• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1 Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1 Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Transisi menuju demokrasi di Guatemala dimulai ketika pemerintahan militer “menyerahkan” kekuasaan politik kepada kelompok sipil melalui penyelenggaraan pemilu pada tahun 1985. Saat itu, pemerintahan militer mengalami banyak tekanan, baik dari dunia internasional seperti Amerika Serikat dan kelompok domestik revolusioner seperti URNG (Unidad Revolucionaria Nacional Guatemalteca), terkait dengan permasalahan serius mengenai pelanggaran HAM dan krisis ekonomi. Amerika Serikat memberikan ultimatum bahwa jika Guatemala tidak melakukan perubahan politik menuju demokrasi, Amerika Serikat tidak akan memberikan bantuan-bantuan militer dan ekonomi. Hal ini dilakukan karena pada periode tersebut Amerika Serikat melihat Guatemala sebagai sebuah rezim politik yang memiliki kesamaan ciri dengan rezim komunis yang totaliter. Tentu hal ini bertentangan dengan politik luar negeri Amerika Serikat di bawah pemerintahan Reagan yang pada saat itu berada dalam suasana perang dingin (Nicolle, 1987). Di sisi lain, biaya perang antara militer melawan kelompok revolusioner Guatemala (URNG) mengalami pembengkakan. Pemerintahan militer Guatemala kemudian mengambil keputusan untuk mempersiapkan transisi kepemimpinan melalui cara demokratis guna meraih kembali simpati dunia Internasional.

Pemilihan umum tahun 1985 telah dirancang oleh pemerintahan militer sejak awal 1980 sebagai bagian dari rencana membangun demokrasi. Konstitusi negara tahun 1985 memperkuat aturan-aturan mengenai hak-hak politik individu di dalam ketentuan undang-undang dan secara teknis mengembalikan Guatemala sebagai negara yang berlandaskan hukum walaupun praktiknya masih “menghalalkan” tindakan-tindakan inkonstitusional. Pada tanggal 8 Desember 1985, Vinicio Cerezo Arevalo yang berasal dari partai Christian Democratic memenangkan pemilu dengan meraup suara sebesar 68 persen mengalahkan Jorge Carpio Nicolle, seorang pemilik

(2)

media cetak berpengaruh dari partai National Union (Kinzer, 1985). Cerezo adalah tokoh dari partai moderat yang dinilai lebih progresif dibandingkan dengan kandidat lainnya meski tidak ada satupun dari partai peserta pemilu yang memiliki gagasan serius mengenai reformasi ekonomi atau militer serta semua kandidat berusaha untuk dapat diterima oleh militer dengan menyetujui adagium “semua pemberontak harus dimusnahkan” (Jonas, 1988).

Transisi demokrasi membawa tantangan baru bagi Guatemala, salah satunya adalah tentang penegakan rule of law. Secara konstitusional, pemerintahan baru Guatemala mengalami kendala dalam upaya penegakan hukum, khususnya terkait dengan isu HAM. Dalam konstitusi 1985 yang diperkenalkan Constituent National Assembly terdapat salah satu artikel yang mengatakan bahwa validitas penegakan hukum tidak dapat dikenakan pada kebijakan pemerintah dalam strategi anti-pemberontakan. Sebagai informasi, anggota dari Constituent National Assembly berasal dari sebuah pemilihan umum yang dilaksanakan dengan penuh kecurangan seperti para pemilih didominasi kelompok urban, tidak ada informasi bagi masyarakat pedesaan tentang adanya pemilu, dan lain-lain (Brett & Delgado, 2005). Menurut Hector Rosada, isi konstitusi juga ditekan dan didikte oleh kelompok militer pada waktu itu sehingga membuat proses demokratisasi tidak berjalan dengan baik sampai saat ini (Rosada, 2004). Salah satu pasalnya menyebutkan bahwa amnesti diberikan kepada seluruh pejabat politik, prajurit, dan pihak sipil yang bertanggung jawab atas aksi anti pemberontakan. Kondisi ini menyulitkan investigasi lebih lanjut terhadap penyebab-penyebab banyaknya orang yang hilang dan dibunuh pada periode perang saudara. Permasalahan ini menjadi tanda bahwa kekuatan militer masih memiliki peran yang besar dalam “mendikte” pemerintahan sipil secara struktural melalui konstitusi.

Guatemala mengalami masa konflik yang cukup panjang sejak tahun 1960. Sistem politik demokrasi diharapkan mampu mengatasi masalah konflik yang pernah dialami Guatemala dan mendorong rekonsiliasi dengan menjamin keamanan warganya melalui konstitusi serta menjadi jembatan adanya investigasi terhadap kejahatan HAM pada periode perang sipil. Salah satu prestasi Cerezo adalah mampu membuka ruang diskusi mengenai resolusi konflik. Cerezo membuka kemungkinan untuk diadakannya perundingan menciptakan perdamaian dengan URNG (kelompok revolusioner internal Guatemala). Selain itu, Cerezo juga membangun hubungan dengan Presiden Oscar Arias di Costa Rica untuk menginisiasi pertemuan di Kota

(3)

Esquipulas, Guatemala, untuk membicarakan blueprint resolusi perdamaian di antara negara-negara Centro America yang memiliki konflik internal (Blum, 2001).

Pertemuan tersebut menghasilkan adanya kesepakatan dari beberapa negara yang mengikuti pertemuan untuk membentuk National Reconciliation Commission (CNR). Guatemala pun mendirikan institusi tersebut dan memulai programnya untuk menjadi jembatan dialog dari kelompok revolusioner dan pemerintah. Mulai pada tahun 1990, kedua pihak, baik pemerintah maupun kelompok revolusioner, mulai memperlihatkan keinginan negosiasi perdamaian. Hal ini disebabkan oleh kesadaran dari dua pihak bahwa masing-masing telah menderita kerugian yang luar biasa akibat konfrontasi berkepanjangan. Pada tahun 1994, saat Ramiro de Leon Carpio terpilih sebagai presiden baru, perbincangan antara kedua pihak semakin meningkat dan mulai menghasilkan buah berupa Framework Peace Accord. Perjanjian tentang perdamaian ini diserahkan kepada MINUGUA, sebuah institusi bentukan PBB yang bertugas sebagai pengawas Peace Accord di Guatemala, untuk membantu proses perdamaian dan memonitor pelaksanaan penegakan HAM di Guatemala. Pada Desember 1996 diadakanlah gencatan senjata dan perjanjian perdamaian disepakati oleh kedua pihak.

Namun ditandatanganinya Peace Accord tidak serta merta menjadikan penegakan rule of law di Guatemala berjalan dengan baik. Pengaruh militer masih kuat di dalam konstelasi politik Guatemala meskipun perannya telah dipersempit hanya menangani masalah kedaulatan teritori. Hal ini dibuktikan dengan gagalnya institusi peradilan Guatemala dalam menghukum Rios Montt, mantan presiden Guatemala pada tahun 1982-1983, yang dituduh dan terbukti melakukan genosida suku Maya Ixil pada saat periode pemerintahannya. Rios Montt yang merupakan jenderal militer yang menjadi presiden setelah melakukan kudeta terhadap presiden sebelumnya, Lucas Garcia, melancarkan operasi anti-revolusioner yang brutal dengan membantai suku Maya Ixil yang tidak setuju dengan proses relokasi dalam rangka strategi militer untuk menekan kelompok gerilyawan. Alhasil, diperkirakan ratusan warga suku Maya Ixil yang tinggal di perkampungan Maya Ixil di El Quiche dibunuh karena dituduh sebagai partisipan kelompok revolusioner (Malkin, 2013).

Pada 26 Januari 2012, dimulailah proses penyelidikan terhadap kejahatan Rios Montt. Proses peradilannya berakhir pada 10 Mei 2013 dengan menjatuhkan hukuman 80 tahun penjara kepada Rios Montt. Rios Montt mengajukan permohonan peninjauan perkara kembali kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi

(4)

mengabulkan peninjauan tersebut dan memutuskan pada tanggal 20 Mei 2013 bahwa keputusan vonis atas Rios Montt dibatalkan dengan tiga hakim Mahkamah Konstitusi mendukung melawan dua hakim yang menolak permohonan Rios Montt. Rios Montt memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar meninjau status hukum amnesti yang pernah diterima Rios oleh presiden pengganti Rios. Secara mengejutkan, Mahkamah Konstitusi membatalkan vonis yang diterima Rios Montt dan mengembalikan proses sidang ke fase sebelumnya pada tanggal 19 April 2013 untuk kembali mengulang penyelidikan tentang saksi-saksi dari kedua pihak. Diduga terdapat banyak kepentingan politik dibalik keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi tersebut. Setelah Rioss Mont mendapatkan vonis, para aktivis dan jurnalis HAM di Guatemala mendapatkan teror dan tekanan. Bahkan, ada beberapa jurnalis yang terbunuh secara misterius (Front Line Defenders, 2013).

Melalui studi kasus persidangan kasus Rios Montt di atas, penulis hendak mengukur konsolidasi demokrasi di Guatemala dalam konteks penegakan rule of law. Penulis hendak melihat sebab-sebab yang membuat penegakan rule of law tidak dapat menyentuh kekuatan elit politik masa lalu dan kemudian melihat dampak dari tidak berlakunya penegakan rule of law tersebut. Diskursus demokrasi adalah diskursus tentang konstitusi. Oleh karena itu, pemahaman tentang fondasi konstitusionalisme dalam demokrasi hendaknya menjadi cikal bakal dalam membangun konsolidasi demokrasi yang lebih baik.

B. Rumusan masalah

• Mengapa institusi peradilan Guatemala gagal menghukum Rios Montt kendatipun banyak bukti dan saksi persidangan yang menyudutkannya? • Apa dampak kegagalan tersebut terhadap proses konsolidasi demokrasi

di Guatemala? C. Landasan Konseptual

Konsep transisi dan konsolidasi demokrasi

Transisi demokrasi adalah proses perubahan sistem politik dari sistem non-demokratis menuju non-demokratis. Menurut Dankwart Rustow transisi demokrasi diklasifikasikan ke dalam tiga fase: Pertama, fase persiapan yang ditandai dengan jatuhnya rezim non demokratik; Kedua, fase keputusan yang ditandai dengan

(5)

berdirinya sebuah tatanan demokratis; Ketiga, fase konsolidasi, yang ditandai dengan adanya pembangunan lebih lanjut atas demokrasi sehingga demokrasi menjadi bagian dari kultur politik (Rustow, 1993).

Sebuah sistem politik yang menyebut dirinya demokratis memiliki tugas yang harus dijalankan yaitu: Pertama, democratic deepening, adalah proses membuat struktur formal demokrasi menjadi semakin liberal, bertanggungjawab, representatif, dan memiliki aksesibilitas yang baik. Kedua, political institutionalization, adalah memperkuat struktur perwakilan dan pemerintahan formal sehingga lebih koheren, otonom, kompleks, dan mampu beradaptasi sehingga dapat menjadi semakin capable, efektif, dan mengikat. Ketiga, regime performance, adalah kinerja politik maupun kinerja sosial yang menjadi katalisator bagi perkembangan dan internalisasi kepercayaan terhadap legitimasi rezim demokratis (Diamond, 1997).

Linz dan Stepan (Linz & Stepan, 1996) mengemukakan argumennya mengenai transisi demokrasi sebagai berikut:

Sebuah transisi demokrasi dikatakan berhasil ketika terdapat kesepakatan yang memadai tentang prosedur politik untuk menghasilkan sebuah pemerintahan yang terpilih; ketika pemerintahan yang terpilih merupakan hasil pilihan langsung dari pemilihan yang umum dan bebas; ketika pemerintahan ini secara de facto memiliki otoritas untuk membuat kebijakan baru; dan ketika kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang terpilih oleh demokrasi yang baru tidak saling berbagi kekuasaan antar institusi secara de

jure.

Linz dan Stepan mengembangkan kembali definisi operasional dari terciptanya sebuah konsolidasi demokrasi yaitu;

1. Perilaku, ketika sebuah rezim demokratis tidak ditandai dengan adanya aktor nasional, sosial, politik, ekonomi dan institusi yang menggunakan sumber daya tertentu dalam upaya meraih tujuan dengan menciptakan rezim non demokratis atau dengan kata lain menggunakan kekerasan.

2. Sikap, ketika opini publik percaya bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah cara yang sesuai untuk mengatur tatanan kehidupan kolektif dalam masyarakat sehingga dukungan terhadap anti sistem demokrasi menjadi terisolir

3. Konstitusionalisme, ketika elemen pemerintah dan non pemerintah dari sistem politik demokratis menjadi subjek yang terbiasa menghadapi resolusi

(6)

konflik dalam hukum, prosedur, dan institusi yang disepakati dalam sebuah tatanan demokrasi.

Dalam tulisannya tersebut, Linz dan Stepan juga mengatakan bahwa consolidated democracy membutuhkan adanya lima variabel yang saling berinteraksi untuk saling memperkuat dan mengontrol demokrasi. Kelima variabel tersebut adalah:

1. Civil society, dengan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berkumpul 2. Political society, dengan adanya prinsip kontestasi melalui pemilihan yang

bebas dan inklusif

3. Rule of laws, dengan prinsip-prinsip berdasarkan konstitusi

4. State apparatus, dengan prinsip norma-norma birokratis legal-rasional 5. Economic society, dengan prinsip pasar yang telah terinstitusionalisasi

Terkait dengan penegakan rule of law, Guillermo O’Donnell dan Carl Schmitter (O'Donnell & Schmitter, Why the Rule of Law Matters, 2004) mengemukakan hal mendasar lain dari demokrasi ditentukan oleh bagaimana tata hukum dapat diterima sebagai sebuah karakteristik umum dari sebuah negara demokrasi. Hal ini dikarenakan adanya beberapa pemahaman seperti: 1) rule of law menopang hak-hak politik, kebebasan, dan menjamin sebuah rezim demokrasi; 2) rule of law menopang hak-hak sipil dari seluruh warga negara; dan yang ketiga 3) rule of law dapat membentuk koneksi antara tanggung jawab dan akuntabilitas yang mengakibatkan seluruh aktor publik maupun privat, termasuk juga pejabat tinggi, dikontrol oleh hukum itu sendiri. Absennya penegakan hukum akan mengakibatkan terjadinya sebuah kekuatan yang tidak terkontrol yang dapat mengambil hak-hak orang lain.

Di negara-negara Amerika latin, kekuatan demokrasi baru masih berdampingan dengan rezim-rezim sub-nasional yang non-demokratik sehingga mengganggu efektifitas dari terpenuhinya hak-hak sipil yang mendasar. Beberapa hal yang membuat penegakan rule of law terhambat di Amerika Latin mencakup; 1) Kelemahan dalam mengadakan hukum, beberapa produk hukum yang ada, kriteria penilaian yudisial, dan regulasi dari sistem administratif masih memiliki sifat diskriminatif terhadap wanita, anggota dari suku adat asli, dan berbagai macam kelompok minoritas; 2) Kelemahan di dalam penegakan hukum, “For my friends, everyhing; for my enemies, the law.” Kalimat yang diucapkan oleh mantan presiden Brasil Getulio Vargas (1930-45, 1950-54) mengekspresikan tipe kepemimpinan diktator di Amerika Latin. Sebuah tradisi kepemimpinan Amerika Latin adalah

(7)

mengabaikan hukum agar dapat terlihat kuat dan melemahkan lawan; 3) Kelemahan di dalam relasi antara agen pemerintah dan warga negara biasa; 4) Kelemahan dalam akses kepada pengadilan dan juga proses persidangan yang adil; dan yang terakhir 5) Kelemahan dalam memahami sebuah negara demokratis yang berlandaskan hukum (O'Donnell & Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, 1986).

Konsep Partisipasi Demokrasi

Carole Pateman dalam Paricipation and Democratic Theory (Pateman, 1970) mengatakan bahwa teori partisipasi demokrasi dibangun di dalam pemahaman bahwa individu dan institusi tidak boleh saling mengisolasi satu sama lain. Keberadaan institusi demokrasi semata tidak cukup dalam menciptakan demokrasi melainkan harus didukung oleh partisipasi maksimal dari seluruh masyarakat di segala level. Demokrasi hendaknya menjamin berkembangnya perilaku individu. Fungsi utama dari partisipasi dalam teori demokrasi partisipatif adalah fungsi edukatif. Demokrasi partisipatif mampu mendidik masyarakat secara luas baik secara psikologis maupun dalam tata cara demokrasi. Di dalamnya terdapat komunikasi dua arah yang semakin membangun pemahaman di dalam berbagai level masyarakat untuk memahami demokrasi sebagai sebuah tatanan pemerintahan yang dijalankan.

Melihat peranan partisipasi yang sentral maka sebuah politik demokratis sangat membutuhkan sebuah tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran partisipatif yang tinggi untuk menciptakan sebuah sistem politik demokrasi yang terkonsolidasi. Di dalam teori partisipatif, partisipasi mengacu pada keadilan partisipatif dalam membuat keputusan-keputusan sehingga mewujudkan sebuah keseimbangan kekuatan untuk menentukan hasil keputusan. Jadi, justifikasi bagi sebuah sistem demokrasi yang baik dalam perspektif teori partisipasi demokrasi adalah sebuah sistem demokrasi yang mengacu pada bertumbuhnya keterlibatan masyarakat.

Hubungan Sipil-Militer Pasca Transisi

Samuel Huntington memiliki pandangan yang lain dalam mengukur kadar konsolidasi demokrasi. Huntington menjelaskan tentang arti penting reformasi hubungan sipil-militer bagi negara demokrasi baru dengan tujuan agar sipil memiliki kontrol terhadap militer yang disebut Huntington sebagai Objective Civilian Control. Istilah ini mengandung beberapa unsur ideal yang harus dipenuhi yaitu 1)

(8)

profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; dan 4) akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer (Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politic of Civil-Military Relation, 1957).

Huntington mengungkapkan setidaknya ada empat permasalahan utama yang menghambat hubungan sipil-militer di negara demokrasi yaitu intervensi militer dalam politik, pra-eksistensi privilese militer, definisi peran dan misi militer, dan pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang baru (Huntington, Mereformasi Hubungan Sipil - Militer, 2000). Pertama, intervensi militer dalam politik. Terdapat beberapa kali percobaan kudeta di dalam negara demokrasi. Ada percobaan yang berhasil seperti di Nigeria, Sudan, Haiti namun lebih banyak percobaan yang gagal. Mengapa ada yang gagal dan yang berhasil? Menurut Huntington, hal tersebut ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan modernisasi dari tiap-tiap negara. Negara dengan GNP per kapita $1000 atau lebih seringkali tidak mengalami kudeta yang berhasil. Sedangkan kudeta yang berhasil terjadi di negara dengan GNP di bawah $500 seperti di Nigeria, Sudan, dan Haiti.

Kedua, pra-eksistensi privilese militer. Pemerintahan militer yang menyerahkan kekuasaan secara sukarela membuat pihak militer akan tetap terus memperoleh pengaruh yang substansial dalam masyarakat setelah pengunduran dirinya dari kekuasaan. Secara bertahap, Amerika Latin dan beberapa pemerintahan lainnya memperkuat otoritasnya di atas militer namun militer bersikeras meminta amnesti sebagai imbalan dari penarikan diri mereka untuk kembali ke barak. Menurut Huntington, langkah yang lebih baik dilakukan oleh pemerintahan demokrasi yang baru dalam masalah pengusutan dan penghukuman versus memaafkan dan melupakan terhadap militer adalah “tidak menuduh, tidak menghukum, tidak memaafkan, dan tidak melupakan (Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1997).

Ketiga, Definisi peran dan misi militer. Bisa dikatakan setelah militer menyerahkan kekuasaan politik pada sipil, akan terjadi krisis identitas dari kelompok militer terkait dengan peran dan misi mereka dalam negara. Sepanjang tesis yang

(9)

mengatakan bahwa antara negara demokrasi tidak akan berperang adalah valid, maka perkembangan demokrasi di seluruh dunia akan mendapatkan persoalan terkait identitas militer. Sebagai contoh, ketika berada di dalam kekuasaan militer, Argentina berperang dengan Inggris, dan hampir saja menyerbu Chili. Oleh karena tiga negara tersebut sudah menjadi demokratis, maka fungsi apa yang masih ada bagi militer? Huntington berargumen bahwa militer dapat menjadi pasukan penjaga perdamaian. Dengan menjadi penjaga perdamaian, mereka tetap dapat berperang. Selain itu peran milter dapat ditransformasikan dalam kolaborasi memerangi mafia obat-obatan terlarang, kejahatan, atau kekacauan domestik. Namun jika profesionalisme militer telah menguat, militer menolak hal tersebut (seperti yang terjadi di Rusia dan Iran)

Keempat, pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang baru. Adanya perkembangan dan penyebaran teknologi militer serta menurunnya kemungkinan perang terbuka yang menuntut mobilisasi nasional mengubah hubungan antara lembaga militer dengan masyarakat di negara demokrasi yang baru, demokrasi lama, dan rezim yang dikuasai diktator. Era wajib militer, yang dimulai dari Revolusi Perancis, tampaknya akan hilang dan dengan demikian hal ini diperkirakan akan menuju kepada identifikasi yang begitu dekat satu sama lain antara warga negara dan prajurit, rakyat dan tentara. Beberapa ahli teori demokrasi berpendapat bahwa identifikasi semacam itu sangat dimungkinkan seperti yang dikatakan Jefferson, “setiap warga negara adalah prajurit dan setiap prajurit adalah warga negara” dan kemudian tidak lagi memikirkan sifat-sifat hubungan sipil-militer yang ideal dalam masyarakat yang demokratis.

D. Argumen Utama

Kegagalan institusi peradilan hukum Guatemala dalam menghukum Rios Montt disebabkan oleh pengaruh militer yang masih kuat. Kuatnya militer terkait erat dengan model transisi demokrasi di Guatemala yang dilandasi keterpakasaan militer dalam menyerahkan kepemimpinan kepada kelompok sipil. Transisi tersebut berakar dari upaya militer untuk memperbaiki citra Guatemala di mata dunia internasional guna memperoleh bantuan militer kembali. Hal tersebut berdampak terhadap proses konsolidasi demokrasi yang berjalan setengah-setengah. Kondisi itu tercermin dari masih tingginya tingkat impunitas bagi pemimpin militer yang melakukan kejahatan HAM sehingga menyebabkan rendahnya penghargaan masyarakat Guatemala terhadap proses peradilan dan kepolisian.

(10)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan risalah ini akan berisikan lima bab. Bab pertama akan berisikan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, argumen utama, dan tidak lupa adalah kerangka konseptual yang digunakan penulis untuk menganalisa permasalahan. Pertanyaan di dalam rumusan masalah akan dijawab di dalam bab-bab berikutnya yang disusun berdasarkan kausalitas berpikir penulis. Bab dua akan memberikan gambaran tentang proses pengadilan Rios Montt. Di dalam bab ini penulis akan mencari sebab kegagalan menghakimi Montt dan besarnya tekanan dan pengaruh militer terhadap proses pengadilan tersebut.

Bab ketiga penulis akan membahas mengenai bentuk-bentuk intervensi militer dalam proses persidangan Montt dan bab keempat penulis akan masuk kepada penjelasan mengenai mengapa militer masih memiliki pengaruh yang kuat dan berpengaruh terhadap konstelasi politik dan hukum di Guatemala. Penulis hendak menutup risalah ini dengan bab kelima yang berisikan kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dengan adanya perkembangan teknologi dalam Sistem Informasi Manajemen Perpajakan Daerah dalam kegiatan pemungutan pajak dapat dilakukan secara elektronik dan

Laporan Tugas Akhir ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Diploma III Teknik Kimia Program Diploma Fakultas

Informasi yang diterima konsumen dapat membentuk sikap positif maupun negatif yang akhirnya akan menentukan niat konsumen untuk membeli kembali prosesor AMD

4.1.2 Upaya Pemimpin Dalam Menciptakan Gaya Kepemimpinan Inovatif Yang Optimal Dalam Meningkatkan Efektivitas Organisasi Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Konsep dasar yang digunakan dalam pengembangan kawasan ini yaitu perencanaan lanskap agrowisata yang berbasis ecovillage yang memadukan antara potensi aktivitas

 Algoritma UCS lebih baik dalam hal menentukan lintasan terpendek karena algoritma UCS akan memilih lintasan (path) yang memiliki biaya terendah dibandingkan dengan

Penggunaan small sided games dapat dilaksanakan dalam sekolah dengan kondisi lahan yang sempit, dapat diterapkan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan

Therapeutic Community (TC) dalam mengubah perilaku, membentuk perilaku sesuai dengan nilai dan norma masyarakat, kemampuan penyesuaian diri.secara emusional, peningkatan kemampuan