• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Tindak Pidana

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang memenuhi dirumuskan dalam undang-undang. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan”(crime atau verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.12

Mengenai isi dari pengertian tindak-pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Di Indonesia, sesudah Perang Dunia II persoalan ini di “hangatkan” oleh Prof. Muljatno, guru besar Hukum Pidana pada Universitas Gadjah Mada, pidato beliau pada dies natalis universitas

12

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto dengan Fakultas Hukum Undip, 2009), halaman 66.

(2)

tersebut pada tahun 1955 yang berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam Hukum Pidana”.13

Beliau membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dan “dapat dipidananya orangnya” strafbaarheid van den persoon), dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” (criminal act)dan“pertanggungan jawab pidana” (criminal responsibility atau criminal liability).14

Golongan pertama aliran monisticadalah antara lain:

a. D. Simons definisinya15

Strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah

1) Perbuatan manusia (positief) atau negative berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan),

2) Diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld), 3) Melawan hukum (onrechtmatig),

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand),

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person),

13Ibid.

14Ibid, halaman 66-67. 15

Simon sebagaimana telah dikutip oleh Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang, Yayasan Sudarto dengan Fakultas Hukum Undip, 2009), halaman 67.

(3)

Simons menyebut adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaar feit. Yang disebut sebagai unsur objektifialah

a) Perbuatan orang,

b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu,

c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di muka umum”.

Segi subjektif dari strafbaar feit

a) Orang yang mampu bertanggung jawab.

b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

b. Van Hamel, definisinya16

Strafbaar feit adalah een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten”.

Jadi unsur-unsurnya:

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 2) Melawan hukum,

3) Dilaksanakan dengan kesalahan dan,

16

Van Hamel sebagaimana telah dikutip oleh Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang, Yayasan Sudarto dengan Fakultas Hukum Undip, 2009), halaman 68.

(4)

4) Patut dipidana.

c. E. Mezger, definisinya17

Die Straftat ist der Inbegriff der Voraussetzungen der Strafe (Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan Die Straftat ist demnach tatbes-tandlich-rechtwidrige, pers onlich-zurechenbare strafbedrohte Handlung. Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana ialah:

1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan),

2) Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun yang subjektif),

3) Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang, 4) Diancam dengan pidana.

2. Tindak Pidana Melarikan Wanita

Tindak pidana melarikan wanita merupakan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum berkepentingan untuk menguasai wanita tersebut sepenuhnya tanpa persetujuan kedua orang tuanya si wanita.Seseorang dapat dipidana sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya apabila menyimpang dan melanggar hukum yang berlaku.

17

E. Mezger sebagaimana telah dikutip oleh Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang, Yayasan Sudarto dengan Fakultas Hukum Undip, 2009), halaman 69.

(5)

14

Didalam KUHP tersebut termuat dalam Pasal 332 KUHP yang berbunyi:18

(1) Bersalah karena melarikan wanita, diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;

2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu-muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.

(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan. (3) Pengaduan dilakukan:

a. Jika wanita itu sewaktu dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau oleh orang lain yang harus member izin bila dia kawin;

b. Jika wanita itu sendiri sewaktu dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.

(4) Bila yang membawa pergi lalu kawin dengan wanita yang dibawanya pergi itu dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal.

B. Tinjauan Umum tentang Pemidanaan

Pemidanaan/penjatuhan merupakan bagian dari sebuah sistem yang dinamakan dengan sistem pemidanaan.Secara singkat, sistem pemidanaan

18Sebagaimana dikutip dalam KUHP.

Sistem Pemidanaan/ Penjatuhan Pidana

Fungsional

Hukum Hukum

(6)

dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana.Menurut Barda Nawawi Arief, sistem pemberian / penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dilihat dari 2 sudut:19

1. Dari sudut Fungsional (dari sudut bekerjanya/ berfungsinya/

prosesnya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai:20

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

fungsionalisasi atau operasionalisasi atau konkretisasi pidana.

b. Keseluruhan sistem aturan perundang-undangan) yang mengatur

bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.

2. Dari sudut Norma-Substantif (hanya dilihat dari norma-norma

hukum pidana substantif), system pemidanaan dapat diartikan sebagai:

a. Keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel

untuk pemidanaan.

b. Keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel

untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana.21

19

Sebagaimana diakses https://www.scribd.com/doc/4645730/SISTIM-PEMIDANAAN-Barda-Nawawi, diunduh pada pukul 22.55 wib, tanggal 26 Juni 2016.

20

Sebagaimana diakses https://www.scribd.com/doc/4645730/SISTIM-PEMIDANAAN-Barda-Nawawi, diunduh pada pukul 22.55 wib, tanggal 26 Juni 2016.

(7)

Kaitannya dengan penjatuhan pidana, dalam teori hukum pidana terdapat 3 landasan/teori yang menjadi falsafah/pembenaran pemidanaan. Secara garis besar, ketiga teori tersebut dapat di tulis sebagai berikut:22

1). Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien). 2). Teori Relatif atau Tujuan (doeltheorien).

3). Teori Gabungan (verenigings theorien).

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kans, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisah dalam Al-Qur’an. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tindaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana.Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan.Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu.Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelaku.23

Teori tentang tujuan pidana yang kedua yaitu teori relatif.Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk provensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus.Prevensi umum

22Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia,(Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), halaman 26.

(8)

menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis.24

Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang- orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya. Untuk itu terkenallah adigium latin: nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur (supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum).25

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Ini kurang dibahas oleh para sarjana.26Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu:27

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

24

Ibid, halaman 29. 25Ibid, halaman 29-30.

26E.Utrecht yang telah dikutip oleh Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), halaman 33.

27

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), halaman 33.

(9)

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Disamping dilihat dari teori yang dipakai, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)/ (WvS) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10. Diatur 2 pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.Pidana pokok terdiri atas 4 jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas 3 jenis pidana.28Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut:

a) Pidana Pokok meliputi; 1. Pidana Mati.

2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan. 4. Pidana Denda.

b) Pidana Tambahan meliputi;

1. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu. 2. Perampasan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman putusan Hakim.

Penjatuhan pidana atau Pemidanaan merupakan upaya mempertahankan hukum pidana materiel.Namun demikian, dalam dimensi kemasyarakatan dan kenegaraan, hukum merupakan tatanan kehidupan

(10)

nasional, baik dibidang politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan (hankam).Dalam hal ini penjatuhan pidana merupakan upaya agar tercipta suatu tetertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.Bagi yang bersangkutan agar dapat menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.29

Jenis-jenis Pidana Pokok yang diatur dalam hukum positif Indonesia(KUHP) sebagai berikut :

1. Pidana Mati

Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.(Di atur dalam Pasal 11 KUHP).30

2. Pidana Penjara

Diatur dalam Pasal 12 KUHP sebagai berikut:31

(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu. (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan

paling lama lima belas tahun berturut-turut.

(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya boleh dipilih hakim antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu; demikian juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena gabungan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan Pasal 52.

(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

3. Pidana Kurungan

Diatur dalam Pasal 18 KUHP sebagai berikut:32

29Ibid, halaman 35. 30

Dikutip sebagaimana di dalam KUHP, halaman 6. 31Ibid, halaman 7.

(11)

(1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. (2) Jika ada pemberatan pidana karena gabungan atau pengulangan atau

karena ketentuan Pasal 52, maka pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.

(3) Pidana kurungan sama sekali tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulan.

4. Pidana Denda

Diatur dalam Pasal 30 KUHP sebagai berikut:33

(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.

(2) Jika pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan.

(3) Lama pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling tinggi enam bulan.

(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut; bila pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.

(5) Jika ada pemberatan pidana denda yang disebabkan oleh gabungan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.

(6) Pidana kurungan pengganti sama sekali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

5. Pidana Tutupan

Diatur dalam Pasal 31 KUHP sebagai berikut:34

(1) Terpidana dapat segara menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.

(2) Dia setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya.

(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

32Ibid, halaman 10. 33Ibid, halaman 12.

(12)

Sedangkan jenis-jenis pidana tambahan yang telah diatur dalam hukum positif Indonesia sebagai berikut:

1. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Diatur dalam Pasal 38 KUHP sebagai berikut:35

(1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:

1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan hak adalah seumur hidup.

2) Dalam hal pidana penjara selama waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya. 3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan hak paling sedikit

dua tahun dan paling tinggi lima tahun.

(2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari ketika putusan hakim dapat dijalankan.

2. Perampasan Barang-barang Tertentu

Diatur dalam Pasal 39 KUHP sebagai berikut:36

(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya ada barang-barang yang telah disita.

3. Pengumuman Putusan Hakim

Diatur dalam Pasal 43 KUHP sebagai berikut:37

Jika hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum yang lain, maka dia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.

35Ibid, halaman 14. 36

Dikutip sebagaimana dalam KUHP, halaman 15. 37Ibid.

(13)

C. Penyertaan Tindak Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief ada beberapa pandangan tentang sifat penyertaan. Ada 2 pandangan :38

1) Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang):

a. Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana.

b. Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna. c. Penganut antara lain: Simons, Van Hattum,

Hazewinkel-suringa.

2) Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan):

a. Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana. b. Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa. c. Penganut antara lain: Pompe, Mulyatno, Roeslan Saleh.

Penyertaan menurut KUHP Indonesia dalam pembagiannya ialah: 1) Pembuat atau dader (pasal 55) yang terdiri dari:

a. Pelaku (Pleger).

b. Yang menyuruh lakukan (daenpleger). c. Yang turut serta (medepleger).

d. Pengajur (uitlokker).

38

Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Semarang, Badan Penyediaan Bahan Kuliah, 1993), halaman 28.

(14)

2) Pembantu atau mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari: a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan.

b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.39 Pembuat/ dader (Pasal 55) yang terdiri dari :

1. Pleger (Pelaku).40

a. Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.

b. Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat.

Mengenai hal ini ada beberapa pedoman : 1). Peradilan Indonesia:

Pembuat (dalam arti sempit yaitu pelaku) ialah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab.

2). Peradilan Belanda :

Dader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung.

3). Pompe :

39Ibid, halaman 29. 40

Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, (Semarang : Badan Penyedia Bahan Kuliah, 1999), halaman 30.

(15)

Dader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang itu.

c. Kedudukan “pleger” dalam Pasal 55 sering dipermasalahkan. Mengenai hal ini ada 2 pendapat :

1). “Janggal dan tidak pada tempatnya”

Alasan : karena Pasal 55 berada dibawah Bab V yang berjudul “Penyertaan dalam melakukan tindak pidana”, pada penyertaan tersangkut beberapa orang, jadi tidak ada penyertaan apabila “mereka yang melakukan” (para pelaku) itu diartikan pembuat tunggal.

2). “Dapat dipahami”

Alasan : Karena Pasal 55 menyebut “mereka yang dipidana sebagai pembuat”, jadi plegers termasuk didalamnya. Dan alasan kedua, karena Pasal 55 menyebut “siapa-siapa yang dinamakan pembuat”, jadi plegers juga termasuk didalamnya (Hamzewinkel-Suringa).

2. Doenpleger (Orang yang menyuruh lakukan).41

a. Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat. Dengan demikian :

1) Pada doenpleger (menyuruh-lakukan) ada 2 pihak:

41

Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, (Semarang : Badan Penyedia Bahan Kuliah, 1999), halaman 31.

(16)

a) Pembuat langsung (onmiddelijke dader; auctor physicus; manus ministra);

b) Pembuat tidak langsung (middelijke dader; doenpleger; auctor intellectualis/ moralis; manus domina).

2) Pada Doenpleger terdapat unsure-unsur sebagai berikut: a) Alat yang dipakai adalah “manusia”;

b) Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati); c) Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggung

jawabkan”; unsur ketiga inilah yang merupakan TANDA CIRI dari (doenpleger).

b. Hal yang menyebabkan alat (pembuat materi’il) tidak dapat dipertanggung-jawabkan ialah :

1) Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (Pasal 44);

2) Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48);

3) Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (2).

4) Bila ia keliru (sesat) mengenal salah satu unsur delik; misal A menyuruh B untuk menguangkan pos wissel yang tanda tangannya dipalsu oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan itu.

5) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan ysb. Misalnya A menyuruh B (seorang kulil) untuk

(17)

mengambil barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan kepada A dan ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk memiliki bagi dirinya sendiri.

c. Dalam hal pembuat materi’il (alat) seorang yang belum cukup umur, maka tidak ada menyuruh lakukan, karena pada dasarnya KUHP menganggap orang yang belum cukup umur itu tetap mampu bertanggung jawab (lihat Pasal 45 Jo 47). Namun demikian, apabila yang disuruh itu anak yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini dimungkinkan ada menyuruh-lakukan.

3. Medepleger (Orang yang turut serta) a. Pengertian :

1) Undang-undang tidak memberikan definisi. 2) Menurut MvT :

Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.

3) Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana” itu ada 3 kemungkinan :42

42

Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, (Semarang : Badan Penyedia Bahan Kuliah, 1999), halaman 33-34.

(18)

a) Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Misalnya : 2 orang dengan bekerja sama melakukan pencurian disebuah gudang beras.

b) Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain tidak. Misalnya : 2 orang pencopet (A dan B) saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.

c) Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Misalnya: dalam pencurian dengan merusak (Pasal 363 ayat (1) ke-5 salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada kawannya yang menggangsir. 4. Uitlokker (Penganjur).

a. Pengertian :43Penganjur ialah orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang. Jadi hampir sama dengan menyuruh-lakukan (doenpleger); pada penganjuran (uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakan orang lain sebagai pembuat materiil/auctor physicus. Adapun perbedaannya sebagai berikut :

43

Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, (Semarang : Badan Penyedia Bahan Kuliah, 1999), halaman 36.

(19)

Penganjuran Menyuruh-lakukan 1) Menggerakannya dengan

sarana-sarana tertentu (limitatif).

2) Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan (tidak merupakan manusministra).

1) Sarana menggerakkannya tidak ditentukan (tidak limitatif).

2) Pembuat materiil tidak dapat dipertanggung jawabkan

(merupakan manus

ministra).

b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana. Berdasarkan pengertian di atas, maka syarat penganjuran yang dapat dipidana ialah :44

1) Ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang;

2) Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif);

3) Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychiche causaliteit);

(20)

4) Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.

5) Pembuat materiil tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana.

Pembantu (Mendeplichtige) Pasal 56 terdiri dari :45

a. Sifat : dilihat dari perbuatannya, pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggung jawabnya tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana. b. Jenis : menurut Pasal 56 KUHP, ada 2 jenis pembantu;

1) Jenis Pertama :

a) Waktunya : pada saat kejahatan dilakukan,

b) Caranya : tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang.

2) Jenis Kedua :

a) Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan,

b) Caranya : ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).

45

Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, (Semarang : Badan Penyedia Bahan Kuliah, 1999), halaman 41-42.

(21)

D. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan

Dalam hal ini menentukan hukum itu, berkembang bermacam-macam interpretasi, seperti gramatika, historis, sistematis, teleologis, ekstensif, restriktif atau penghalusan hukum (rechtsverfijning) dan analogis yang pada umumnya tidak diperkenankan dalam hukum pidana.Belakangan dikenal interpretasi secara sosiologis, artinya menafsirkan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat masa kini (di Indonesia kebutuhan pembangunan).46

Hakim diberi keleluasaan untuk menentukan (rechtsvinding) yang sulit ditegaskan secara konkrit karena bukan hanya mengenai pengenalan hukum dan undang-undang secara sempurna oleh hakim, tetapi juga berkaitan dengan perasaan dan intuisi hakim yang bersangkutan.Menurut Andi Hamzah, kebebasan hakim di Indonesia lebih besar, hal ini merujuk pada pasal 23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.Dimana hakim dalam menghadili, selain berpedoman pada UU, juga harus memperhatikan sumber hukum tidak tertulis.47 Perlu penulis tegaskan disini, UU No. 14 Tahun 1970 sudah dicabut dan diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

46Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), halaman 91.

(22)

Menurut Andi Hamzah setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari 3 kemungkinan :48

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib. 2. Putusan bebas.

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Menurut Andi Hamzah, suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaring van het Openbare Ministerie) jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan yang dilampirkan pada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu (verjaand), atau alasan non bis in dem.49

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tututan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 11 KUHAP).50

Menurut Andi Hamzah, tentang kapan suatu putusan Pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah

48Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), halaman 280. 49

Ibid.

(23)

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.51

Dapat dibandingkan dengan perumusan Van Bemmelen sebagai berikut:52

(Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana).

Selanjutnya putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.(Pasal 191 ayat (1) KUHAP). 53 Dapat pula dibandingkan dengan rumusan Van Bemmelen sebagai berikut :54

(Putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang melakukannya).

Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP, “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak

51 Ibid.

52Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), halaman 281.

53Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), halaman 281. 54

Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), halaman 282.

(24)

merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.(Pasal 191 ayat (2) KUHAP).55

Sebenarnya kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan delik (tindak pidana), maka dari permulaan seharusnya hakim tidak menerima tuntutan jaksa (niet ontvankelijk verklaring van het openbare Ministerie). Jadi, di belakang kata “tetapi” pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP tersebut tertulis “... perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa tidak bersalah (sengaja atau alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse).56

55

Ibid, halaman 282. 56Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dasar pemberlakuan tindak pidana khusus adalah KUHP

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP yang mengatur larangan

Menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980, setiap orang yang menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

8 Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.. Mengenai unsur perbuatan kesusilaan dalam merumuskan ketentuan hukum pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP, tindakan

Tindak pidana atau delik dalam istilah yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut dengan strafbaarfeit Menurut Simons merumuskan bahwa tindak pidana

Sedangkan pengertian anak sebagai korban kejahatan adalah anak yang menderita mental, fisik, dan sosial akibat perbuatan jahat (tindak pidana menurut Kitab Undang- Undang

Tindak pidana pemerkosaan tentunya telah diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana Islam KUHP Pasal 285 yang berbunyi, sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman