5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global
Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi
(BBM) dan semakin menipisnya cadangan BBM dunia, berbagai negara berupaya
untuk mencari energi alternatif untuk mencukupi kebutuhan energi di negaranya,
terutama untuk kepentingan di sektor industri. Salah satu alternatif sumber energi
yang banyak dugunakan oleh banyak negara adalah batubara. Kondisi ini dapat
diidentifikasi dari besarnya produksi dan permintaan di beberapa negara akan
batubara. Karena batubara merupakan salah satu produk strategis bagi Bangsa
Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Evaluasi untuk
Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pertambangan Batubara
Evaluasi dibentuk melalui Keputusan Presiden No 3 Tahun 2012 tertanggal 10
Januari 2012, sebagai amanat dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam rangka untuk mengantisipasi
kebutuhan batubara baik pada tingkat nasional maupun internasional.
5.1.1. Posisi Produksi Batubara Indonesia dalam Pasar Global
Negara penghasil batubara terbesar saat ini adalah Republik Rakyat Cina
(RRC), pada tahun 2005 produksinya sudah mencapai 2 158. 9 juta ton (43.8
persen dari produksi dunia), kemudian pada tahun 2008 produksinya sudah
mencapai 2 734.4 juta ton (47.6 persen dari produksi dunia). Besarnya produksi
batubara di RRC, sebagai akibat dari kebijakan perekonomian domestik dalam
rangka untuk memenuhi kebutuhan di sektor industri. Negara lainnya yang juga
batubara Amerika Serikat mencapai 1 007.2 juta ton atau 17.5 persen dari
produksi dunia. Negara-negara lainnya yang produksi batubara cukup besar secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui
bahwa sepuluh Negara tersebut merupakan produsen utama produk batubara di
dunia, kontribusinya dalam produksi batubara dunia pada tahun 2008 mencapai
97.8 persen.
Tabel 7. Produsen Utama Batubara di Dunia Tahun 2000-2008
Negara 2000 2005 2006 2007 2008 Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Australia 239.40 6.60 300.20 6.10 299.7 5.70 324.6 6.00 325.4 5.70 Kanada 33.80 0.90 29.10 0.60 29.9 0.60 32.8 0.60 32.8 0.60 Kolombia 38.20 1.10 59.10 1.20 65.6 1.30 69.9 1.30 73.5 1.30 Former Soviet Union 289.20 8.00 352.20 7.10 364.1 7.00 370.5 6.80 388.5 6.80 India 311.40 8.60 404.50 8.20 428.4 8.20 454.4 8.40 488.6 8.50 Indonesia 62.80 1.70 143.60 2.90 195.8 3.80 223.8 4.10 235.1 4.10 Polandia 103.30 2.90 97.90 2.00 95.2 1.80 88.3 1.60 84.3 1.50 PRC 1 231.10 34.10 2 158.90 43.80 2 320.2 44.50 2 466.4 45.30 2 734.4 47.60 Afrika Selatan 224.20 6.20 245.00 5.00 244.8 4.70 247.7 4.60 252.3 4.40 Amerika Serikat 894.00 24.80 962.40 19.50 991.5 19.00 981.7 18.00 1 007.2 17.50 Sepuluh Besar 3 427.40 95.00 4 752.90 96.40 5 035.2 96.60 5 260.1 96.70 5 622.1 97.80 Dunia 3 608 100.00 4 931 100.00 5 215 100.00 5 442 100.00 5 749 100.00 Sumber: International Energi Agency, 2010
Produksi batubara Indonesia saat ini belum terlalu besar bila dibandingkan
dengan negara-negara lainnya di dunia, akan tetapi produksinya terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2000, produksi batubara Indonesia baru mencapai 62.8
juta ton atau sekitar 1.74 persen dari total produksi batubara dunia, produksinya
terus meningkat hingga tahun 2008 sudah mencapai 235.1 juta ton dan pangsanya
5.1.2. Posisi Ekspor Batubara Indonesia dalam Pasar Global
Meskipun saat ini produksi batubara Indonesia pangsanya masih relatif kecil terhadap produk dunia, akan tetapi Indonesia merupakan pemain utama (terbesar kedua setelah Australia) dalam pasar global. Dari Tabel 8, terlihat bahwa nilai ekspor batubara Indonesia meningkat setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2005, ekspor batubara Indonesia mencapai 127.4 juta ton atau sebesar 15.7 persen dari total ekspor batubara dunia, kemudian meningkat cukup tajam hingga pada tahun 2008 ekspor batubara Indonesia sudah mencapai 202.6 juta ton atau sekitar 21.5 persen ekspor dunia.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa kebijakan batubara nasional masih beroreantasi ekspor atau dengan kata lain produksi batubara Indonesia belum banyak digunakan untuk konsumsi industri domestik. Produksi batubara yang dikomsumsi untuk memenuhi kebutuhan domestik hanya sekitar 18-25 persen. Berbeda sekali dengan Negara RRC dimana produksi batubara ditujukan untuk mendukung industri domestik, sehingga industri dapat energi yang lebih murah dan tentu saja ini dapat meningkatkan daya saing industri Cina.
Tabel 8. Ekspor Batubara Beberapa Negara di Dunia Tahun 2005-2008
Negara 2000 2005 2006 2007 2008 Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Produksi (Juta Ton) Distribusi (Persen) Australia 187.00 30.40 231.3 28.40 231.30 26.7 243.60 26.3 252.20 26.70 Kanada 32.10 5.20 28.1 3.50 28.00 3.2 30.40 3.3 31.50 3.30 Kolombia 35.40 5.80 53.6 6.60 62.00 7.2 64.60 7.0 67.80 7.20 Former Soviet Union 68.00 11.10 115.1 14.10 122.30 14.1 131.20 14.2 145.00 15.40 India 57.30 9.30 127.4 15.70 171.40 19.8 197.00 21.3 202.60 21.50 Indonesia 9.60 1.60 7.4 0.90 9.90 1.1 11.90 1.3 7.50 0.80 Polandia 23.20 3.80 19.4 2.40 16.70 1.9 11.90 1.3 8.50 0.90 PRC 55.10 9.00 71.7 8.80 63.20 7.3 53.10 5.7 45.30 4.80 Afrika Selatan 69.90 11.40 71.4 8.80 68.70 7.9 65.90 7.1 60.00 6.40 Amerika Serikat 53.00 8.60 45.1 5.50 44.90 5.2 53.40 5.8 73.70 7.80 Sepuluh Besar 590.60 96.00 770.5 94.70 818.40 94.5 863.00 93.2 894.10 94.80 Dunia 615.10 100.00 813.8 100.00 866.4 100.00 925.6 100.00 943.2 100.00 Sumber: International Energi Agency, 2010
5.1.3. Rangkuman
1. Produksi pertambangan batubara Indonesia meskipun pangsanya dalam pasar
global belum terlalu besar, akan tetapi selama 5 tahun terakhir produksinya
meningkat sangat signifikan. Hal ini menandakan bahwa iklim investasi di
sektor ini cukup menjanjikan bagi pelaku usaha pertambangan.
2. Meskipun pangsa produksi relatif masih kecil terhadap produk dunia akan
tetapi Indonesia merupakan pemaian utama terbesar ke dua (peringkat pertama
Australia) dalam perdagangan batubara dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa
kebijakan batubara nasional ditujukan untuk memenuhi permintaan luar negeri
(eskpor) dan belum mengarah pada kebutuhan domestik.
5.2. Kontribusi Pertambangan Batubara dalam Perekonomian
Aktivitas pertambangan batubara di Indonesia berpotensi memberikan
manfaat ekonomi yang sangat besar bagi perekonomian Nasional. Manfaat
tersebut dapat berupa penciptaan nilai tambah maupun kesempatan kerja, baik
baik tingkat nasional maupun regional. Peran lainnya yang tidak kalah penting
adalah kontribusi fiskal bagi penerimaan Negara (APBN) maupun bagi daerah
penghasil (APBD), melalui royalti dan pembayaran berbagai jenis pajak dan
restribusi yang dibayarkan oleh pelaku usaha pertambangan.
5.2.1. Kontribusi dalam PDB/PDRB
Manfaat bagi perekonomian makro tentunya dapat dihitung dari nilai
penjualan, nilai tambah, pendapatan pekerja dan penyerapan tenaga kerja oleh
perusahaan pertambangan batubara. Sebagai subsektor yang memiliki potensi
besar dan memiliki produktivitas tenaga kerja yang tergolong tinggi dibandingkan
membangun perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor pertambangan batubara
dalam perekonomian Indonesia pada tahun 2008 mencapai 3.75 persen, jika
dilihat dari sebarannya sebesar 41.32 persen ada di pulau Kalimantan dan sisanya
sebesar 58.68 persen ada di luar Kalimantan. Selain berkontribusi dalam
penciptaan nilai tambah sektor pertambangan juga berkontribusi dalam
penyerapan tenaga kerja, banyaknya tenaga kerja yang terserap pada tahun 2008
sebanyak 9 287 orang atau 0.91 persen dari total tenaga kerja nasional. Rendahnya
daya serap tenaga kerja pada sektor petambangan batubara memberikan indikasi
bahwa sektor ini tergolong sektor yang capital intensive.
Secara spasial, peran sektor pertambangan batubara di Kalimantan cukup
dominan, tercatat peranan sektor pertambangan batubara di Kalimantan mencapai
13.63 persen dan hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1 858 orang atau
sekitar 3.23 persen. Hal ini juga memberikan indikasi bahwa sektor ini kurang
mampu menyerap tenaga kerja secara optimal, berbeda sekali kondisinya dengan
sektor pertanian. Sektor pertanian kotribusinya dalam penciptaan PDRB sebesar
9.79 persen, akan tetapi mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 30 940 orang
atau 53.78 persen dari tenaga kerja di Kalimantan. Begitu juga halnya dengan
industri non migas daya serap tenaga kerjanya juga cenderung rendah. Dari
perbandingan tersebut terlihat dengan jelas bahwa struktur perekonomian di
Kalimantan cenderung imbalances, dalam jangka panjang kondisi tersebut kurang
menguntungkan bagi pembangunan ekonomi di Kalimantan, dikuatirkan karena
sektor pertambangan bersifat nonrenewable, saat cadangan pertambangan
batubara mulai menipis sementara sektor ekonomi lainnya belum bisa
Tabel 9. Struktur Ekonomi Pulau Kalimantan, Non Kalimantan dan Indonesia Tahun 2008
Sektor Produksi
Kalimantan Non Kalimantan Indonesia PDRB Tenaga kerja PDRB Tenaga kerja PDRB Tenaga kerja 1. Pertanian 9.79 53.78 15.26 41.12 14.62 41.83 2. Pertambangan 31.26 3.52 7.73 0.89 10.47 1.04 a. Pertambangan Migas 17.64 0.29 5.28 0.13 6.72 0.14 b. Pertambangan Batubara dan Tambang lainnya 13.63 3.23 2.45 0.77 3.75 0.91 3. Industri Pengolahan 37.35 5.78 24.07 12.57 25.61 12.19 a. Industri Migas 33.40 0.21 2.84 0.02 6.39 0.03 b. Industri Nonmigas 3.95 5.57 21.23 12.56 19.22 12.16 4. Listrik Gas dan Air
Bersih 0.30 0.09 1.46 0.21 1.33 0.20 5. Konstruksi 3.09 4.51 6.01 4.65 5.67 4.64 6. Perdagangan Hotel dan Restoran 8.08 15.98 18.42 20.52 17.22 20.27 7. Transportasi dan Komunikasi 3.53 4.95 9.01 5.32 8.37 5.30 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 1.93 0.46 8.52 0.68 7.75 0.67 9. Jasa-jasa lainnya 4.65 10.93 9.53 14.03 8.96 13.86 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: IRSAM Kalimantan-Non Kalimantan Updating, 2008 (diolah)
Masalah ketimpangan struktur ekonomi dan tenaga kerja, juga pernah
dinyatakan oleh Hill (1996) dalam Nachrowi (2004) yang menyatakan bahwa
perubahan distribusi penyerapan tenaga kerja sektoral dalam perekonomian
biasanya tejadi lebih lambat dibandingkan dengan perubahan peranan output
secara sektoral, mengingat proses perpindahan tenaga kerja sangat lambat
5.2.2. Kontribusi dalam APBN dan APBD
Dampak fiskal dari aktivitas pertambangan adalah besarnya kontribusi fiskal
yang dibayarkan oleh kontraktor atau perusahaan pertambangan kepada
pemerintah pusat maupun daerah. Kontribusi fiskal ini akan mempengaruhi
besarnya APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota Penghasil di daerah
operasional sesuai dengan proporsi dan aturan yang berlaku. Untuk lebih jelasnya,
sesuai dengan kontrak karya antara pemerintah pusat dan perusahaan, maka
perusahaan berkewajiban melakukan pembayaran dalam kategori pajak dan bukan
pajak terhadap negara sesuai dengan aturan yang berlaku. Kontribusi pembayaran
ini tersebar ke beberapa tingkatan pemerintahan, yaitu pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. Pajak dan kewajiban lain yang
harus dibayar antara lain adalah: (1) Iuran Tetap (deadrent) untuk wilayah kontrak
kerja, (2) Iuran Eksploitasi (Royalti) untuk mineral yang diproduksi, (3) PPh
Badan, (4) PPh Karyawan (PPh 21), (5) PPh atas dividen, bunga, sewa, royalti,
dan premi asuransi, (6) PPN dan PPNBM, (7) Bea materai atas
dokumen-dokumen, (8) Bea masuk atas barang yang diimpor, (9) PBB, (10) Pungutan dan
pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah yang disetujui oleh pemerintah
pusat, (11) Pungutan administrasi untuk fasilitas, jasa atau hak-hak khusus yang
diberikan pemerintah sepanjang pembebanan itu disetujui oleh pemerintah pusat,
dan (12) Bea Balik Nama atas hak kepemilikan kendaraan bermotor dan
kapal-kapal di Indonesia.
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 dan juga telah ditegaskan kembali
maka bagian daerah dari penerimaan sumberdaya alam sektor pertambangan
umum (pertambangan mineral dan batubara) meliputi : (1) luran Tetap (Landrent),
dan (2) luran Eksplorasi dan luran Eksploitasi (Royalti). Landrent atau Deadrent
adalah suatu pembayaran tahunan kepada pemerintah dalam rupiah atau satuan
mata uang lain yang disetujui bersama oleh Pemerintah dan perusahaan
pertambangan, yang diukur berdasarkan jumlah hektar tergantung dalam kontrak
atau area pertambangan masing-masing. Sesuai dengan UU, maka bagian daerah
dari landrent adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk provinsi
yang bersangkutan dan 64 persen untuk kabupaten/kota penghasil. Sedangkan
royalti adalah pembayaran kepada pemerintah berkenaan produksi mineral yang
berasal dari area penambangan. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka
bagian daerah dari royalti adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen
untuk provinsi yang bersangkutan, 32 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan
32 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Selain berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja dan penciptaan nilai
tambah pada perekonomian daerah, sektor pertambangan batubara juga
memberikan kontribusi pada penerimaan APBD daerah berupa iuran tetap,
penerimaan royalti. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa penerimaan
Kalimantan dari kegiatan pertambangan umum mencapai 4.79 triliun rupiah,
sebesar 33.3 miliar dari iuran tetap dan 4.76 triliun rupiah dari pembayaran
royalty. Dari besarnya penerimaan dana bagi hasil yang diterima oleh Kalimantan
memberikan indikasi bahwa pertambangan batubara mempunyai perang penting
Tabel 10. Alokasi Bagi Hasil Sektor Pertambangan Umum Tahun 2009
Pulau/ Wilayah
Iuran Tetap Royalty Total Dana Bagi Hasil Nilai (Juta Rupiah) Kontribusi (Persen) Nilai (Juta rupiah) Kontribusi (Persen) Nilai (Juta rupiah) Kontribusi (Persen) Sumatera 22 771.28 31.54 558 054.65 8.32 580 825.92 8.57 Jawa Bali 666.73 0.92 27 899.50 0.42 28 566.23 0.42 Kalimantan 33 283.24 46.09 4 763 405.65 71.04 4 796 688.89 70.77 Kalbar 2 819.17 3.90 42 557.45 0.63 45 376.62 0.67 Kalteng 7 608.92 10.54 89 785.90 1.34 97 394.82 1.44 Kalsel 7 362.75 10.20 1 436 408.81 21.42 1 443 771.57 21.30 Kaltim 15 492.40 21.46 3 194 653.49 47.64 3 210 145.88 47.36 Sulawesi 7 021.57 9.72 66 540.09 0.99 73 561.66 1.09 Indonesia Lainnya 8 463.21 11.72 1 289 370.48 19.23 1 297 833.69 19.15 Total 72 206.03 100.00 6 705 270.37 100.00 6 777 476.40 100.00
Sumber: Kementrian Keuangan, 2010 (diolah) 5.2.3. Rangkuman
1. Kontribusi pertambangan batubara di Indonesia pada tahun 2008 mencapai
persen 3.78 persen, jika dilihat sebarannya, sebesar 41.32 persen ada di Pulau
Kalimantan dan sisanya sebesar 56.68 persen terdapat di pulau lainnya di
Indonesia. Sedangkan daya serap tenaga kerjanya relatif rendah, hanya mampu
menyerap sekitar 0.91 persen dari tenaga kerja nasional. Hal ini
mengindikasikan bahwa sektor pertambangan tergolong sektor yang capital
intensive.
2. Pada perekonomian Kalimantan, peran sektor pertambangan juga cukup
dominan, yaitu sebesar 13.75 persen. Daya serapnya tenaga kerjanya juga
rendah, hanya mampu menyerap tenaga kerja sekitar 3.23 persen dari total
tenaga kerja di Kalimantan.
3. Struktur ekonomi Kalimantan cenderung imbalances, ditandai dengan
sebesar 9.68 persen, namun pada sisi lain orang yang bekerja pada sektor
tersebut cukup besar, yaitu sebesar 53.78 persen dari total tenaga kerja yang
ada di Kalimantan.
5.3. Distribusi Pendapatan Faktorial Sektor Pertambangan
Dalam kegiatan produksi, untuk menghasilkan suatu output baik barang
maupun jasa diperlukan input baik berupa input antara maupun input
primer/Faktor Produksi. Input primer ini terdiri dari tenaga kerja, modal/kapital,
serta tanah/lahan. Oleh karenanya, ketika proses produksi itu berlangsung,
sektor-sektor produksi yang menggunakan Faktor Produksi sebagai inputnya akan
memberikan balas jasa dalam bentuk upah gaji, atas penggunaan faktor tenaga
kerja, pembayaran bunga modal, dividen, dan keuntungan, atas penggunaan
kapital; dan pembayaran sewa lahan, atas penggunaan lahan dalam kegiatan
produksinya.
5.3.1. Distribusi Pendapatan Faktorial Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan
Berdasarkan pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa sektor-sektor produksi di
Kalimantan umumnya membayarkan bunga modal lebih tinggi dibandingkan
pembayaran upah gaji. Hal ini tercermin dari pembayaran upah tenaga kerja yang
hanya mencapai sekitar 10 persen dari nilai tambah yang ada di Kalimantan,
sedangkan pembayaran atas bunga modal hampir mencapai 90 persen. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa sektor-sektor produksi yang ada di Kalimantan umumnya
bersifat capital intensive. Sedangkan untuk sektor pertambangan batubara
pembayaran atas Faktor Produksi tenaga kerja juga relatif kecil sebesar 10.16
Tabel 11. Distribusi Pendapatan Faktorial Sektor Pertambangan Tahun 2008
Faktor Produksi
Kalimantan Non Kalimantan Pertambangan Batubara Sektor Produksi Lainnya Pertambangan Batubara Sektor Produksi Lainnya Pertanian Desa 0 1.32 0 4.52 Kota 0 0.46 0 1.46 Produksi, Operator Alat Angkutan dan Buruh kasar Desa 2.66 0.95 4.57 3.04 Kota 2.36 2.06 4.39 5.48 Tata Usaha, Penjualan, Jasa-jasa Desa 0.36 1.08 0.53 3.31 Kota 2.53 2.94 0.76 10.11 Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi Desa 0.33 0.55 0.56 0.65 Kota 1.92 1.14 0.21 2.28
Tenaga Kerja di Desa 3.35 3.89 5.66 11.52
Tenaga Kerja di Kota 6.81 6.60 5.36 19.34
Tenaga Kerja 10.16 10.49 11.02 30.86
Kapital 89.84 87.53 88.98 68.87
Lahan - 1.98 - 0.27
Total 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: IRSAM Kalimantan-Non Kalimantan Updating, 2008 (diolah)
Berdasarkan klasifikasi tenaga kerja yang terdapat dalam IRSAM, secara
umum terlihat bahwa alokasi pendapatan tenaga kerja di Kalimantan ternyata
sebagian besar diterima oleh tenaga kerja dengan jabatan sebagai tenaga kerja
produksi dan tata usaha. Untuk wilayah Kalimantan, alokasi pendapatan tenaga
kerja di sektor pertambangan batubara terbesar pada tenaga kerja dengan jabatan
sebagai tenaga produksi, operator, alat angkutan dan buruh kasar, tenaga kerja di
perdesaan menerima sebesar 2.66 persen dan di perkotaan menerima sebesar 2.36
persen. Sementara itu, untuk sektor-sektor produksi lainnya alokasi pendapatan
tenaga kerja banyak diterima oleh tenaga kerja dengan jabatan sebagai tenaga
kerja tenaga tata usaha, penjualan dan jasa-jasa dengan rincian di perdesaan
5.3.2. Distribusi Pendapatan Faktorial di Non Kalimantan
Distribusi pendapatan faktorial di wilayah non Kalimantan secara umum
memiliki pola atau struktur yang hampir sama dengan wilayah Kalimantan.
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa faktor produksi tenaga kerja
menerima alokasi nilai tambah yang lebih kecil bila dibandingkan dengan faktor
produksi kapital. Namun demikian, untuk sektor produksi selain sektor
pertambangan batubara menerima alokasi nilai tambah yang lebih besar bila
dibandingkan dengan wilayah Kalimantan, alokasi untuk faktor produski tenaga
kerja sebesar 30.86 persen dan alokasi pendapatan untuk faktor produksi kapital
sebesar 68.87 persen.
Ditinjau dari jenis jabatan tenaga kerja, untuk sektor pertambangan batubara
alokasi pendapatan tenaga kerja terbesar ternyata diterima oleh tenaga kerja
dengan jabatan sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan dan buruh kasar
dengan rincian di perdesaan sebesar 4.57 persen, dan perkotaan sebesar 4.39
persen. Sementara itu, sektor selain sektor pertambangan batubara, alokasi
pendapatan tenaga kerja terbesar diterima oleh tenaga kerja dengan jabatan
sebagai tenaga tata usaha, penjualan dan jasa-jasa dengan rincian di perdesaan
sebesar 3.31 persen dan di perkotaan sebesar 10.11 persen .
5.3.3. Rangkuman
1. Distribusi pendapatan faktorial di sektor pertambangan batubara secara umum
lebih banyak diterima oleh pemilik kapital, secara nasional alokasi pendapatan
untuk kapital sebesar 68.87 persen, di Kalimantan sebesar 87.53 persen dan di
Luar Kalimantan sebesar 88.98 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
pembangunan sektor pertambangan lebih banyak dinikmati oleh para pemilik
2. Faktor tenaga kerja di sektor pertambangan yang paling besar menerima
pendapatan baik di wilayah Kalimantan maupun non Kalimantan adalah
pekerja non pertanian sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan dan
buruh kasar.
3. Bedasarkan perbandingan wilayah desa-kota, untuk wilayah Kalimantan
alokasi pendapatan tenaga kerja ternyata banyak dinikmati oleh tenaga kerja di
perkotaan, sebaliknya di wilayah non Kalimantan alokasi pendapatan tenaga
kerja banyak diterima tenaga kerja yang ada di perdesaan.
5.4. Analisis Keterkaitan Antar Sektor Produksi
Analisis keterkaitan antar sektor (linkages) pada umumnya dilihat dari dua
aspek yakni keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan
(forward linkage). Keterkaitan ke belakang seringkali diistilahkan dengan daya
penyebaran, konsepnya adalah mengetahui distribusi manfaat dari pengembangan
sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar input. Selain itu, konsep ini juga
digunakan untuk melihat kemampuan suatu sektor produksi menarik sektor-sektor
produksi hulunya. Sedangkan keterkaitan ke depan diistilahkan dengan derajat
kepekaan, konsepnya untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor terhadap
sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar output dan juga untuk melihat
kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan sektor hilirnya.
5.4.1. Analisis Keterkaitan Intraregional
Berdasarkan data dari Tabel 12, terlihat bahwa sektor-sektor industri di
Kalimantan umumnya memiliki daya penyebaran yang relatif tinggi bila
dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Sektor industri pengolahan karet
(kode 12) merupakan tiga sektor yang memiliki nilai daya penyebaran terbesar di
Kalimantan. Nilai daya penyebaran sektor industri pengolahan karet sebesar
2.439, artinya bila terjadi peningkatan permintaan akhir pada output sektor ini
sebesar satu unit, maka output seluruh sektor ekonomi di Kalimantan akan
meningkat sebesar 2.439 unit.
Sementara itu, sektor pertambangan batubara dan pertambangan lainnya
yang kontribusinya cukup besar dalam perekonomian memiliki nilai daya
penyebaran yang rendah, yaitu sebesar 1.198 (peringkat 31 dari 35 sektor), dengan
cara yang sama dapat diartikan apabila terdapat permintaan output sektor ini
sebesar 1 unit maka akan mempengaruhi perekonomian Kalimantan hanya sebesar
1.198 unit. Rendahnya keterkaitan sektor pertambangan batubara dan
pertambangan di Kalimantan memberikan bukti yang cukup kuat bahwa sektor ini
dalam proses produksinya memang tidak banyak memiliki keterkaitan atau tidak
banyak menggunakan input yang berasal dari Kalimantan.
Dilihat dari nilai derajat kepekaannya, tertinggi terjadi di sektor
perdagangan (kode 27), yaitu sebesar 5.552. Hal tersebut dapat diartikan apabila
seluruh sektor ekonomi di Kalimantan meningkat 1 unit maka output sektor
perdagangan akan meningkat sebesar 5.552 unit. Dua sektor lainnya yang juga
memiliki nilai derajat kepekaan (forward linkage) yang besar adalah sektor
pertambangan migas (3.625) dan industri pengolahan migas (3.547). Relatif
besarnya nilai forward linkage kedua sektor ini memberikan indikasi bahwa
output kedua sektor tersebut banyak digunakan oleh sektor-sektor ekonomi
Tabel 12. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan menurut Sektor Produksi di Kalimantan
No. Sektor Produksi Linkage Ranking
Backward Forward Backward Forward
1 Padi 1.464 1.299 26 23
2 Tanaman Bahan Makanan Lainnya 1.531 1.306 24 22 3 Perkebunan 1.512 1.626 25 14 4 Peternakan 2.392 1.609 4 15 5 Kehutanan 1.583 1.287 23 25 6 Perikanan 1.789 1.737 17 10 7 Pertambangan Migas 1.245 3.625 30 2
8 Batubara dan Pertambangan lainnya
1.198 1.293 31 24
9 Industri Pengolahan Migas 1.711 3.547 19 3
10 Industri Kelapa Sawit 2.301 1.760 6 8
11 Industri Pengolahan Ikan 2.438 1.081 2 31 12 Industri Makanan dan
Minuman
2.426 2.817 3 4
13 Industri Tekstil 1.799 1.222 16 27
14 Industri Alas Kaki 1.000 1.000 33 32
15 Industri Pengolahan Kayu 2.084 1.559 8 17 16 Industri Pulp dan Kertas 1.915 1.642 13 13 17 Industri Pengolahan Karet 2.448 1.377 1 20
18 Industri Petrokimia 1.753 2.141 18 6
19 Industri Semen 1.124 1.000 32 32
20 Industri Dasar Besi dan Baja
1.838 1.140 14 29
21 Industri Barang-barang dari Besi dan Baja
1.000 1.000 33 32
22 Indutri Mesin Listrik dan Perlengkapannya
1.000 1.000 33 32
23 Industri Alat Angkutan dan Perbaikannya
1.670 1.235 21 26
24 Industri Lainnya 1.916 1.132 12 30
25 Listrik Gas dan Air Bersih 2.343 1.677 5 11
26 Konstruksi 1.991 1.514 10 18
27 Perdagangan 1.632 5.552 22 1
28 Hotel dan Restoran 2.189 1.496 7 19
29 Angkutan Darat 1.921 1.749 11 9
30 Angkutan Sungai dan Laut 1.693 1.651 20 12
31 Angkutan Udara 2.000 1.325 9 21
32 Komunikasi 1.412 1.874 27 7
33 Bank dan Lembaga Keuangan
1.290 2.675 28 5
34 Jasa Pemerintah dan Kemasyarakatan
1.265 1.162 29 28
35 Jasa Lainnya 1.809 1.575 15 16
Sumber: IRSAM Kalimantan-Non Kalimantan Updating, 2008 (diolah)
Berbeda dengan sektor pertambangan dan industri migas yang memiliki nilai forward linkage yang besar, sektor pertambangan batu bara dan
rendah, yaitu sebesar 1.293, dapat diartikan apabila seluruh sektor ekonomi di Kalimantan permintaannya meningkat sebesar 1 unit maka sektor ini hanya akan tumbuh sebesar 1.293 unit. Hal ini juga memberikan bukti kuat bahwa sektor ini tidak banyak digunakan oleh sektor ekonomi di Kalimantan. Kondisi ini sejalan
dengan fakta yang sebenarnya bahwa produksi tambang di Kalimantan memang sebagian besar ditujukan untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor).
Untuk dapat melihat posisi relatif nilai daya penyebaran dan derajat
kepekaan suatu sektor terhadap sektor ekonomi lainnya, dapat di lakukan dengan
cara melihat nilai indeks dari keduanya. Apabila suatu sektor memiliki nilai
indeks daya penyebaran yang lebih besar dari 1, berarti sektor tersebut memiliki
daya penyebaran diatas rata-rata sektor lainnya, begitu juga halnya dengan indeks
derajat kepekaan dapat diartikan dengan cara yang sama.
Selanjutnya, untuk lebih memudahkan analisis, nilai indeks daya
penyebaran dan indeks derajat kepekaan dibuat dalam plot 4 (empat) kuadaran,
dengan kriteria sebagai berikut; kuadran I adalah sektor-sektor yang memiliki
nilai indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan lebih tinggi 1; kuadran
II, merupakan sektor-sektor yang memiliki indeks daya penyebaran dibawah 1 dan
indeks derajat kepekaan diatas 1; kuadran III merupakan kumpulan sektor yang
memiliki indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan lebih kecil 1 dan
kuadran IV merupakan kumpulan sektor-sektor yang memiliki indeks daya
penyebaran di atas 1 dan indeks derajat kepekaan di bawah 1. Berdasarkan
pengelompokkan tersebut terlihat dalam Gambar 11 bahwa sektor pertambangan
batubara dan lainnya di Kalimantan berada pada kuadran III, yang berarti bahwa
sektor ini memiliki keterkaitan ke belakang dan ke dapan yang rendah bila
Sumber: IRSAM Kalimantan-Non Kalimantan Updating, 2008 (diolah)
Gambar 13. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Menurut Sektor Produksi di Kalimantan
Untuk wilayah non Kalimantan, sektor yang memiliki daya penyebaran
tertinggi adalah sektor industri makanan dan minuman yakni sebesar 3.622.
Artinya bila terjadi peningkatan permintaan akhir pada output sektor tersebut
sebesar 1 unit, maka output seluruh sektor di non Kalimantan akan meningkat
sebesar 3.622. Selain sektor industri makanan dan minuman, sembilan sektor
lainnya yang memiliki daya penyebaran (backward linkage) tertinggi yakni sektor
peternakan (3.544), sektor perkebunan (3.184), sektor industri kelapa sawit
(3.173), sektor hotel dan restauran (3.031), sektor angkutan udara (3.024), sektor
angkutan darat (2.934), sektor tanaman bahan makanan lainnya (2.791), sektor
padi (2.751), dan sektor industri pengolahan karet (2.713).
Di sisi lain, nilai derajat kepekaan tertinggi adalah di sektor perdagangan
produksi di non Kalimantan meningkat sebesar satu unit, maka output sektor
perdagangan akan meningkat sebesar 7.923 unit. Kondisi ini sama dengan apa
yang terjadi di Kalimantan, dimana sektor perdagangan memiliki nilai derajat
kepakaan yang tinggi.
Tabel 13. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan menurut Sektor Produksi di Non Kalimantan
No. Sektor Produksi Keterkaitan Ranking
Backward Forward Backward Forward
1 Padi 2.751 1.872 9 22
2 Tanaman Bahan Makanan Lainnya 2.791 2.185 8 16 3 Perkebunan 3.184 2.721 3 8 4 Peternakan 3.544 2.190 2 15 5 Kehutanan 2.502 1.271 17 33 6 Perikanan 2.216 1.792 26 24 7 Pertambangan Migas 1.512 3.710 35 4
8 Batubara dan Pertambangan lainnya
2.029 2.107 29 18
9 Industri Pengolahan Migas 1.738 3.360 34 5
10 Industri Kelapa Sawit 3.173 2.360 4 13
11 Industri Pengolahan Ikan 2.501 1.697 18 29 12 Industri Makanan dan Minuman 3.622 7.130 1 2
13 Industri Tekstil 2.494 2.446 20 12
14 Industri Alas Kaki 2.625 1.376 12 31
15 Industri Pengolahan Kayu 1.893 1.783 32 25 16 Industri Pulp dan Kertas 2.334 2.109 25 17 17 Industri Pengolahan Karet 2.713 2.094 10 19
18 Industri Petrokimia 1.969 2.939 31 7
19 Industri Semen 2.543 1.072 14 35
20 Industri Dasar Besi dan Baja 2.070 1.575 28 30 21 Industri Barang-barang dari Besi
dan Baja
1.760 1.266 33 34
22 Indutri Mesin Listrik dan Perlengkapannya
2.538 1.978 15 21
23 Industri Alat Angkutan dan Perbaikannya
2.145 3.308 27 6
24 Industri Lainnya 2.470 1.350 22 32
25 Listrik Gas dan Air Bersih 2.503 2.662 16 9
26 Konstruksi 2.473 1.759 21 27
27 Perdagangan 2.497 7.893 19 1
28 Hotel dan Restoran 3.031 2.002 5 20
29 Angkutan Darat 2.934 2.543 7 10
30 Angkutan Sungai dan Laut 2.680 1.801 11 23
31 Angkutan Udara 3.024 1.741 6 28
32 Komunikasi 2.467 2.475 24 11
33 Bank dan Lembaga Keuangan 2.020 5.118 30 3 34 Jasa Pemerintah dan
Kemasyarakatan
2.567 1.759 13 26
35 Jasa Lainnya 2.468 2.335 23 14
Selanjutnya, sama dengan sebelumnya untuk melihat posisi relatif nilai
keterkiatan ke belakan dank ke depan suatu sektor dengan sektor ekonomi lainnya
dibuatkan analisis plot 4 kuadran. Untuk ekonomi non Kalimantan, sektor
ekonomi yang memiliki nilai indeks keterkaitan ke belakang dan ke depan paling
tinggi adalah sektor industri makanan dan minuman, kondisi ini ternyata sama
dengan ekonomi Kalimantan. Namun yang berbeda dari Kalimantan adalah
sektor-sektor lainnya yang berada di kuadran I adalah; sektor perkebunan; dan
sektor angkutan darat. Ini mencerminkan bahwa ketiga sektor di atas merupakan
sektor penting yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian di non
Kalimantan.
Sumber: IRSAM Kalimantan-Non Kalimantan Updating, 2008 (diolah)
Gambar 14.Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Menurut Sektor Produksi di Non Kalimantan
Sementara itu, sektor pertambangan batubara di non Kalimantan ternyata
kondisinya sama dengan apa yang terjadi di Kalimantan. Nilai keterkaitan ke
belakang maupun ke depannya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan
sektor-sektor ekonomi lainnya, berada pada kuadran III. Kondisi ini memberikan
kita kesimpulan bahwa sektor pertambangan batubara dan pertambangan lainnya
di Indonesia tidak memiliki keterkaitan yang kuat baik keterkaitan ke hulu
maupun ke hilirnya.
5.4.2. Analisis Keterkaitan Interregional
Pada dasarnya analisis keterkaitan interregional memiliki konsep yang sama
dengan analisis keterkaitan intraregional yakni dilihat dari sisi keterkaitan ke
belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke depan (forward linkages).
Perbedaannya adalah dalam analisis keterkaitan interregional menekankan pada
kewilayahan yakni adanya perubahan permintaan akhir terhadap output suatu
sektor di wilayah tertentu akan berdampak pada peningkatan output sektor lainnya
di wilayah lain. Artinya dalam analisis keterkaitan ke belakang interregional
menunjukkan efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor hilir tertentu di
suatu wilayah terhadap semua sektor hulu di wilayah lain. Sedangkan analisis
keterkaitan ke depan regional menunjukkan pengaruh perubahan permintaan akhir
semua sektor hilir di suatu wilayah terhadap salah satu sektor hulu di wilayah
lainnya.
Keterkaitan antara sektor-sektor produksi di Kalimantan dan di non
Kalimantan dapat dilihat dari dua sisi. Bila keterkaitan (Kalimantan-non-
Kalimantan) menunjukkan sektor-sektor produksi di Kalimantan berada dalam
posisi hulu dan sektor-sektor produksi di luar Kalimantan berada dalam posisi
hilir, begitu sebaliknya ketika berbicara keterkaitan (non Kalimantan-Kalimantan)
dan sektor-sektor produksi di Kalimantan berada dalam posisi hilir. Dengan
demikian keterkaitan ke belakang Kalimantan-non Kalimantan berarti efek
perubahan permintaan akhir suatu sektor di non Kalimantan terhadap total output
seluruh sektor di Kalimantan. Sedangkan keterkaitan ke belakang
Non-Kalimantan- Kalimantan berarti efek perubahan permintaan akhir suatu sektor di
Kalimantan terhadap total output seluruh sektor di non Kalimantan. Sementara itu,
keterkaitan ke depan Kalimantan-non Kalimantan berarti efek perubahan
permintaan akhir seluruh sektor di luar Kalimantan terhadap output suatu sektor di
Kalimantan. Sedangkan keterkaitan ke depan non Kalimantan-Kalimantan berarti
efek perubahan permintaan akhir seluruh sektor di Kalimantan terhadap total
output suatu sektor di non Kalimantan.
Berdasarkan data di Tabel 14, dapat terlihat bahwa keterkaitan ke belakang
Kalimantan-nonKalimantan sektor pertambangan batubara dan lainnya sebesar
0.572. Koefisien tersebut menyatakan bahwa bila permintaan akhir sektor
pertambangan batubara dan lainnya di non Kalimantan meningkat sebesar satu
unit rupiah, maka output semua sektor dalam perekonomian Pulau Kalimantan
akan meningkat sebesar 0.572 rupiah, dan memiliki koefisien keterkaitan ke
depan sebesar 0.183, artinya bila permintaan akhir semua sektor dalam
perekonomian non Kalimantan meningkat sebesar satu unit rupiah, maka output
sektor pertambangan batubara dan lainnya di Kalimantan akan meningkat sebesar
0.183.
Selanjutnya, berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa nilai keterkaitan ke
belakang non Kalimantan-Kalimantan sektor pertambangan batubara dan
pertambangan lainnya adalah sebesar 0.053. Koefisien tersebut menyatakan
bahwa bila permintaan akhir sektor pertambangan batubara dan lainnya di
perekonomian Pulau Kalimantan akan meningkat sebesar 0.053 rupiah.
Berdasarkan pada tabel yang sama dapat dilihat bahwa sektor pertambangan
batubara memiliki koefisien keterkaitan ke depan sebesar 0.349, artinya bila
permintaan akhir semua sektor dalam perekonomian Kalimantan meningkat
sebesar satu unit, maka output sektor pertambangan batubara dan lainnya di non
Kalimantan akan meningkat sebesar 0.349 unit.
Tabel 14. Keterkaitan Interregional ke Belakang dan ke Depan menurut Sektor Produksi di Kalimantan dan Non Kalimantan
No. Sektor Produksi
Lingkage Kalimantan- Non
Kalimantan
Non Kalimantan-Kalimantan
Backward Forward Backward Forward
1 Padi 0.639 0.245 0.078 0.008
2 Tanaman Bahan Makanan Lainnya 0.696 0.559 0.078 0.022
3 Perkebunan 0.558 0.451 0.086 0.170
4 Peternakan 0.849 0.506 0.101 0.056
5 Kehutanan 2.727 0.060 0.067 0.038
6 Perikanan 0.738 0.239 0.058 0.061
7 Pertambangan Migas 0.636 1.298 0.020 0.463 8 Batubara dan Pertambangan lainnya 0.572 0.183 0.053 0.349 9 Industri Pengolahan Migas 0.775 1.215 0.055 0.632 10 Industri Kelapa Sawit 0.666 0.474 0.069 0.049 11 Industri Pengolahan Ikan 0.846 0.473 0.095 0.018 12 Industri Makanan dan Minuman 0.750 2.168 0.105 0.098 13 Industri Tekstil 1.352 1.073 0.061 0.003
14 Industri Alas Kaki - 0.188 0.120 -
15 Industri Pengolahan Kayu 0.604 0.196 0.083 0.048 16 Industri Pulp dan Kertas 0.735 0.659 0.117 0.062 17 Industri Pengolahan Karet 0.701 0.655 0.100 0.052 18 Industri Petrokimia 0.386 1.023 0.051 0.125
19 Industri Semen 0.361 0.072 0.120 -
20 Industri Dasar Besi dan Baja 1.454 0.399 0.092 0.003 21 Industri Barang-barang dari Besi dan
Baja
- 0.243 0.041 -
22 Indutri Mesin Listrik dan Perlengkapannya
- 0.949 0.064 -
23 Industri Alat Angkutan dan Perbaikannya
1.147 2.008 0.045 0.006 24 Industri Lainnya 0.829 0.168 0.110 0.004 25 Listrik Gas dan Air Bersih 0.725 0.468 0.295 0.024
26 Konstruksi 0.890 0.169 0.098 0.023
27 Perdagangan 0.833 2.119 0.069 0.243
28 Hotel dan Restoran 0.966 0.467 0.105 0.036 29 Angkutan Darat 0.822 0.580 0.087 0.053 30 Angkutan Sungai dan Laut 1.036 0.269 0.094 0.156 31 Angkutan Udara 0.990 0.321 0.135 0.043
32 Komunikasi 0.380 0.501 0.067 0.050
33 Bank dan Lembaga Keuangan 0.326 2.269 0.044 0.069 34 Jasa Pemerintah dan Kemasyarakatan 0.562 0.260 0.075 0.008 35 Jasa Lainnya 0.688 1.207 0.076 0.041
Dari hasil analisis data tersebut diatas, dapat terlihat bahwa ketergantungan
sektor-sektor di Pulau Luar Kalimantan terhadap sektor pertambangan batubara
dan lainnya di Pulau Kalimantan relatif cukup besar namun tidak berlaku
sebaliknya. Hal ini memberikan gambaran bahwa proses produksi yang ada di
Pulau luar Kalimantan banyak yang menggunakan input yang berasal dari output
sektor pertambangan batubara dan lainnya yang terdapat di Pulau Kalimantan.
5.4.3. Rangkuman
1. Keterkaitan sektor pertambangan terhadap pembangunan sektor ekonomi, baik
keterkaitan ke belakang maupun dan ke depan rendah cukup rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam setiap tahapan produksi maupun distribusi
output dari sektor ini tidak banyak melibatkan sektor ekonomi lainnya dalam
sistem perekonomian di Kalimantan. Pola yang sama juga diperlihatkan sektor
pertambangan di luar Kalimantan.
2. Ketergantungan sektor-sektor di wilayah non Kalimantan terhadap sektor
pertambangan batubara di Kalimantan relatif cukup besar, namun demikian
tidak berlaku sebaliknya. Hal ini dapat diartikan bahwa proses produksi yang
ada di wilayah non Kalimantan banyak menggunakan output sektor
pertambangan batubara yang ada di Kalimantan.
5.5. Analisis Multiplier Pembangunan Sektor Pertambangan Dalam Perekonomian
Dalam kajian ekonomi regional, keterkaitan ekonomi antarwilayah meliputi
keterkaitan antara sektor-sektor produksi dan pelaku-pelaku ekonomi (pemerintah,
dengan wilayah/region lain. Keterkaitan antar sektor antarwilayah ini biasa
disebut dengan interlinkages yang menentukan pola ketergantungan ekonomi
antar daerah. Artinya bila terjadi kenaikan output suatu sektor produksi di suatu
wilayah tertentu maka akan mendorong peningkatan output sektor produksi
lainnya di wilayah lain yang merupakan sektor hulunya. Hal ini pada akhirnya
juga mendorong peningkatan permintaan faktor produksi baik di wilayah sendiri
ataupun di wilayah lain yang nantinya akan mengakibatkan kenaikan balas jasa
faktor produksi yang dimiliki oleh institusi sebagai pemilik kapital dan tenaga
kerja. Keseluruhan proses kegiatan produksi ini dapat dijelaskan dari kerangka
data Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) melalui besaran
keterkaitan yang tercermin dari nilai koefisien multiplier yang menggambarkan
perubahan output suatu sektor bila terjadi shock (guncangan) suatu variabel
eksogen.
Pada dasarnya, koefisien multiplier merupakan penjumlahan dari efek
langsung (direct effect) dan efek tidak langsung (indirect effect) (Pyatt dan Round,
1977). Indirect effect tersebut terbagi lagi menjadi dua yakni pengaruh dari
wilayahnya itu sendiri (intraregional effect) dan pengaruh dari wilayah lain
(interregional effect). Nilai multiplier intraregional memberikan gambaran
tentang pengaruh berantai dari guncangan output (shock) sektor produksi di suatu
wilayah terhadap perekonomian wilayah itu sendiri. Sedangkan besaran multiplier
interregional menjelaskan mengenai pengaruh shock yang terjadi pada sektor
5.5.1. Efek terhadap Pendapatan Faktor Produksi
Berdasarkan Tabel 15, guncangan output pada di sektor pertambangan
batubara dan pertambangan lainnya di Kalimantan memberikan pengaruh
terhadap kenaikan pendapatan faktor di Indonesia secara agregat yaitu sebesar
1.238 unit. Total efek sebesar 1.234 unit tersebut terdistribusi di Kalimantan
sebesar 0.822 (self generate/efek total intraregional) dan di non-Kalimantan
(spillover effect) sebesar 0.1712 unit.
Bila dilihat sebarannya menurut komponen faktor produksi terlihat bahwa
adanya guncangan output sektor pertambangan batubara dan pertambangan
lainnya baik di Kalimantan maupun di non Kalimantan lebih banyak dinikmati
oleh pemilik kapital dibandingkan dengan peningkatan pendapatan tenaga kerja
(upah gaji). Artinya sektor pertambangan batubara dan lainnya lebih bersifat
capital intensive yakni lebih berpihak pada pemilik kapital.
Tabel 15. Efek Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan terhadap Pendapatan Faktor Produksi
Faktor Produksi Kalimantan Non Kalimantan Indonesia
Pertanian Desa 0.003 0.014 0.016
Kota 0.001 0.004 0.005
Produksi, Operator Alat Angkutan dan Buruh kasar
Desa 0.037 0.007 0.044
Kota 0.034 0.014 0.048
Tata Usaha, Penjualan, Jasa-jasa Desa 0.007 0.008 0.015
Kota 0.042 0.024 0.066
Kepemimpinan,
Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi
Desa 0.005 0.001 0.006
Kota 0.027 0.005 0.033
Tenaga Kerja di Desa 0.052 0.029 0.081
Tenaga Kerja di Kota 0.105 0.048 0.152
Tenaga Kerja 0.156 0.077 0.233
Kapital 0.663 0.092 0.386
Lahan 0.002 0.003 0.619
Total Multiplier 0.822 0.172 1.238
Sementara itu, bila dilihat secara spasial desa-kota terlihat bahwa adanya
guncangan output sektor pertambangan batubara dan pertambangan lainnya
terlihat bahwa kenaikan pendapatan tenaga kerja di kota lebih tinggi dibandingkan
pendapatan tenaga kerja di desa, atau dengan kata lain pembangunan sektor
pertambangan di Kalimantan menimbulkan urban bias. Kenaikan output sektor
pertambangan relatif tidak berpengaruh pada pendapatan tenaga kerja di sektor
pertanian, baik di desa maupun di Kota. Sementara tenaga kerja bukan pertanian,
yang paling besar kenaikan pendapatannya akibat adanya kenaikan output sektor
pertambangan adalah tata usaha, penjualan dan jasa-jasa di perkotaan.
Pengaruh adanya guncangan sektor pertambangan di Kalimantan terhadap
faktor produksi di non-Kalimantan terbesar terjadi pada kapital. Begitu juga
pengaruhnya pada pendapatan tenaga kerja desa-kota, terbesarnya terjadi pada
tenaga kerja di kota, pada faktor produksi tenagakerja bukan pertanian terbesar
terjadi pada tenaga kerja tata usaha, penjualan dan jasa-jasa.
5.5.2. Efek terhadap Pendapatan Institusi
Distribusi pendapatan institusi adalah distribusi pendapatan yang diterima
oleh rumahtangga, perusahaan, dan pemerintah. Nilai distribusi pendapatan
institusi dapat dilihat melalui sebaran nilai multiplier pada institusi tersebut.
Artinya, bila terjadi guncangan output satu unit pada sektor tertentu pada blok
sektor produksi akan mengakibatkan kenaikan pendapatan institusi (rumahtangga,
pemerintah, dan perusahaan) sebesar nilai multiplier masing-masing institusi
Tabel 16. Efek Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan Terhadap Pendapatan Institusi
Wilayah Golongan Pendapatan Kalimantan Luar Kalimantan Indonesia
Desa Rendah 0.0077 0.0116 0.0193 Sedang 0.0209 0.0288 0.0497 Tinggi 0.0568 0.0164 0.0732 Kota Rendah 0.0175 0.0063 0.0238 Sedang 0.0464 0.0503 0.0967 Tinggi 0.0897 0.0647 0.1544
Total Rumahtangga Desa 0.0854 0.0568 0.1422
Total Rumahtangga Kota 0.1536 0.1212 0.2749
Total Rumahtangga 0.2390 0.1780 0.4170
Pemerintah Daerah 0.0054 0.0274 0.0327
Perusahaan 0.2831 0.3013 0.5844
Total 0.5275 0.5067 1.0342
Sumber: IRSAM Kalimantan-Non Kalimantan Updating, 2008 (diolah)
Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa adanya guncangan output pada
di sektor pertambangan batubara dan pertambangan lainnya di Kalimantan sebesar
1 unit pengaruhnya terhadap kenaikan pendapatan institusi secara nasional sebesar
1.3042. Total pendapatan sebesar 1.3042 unit tersebut terdistribusi pada kenaikan
pendapatan institusi di Kalimantan sebesar 0.5275 unit dan juga akan
mempengaruhi pendapatan institusi di non-Kalimantan (spillover effect) sebesar
0.5067 unit.
Jika dilihat pengaruhnya pada masing-masing jenis institusi, kenaikan
pendapatan paling tinggi diterima oleh perusahaan baik secara nasional ataupun
regional (Kalimantan dan non-Kalimantan). Selanjutnya rumahtangga yang
perkotaan yang mana rumahtangga golongan ini di Kalimantan menerima
kenaikan sebesar 0.1536 unit; sementara di non Kalimantan sebesar 0.1212 unit.
5.5.3. Efek terhadap Pendapatan Sektor Produksi
Adanya keterkaitan antar sektor dalam sistem perekonomian, menyebabkan
adanya guncangan output suatu sektor akan berpengaruh pada peningkatan output
di sektor ekonomi lainnya.
Berdasarkan data pada Tabel 17 terlihat bahwa apabila terjadi shock di
sektor pertambangan batubara dan lainnya di Kalimantan sebesar satu unit akan
memberikan efek total dalam perekonomian di sektor produksi sebesar 1.8026
unit. Total efek sebesar 1.7936 unit tersebut terdistribusi pada tambahan
pendapatan sektor-sektor produksi (self generate/efek total intraregional) di
Kalimantan sebesar 1.1984 unit dan juga akan mempengaruhi perekonomian
wilayah lainnya (efek total interregional) sehingga terjadi spillover sebesar 0.6042
unit.
Bila dilihat sebarannya menurut sektor ekonomi di Kalimantan, terlihat
bahwa peningkatan pendapatan terbesar terjadi di pertambangan batubara dan
pertambangan lainnya (1.0033 unit) dan juga di sektor perdagangan (0.0239 unit).
Sementara itu, sektor di non Kalimantan yang menerima kenaikan pendapatan
Tabel 17. Efek Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan terhadap Pendapatan Sektor Produksi
Sektor Produksi Kalimantan Non Kalimantan Indonesia
1 Padi 0.0006 0.0387 0.0393
2 Tanaman Bahan Makanan Lainnya 0.0043 0.0137 0.0179
3 Perkebunan 0.0031 0.0114 0.0145
4 Peternakan 0.0067 0.0147 0.0214
5 Kehutanan 0.0007 0.0012 0.0019
6 Perikanan 0.0056 0.0065 0.0121
7 Pertambangan Migas 0.0139 0.0221 0.0359
8 Batubara dan Pertambangan lainnya 1.0033 0.0035 1.0068 9 Industri Pengolahan Migas 0.0225 0.0323 0.0548
10 Industri Kelapa Sawit 0.0049 0.0108 0.0158
11 Industri Pengolahan Ikan 0.0010 0.0086 0.0096 12 Industri Makanan dan Minuman 0.0073 0.0569 0.0642
13 Industri Tekstil 0.0003 0.0189 0.0191
14 Industri Alas Kaki 0.000 0.0066 0.0066
15 Industri Pengolahan Kayu 0.0027 0.0055 0.0083 16 Industri Pulp dan Kertas 0.0028 0.0113 0.0141 17 Industri Pengolahan Karet 0.0020 0.0149 0.0169
18 Industri Petrokimia 0.0058 0.0236 0.0295
19 Industri Semen 0.0000 0.0003 0.0003
20 Industri Dasar Besi dan Baja 0.0001 0.0040 0.0041 21 Industri Barang-barang dari Besi dan
Baja
0.0000 0.0032 0.0032
22 Indutri Mesin Listrik dan Perlengkapannya
0.0000 0.0361 0.0361
23 Industri Alat Angkutan dan Perbaikannya
0.0006 0.0275 0.0281
24 Industri Lainnya 0.0014 0.0040 0.0055
25 Listrik Gas dan Air Bersih 0.0075 0.0121 0.0195
26 Konstruksi 0.0038 0.0042 0.0080
27 Perdagangan 0.0239 0.0550 0.0789
28 Hotel dan Restoran 0.0177 0.0169 0.0346
29 Angkutan Darat 0.0068 0.0229 0.0297
30 Angkutan Sungai dan Laut 0.0055 0.0088 0.0143
31 Angkutan Udara 0.0043 0.0106 0.0149
32 Komunikasi 0.0075 0.0141 0.0216
33 Bank dan Lembaga Keuangan 0.0071 0.0465 0.0536 34 Jasa Pemerintah dan Kemasyarakatan 0.0034 0.0069 0.0103
35 Jasa Lainnya 0.0214 0.0299 0.0513
Total 1.1984 0.6042 1.8026
Selain itu, sektor industri lainnya yang mengalami kenaikan pendapatan
yang relatif tinggi adalah sektor pengolahan migas sebesar 0.0221 unit; sektor
industri pulp dan kertas sebesar 0.0113 unit; sektor industri pengolahan karet
sebesar 0.0149 unit; sektor industri petrokimia sebesar 0.0236 unit; sektor industri
mesin listrik dan perlengkapannya sebesar 0.0361 unit; sektor industri alat
angkutan dan perbaikannya sebesar 0.0040 unit; serta industri tekstil sebesar
0.0189 unit. Di samping sektor industri, sektor pertambangan migas di luar
Kalimantan juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi yakni sebesar
0.0323unit.
5.5.4. Rangkuman
1. Adanya guncangan (shock) di sektor pertambangan batubara dan pertambangan
lainnya di Kalimantan terhadap penambahan pendapatan di faktor produksi
lebih cenderung meningkatkan pendapatan kapital dibandingkan peningkatan
pendapatan tenaga kerja (upah gaji). Artinya sektor pertambangan batubara dan
lainnya lebih bersifat capital intensive yakni lebih berpihak pada pemilik
kapital.
2. Dampaknya pada pendapatan institusi juga paling banyak diterima oleh
perusahaan, baik di Kalimantan maupun di Luar Kalimantan. Sedangkan
kelompok rumahtangga yang paling banyak menerima tambahan pendapatan
akibat adanya shock pada sektor pertambangan adalah kelompok rumahtangga
di kota.
3. Sedangkan pengaruhnya ke sektor produksi di Kalimantan banyak terjadi pada
sektor perdagangan, dan di luar Kalimantan banyak terjadi di sektor industri