebih besar bahayanya. Perceraian hanya dibenarkan penggunaannya dalam keadaan darurat untuk tidak menimbulkan mudlarat yang lebih besar. Karena itu perceraian adalah pintu daruratnya perkawinan guna keselamatan bersama. Untuk itulah Tuhan mengadakan peraturan-peraturan perceraian disamping peraturan perkawinan dan atas dasar ini pulalah Negara Republik Indonesia mengatur hal-hal yang tidak diatur hukumnya dalam agama tentang perceraian disamping perkawinan, demi kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman keluarga, masyarakat dan negara.16

Apabila suatu perkawinan memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, dan perceraian mau tidak mau dilaksanakan, maka sama seperti perkawinan, perceraian pun akan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam

15

Ibid., hal. 203.

16H. M. Djamil Latif, SH, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Cet. 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 19 85, hal. 12.

(8)

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya;

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Selain dalam hal nafkah, permasalahan-permasalahan lain sering juga muncul pasca perceraian antara lain suami tidak menjalankan putusan pengadilan karena alasan-alasan tertentu, menjalankan keputusan pengadilan tapi jumlah nafkah yang diberikan kepada mantan isteri tidak sesuai dengan keputusan pengadilan, cenderung lebih kecil atau lebih sedikit, masalah hak asuh dan biaya anak, isteri melarang suami bertemu anak-anak (jika anak ikut isteri) atau bahkan masalah agama atau kepercayaan anak pun bisa mengakibatkan munculnya sengketa atau permasalahan baru pasca perceraian.

Banyaknya permasalahan baru yang muncul akibat dari perceraian, baik itu mengenai harta, nafkah, dan juga bahkan mengenai hak asuh anak, membuat banyak pihak pada akhirnya tertarik untuk membuat suatu perjanjian yang mengatur

(9)

mengenai akibat-akibat hukum setelah perceraian yang dikenal dengan nama “Perjanjian Perceraian”. Dimana banyak pihak menganggap dengan membuat suatu perjanjian sebelum perceraian yang mengatur mengenai aspek-aspek hukum setelah putusnya perkawinan, dapat meminimalisir munculnya sengketa atau masalah baru yang berhubungan dengan akibat-akibat perceraian. Dengan adanya “Perjanjian Perceraian”, baik pihak suami atau isteri yang dulunya terikat dalam suatu lembaga perkawinan dapat mengatur hak dan kewajiban yang akan diperoleh masing-masing pihak setelah putusnya perkawinan karena perceraian, sehingga diharapkan tidak akan membuat masalah atau sengketa baru yang timbul setelah perceraian.

Semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat “Perjanjian Perceraian” ini menimbulkan suatu pertanyaan baru, yaitu dapatkan membuat “Perjanjian Perceraian” selama berlangsungnya perkawinan serta mengenai dasar hukum dari “Perjanjian Perceraian” itu sendiri, dimana baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga KUHPerdata belum mengatur secara spesifik dan terperinci mengenai “Perjanjian Perceraian” tersebut.

Penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian hukum mengenai “Perjanjian Perceraian” ini, mengingat banyak pasangan suami-isteri yang mulai tertarik untuk mengadakan “Perjanjian Perceraian”, karena masalah perceraian merupakan masalah klasik yang tetap aktual dan penting untuk dibahas, mengingat banyaknya aspek lain yang mengikutinya kemudian, dan masalah ini bisa terjadi dimana saja dan kapan saja di masyarakat kita.

(10)

B. Permasalahan

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai “Perjanjian Perceraian”?

2. Bagaimanakah “Perjanjian Perceraian” mengatur akibat-akibat yang muncul setelah putusnya perkawinan karena perceraian mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas dan Sudarman Soh-Dewi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai “Perjanjian Perceraian”.

2. Untuk melakukan analisis bagaimana “Perjanjian Perceraian” mengatur akibat-akibat yang muncul setelah putusnya perkawinan karena perceraian mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas dan Sudarman Soh-Dewi.

(11)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu:

1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi terutama Notaris dan Hakim serta rujukan bagi masyarakat terkait bidang hukum perkawinan terutama menyangkut penerapan “Perjanjian Perceraian” selama berlangsungnya perkawinan.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan tentang “Perjanjian Perceraian” selama berlangsungnya perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis “Perjanjian Perceraian” Menurut Kitab Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus “Perjanjian Perceraian” Antara Misno – Ny. Eko Saryuningtyas dan Sudarman Soh – Dewi)”. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai objektivitas dan kejujuran.

(12)

F. Landasan Teori dan Konsepsional Penelitian 1. Kerangka Teori

Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.17

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan suatu gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.18Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis , mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penelitian.19

Menurut Maria S.W. Sumardjono menyebutkan rumusan teori sebagai berikut :

“Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antara variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable

17Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986., hal. 6.

18

JJ. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996., hal. 203.

(13)

dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antara variable tersebut.”20

Menurut H. Zainuddin Ali, kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu : teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum, dan ulasan pakar hukum berdasarkan dalam pembidangan kekhususannya. Keempat ciri khas teori hukum tersebut dapat dituangkan dalam penulisan kerangka teoritis dan atau salah satu ciri tersebut, maka kerangka teori yang akan dijadikan landasan dalam suatu penelitian tersebut adalah teori-teori hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli hukum dalam berbagai kajian dan temuan.21

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang terjadi, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.22

Penelitian ini berusaha untuk memahami “Perjanjian Perceraian” antara suami dengan isteri secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah hukum perjanjian.

Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai realisasi dari asas kebebasan berkontrak.Kebebasan berkontrak pada dasarnya adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Mariam Darus Badrulzaman

20

Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta : Gramedia, 1989., hal. 12.

21H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika., hal 79-80. 22Soerjono Soekanto, Op Cit., hal. 127.

(14)

mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam Buku III KUHPerdata berlatar belakang pada faham individualism yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan berkembang pesat pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot (Grotius). Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau. Puncak perkembangannya dalam periode setelah revolusi Perancis. Faham individualis mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan eksistensi individual di dunia ini, termasuk dalam memenuhi kebutuhannya.23

Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan seseorang melakukan kontrak dapat dibatasi oleh faham atau ideologi yang dianut suatu masyarakat.

Pada saat lahirnya asas kebebasan berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan berkontrak mempunyai daya kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik oleh rasa keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh ideologi individualism.

Pengaruh faham individualisme yang berkembang pada abad 17 dan 18 telah member peluang yang cukup luas atas isi asas kebebasan berkontrak sedemikian bebasnya dan sangat kuat dalam melindungi kepentingan individu. Namun daloam perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan sosialis, faham

23Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 1981., hal.118-119.

(15)

individulisme mulai pudar, terlebih-lebih setelah perang dunia kedua. Faham ini secara umum menimbulkan zaman baru dalam hukum, demikian juga pengaruh faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat terasa pada isi dari asas kebebasan berkontrak.24

Asas kebebasan berkontrak mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris sebagai awal dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak. Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Syahdeini, freedom of contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum :25

1. Asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Menurut Treitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat; 2. Asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut hukum

tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.

24Mahadi, Hukum Sebagai Sarana Mensejahterakan Masyarakat, Medan : USU Press, 1985.,hal.2-3.

25

Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari kreditur dan debitur, makalah yang disampaikan pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya pada tanggal 27 April 1993., hal.2.

(16)

Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas Kebebasan” pertama kali dipergunakan di dalam Civil Law Tradition pada zaman Romawi oleh Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada Tahun 1533, bagian Institutiones.26IPengertian kebebasan berkontrak dalam Common Law :27

1. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if he did not chose to do so);

2. Setiap orang memiliki pilihan dengan siapa ia akan membuat kontrak (everyone had a choice of persons with whom he could contract);

3. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could make virtually any kind of contract);

4. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they chose).

Asas kebebasan berkontrak ini juga pada era globalisasi telah disepakati sebagai suatu asas hukum dapat dilihat dalam :28

The Unidroit Principles of International Institute Contract yang diselesaikan penyusunannya oleh The International Institute for univication of Private Law (UNIDROIT) di Roma pada bulan Mei 1994 menurut kebebasan berkontrak sebagai suatu asas dan diatur di dalam Pasal pertama. Selain itu, Commision on Europen Contract Law, sebuah badan yang beranggotakan para ahli hukum dari European Community (sekarang Uni Eropa) telah pula

26Johannes Gunawan, Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak, dalam Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B.

Arief Sidharta, Bandung : Aditama, 2008., hal. 259.

27Ibid., hal. 265. 28Ibid., hal. 258.

(17)

menyelesaikan The Principles of European Contract Law pada tahun 1998 pada Pasal 1.102 mengatur tentang kebebasan berkontrak sebagai suatu asas. Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini diimplementasikan pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang akan dilakukan berdasarkan prinsip asas inilah Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka.

Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam KUHPerdata yang menganut sistem continental kebebasan untuk melakukan kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata.

Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh hak kepemilikan.

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia, meliputi ruang lingkup sebagai berikut :29

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya;

(18)

4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

5. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional)

Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

R. Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.30

Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.31

Prodjodikoro, bahwa: “Perjanjian adalah perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji/dianggap berjanji melakukan sesuatu hak, sedang pihak lain berhak menuntut”.32

Berdasarkan pengertian perjanjian diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur, yaitu :33

30

Subekti (1), Hukum Perjanjian, Jakarta : PT.Intermasa, 1985., hal 1. 31

Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1992., hal. 78.

32

(19)

1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih;

2. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak; 3. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

4. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik;

5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan. Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu :34

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

“Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).

2. Asas Personalia

Asas personalia sebagaimana diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata yaitu :

33

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, Bandung : Citra Aditya, 2010., hal. 5.

34Kartini Muljadi dan Gunawa Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003., hal. 46-47.

(20)

“Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu suatu janji daripada untuk dirinya sendiri” Dan Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.

Namun terdapat pengecualian pada Pasal 1317 KUHPerdata dimana seorang selain mengatur perjanjian untuk diri sendiri juga untuk kepentingan ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak darinya.

3. Asas Konsensualisme (consensualism)

Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut.

4. Asas Pacta Sunt Servanda

Akibat perjanjian ini terdapat didalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Bagi Hakim dan pihak ketiga juga menghormati perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang.

(21)

Selain 4 (empat) asas diatas, terdapat asas-asas lain dalam perjanjian, yaitu :35 1. Asas Itikad Baik (good faith)

Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata, yaitu : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan saat pada saat pelaksanaan perjanjian tapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya asas kepercayaan yang melandasi perjanjian yang akan dibuat tersebut.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat dimana dengan adanya asas ini, maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.

4. Asas Persamaan Hak

Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati.

35

(22)

5. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, hal ini berarti janji yang dibuat antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.

6. Asas Kepatutan

Pasal 1339 KUHPerdata :

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Maka dalam perjanjian para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral.

7. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum terlihat dari adanya kekuatan mengikat, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

2. Konsepsional

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan

(23)

kenyataan,. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.36

Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Suatu konsep merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut.37

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Perceraian

Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan, yang diatur dalam Pasal 38.38

2. “Perjanjian Perceraian”

Kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri selama berlangsungnya perkawinan terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukum dari perceraian terhadap harta dan anak.

3. Anak

Anak menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

36

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal 3. 37Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal.132. 38Subekti (1), Op.Cit., hal. 119.

(24)

4. Harta Perkawinan

Harta Perkawinan mencakup :39

a. Harta suami atau isteri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagai warisan (harta asal);

b. Harta suami atau isteri yang didapat atas hasil usahanya sebelum atau semasa perkawinan;

c. Harta yang diperoleh suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan (harta gono-gini);

d. Harta yang diberikan kepada mempelai ketika menikah. 5. Harta Bersama

Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan, dimana suami-isteri hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga.40

G. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya.41

Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

39

Soekanto Soerjono, Intisari hukum Keluarga, Bandung : Alumni, 1980., hal. 61-62. 40Subekti (1), Op.Cit., hal. 98.

(25)

hukum yang dihadapi.42 Selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.43

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu diantaranya :44

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap;

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

Untuk dapat menyelesaikan penyajian tesis ini, agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan tesis ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data, sebagai berikut :

42

Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 35. 43

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1997), hal.38.

(26)

a. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.45

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analistis, yaitu suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.46

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal ( doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku ( law as it is written in the book ), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan ( law it is decided by the judge through judicial process)47 terkait mengenai ““Perjanjian Perceraian””.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun

45

Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998., 46

Bambang Sunggono, Op Cit, hal. 38.

47Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal 118.

(27)

media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :48

1. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian;

2. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan; 3. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan;

4. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

c. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Data sekunder tersebut meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku sampai dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.49 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi

48

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, hal, 63.

49Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 23.

(28)

serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar

c. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3713 K/Pdt/1994 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 152/Pdt.G/1993 PN Surabaya dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 976/Pdt/1993 PT Surabaya, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 435/Pdt. G/2009/PN-Mdn.

2. Bahan Hukum Sekunder berupa bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil – hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta

(29)

bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.50

Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

d. Analisis Data

Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dan dianalisa dengan metode analisis kualitatif.

Metode pendekatan dalam menganalisa data yang digunakan adalah metode kualitatif, disini memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.51

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

50Bambang Sunggono, Op Cit, hal. 41. 51

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka penelitian ini dilakukan untuk menguji “PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, FIRM SIZE, LEVERAGE DAN LIKUIDITAS TERHADAP

Upaya pengembangan dan perbaikan yang dilakukan oleh industri farmasi dalam bidang produksi yaitu upaya menurunkan waktu down time dan menurunkan defect dan suatu mesin

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka implikasi yang dapat diberikan peneliti adalah diharapkan Pada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Kelas A (Basarnas)

disimpulkan bahwa Ha diterima sehingga terdapat perbedaan tingkat persepsi sebelum mendapatkan penyuluhan dan setelah mendapatkan penyuluhan tentang merokok di SMA Negeri

Sedangkan hasil analisis perbedaan pengetahuan yang menggunakan metode brainstorming dan buzz group dgn niali p value 0.000 perbedaan nilai mean 2.689 berarti metode buzz

Dari hasil uji BNT diketahui bahwa perlakuan konsentrasi 20% pada perendaman 15 menit memberikan pengaruh yang paling baik terhadap keempukan daging ayam petelur

Perkembangan penyakit gugur daun Collectotrichum sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan yang tinggi pada saat pembentukan daun baru setelah gugur alami.. Suhu udara

Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para civies Romawi,yaitu Ius Civile yang telah disesuaikan dengan pergaulan