• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kerjasama Antar Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan pada Daerah Kabupaten/kota Hasil Pemekaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Model Kerjasama Antar Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan pada Daerah Kabupaten/kota Hasil Pemekaran"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The title of this study is a mod el of inter-regional cooperation in t he Settlement Autho rit y In District / M unicipal Expansion. This research is mot ivat ed m any conflicts / disputes reg arding both the aut hority on government af fairs and other mat ters betw een th e Regio nal Holding w it h areas of the division. Results of t he stud y in clude, first, the policy of reg ional expansion in additio n to having the advant age in m att ers relating to the acceleration and im provem en t of pub lic services and also has brou ght the potent ial develo pm en t that cou ld aff ect the relationsh ip betw een reg ional harmo nization w ith t he Regional Holdin g Redist ricting result s, primarily due to a conflict of autho rity on asset m anagement area. Second , the m odel of int er-regio nal cooperation in resolving disputes bet w een t he authorit y of the reg en cy / mu nicipalit y division of t he Dist rict Hold in g w ear tw o (2 ) approach, w hich is a f ormal leg al appro ach and lo cal w isdom approach, namely b y provid ing “ touch” argument that “ touch” peop le’ s em otio nal, the use of the t erm “ int erests of the w hole commu nity and mu tual respect” w ith no regard t o admin istrative boundaries of t he Regional District of Hold ing and Expansion Results. This

Kadar Pamuji

Fakul tas Hukum UNSOED Pur woker t o. Jl. Pr of. Dr . H.R. Boenyamin, No.708, Gr endeng, Jawa Tengah. Email: kadar pam uji@yahoo.co.id

MODEL KERJASAMA ANTAR

DAERAH DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA KEWENANGAN PADA

DAERAH KABUPATEN/ KOTA

(2)

m eans t h at t h e in t erest s of t he com m u nit y shou ld be enco uraged regardless o f w het her t he incom ing administration in the District or Region al Expansion.

Keyw ords: Cooperatio n, Dispute, Region al

ABSTRAK

Ju dul penelitian in i adalah M o del Kerjasam a Ant ar Daerah Dalam Pen yelesaian Sen gket a Kew en angan Pada Daerah Kabup aten/Ko ta Hasil Pemekaran. Penelitian ini dilatarb elakang i banyak t erjadi konf lik/sen gket a baik menyangkut kew enangan atas urusan pemerintahan maupun hal-hal lain antara Daerah Ind uk deng an Daerah-daerah hasil pemekaran. Hasil penelitian semen tara dapat diketeng ahkan bahw a pertama, kebijakan pem ekaran daerah di sam ping mem iliki keuantun gan dalam hal yang berkait an deng an akselerasi dan peningkatan pelayanan masyarakat dan pembangunan juga telah mendatangkan potensi yang dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan antara Daerah Ind uk deng an Daerah Hasil Pemekaran, terut ama disebabkan karena konf lik yang berhu bung an dengan kew enangan pen gelo laan atas aset daerah. Kedua, mo del kerjasama antar daerah dalam men yelesaikan sengketa kew enangan antara Daerah Kabupaten /Kot a hasil pem ekaran deng an Daerah Kabupaten In duk dengan menggu nakan 2 (du a) pendekat an, yakni pendekatan legal formal dan den gan pend ekatan kearifan lo kal, yakni dengan memberikan “ sentuhan” argumentasi yang “ menyentuh” kadar emosional masyarakat, yakni menggunakan terminologi “ kepent ing an seluru h m asyarakat dan saling mengh orm ati” den gan tidak melih at batas w ilayah adm in istratif Kabupat en Daerah Ind uk dan Daerah Hasil Pemekaran. Artinya kep en tingan masyarakat harus dikedepankan t anpa melihat apakah itu secara administrasi masuk Daerah Kabupaten atau Daerah Hasil Pemekaran. Kata Kunci: Kerjasama, Sengketa, Daerah

I. PENDAHULUAN

A. Lat ar Belakang

Bergantinya UU No. 32 Tahun 2004 menjadi U U No. 23 Tahun 2014, maka persoalan kerjasama antara daerah kemudian diatur dalam Pasal 363 yang intinya juga sama dengan yang diamanatkan dalam Pasal 195 UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 363 UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa: Dalam rangka meningka tkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerjasama ya ng didasarkan pada pertimbangan efisiensi da n efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.

Kerjasama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua daerah atau lebih, dalam posisi yang setingkat dan seimbang untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan Patterson dalam Warsono mendefinisikan kerjasama antar daerah (intergovernmental cooperation) sebagai “an arrangement two or more goverments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem”. (Hadi Warsono, 2009),

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PP No. 50 Tahun 2007 dan Pasal 1 ayat (3) Permendagri No. 22 Tahun 2009 yang dimaksud dengan kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kerjasama antar daerah merupakan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk mengadakan relasi dengan

(3)

daerah lain termasuk pihak ketiga baik swasta maupun luar negeri untuk melaksanakan secara bersama sebuah urusan yang dilandasi persamaan kepentingan dengan maksud untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama.

Adanya keterkaitan (interconnection) dan saling ketergantungan (interdependence) antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah lainya dalam penyelenggaraan urusan Dan/atau kewenangan tertentu, menuntut adanya dukungan pihak lain. Dalam konteks ini, alasan utama diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, dan potensi sengketa/konflik kewenangan dapat dicegah.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia, pembentukan daerah otonom mengalami berbagai dinamika sesuai dengan suasana perubahan undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Sejak tahun 1999 telah terbentuk 191 daerah otonom baru, yang terdiri dari 7 Provinsi, 153 Kabupaten, serta 31 Kota. Dengan demikian jumlah totalnya menjadi 510 daerah otonom yang terdiri dari; 33 Provinsi, 386 kabupaten serta 91 Kota.

Semakin banyaknya daerah otonom dalam tataran implementasi dirasa sangat “mengha-watirkan” akan terjadinya disintegrasi, hal ini disebabkan otonomi yang dianut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 adalah otonomi seluas-luasnya. Kekhawatiran akan pemahaman masyarakat daerah mengenai otonomi yang seluas-luasnya sebagai “kebebasan tanpa batas” sangat mungkin terjadi jika tidak dilakukan sosialisasi tentang konsep otonomi dan kemandirian daerah. Sehingga untuk menghindari. Fenomena lain yang terjadi pada daerah-daerah hasil pemekaran justru gagalnya tujuan pemberian otonomi kepada daerah-daerah, yakni peningkatan pelayanan, peningkatan kesejahteraan dan kemandirian daerah.

Sengketa kewenangan antar Daerah pada Daerah pemekaran tidak dapat dilepaskan dari persoalan menarik garis batas wilayah. Penetapan garis batas antar dua daerah otonom memerlukan pertimbangan berbagai aspek agar tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dapat tercapai. Salah satu aspek adalah konflik keruangan. Dalam tataran Negara, batas wilayah territorial Negara mencerminkan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat di atasnya (sovereignty right). Dengan mengacu prinsip tersebut maka garis batas wilayah menjadi faktor penting dalam pemekaran daerah. G aris batas menunjukkan kedaulatan dan hak berdaulat dalam lingkup tugas dan kewajiban yang diatur dalam undang undang. (Djoko Harmantyo, 2007).

Terjadinya konflik/sengketa antara daerah hasil pemekaran dengan Daerah Induk menjadi fakta yang tidak dapat dibantah. Oleh karena itu untuk menghindari kemungkinan semakin besarnya konflik/sengketa, termasuk sengketa kewenangan yang semakin besar dan dapat berpotensi meninmbulkan terjadinya disintegrasi bangsa, maka Kerjasama daerah yang dalam implementasinya dapat dilakukan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/ walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan/atau gubernur, bupati/

(4)

walikota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban, menjadi alternatif pilihan yang tepat.

II. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diketengahkan beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimakah perkembangan tentang kerjasama antar daerah dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia ?

b. Bagaimanakah model kerjasama antar daerah dalam penyelesaian sengketa kewenangan pada Daerah Kabupaten/Kota hasil pemekaran ?

III. TUJUAN

Bersarkan identifikasi permasalahan tersebut di atas, maka penulisan ini bertujuan untuk:

pertama, untuk mengetahui perkembangan mengenai Kerjasama Antar Daerah dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, dan kedua, untuk menemukan model kerjasama antar daerah (KAD) yang dapat menyelesaikan sengketa kewenangan antar daerah pada daerah hasil pemekaran.

IV. METODE PENELITIAN

A. Pendekat an Penelitian

Penelitian merupakan legal research, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengkaji kaedah dan asas hukum. (Bagir Manan, 1999, hlm, 4 dan Soemitro, 1983, hlm, 10). Sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis-normatif dan yuridis empiris,. Metode pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mengkaji kaedah-kaedah hukum yang berlaku (hukum positif) yang mengatur mengenai pemekaran daerah dan kerjasama antar Daerah (KAD). Sedangkan metode pendekatan yuridis sosiologis diarahkan kepada identifikasi (pengenalan) terhadap hukum yang berlaku (the living law), yang implisit berlaku (sepenuhnya) bukan yang eksplisit (jelas, tegas diatur) di dalam perundangan atau yang diuraikan dalam kepustakaan.

B. Met ode pengumpulan Dat a

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan lintas metoda (triangulasi metoda) yaitu studi pustaka, observasi dan wawancara, sesuai dengan jenis-jenis sumber data yang diperlukan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kab. Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya

D. Analisa

Data yang diperoleh akan dianalisis teori otonomi daerah. Sedangkan analisis data dilakukan secara normatif-kualitatif.

(5)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Kerjasama Ant ar Daerah Dalam Sist em Ket at anegaraan Republik I ndonesia Memperhatikan begitu banyak peraturan yang pernah berlaku mengenai pemerintahan daerah, maka dalam penulisan mengenai kerjasama antar daerah ini hanya akan dikemukakan kerjasama antar daerah yang pernah berlaku pada masa pemerintahan orde baru dan orde reformasi, dengan alasan bahwa pemerintahan orde baru adalah merupakan tahapan sejarah perjalanan Bangsa Indonesia yang relatif panjang dilihat dari sisi waktunya, dimana pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 Tahun telah banyak membuat “catatan-catatan” yang tidak akan pernah dapat terjadi pada masa yang akan datang, karena jabatan seorang Presiden setelah UUD 1945 diamandemen paling lama 10 (sepuluh) tahun, demikian juga dilihat dari UU yang pernah mengatur pemerintahan daerah, UU No. 5 Tahun 1994 tercatat sebagai UU pemerintahan daerah yang berlaku sampai 25 (duapuluh lima) tahun, sementara pada masa reformasi yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada media Mei 1998, sampai sekarang sudah tercatat paling tidak 3 (tiga) UU tentang pemerintahan daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 23 Tahun 2014, padahal dilihat dari kurun waktunya, Orde Reformasi baru berjalan 15 (lima belas) tahun.

Alasan utama diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Konsekuensinya adalah harus dilakukan pembenahan micro organizationnal abilities of governments ditingkat daerah–suatu bentuk reformasi manajemen public yang harus diperhatikan pemerintah saat ini, dan tidak semata membenahi macro organizational capacities ditingkat pusat. (Pollit, C.& G. Bouckaert, 2000, hlm. 10).

Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa pemerintahan Orde Baru dilaksanakan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Berkaitan dengan persoalan kerjasama antar daerah, Pasal 65 UU No. Tahun 1974 menentukan bahwa:

1) Beberapa Pemerintah Daerah dapat menetapkan Peraturan Bersama untuk mengatur kepentingan Daerahnya secara bersama-sama.

2) Peraturan Bersama yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, demikian pula mengenai perubahan dan pencabutannya, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang.

3) Dalam hal tidak tercapai kata sepakat mengenai perubahan dan atau pencabutan yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka pejabat yang berwenang mengambil keputusan.

4) Menteri Dalam Negeri menetapkan Peraturan untuk melancarkan pelaksanaan kerjasama antar Pemerintah Daerah.

Berakhirnya pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto yang sudah hampir 3 (tiga) dasawarsa, juga ditandai dengan paradigma baru

(6)

penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Di tengah tuntutan kemandirian daerah untuk menentukan “nasibnya”, maka diudangkanlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berkaitan dengan masalah kerjasama antar Daerah, Pasal 87 UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa: Beberapa daerah dapat mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Di samping hal tersebut, U U No. 22 Tahun 1999 juga menentukan bahwa Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan Pemerintah dan tata cara kerjasama ditetapkan oleh Pemerintah.

Bergantinya U U No. 22 Tahun 1999 dengan U U No. 32 Tahun 2004, maka mengenai kebijakan kerjasama antar daerah diamanatkan dalam Pasal 195 UU No. 32 Tahun 2004 yang menentukan bahwa:

1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.

2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa: 1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama

oleh daerah terkait.

2) Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat.

3) Untuk pengelolaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah membentuk badan kerjasama.

4) Apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan public tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

Beberapa hambatan yang mengakibatkan belum optimalnya dilaksanakan kerjasama daerah adalah:

1. Belum tergalinya potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga daerah belum mengenal sejauhmana kemampuan daerahnya dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki.

2. Pemerintah daerah belum memahami urusan-urusan yang menjadi kewenangannya yang dapat dijadikan objek kerjasama, dan subjek yang akan diajak melakukan kerjasama serta manfaat yang didapatkan sebagai hasil dari kerjasama.

3. Egoisme kedaerahan yang selalu ingin mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih superior sehingga beranggapan tidak perlunya kerjasama dengan daerah lain, toh permasalahan dapat diselesaikan secara internal daerahnya sendiri.

(7)

4. Ketakutan akan justru terjadinya konflik antar daerah atau perselisihan dan kerugian bila hasil kerjasama ternyata melenceng dari harapan.

5 . Political will maupun produk hukum yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD yang tidak sejalan dengan semangat kerjasama daerah. (http://politik.kompasiana.com/2013/11/03/ kerjasama-daerah-sebuah-peluang-peningkatan-kesejahteraan-masyarakat-604913.html. Diunduh Tanggal 20 Oktober 2014)

Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian agar dapat berhasil melaksanakan kerjasama antar daerah tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance”. Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antara Daerah yaitu:

1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup.

2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik.

3. Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.

4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi. 5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus

dipertim-bangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh. 6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing

pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalamkerjasama tersebut.

7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama. (Edralin Dalam Yeremias T. Keban, Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip, http://www.bappenas.go.id/files/7713/5230/0987/03yeremiastkeban__2 009101413-1110__2258__0.pdf, diunduh pada 20 Oktober 2014).

(8)

hal yang harus diperhatikan oleh daerah yang akan mengadakan kerjasama dengan daerah lain atau pihak ketiga antara lain meliputi Pertama, daerah yang akan mengadakan kerjasama antar daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama antar daerah, yakni efisiensi, efektifitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI, persamaan kedudukan, transparansi, dan kepastian hukum.

Kedua, obyek kerjasama yang dapat dilaksanakan merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan Ketiga, harus dituangkan dalam bentuk kerjasama antar daerah,

Keempat, kerjasama antar daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kelima, kerjasama daerah yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sejak 2 Oktober 2014 UU No. 32 Tahun 2004 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2014, oleh karena itu pengaturan mengenai kerjasama antar daerah harus mendasarkan kepada ketentuan di dalam UU No, 23 Tahun 2014. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh daerah dalam melaksanakan kerjasama dengan daerah berdasarkan ketentuan Pasal 363 UU No. 23 Tahun 2014 antara lain seperti:

1. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.

2. Kerja sama dilakukan oleh Daerah dengan Daerah lain, pihak ketiga, dan/atau lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Kerja sama dengan Daerah lain dikategorikan menjadi kerja sama wajib dan kerja sama

sukarela.

Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004, UU No, 23 Tahun 2014 mengklasifikasikan adanya kerjasama wajib dan kerjasama sukarela, kerjasama wajib adalah kerja sama antar daerah yang berbatasan untuk pertama penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang memiliki eksternalitas lintas Daerah, dan kedua, penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama.

Berdasarkan uriaian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peluang untuk melakukan kerjasama antara Daerah dalam sistem ketatanegaraan RI secara normatif telah “dibuka” hanya yang perlu diperhatikan adalah bahwa kerjasama antara daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, sinergitas penyelenggaraan pemerintahan, saling menguntungkan, dan harus didasarkan atas itikad baik, serta mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI.

1. Model Kerjasama Antar Daerah Dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Pada Daerah Kabupaten/ Kota Hasil Pemekaran

Fakta pemekaran daerah yang ada saat ini, 80% daerah pemekaran belum dapat memperli-hatkan peningkatan pembangunan daerah setempat juga didorong dengan faktor maraknya

(9)

konflik keuangan. Secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski pen ataan berbagai aspek pemerin tahan un tuk men un jan g penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi, karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat (Studi Evaluas Pemekaran Daerah 2001-2007, hlm. 2)

Bergantinya status Kota Administratif Tasikmalaya menjadi Daerah Kota berdasarkan UU No. 10 Tahun 2001 yang diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2001 bukan berarti tanpa masalah. Beberapa persoalan yang menyertai dan memakan waktu relatif lama, yakni berkaitan dengan konflik kewenangan atas aset yang dimiliki antara Kabupaten Tasikmalaya dengan Daerah Kota Tasikmalaya, antara lain berkaitan dengan mekanisme pembagian aset milik daerah, dan penyerahannya dari kabupaten Tasikmalaya ke Kota Tasikmalaya.

Untuk menghindari konflik kewenangan atas pengelolaan aset sebagai akibat pemekaran Kabupaten Tasikmalaya, Pasal 14UU No. 10 Tahun 2001 menentukan bahwa:

1) Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Kota Tasikmalaya, Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang terkait, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Tasikmalaya sesuai dengan kewenangannya menginventarisir dan menyerahkan kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya, hal-hal yang meliputi:

a. Pegawai yang karena tugasnya diperlukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya;

b. Barang milik/kekayaan negara/daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak lainnya yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Tasikmalaya yang berada di Kota Tasikmalaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya yang kedudukan dan kegiatannya berada di Kota Tasikmalaya;

d. Utang-piutang Kabupaten Tasikmalaya yang kegunaannya untuk Kota Tasikmalaya; dan e. Dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Tasikmalaya.

2) Pelaksanaan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya diselesaikan dalam waktu satu tahun, terhitung sejak diresmikannya Kota Tasikmalaya.

3) Tata cara inventarisasi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemekaran Daerah serta untuk mengantisipasi persoalan yang timbul sebagai akibat “perebutan” kewenangan atas aset yang ada, maka dikeluarkan Kepmendagri No. 42 No. 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang Dan Hutang Piutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk. Berdasarkan ketentuan Permendagri No. 42 Tahun 2001 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme penyerahan aset atau dalam bahasa penulis pembagian/distribusi aset baik yang berupa sumber daya menusia (pegawai) maupun aset

(10)

dalam bentuk lainnya seperti barang milik/kekayaan negara/daerah, serta BUMD yang beroperasi yang berada di Kota Tasikmalaya harus sudah dapat diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom.

Fakta dilapangan menunjukan bahwa “konflik kewenangan” antara Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Bahkan berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Aset Daerah DPKAD Kabupaten Tasikmalaya dan pengamatan langsung, konflik kewenangan atas distribusi aset sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2001 telah mengakibatkan banyak aset yang rusak dan tidak terurus, serta dalam banyak hal telah mengakibatkan “suhu” politik masyarakat kedua daerah tersebut meninggi. Beberapa upaya dan model pendekatan dalam rangka penyelesaikan konflik kewenangan antara Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya terus dilaksanakan, mulai dari kebijakan bersama untuk melakukan share atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pembentukan Tim Penyelasaian Aset baik di lingkungan Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya dan termasuk Tim Fasilitasi Penyerahan Aset dari Pemeirntahan Provinsi. Perundingan yang di fasilitasi oleh pihak Pemerintah Provinsi dan Menteri Dalam Negeri.

Konflik yang berkepanjangan terkait distribusi kewenangan antara Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya sebenarnya juga sangat disadari, bahwa hal tersebut akan mengakibatkan pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu, sehingga jika tidak cepat diselesaikan maka tujuan kebijakan pembentukan daerah otonom termasuk di dalamnya pemekaran untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mening-katkan kemandirian dan pembangunan daerah sulit direalisasikan.

Memperhatikan hal itu, maka terobosan yang diambil dalam penyelesaian konflik kewenangan antara Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya, disamping tentunya tetap mendasarkan pada aturan normatif, tetapi dalam implementasinya tidaklah “kaku”, upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan 2 (dua) model pendekatan, yakni pendekatan legal formal dan dengan pendekatan kearifan lokal, yakni dengan memberikan “sentuhan” argumentasi yang “menyentuh” kadar emosional masyarakat, yakni menggunakan terminologi “kepentingan seluruh masyarakat Tasikmalaya dan saling menghormati” dengan tidak melihat nomenklatur Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, Artinya kepentingan masyarakat “Tasimalaya” harus dikedepankan tanpa melihat apakah itu secara administrasi masuk Daerah Kabupaten Tasikmalaya atau Daerah Kota Tasikmalaya.

Dalam perspektif normatif penyelesaian konflik yang berpotensi terjadi dalam setiap kebijakan pemekaran daerah otonom, termasuk dalam kasus pemekaran Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya, berbagai peraturan perundangan dapat dijadikan rujukan, seperti UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 10 Tahun 2001, serta Kepmendagri No. 42 Tahun 2001.

Upaya penyelesaian konflik kedua satuan pemerintahan tersebut “menemukan” titik penyelesaian setelah dengan tercapainya kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabuapaten Tasikmalaya dan Pemerintah Kota Tasikmalaya tentang

(11)

Penyelesaian Aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya Yang Terletak di Wilayah Kota Tasikmalaya, Nomor: 130/24Otdaksm, Nomor: 073/Ksd.13-Pe/X/2013 dan Nomor: 028/MoU.38-Aset/2013 yang ditandatangani pada Tanggal 16 Oktober 2013.

Kesepakatan bersama tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama Nomor:130/24Otdaksm, Nomor: 073/Ksd.13-Pe/X/2013 dan Nomor: 028/MoU.38-Aset/2013, dimaksudkan pertama, untuk menyelesaikan permasalahan penyerahan aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang terletak di Wilayah Kota Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya dengan prinsip saling menguntungkan bagi Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. Kedua, agar Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sebagai Daerah Induk dan Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagai Daerah Otonom Baru dapat secara optimal menyeleng-garakan tugas-tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di wilayah masing-masing sesuai dengan tujuan pembentukan Daerah Otonomi Baru.

Terdapat 2 (dua) ruang lingkup penyelesaian konflik kewenangan antara Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya, yakni melalui kebijakan penyerahan aset milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang terletak di Wilayah Kota Tasikmalaya dan adanya pemberian hibah atas beberapa aset yang telah diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tasik-malaya yang terletak di wilayah Kota TasikTasik-malaya kepada Pemerintah Kabupaten TasikTasik-malaya dengan fasilitasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, satu hal yang dapat disimpulkan adalah adanya positioning

yang saling menguntungkan antara Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya, yakni adanya penyerahan seluruh aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang berada di wilayah hukum Pemerintah Kota Tasikmalaya, kemudian dengan “sentuhan” kearifan lokal yakni “kepentingan bersama masyarakat Tasikmalaya secara keseluruhan” dan “saling menghormati”. Pemerintah Kota Tasikmalaya dengan “kesadaran” akan “kepentingan bersama seluruh masyarakat Tasikmalaya” dan “saling menghormati”, menyepakati beberapa aset yang sebenarnya sudah diserahkan oleh Pemerintah Kabuapten Tasikmalaya, untuk selanjutnya dihibahkan kepada Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya.

Memperhatikan hal tersebut, maka dalam kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Pemerintah Kota Tasikmalaya, proses penyerahan aset dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. U sulan penghapusan dan pemindahtanganan dari Bupati Tasikmalaya kepada DPRD Kabupaten Tasikmalaya.

2. Persetujuan DPRD Kabupaten Tasikmalaya atas usulan pengahapusan dan pemindahtanganan aset.

3. Penetapan Keputusan Bupati Tasikmalaya tentang penghapusan dan pemeindahtanganan aset. 4. Berita acara serah terima dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota

(12)

Menindaklanjuti tahapan tersebut, maka berdasarkan Keputusan DPR D Kabupaten Tasikmalaya No. 33 Tahun 2013 tentang Persetujuan Penghapusan 85 (delapan puluh lima) Aset Tanah dan Bangunan Milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang akan diserahkan kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya Bupati Kabupaten Tasikmalaya untuk dan Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 030/Kep.366-DPPKAD/2013 tentang Penghapusan 85 Aset Tanah dan Bangunan Milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dari Daftar Barang Milik Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Bupati Kabupaten Tasikmalaya untuk dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya menyerahkan 85 (delapan puluh lima) aset milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan total nilai aset yang terdiri dari tanah dengan luas 99.871 m2 dan yang berupa bangunan 2.303 m3 dengan total nilai Rp. 660.939.474.002,- (Enam ratus enampuluh miliar sembilanratus tigapuluh sembilan juta empat ratus tujuh puluh empat ribu dua rupiah).

Dengan semata-mata mempertimbangkan kepentingan seluruh masyarakat Tasikmalaya, untuk menindaklanjuti Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya Nomor: 130/24/Otdaksm, Nomor: 073/Ksd.13-Pe/X/2013, Nomor: 028/MoU.38-Aset/2013, Pasal 5 mengatur mengenai pemberian hibah dari Pemerintah Kota Tasikmalaya kepada Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan tahapan sebagai berikut:

1. Walikota mengajukan permohonan persetujuan pemindahtangan aset kepada DPRD Kota Tasikmalaya.

2. Persetujuan DPRD Kota Tasikmalaya terhadap permohonan atas usulan penghapusan dan pemindahtangan dalam bentuk penyerahan aset.

3. Penetapan Keputusan Walikota Tasikmalaya tentang penghapusan dan pemindahtanganan dalam bentuk penyerahan aset.

4. Pembuatan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). 5. Penyusunan Berita Acara Serah Terima.

Sebagai tindak lanjut untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya Nomor: 130/24/Otdaksm, Nomor: 073/Ksd.13-Pe/X/2013, Nomor: 028/MoU.38-Aset/2013, Pemerintah Kota Tasikmalaya mengeluarkan Keputusan Walikota No. 030/Kep.66-BPKBD/2014 tentang Hibah Tanah dan Bangunan Milik Pemerintah Kota Tasikmalaya kepada Kabuapaten Tasikmalaya dengan total aset meliputi 41 (empat puluh satu) aset dengan luas tanah 268.367 m2 dan luas bangunan 40.413 m2 dengan total nilai Rp. 221.409.011.000,- (Duaratus duapuluh satu miliar empat ratus sembilan juta sebelas ribu rupiah).

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model kerjasama antara Daerah Induk dalam hal ini Kabupaten Tasikmalaya dengan Daerah Hasil Pemekaran dalam hal ini Kota Tasikmalaya, di samping memperhatikan prinsip-prinsip tentang kerjasama daerah sebagaimana diatur dalam PP No. 50 Tahun 2007 beberapa hal yang harus diperhatikan oleh daerah yang akan mengadakan kerjasama dengan daerah lain atau pihak ketiga antara lain

(13)

meliputi Pertama, daerah yang akan mengadakan kerjasama antar daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama antar daerah, yakni efisiensi, efektifitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI, persamaan kedudukan, transparansi, dan kepastian hukum. Kedua, obyek kerjasama yang dapat dilaksanakan merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan

Ketiga, harus dituangkan dalam bentuk kerjasama antar daerah, Keempat, kerjasama antar daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. K elima, kerja sama daerah yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian lain laporan penelitian ini, juga adanya prinsip win-win solution antara kedua belah pihak dengan senantiasa berpegang pada kepentingan seluruh masyarakat dan saling menghormati dari dari Daerah Induk dengan Daerah Hasil Pemekaran.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menyelesaikan sengketa kewenangan yang timbul sebagai akibat adanya pemekaran wilayah/daerah, harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan modifikasi dalam implementasinya dilaksanakan tidak secara “kaku” atau rigit melainkan tetap harus memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Memperhatikan uraian tersebut di atas juga dapat disimpulkan bahwa kerjasama yang dilaksanakan antara Kabupaten Tasikmalaya sebagai Daerah Induk dengan Kota Tasikmalaya sebagai daerah hasil Pemekaran, berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan atas aset yang ada, telah dilaksanakan dengan terobosan implementasinya selalu memperhatikan nilai kearifan lokal. Disamping itu juga dapat dikatakan bahwa kerjsama yang dilaksankan telah mendasarkan pada prinsip tata kelola yang baik (good governance). Seperti prinsip Transparansi, pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan Kota Tasikmalaya, sekalipun membutuhkan waktu yang lama jika melihat ketentuan Pasal 14 UU No. 10 Tahin 2001, telah dilakukan dengan terbuka, dan melibatkan lembaga/institusi yang merupakan representasi rakyat kedua belah pihak, yakni adanya persetujuan mengenai penghapusan dan pemindah tanganan aset dari DPRD Kabupaten Tasikmalaya dengan DPRD Kota Tasikmalaya. Demikian juga prinsip Akuntabilitas, kedua belah pihak baik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya telah mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama yang dilaksanakan, baik kepada DPRD masing-masing daerah maupun dengan memberi laporan kepada satuan pemerintahan yang lebih tinggi. Prinsip partisipatif dalam kerjasama penyelesaian sengketa akibat kebijakan pemekaran juga sudah dilaksanakan, yakni dengan keterlibatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang ikut berpartisipasi sebagai fasilitator tercapainya kesepakatan atau perjanjian tersebut. Termasuk di dalamnya kerjasama sudah dilaksnakan dengan prinsip Saling menguntungkan dan memajukan.

(14)

Berikut skema model kerjasama antar daerah dalam penyelesaian sengketa kewenangan antara Daerah Induk dengan Daerah Hasil Pemekaran:

Terlepas dari kemungkinan terjadinya konflik kewenangan antara Daerah Induk dengan Daerah Hasil Pemekaran, beberapa keuntungan pelaksanaan kerjasama antar daerah yang dapat dirasakan antara lain:

1. Manajemen konflik antar daerah, dimana kerjasama antar daerah dapat menjadi forum komunikasi dan dialog antar aktor utama daerah. Dengan adanya forum seperti ini, maka dapat meningkatkan pemahaman dan toleransi sehingga konf lik antar daerah dapat diantisipasi.

2. Efisiensi dan Standarisasi Pelayanan, dimana kerjasama antar daerah dapat dimanfaatkan daerah-daerah untuk membangun aksi bersama. Dalam konteks pelayanan publik, kerjasama antar daerah sangat mendukung daerah menerapkan efisiensi dan standarisasi pelayanan antar daerah.

(15)

3. Pengembangan Ekonomi, dimana kerjasama antardaerah akan mendorong terjadinya pengembangan ekonomi di suatu wilayah yang akan meningkatkan daya saing kawasan. Seringkali terjadi, pengembangan ekonomi suatu wilayah terhambat karena keterbatasan cakupan wilayah.

4. Pengelolaan Lingkungan, dimana kerjasama antar daerah akan mendorong pengelolaan lingkungan yang menjadi masalah bersama. Tanpa adanya kerjasama tersebut, penanganan lingkungan tidak akan berjalan sinergis sehingga sangat berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan, tidak hanya bagi daerah tersebut, tetapi juga bagi daerah lain yang secara geografis berdekatan, seperti kebakaran hutan, banjir, dan tanah longsor. (Sigit Murwito, 2013, hlm. 4)

VI. SIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

A. Persoalan kerjasama antar daerah dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia selalu diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Darah, dan berdasarkan peraturan perundangan tersebut peluang untuk melakukan kerjasama antara Daerah telah “dibuka” seluas-luasnya, hanya yang perlu diperhatikan adalah bahwa kerjasama antara daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, sinergitas penyelenggaraan pemerintahan, saling menguntungkan, dan harus didasarkan atas itikad baik, serta mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI.

B. Model kerjasama antar daerah dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antara Daerah Kabupaten/Kota hasil pemekaran dengan Daerah Kabupaten Induk dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan, yakni pendekatan legal formal dan dengan pendekatan kearifan lokal, yakni dengan memberikan “sentuhan” argumentasi yang “menyentuh” kadar emosional masyarakat, yakni menggunakan terminologi “kepentingan seluruh masyarakat dan saling menghormati” dengan tidak melihat batas wilayah administratif Kabupaten Daerah Induk dan Daerah Hasil Pemekaran. Artinya kepentingan masyarakat harus dikedepankan tanpa melihat apakah itu secara administrasi masuk Daerah Kabupaten atau Daerah Hasil Pemekaran.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anonimous, Ringkasan Eksekutif, 2008,Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme(UNDP);

Bogdan, Robert dan Taylor,Steven, 1975. Introduction to Qualitative Research Methods. New York: John Wiley and Sons;

Murwito, Sigit dkk, 2013, Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah, Kerjasama antara U SAID, KPPOD dan AEADI, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonoi Daaerah, Jakarta;

(16)

Pollit, C.& G. Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A Comparative Analysis. New York: Oxford University Press;

Soemitro, Ronny Hanintijo, 1983, Model Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta;

Warsono,Hadi, 2009, Regionalisasi Dan Manajemen KerjasamaAntar Daerah (Studi Kasus Dinamika Kerjasama Antar Daerah Yang Berdekatan di Jawa Tengah), [Disertasi] Program Doktor Ilmu Administrasi Negara,, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta;

Perat uran Perundang- undangan

Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen;

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tenang Pemerintahan Daerah;

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;

Undang-undang No. 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya;

PP No. 129 Tahun 2001 tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan Dan Penggabungan Daerah

PP No. 50 Tahun 2007 tentang tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah;

Kepmendagri No. 42 No. 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang Dan Hutang Piutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk.

Jurnal

Manan, Bagir, 1999, Penelitian Di Bidang Hukum, JurnalHukum Puslitbangkum, No. 1, UNPAD, Bandung.

Harmantyo, Djoko, 2007, Pemekaran daerah da n Konflik Keruangan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia, Makasa Sain Vol. II No. 11;

Lainnya

Edralin Dalam Yeremias T. Keban, Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi: Isu Stra tegis, B entuk Da n Prinsip, http://www.bappen as.go.id/files/7713 /5 2 3 0 /09 87 / 03yeremiastkeban__20091014131110__2258__0.pdf, diunduh pada 20 Oktober 2014; Jose Rizal,

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Hasil Evaluasi Kualifikasi yang telah dilakukan Pokja VI Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Maluku Tengah pada tanggal 01 Juni 2017 atas Paket

Keterangan : Dimohon membawa dokumen Asli yang datanya dimasukan dalam isian dokumen penawaran dan kualifikasi sesuai dengan dokumen yang di upload/diunggah melalui website

Atas nikmat yang telah Allah berikan, skripsi yang berjudul GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA “GAGAL UNTUK MENIKAH” (Studi Fenomenologi Terhadap Seorang Perempuan yang Mengalami

Dengan melihat tren realisasi APBN dari tahun 2012 hingga 2017, perkiraan penda- patan yang terdiri dari pendapatan perpajakan dan PNBP ditetapkan oleh pemerintah masih

Selanjutnya, inklusi pada teks yang kontra adalah pelanggaran hukum Soeharto; aturan yang dilanggar; strategi pembangunan Soeharto yang dianggap salah; karakteristik Soeharto

Pemeriksaan tersebut dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi seperti bayi dengan kondisi prematur, berat lahir rendah, riwayat mendapat perawatan lama di unit neonatologi,

Anak memiliki kewajiban untuk menghormati kedua orang tua karena orang tua lebih berhak dari semua manusia untuk dihormati dan ditaati. Bagi umat muslim, anak diajarkan

Struktur glukosa atau karbohidrat yang lain. Struktur glukosa atau karbohidrat