• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MOTODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS LEARNING TOGETHER MATA PELAJARAN PKn PADA SISWA SMA NEGERI 10 KOTA TERNATE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN MOTODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS LEARNING TOGETHER MATA PELAJARAN PKn PADA SISWA SMA NEGERI 10 KOTA TERNATE"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MOTODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

LEARNING TOGETHER MATA PELAJARAN PKn PADA SISWA SMA NEGERI

10 KOTA TERNATE Taher Hayat SMA Negeri 10 Kota Ternate

Abstrak

Penelitian ini bertujua untuk menganalisis perbedaan hasil belajar PKn pada siswa kelas XI-IPS 1 dan XI-IPS 2 dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif berbasisLearning Together. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan sampel penelitian sebanyak 57 siswa yang terdiri dari 28 siswa kelas kontrol dan 29 siswa kelas eksperimen SMA Negeri 10 Kota Ternate. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan hasil belajar siswa adalah nilai akhir semester ganjil T.A 2016/2017 dan tes objektif dengan tipe soal esai.Alat analisis yang digunakan adalah Uii Chi-Square untuk menentukan ada tidaknya perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah diterapkan metode pembelajaran kooperatif berbasis Learning Together. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan terhadap hasil belajar antara siswa dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif berbasis Learning Together dengan siswa dengan metode pembelajaran konvensional.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Learning Together, SMA Negeri 10 Kota Ternate, Hasil Belajar.

PENDAHULUAN

Reformasi tahun 1999 memberikan angin segar dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Sebuah era pemerintahan yang mengharuskan segala aspek pembangunan bangsa harus secepatnya direkonstruksi guna terwujudnya tujuan

reformasi tersebut. Tidak terkecuali adalah aspek pendidikan yang

merupakanfondasi utama terciptanya sebuah bangsa yang kokoh dan bermartabat. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasionalsecara eksplisit menjelaskan tentang pendidikan di Indonesia. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya dalam pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasionaladalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

(2)

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan pendidikan Upaya peningkatan mutu pendidikan, salah satunya dapat dilakukan dengan perubahan kurikulum. Pasal 36 ayat (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Ayat (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kaitannya dengan pendidikan dasar dan menengah, pasal 37 mengamantkan bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 mata pelajaran salah satunya adalah pendidikan kewarnaganegaraan.

Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu

pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional.

Menindaklanjuti hal tersebut diatas, pemerintah senantiasa berupaya untuk menyempurnakan kurikulum. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menyempurnakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai tindak lanjut dari amanah UU Nomor 20 Tahun 2003.

Meski kebijakan tentang Pendidikan Kewarganegaraan telah diterapkan di institusi formal, seperti sekolah dan institusi pendidikan tinggi, krisis moral tidak pernah berhenti berkembang di Indonesia. Menurut Azra (2001) Setidaknya ada tujuh masalah utama yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia, yang merupakan akar dari krisis moralitas dan moral, yaitu (1) orientasi pendidikan telah kehilangan objektivitasnya; (2) kematangan diri tidak terjadi secara tepat di lingkungan sekolah; (3) proses pendidikan di sekolah sangat membatasi ruang untuk kreativitas baik bagi siswa dan guru; (4) beban kurikulum terlalu memberatkan dan cenderung berorientasi pada pengembangan ranah kognitif saja; (5) bahkan jika ada materi konten yang menumbuhkan kasih sayang, seperti pendidikan agama dan pendidikan moral, atau yang sekarang akrab disebut Pendidikan Kewarganegaraan; (6) pada saat bersamaan, siswa berpose dengan nilai-nilai yang bertentangan; dan (7) sejumlah kecil contoh moral kehidupan bagi siswa dalam kehidupan mereka.

Selain upaya kurikulum, pemerintah juga berupaya untuk melakukan inovasi dalam dunia pendidikan. Inovasi yang dilakukan biasanya memperhatikan tiga hal peting yaitu efisien, efektif, dan kenyamanan (Oktarini, Putra, dan Putra, 2014). Efisien maksudnya waktu yang tersedia bagi guru harus dimanfaatkan

(3)

sebaik-baiknya. Efektif maksudnya pelajaran yang diberikan harus menghasilkan hasil yang bermanfaat bagi siswa atau masyarakat, sedangkan kenyamanan berarti sumber belajar, media atau alat bantu belajar, metode yang ditentukan sedemikian rupa sehingga memberikan gairah belajar. Dalam meningkatkan hasil pendidikan diantaranya yang harus dikembangkan terletak pada proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan yang paling pokok dalam proses pendidikan.

Sharan (2014) menyatakan bahwapembelajaran yang berarti lebih didasarkan pada dari apa yang ditransfer oleh guru, melalui transformasi pengetahuan dari pengalaman, perasaan dan pertukaran antara guru dengan peserta didik.Ketidakberhasilan guru dalam mentransformasi pengetahuan secara maksimal pada akhhirnya berdampak pada kegagalan siswa dalam menerima esensi dari materi yang diterima. Hasil temuan Au (1979) dan Tharp dan Galimore (1991) menyoroti kegagalan dan frustrasi yang dialami oleh anak-anak yang latar belakang sosio-linguistiknya berbeda dengan guru mereka. Dalam kasus tersebut, siswa dan guru sering mengalami konflik dan bagaimana pembelajaran harus dilakukan di sekolah. Hasil ini memperkuat kesimpulan bahwa keberhasilan pendidikan tercipta melalui kekuatan pemerintah dalam merumuskan kurikulum dan kekuatan guru dalam mentransformasi pendidikan dalam lingkungan sekolah.

Sebagai tanggapan atas kenyataan ini, pendidik semakin sadar akan kebutuhan guru untuk memperoleh kesadaran antar budaya. Gurudidorong untuk membuat komunikasi antar budaya dan dialog bagian dari pengajaran mereka melalui rancangan pelajaran yang memungkinkan semua siswa untuk berbicara dan berbagi pengalaman mereka (Magos dan Simopoulos, 2009).

Perkembangan dewasa ini, tantangan terbesar bangsa ini sangat erat kaitannya dengan pembangunan karakter masyarakatnya. Sejumlah permasalahan kebangsaan yang mewarnai kehidupan Indonesia di Era Reformasi yaitu konflik sosial yang sering berkepanjangan, berkurangnya sopan santun, dan budi pekerti luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai faktor (Anggono, 2014)

Faktor penyebabnya antara lain Pertama, masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit; Kedua, belum optimalnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa; Ketiga, Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang yang bertentangan dengan moralitas dan etika; Keempat, Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; Kelima, Tidak

(4)

berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika (Anggono, 2014).

Menanggapi permasalahan kebangsaan tersebut, maka Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 dapat digunakan sebagai sarana untuk manata model pendidikan karakter bangsa yang harus dikembangkan guna rangka memperkuat kesadaran masyarakat tentang jati diri bangsa sekaligus mendorong tercapainya tujuan bangsa Indonesia. Menurut MK keempat materi pendidikan politik yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya. MK juga menyatakan pendidikan politik berbangsa dan bernegara sebaiknya juga perlu dikembangkan tidak terbatas kepada keempat hal tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya antara lain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain sebagainya.

Kaitannya dengan hal tersebut di atas, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari pendidikan wajib pendidikan dasar yang telah diamanatkan pemerintah sangat penting untuk disampaikan secara efektif kepada peserta didik. Pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk warga Negara yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan diharapkan warga Negara mempunyai kesadaran akan hak dan kewajibannya.

Adapun arah dari pembelajaran PKn yaitu pada upaya pemberdayaan peserta didik menjadi manusia yang bermanfaat, mampu bersaing dan unggul dijaminnya serta dapat memberikan manfaat yang sebesar besarnya bagi kehidupan dan lingkungannya (Sulasti, 2013). Fungsi dari pendidikan kewarganegaraan yaitu sebagai wahana membentuk warganegara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia pada bangsa dan Negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir, bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Krisnawan, 2013).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Portofolio terhadap hasil belajar PKn pada Materi Budaya Politik Siswa Kelas XI SMA Negeri 10 Kota Ternate. Penggunaan materi Budaya Politik dalam penelitian dilakukan untuk menguji sejauhmana pemahaman siswa tentang budaya Indonesia mengingat kentalnya tensi politik yang terjadi di Indonesia.

Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling

(5)

membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif mempunyai banyak sekali variasi. Salah satu di antaranya adalah model pembelajaran kooperatif pendekatan

Learning Together (LT)

1. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Terdapat tiga cara siswa dapat berinteraksi dengan siswa lainnya. Siswa dapat berkompetisi dengan siswa lainnya untuk melihat siapa siswa yang paling terbaik dalam kelasnya; siswa dapat bekerja secara individual untuk mencapai kriteria yang ditetapkan dalam proses pembelajaran; atau siswa dapat bekerja bersama-sama, secara kooperatif, saling bertanggung jawab satu sama lain dan juga dengan pengetahuan mereka sendiri. Ironisnya, para guru didorong untuk membuat struktur individual yang mana siswa bekera sendiri dengan kecepatan mereka sendiri (Johnson dan Johnson, 1975).

Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah instruksi dengn menggunakan kelompok kecil siswa yang bekerja bersama-sama memaksimalkan pembelajaran siswa baik secara kelompok maupun individual. Johnson dan Johnson (2009) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah proses edukasi melalui berbicara, mendengar, menulis. Pada proses ini, siswa diminta untuk menggunakan skils untuk kooperatif dengan yang lainnya.

Definisi yang dikemukakan Johnson & Johnson kegiatan pembelajaran kooperatif yang sering digunakan di berbagai belahan dunia dalam rangka untuk memungkinkan pembelajaran aktif dan menyadari pembelajaran sebagai aktivitas sosial. Alasan penggunaan cooperative learning adalah bahwa pendekatan tradisional dalam pengajaran dan pembelajaran tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk meningkatkan secara bersamaan dalam berbagai aspek seperti pengetahuan, sikap keterampilan, dan sebagainya. Pembelajaran kooperatif adalah proses pendidikan di mana berbicara, mendengarkan, menulis, dan refleksi sebagai belajar aktif. Dalam proses ini, siswa diminta untuk menggunakan keterampilan sosial mereka dan untuk bekerja sama dengan rekan-rekan, yang, dalam jangka panjang, memberikan kontribusi pada perkembangan kognitif dan afektif hasil belajar mereka.

Dengan demikian bahwa pembelajaran kooperatif ada ketika siswa belajar bersama untuk mencapai tujuan secara bersama-sama (Johnson dan Johnson, 1975). Setiap siswa dapat kemudian mencapai tujuan pembelajarannya jika dan hanya jika anggota kelompok yang lain mencapai tujuan pembelajarannya (Deutsch, 1962).

(6)

2. Jenis Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah prosedur serbaguna dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Pembelajaran kooperatif dapat digunakan untuk mengajarkan konten khusus (kelompok pembelajaran kooperatif formal), untuk menjamin proses kognitif aktif dari informasi selama proses belajar mengajar, untuk mendukung tujuan jangka panjang terhadap kemajuan akademik (Johnson, Johnson, dan Holubec dalam Johnson dan Johnson, 2009).

Pembelajaran Kooperatif Formal terdiri dari sejumlah siswa yang bekerja

bersama dalam satu periode kelas atau beberapa minggu, untuk mencapai tujuan belajar bersama dalam menyelesaiakan tugas yang diberikan. Dalam kelompok pembelajaran kooperatif ini, maka (Johnson, Johnson, dan Holubec dalam Johnson dan Johnson, 2009):

1. Guru menjelaskan secara spesifik sasaran pembelajaran dan membuat kelompok, metode penugasan yang akan dilakukan, peran masing-masing siswa dalam tugas tersebut, menentukan materi yang dibutuhkan dalam pembelajaran, dan mengatur ruangan sehingga lebih fleksibel dalam proses pembelajaran;

2. Guru secara jelas menjelaskan tugas tersebut, mengajarkan konsep dan strategi yag dibutuhkan, mementukan ketergantungan yang positif dan keterbukaan individu, memberikan kriteria keberhasilan, dan mejealaskan keterampilan social yang akan digunakan;

3. guru secara sistematis mengamati dan mengumpulkan data pada masing-masing kelompok saat bekerja. Bila diperlukan, guru melakukan intervensi untuk membantu siswa dalam menyelesaikan tugas secara akurat dan dalam bekerja sama secara efektif;

4. Menilai pembelajaran siswa dan membantu proses siswa dalam memahami bagaimana kelompok bekerja. Anggota kelompok belajar kemudian mendiskusikan bagai kelompok bekerja bersama-sama secara efektif dan bagaimana mereka memperbaiki masa depan mereka.

Pembelajaran kooperatif informal terdiri dari siswa yang bekerja sama

untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama yang bersifat sementara. Pembelajaran siswa dinilai dengan seksama dan kinerjanya dievaluasi. Anggota kelompok belajar kemudian membahas seberapa efektif mereka bekerja sama dan bagaimana mereka bisa memperbaiki di masa depan Dari beberapa menit sampai satu periode kelas (Johnson, Johnson, & Holubec dalam Johnson dan Johnson, 2009). Selama perkuliahan, demonstrasi, atau film, pembelajaran kooperatif informal dapat digunakan untuk (a) memusatkan perhatian siswa pada materi yang

(7)

akan dipelajari, (b) menetapkan suasana yang kondusif untuk belajar, (c) membantu menetapkan harapan mengenai apa yang akan terjadi Tercakup dalam sesi kelas, (d) memastikan bahwa siswa secara kognitif memproses materi yang diajarkan, dan (e) memberikan penutupan pada pembelajaransidang.

3. Model Pembelajaran Tipe Learning Together (LT)

Metode Pembelajaran LT adalah teknik pembelajaran yang dikembangkan oleh Johnson dan Johnson (1991). Sifat yang paling penting dari teknik ini adalah adanya tujuan kelompok dan berbagi pendapat dan materi, pembagian kerja dan penghargaan kelompok-Group Rewards (Ozsoy dan Yildz, 2004). Model yang mereka teliti melibatkan siswa yang dibagi dalam kelompok yang terdiri atas empat atau lima siswa dengan latar belakang berbeda mengerjakan lembar tugas. Kelompok-kelompok ini menerima satu lembar tugas, menerima pujian dan penghargaan berdasarkan hasil kerja kelompok. Model ini menekankan pada empat unsur, yaitu:

a. Interaksi tatap muka: para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 siswa.

b. Interdependensi positif: para siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan kelompok.

c. Tanggung jawab individual: para siswa harus memperlihatkan bahwa mereka secara individual telah menguasai materinya.

d. Kemampuan-kemampuan interpersonal dan kelompok kecil: para siswa diajari mengenai sarana-sarana yang efektif untuk bekerja sama dan mendiskusikan seberapa baik kelompok mereka bekerja dalam mencapai tujuan mereka.

Merujuk pada Johnson dan Johson, ketika metode LT diterapkan, maka hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Menentukan tujuan instruksional pembelejaran; 2. Menentukan ukuran kelompok;

3. Masuk dalam kelompok siswa; 4. Mengatur kelas;

5. Perencanaan materi pembelajaran untuk memberikan efek ketergantungan;

6. Memberikan peran kepada anggota kelompok untuk memberikan

ketergantungan;

7. Menjelaskan tugas akademik;

8. Menciptakan ketergantungan tujuan positif; 9. Evaluasi individu;

10.Memberikan kerjasama antar kelompok; 11.Menjelaskan kriteria yang perlu dicapai;

(8)

12.Menentukan perilaku yang dibutuhkan untuk sukses; 13.Memandu perilaku siswa;

14.Membantu kerja kelompok;

15.Memotivasi siswa untuk bekerjasama dalam kelompok; 16.Menyelesaikan pelajaran;

17.Evaluasi hasil belajar siswa seara kualitatif dan kuantitatif; 18.Evaluasi kinerja kelompok;

19.Membentuk perbedaan akademis.

Pada pembelajaran kooperatif tipe LT setiap kelompok diharapkan bisa membangun dan menilai sendiri kinerja kelompok mereka. Masing-masing kelompok harus bisa memperlihatkan bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang kompak baik dalam hal diskusi maupun dalam hal mengerjakan soal, setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab atas hasil yang mereka peroleh. Jika hasil tersebut belum maksimal atau lebih rendah dari kelompok lain maka mereka harus meningkatkan kinerja kelompoknya.

Slavin (2008:25) secara eksplisit menjelaskan sintaks atau langkah dalam model pembelajaran LT yaitu melibatkan siswa yang dibagi dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 kelompok dengan latar belakang berbeda mengerjakan tugas, dan menerima pujan dan penghargaan berdasarkan.

Adapun Sintaks atau Langkah-langkah model pembelajaran Learning

Together (LT) dalam buku Cooperative Learning (Slavin, 2008, 25) metode yang

merekan teliti melibatkan siswa yang dibagi dalam kelompok yang terdiri atas 4 atau 5 kelompok dengan latar belakang berbeda mengerjakan lembar tugas, dan menerima pujian dan penghargaan berdasarkan hasil kerja kelompok.

Menurut Dewi, Arsa, dan Ariawan, (2015), adapun beberapa kelebihan model pembelajaran Learning Together (LT) sebagai berikut:

a. Siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran karena selalu diberi bahan

diskusi oleh guru.

b. Meningkatkan kerjasama siswa dalam kelompok dengan prinsip belajar

bersama (learning together).

c. Siswa dilatih untuk berani dan percaya diri karena harus tampil

mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.

d. Guru tidak terlalu lelah dan sibuk karena hanya berperan sebagai motivator

dan fasilitator dalam proses belajar mengajar.

e. Siswa lebih kreatif karena pembelajarannya menggunakanpendekatan

salingtemas yaitu keterkaitan antara teknologi, sains, lingkungan, dan masyarakat.

(9)

Adapun kekurangan/kelemahan model pembelajaran Learning Together adalah (Dewi, Arsa, dan Ariawan, 2015):

a. Hanya cocok diterapkan di kelas tinggi karena lebih didominasi kegiatan diskusi dan presentasi.

b. Memakan waktu cukup lama dan sedikit membosankan.

c. Tidak bisa melihat kemampuan tiap-tiap siswa karena mereka bekerja dalam kelompok.

4. Prosedur Pembelajaran

Pada dasarnya kegiatan pembelajaran dipilahkan menjadi empat langkah, yaitu; orientasi, fasilitas pembelajaran, bekerja bersama/kelompok, test, praktik dan penilaian. Setiap langkah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para pendidik dengan berpegang pada hakekat setiap langkah sebagai berikut (Dewi, Dewi, Arsa, dan Ariawan, 2015):

a. Orientasi

Dalam setiap pembelajaran, kegiatan diawali dengan orientasi untuk memahami dan menyepakati bersama tentang apa yang akan dipelajari serta bagaimana strategi pembelajarannya. Pendidik mengkomunikasikan tujuan, materi, waktu, langkah-langkah serta hasil akhir yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik,

b. Bersama/kelompok

Pada tahap ini peserta didik melakukan pembelajaran secara

bersama/kelompok sebagai inti proses kegiatan pembelajaran. Kerja kelompok dapat dalam bentuk kegiatan memecahkan masalah, atau memahami dan menerapkan suatu konsep yang dipelajari.

c. Tes/Ujian

Pada akhir kegiatan pembelajaran diharapkan semua peserta didik telah mampu memahami konsep/topik/masalahyang sudah dikaji bersama. Kemudian masing-masing peserta didik menjawab tes untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap konsep/topik/masalah yang dikaji.

d. Praktik

Setelah materi pembelajaran telah tersampaikan dengan metode Learning

Together (LT), dimana Pendidik memperagakan metode sebagai media

pembelajaran yang selanjutnya adalah penerapan kerja praktik dengan dapat terlaksana sesuai dengan prosedur dan kualitas kerja.

e. Penilaian

Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa dalam materi yang sudah diserap sebagai penilaian kebehasilan dalam pembelajaran. Dalam

(10)

pembelajaranpraktik nantinya diharapkan dapat terlaksana dengan baik dan mendapatkan penilaian diatas angka lulus produktif.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan

pre-test dan post-test melalui penggunaan kelompok kontrol sebagai pembanding

antara metode LT dan konvensional dalam proses belajar mengajar (Ozsoy dan Nildiz, 2004).

Poulasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI pada SMA Negeri 10 Kota Ternate. Dalam penelitian ini, penentuan sampel dilakukan dengan teknik

random sampling, yaitu random sampling sederhana (simple random sampling).

Dalam simple random sampling terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan sampel, salah satunya adalah dengan cara undian. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menggunakan cara undian untuk menentukan sampel penelitian, yaitu mengundi kelas XI yang ada di SMA Negeri 10 Kota Ternate, sehingga didapat, sampel dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI-IPS I dan XI-IPS II. Jumlah siswa kelas XI-IPS I adalah 28 orang, dengan jumlah siswa laki-laki 17 orang dan siswa perempuan 11 orang. Sedangkan jumlah siswa di kelas XI-IPS II adalah 29 orang, dengan jumlah siswa laki-laki 15 siswa dan siswa perempuan 14 siswa.

Selain itu, alasan mendasar pengambilan sampel ini adalah berdasarkan pegujiaan secara statistik terhadap hasil belajar PKn pada semester ganjil 2016/2017, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan terhadap hasil belajar tersebut, sehingga memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke jenjang selanjutnya.

Analsis data dalam penelitian ini menggunakan statistik non parametrik. Pengujian data menggunakan Chi-Square dengan kriteria sebagai berikut (Hadi, 2015:280), Jika X2hitung <X2tabelmaka menerima H0 = tidak terdapat perbedaan populasi, Jika X2hitung >X2tabelmaka menerima Ha= terdapat perbedaan populasi.

Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan sebanyak dua kali baik terhadap kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Pengujian pertama dilakukan untuk menentukan adatidaknya perbedaan hasil belajar antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Sedangkan pengujian kedua dilakukan untuk meguji perbedaan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol setelah dilakukan eksperimen dilakukan.

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan perlakuan, baik terhadap kelompok kontrol maupun

kelompok eksperimen telah dilakukan penyetaraan kelompok dengan

menggunakan uji Chi-Square yang mana nilai yang diuji adalah nilai ujian akhir semesterganjil mata pelajaran PKn siswa kelas XI-IPS 1 dan XIPS 2. Hasil pengujian menunjukkan nilai chi-squarehitungsebesar 0,38998. Jika dibandingkan dengan nilai ch-squaretabel dengan alfa 5% dan DoF 1 yaitu sebesar 3,841. Oleh karena X2hitung< X2tabel maka disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi antara masing-masing kelompok sehingga penerapan metode pembelajaran dapat dilaksanakan pada penelitianini.

Rata-rata nilaiakhir semester ganjilpada pengujian awal sebesar 82,82, dengan nilai tertinggi sebesar 92 dan terendah sebesar 73. Berdasarkan batas ambang ketuntasan (batas amabang adalah 75), maka sebanyak dua orang siswa yang tidak memenuhi kriteria ketuntasan atau sebesar 7,14% dan yang memenuhi kriteria ketuntasan sebanyak 28 orang atau sebesar 92,86%.Pada kelas eksperimen, rata-rata nilai semester ganjil sebesar 82,38 dengan nilai tertinggi 91 dan terendah sebesar 74. Berdasarkan batas ambang ketuntasan, dari 29 siswa hanya 1 siswa (3,45%) yang tidak memenuhi batas ambang ketuntasan, sedangkan sisanya yaitu 95,55% atau sebanyak 29 siswa yang mampu melewati batas ambang ketuntasan.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji chi-square. Berdasarkan hasil perhitungan uji chi-square, diperoleh nilai X2hitung sebesar 11,008, dengan alfa sebesar 5% dan DoF 1, maka diperoleh nilai X2tabel sebesar 3,841. Dari hasil tersebut, maka X2hitung> X

2

tabel(11,008 > 3,841) yang sehingga menerima Ha dan menolak H0. Dengan demikian dapat disimpulka bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif pendekatan Learning

Together dengan siswa yang mengkuti proses pembelajaran metode konvensional

pada siswa kelas XI-IPS 1 dan kelas XI-IPS 2 SMA Negeri 10 Kota Ternate. Kelompok eksperimen menggunakan metode pembelajaran kooperatif

berbasis Learning Together (LT) setelah diberi perlakuan selama 3

minggumemiliki skor rata-rata 84,28, dengan nilai tertinggi sebesar 93 dan terendah sebesar 80.Sedangkan kelompok kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional memiliki skor rata-rata 75,29 dengan nilai tertinggi sebesar 83 dan terendah sebesar52.

Mengacu padaPedoman Acuan Patokan (Arikunto, 2007), makahasil belajar masing kelompok akan disajikan sebagai berikut:

(12)

Gambar 1 Perbandingan Hasil Belajar Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan Pedoman Acuan Patokan

Sumber: Data Diolah, 2017

Berdasarkan hasil pengujian statistik dan dengan membandingkan antara hasil belajar masing-masing kelompok dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar terhadap kelompok kontrol dan kelomok eksperimen. Penelitian ini memperkuat hasil beberapa peneltian sebelumnya, baik yang menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini (ex., Dewi, 2015., Johnson, Johnson, dan Stane, 2000), maupun dengan metode yang berbeda dengan penelitian ini (ex. Oktarini, Putra, dan Putra, 2014; Johnson, Johnson dan Stane, 2000).

Pembelajaran kelompok ada ketika siswa secara bersama-sama belajar dan saling berbagi dalam dalam mencapai tujuan bersama (Johnson, Johnson, dan Stane, 2000). Ravenscroft, Buckless, & Zuckerman, 1997) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai sebuah pembelajaran pedagogik yang melibatkan penggunaan kelompok yang masing-masing anggota saling membagi tujuan independen yang akan dinilai berdasarkan hasil individual. Kedua definisi ini paling tidak memberikan isyarat bahwa pembelajaran kooperatif akan meningkatkan kemampuan individual yang pencapapainnya dilakukan melalui pembelajaran kelompok. Laal dan Ghodsi (2012) menyatakan bahwa pembelajaran kelompok akan menciptakan rasa memiliki terhadap tujuan kelompok sehingga masing-masing anggota mememiliki rasa tanggung jawab terhadap anggota yang lain, atau dengan kata lain, kegagalam anggota kelompok merupakan kegagalan kelompok. Tingginya rasa memiliki tersebut memberikan dorongan dan motivasi yang kuat yang secara psikologis mampu untuk meningkatkat hasil belajar siswa (Liberti, 2012).

(13)

Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Clinton dan Kohlmeyer (2005), Lancaster dan Strand (2001), dan Ravenscroft, Buckless & Zuckerman(1997) yang menemukan bahwa pembelajaran kooperatif tidak memberikan dampak terhadap kinerja siswa (hasil belajar). Lancaster dan Strand menjelaskan bahwa setidaknya ada dua hal penyebab tidak berhasilnya kerja kelompok(pembelajaran kooperatif), yaitu, a) kompetensi masing-masing anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan yang cukup signifinak; b) jumlah anggota yang memiliki komitmen positif lebih sediki dibandingkan dengan jumlah anggota dengan komitment negative. Bagaipun juga besarnya pencapaian dalam model pembelajaran kooperatif sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam memobilisasi dan mengarahkan jalannya proses pembelajaran dalam kelas (Ravenscroft, Buckless & Zuckerman, 1997)

SIMPULAN

Pada prinspnya pembelajaran kooperatif mampu untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran. Penelitian ini sekedar membuktikan bahwa metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan Learning Together mampu memberikan perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen yang menggunakan penekatan LT. hasil ini tidak terlepas dari tingginya rasa tanggung jawab dan motivasi masing-masing kelompok selama proses pembelajaran berlangsung. Namun disisi lain, penelitian ini juga memberikan konfirmasi perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tidak memberikan efek positif terhadap kinerja siswa sehingga peranan guru menjadi lebih dominan dalam memberikan efek positif terhadap setiap proses belajar mengajar.

Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:

1. Populasi penelitian hanya pada lingkup SMA N 10 Ternate degan sampel 2 kelas. Diharapkan penelitian selanjutnya mampu melaksanakan penelitian serupa dengan jumlah populasi dan sampel yang lebih besar.

2. Pelaksanaan penelitian hanya dilakukan selama 3 dengan memberikan hasil yang mungkin agak terbatas. Diharapkan penelitian selanjutnya dikembangkan dengan durasi waktu yang memadai sehingga mampu memberikan hasil yang lebih maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anggono, Bayu Dwi. (2014). Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014

(14)

Arikunto, Suharsimi., Cepi Safrudin Abdul Jabar., (2007). Evaluasi Program

Pendidikan Pedoman Teoritis Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta, Bumi

Aksara.

Azra, Azyurmadi. (2001) Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti ‘Membangun kembali anak Bangsa’. Makalah dalam Buletin Mimbar Pendidikan, UPI

Bandung No 1 tahun XXX

Au, Kathryn Hu-Pei. (1979). Using The Experience-Text Relationship Method with Minority Children. The Reading Teacher, Vol. 32, No. 6 (Mar., 1979). Deustch, Morton., (1962). A Theory of Co-Operation and Competition. SAGE

Social Collection .

Dewi, Ni Putu Ari Listya., Arsa, I Putu Suka, Ariawan, Ketut Udy., (2015). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe LT (Learning Together) pada Pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa kelas XI Mipa2 SMA Negeri 3 Singaraja Tahun Ajaran 2014/2015, e-Journal Jurnal JPTE, Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Teknik Elektro (Volume: 4 No.1 Tahun 2015)

Hadi, Sutrisno., (2015). Statistik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Johnson, Roger T., Johnson, David W., (1975). Encouraging Student/Student Interaction. National Association for Research in Science Teaching.

Johnson, D.W. and Johnson, R.T., (1991), Learning Together and Alone, Englewood Cliffs, NJ: Pretice-Hall.

Johnson, David W., Johnson, Roger T., (2009). Making Cooperative Learning Work. Theory Into Practice, Volume 38, Number 2, Spring 1999.

Johnson, David W., Johnson, Roger T., Stanne, Mary Beth. (2000). Cooperative Learning Method: A Meta-Analysis. Working Paper University of Minnesota.

Krisnawan, I Gede Hersika. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatife Tipe STAD untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn . Artikel, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Lancaster, K. A. S., & Strand, C. A. (2001). Using the Team-Learning Model In A Managerial Accounting Class: An experiment in cooperative learning. Issues

in Accounting Education, 16(4), 549–568.

Liberti, Sih., (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Serap Terhadap Ilmu Statika dan Tegangan pada Siswa Kelas X Bidang Keahlian Teknik Bangunan di SMK N 2 Yogyakarta. Program Studi Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

Laal, Marjan., Ghodsi, Seyed Mohammad., (2012). Benefits of collaborative learning. Procedia - Social and Behavioral Sciences 31 (2012) 486–490

Magos, Kostas., Simopoulos, George., (2009). ‘Do you know Naomi?: researching

(15)

language in immigrant classes. Intercultural Education, Vol. 20, No. 3, June 2009, 255–265.

Oktarini, Ni Wayan Sri., Putra I. Kt. Adnyana., Putra I. Made., (2014). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Portofolio Terhadap Hasil Belajar Pkn Pada Materi Pemerintahan Pusat Siswa Kelas Iv Gugus Vi Denpasar Utara. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014).

Ozsoi, Nesrin., Yildiz, Naazli, (2004). The effect of learning together technique of cooperative Learning method on student achievement in mathematics Teaching 7th class of primary school. The Turkish Online Journal of

Educational Technology – TOJET July 2004 ISSN: 1303-6521 volume 3 Issue 3 Article 7.

Ravenscroft, S., Buckless, F., & Zuckerman, G. (1997). Student Team Learning–

Replication and Extension. Accounting Education: A Journal of Theory,

Practice and Research, 2(2), 151–172.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU/XI/2013.

Sharan, Yael. (2014). Meaningful learning in the cooperative

classroom.International Journal of Primary, Elementary and Early Years

Education. Vol. 43, No. 1, 83–94,

Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning (Teori, Riset dan Praktik).

Bandung, Nusa Media.

Sulasti, Ni Wayan. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Dalam Pelajaran PKn Di Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sawan Tahun

Ajaran 2012/2013. Artikel, Jurusan Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.

Supriadi, Yadi. (2012). Pengaruh Karakter Guru (Kreatif, Humoris, dan Berwibawa) terhadap Motivasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Terpadu di MTs Fatahilah Pangkalan Kecamatan Ciawigebang Kuningan.

Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (T. IPS) Fakultas Tarbiyah Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon

Tharp, G. Roland., Gallimore, Ronald. (1991). The Instructional Conversation: Teaching and Learning in Social Activity. Santa Cruz, CA: The National

Gambar

Gambar 1 Perbandingan Hasil Belajar Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan Pedoman Acuan Patokan

Referensi

Dokumen terkait

So that students can socialize with peers without having to leave one of the Indonesian cultural identity is “caring”, based on research from various sources of journals and

Dari hasil wawancara dengan beberapa pihak yang pernah mendapatkan sanksi adat karena melakukan salah satu pelanggaran hukum adat (berzina), yang kemudian menikah atau

perantara-perantara pemikiran yang dianggap sebagai rujukan dalam membaca, memahami literatur klasik secara kompre- hensif, dan menyeleseksi kegunaannya untuk pemikiran dan

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: Relationship Marketing berpengaruh signifikan dan positif terhadap Kepuasan Pelanggan, Brand Image berpengaruh signifikan dan positif

Jl.. ketinggian manakah metode yang dianggap lebih akurat tersebut efektif perhitungannya. Efisiensi perencanaan gedung ini akan dibandingkan melalui indikator biaya.

Wahai kaum guru semua Bangunkan rakyat dari gulita Kita lah penyuluh bangsa. Pembimbing melangkah

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar optimasi, lembar observasi keterlaksanaan tahapan inkuiri, pedoman penilaian jawaban siswa terhadap

Model fungsi transfer pada TR 450VA dan 1300VA setelah dilakukan analisis deteksi outlier memiliki hasil parameter yang signifikan, uji asumsi residual white noise