• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Obat Edit 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manajemen Obat Edit 1"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS UJIAN TAKE HOME

MATA KULIAH :

SISTEM MANAJEMEN SUPPLY OBAT DI RUMAH SAKIT

Dibuat Oleh :

Candra Wijaya, S.Si, Apt

NIM: 09/293175/PFA/896

Dosen Pengampu :

Dra. Dwi Pudjaningsih, M.Kes, Apt

Magister Manajemen Farmasi

Universitas Gadjah Mada

(2)

Soal Ujian Take Home :

Sebuah rumah sakit dengan 150 tempat tidur, mempunyai 4 orang apoteker, direktur menghendaki untuk melakukan pelayanan farmasi klinik kepada apoteker-apoteker yang ada, demikian juga untuk kompetensi yang dimiliki apoteker dapat terterapkan di rumah sakit. Buatlah perencanaan penerapan seluruh kompetensi apoteker di rumah sakit tersebut berbasis kepada drug management cycle, uraikan manajemen pendukung dan manajemen obatnya dahulukan uraiannya menurut tingkat prioritas yang harus tersedia terlebih dahulu. Prinsip-prinsip drug management cycle secara komperhensif sudah dapat memiliki kerangka berpikir merencanakan sebuah instalasi farmasi rumah sakit yang efektif dan efisien. Perencanaan yang dibuat harus sampai pada tingkat pengendaliannya, sehingga secara manajemen lengkap, dan bisa digunakan sebagai acuan untuk bekerja.

Jawab :

A. Dari soal diatas diketahui bahwa :

1.Rumah sakit tersebut memiliki 150 tempat tidur 2. 4 orang apoteker

3. Oleh direktur RS Mengharapkan pelayanan farmasi klinik oleh ke empat apoteker tersebut.

B. Tugas yang harus dilakukan dari soal diatas adalah :

1.Buat Perencanaan penerapan seluruh kompetensi apoteker di rumah sakit berbasis kepada Drug Management Cycle !

2.Uraikan manajemen pendukung dan manajemen obat sesuai dengan tingkat prioritas yang harus tersedia !

3.Buat perencanaan tersebut sampai dengan tingkat pengendalian (lengkap secara manajamen dan dapat digunakan sebagai kerangka acuan bekerja !

C. Pembahasan : I. Latar Belakang

Rumah Sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan

(3)

medik; pelayanan penunjang medik dan non medik; pelayanan dan asuhan keperawatan; pelayanan rujukan; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; serta administrasi umum dan keuangan.

Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat

Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Anonim, 2004).

Pengelolaan obat merupakan salah satu segi manajemen rumah sakit yang sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, karena ketidak efisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat akan memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi (Santoso & Danu, 1999).

II. Landasan Teoritis A. Manajemen Obat

Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidak efisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu. Manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari 4 fungsi dasar yaitu : Seleksi

(4)

(Selection) dan Perencanaan (Planning), Pengadaan (Procurement), Distribusi (Distribution), serta Penggunaan (Use).

Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi, keuangan atau finansial, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi manajemen (SIM). Setiap tahap siklus manjemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus pengelolaan obat tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Keterangan :

= - - - garis koordinasi

= garis aktivitas pengelolaan

(5)

Pada dasarnya, manajemen obat di rumah sakit adalah bagaimana cara mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu.

Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi, Formularium dan Pedoman Pengobatan.

Pengelolaan obat berhubungan erat dengan anggaran dan belanja rumah sakit. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan obat bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan rumah sakit. Pengelolaan tersebut meliputi seleksi dan perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan.

1.Seleksi dan perencanaan (Selection and planning)

Tersedianya berbagai macam obat dipasaran, membuat para dokter tidak mungkin up to date dan membandingkan berbagai macam obat tersebut. Produk obat yang sangat bervariasi juga menyebabkan tidak konsistennya pola peresepan dalam suatu sarana pelayanan kesehatan. Hal ini akan menyulitkan dalam proses pengadaan obat. Disinilah letak peran seleksi dan perencanaan obat.

a. Seleksi (Selection)

Seleksi atau pemilihan obat yang akan digunakan di rumah sakit. Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam PFT untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian.

(6)

b.Perencanaan (planning)

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Dalam pengelolaan obat yang baik perencanaan idealnya dilakukan dengan berdasarkan atas data yang diperoleh dari tahap akhir pengelolaan, yaitu penggunaan obat periode yang lalu. Tujuan dari perencanaan adalah untuk mendapatkan jenis dan jumlah obat yang sesuai dengan kebutuhan, menghindari terjadinya stock out (kekosongan) obat dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional.

Perencanaan merupakan tahap yang penting dalam pengadaan obat di IFRS, apabila lemah dalam perencanaan maka akan mengakibatkan kekacauan dalam suatu siklus manajemen secara keseluruhan, mulai dari pemborosan dalam penganggaran, membengkaknya biaya pengadaan dan penyimpanan, tidak tersalurkannya obat sehingga obat bisa rusak atau kadaluarsa.

Perencanaan merupakan tahap awal pada siklus pengelolaan obat. Ada beberapa macam metode perencanaan, yaitu:

1) Metode morbiditas/epidemiologi

Yaitu berdasarkan pada penyakit yang ada. Dasarnya adalah jumlah kebutuhan obat yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity load), yaitu didasarkan pada penyakit yang ada di rumah sakit atau yang paling sering muncul dimasyarakat. Metode ini paling banyak digunakan di rumah sakit. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu:

a) Menentukan beban penyakit

(1) Tentukan beban penyakit periode yang lalu, perkirakan penyakit yang akan dihadapi pada periode mendatang

(2) Lakukan stratifikasi/pengelompokkan masing-masing jenis, misalnya anak atau dewasa, penyakit ringan, sedang, atau berat, utama atau alternatif

(7)

(3) Tentukan prediksi jumlah kasus tiap penyakit dan persentase (prevalensi) tiap penyakit.

b) Menentukan pedoman pengobatan

(1) Tentukan pengobatan tiap-tiap penyakit, meliputi nama obat, bentuk sediaan, dosis, frekuensi, dan durasi pengobatan

(2) Hitung jumlah kebutuhan tiap obat per episode sakit untuk masing- masing kelompok penyakit

c) Menentukan obat dan jumlahnya

(1) Hitung jumlah kebutuhan tiap obat untuk tiap penyakit

(2) Jumlahkan obat sejenis menurut nama obat, dosis, bentuk sediaan, dan lain-lain

Perencanaan dengan menggunakan metode morbiditas ini lebih ideal, namun prasyarat lebih sulit dipenuhi. Sementara kelemahannya yaitu seringkali standar pengobatan belum tersedia atau belum disepakati dan data morbiditas tidak akurat.

2) Metode konsumsi

Metode konsumsi adalah suatu metode perencanaan obat berdasarkan pada kebutuhan riil obat pada periode lalu dengan penyesuaian dan koreksi berdasarkan pada penggunaan obat tahun sebelumnya. Metode ini banyak digunakan di Apotek. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu:

a) Pastikan beberapa kondisi berikut:

(1) Dapatkah diasumsikan pola pengobatan periode yang lalu baik atau rasional?

(2) Apakah suplai obat periode itu cukup dan lancar?

(3) Apakah data stok, distribusi, dan penggunaan obat lengkap dan akurat?

(4) Apakah banyak terjadi kecelakaan (obat rusak, tumpah, kadaluarsa) dan kehilangan obat?

(5) Apakah jenis obat yang akan digunakan sama?

b) Lakukan estimasi jumlah kunjungan total untuk periode yang akan datang

(1) Hitung kunjungan pasien rawat inap maupun rawat jalan pada periode yang lalu

(8)

(2) Lakukan estimasi periode yang akan datang dengan memperhatikan:

(a) Perubahan populasi daerah cakupan pelayanan, perubahan cakupan pelayanan

(b) Pola morbiditas, kecendrungan perubahan insidensi (c) Penambahan fasilitas pelayanan

Perhitungan metode konsumsi (1) Tentukan metode konsumsi

(2) Hitung pemakaian tiap jenis obat dalam periode lalu

(3) Koreksi hasil pemakaian tiap jenis obat dalam periode lalu terhadap kecelakaan dan kehilangan obat

(4) Koreksi langkah sebelumnya (koreksi hasil pemakaian tiap jenis obat dalam periode lalu terhadap kecelakaan dan kehilangan obat) terhadap stock out.

(5) Lakukan penyesuaian terhadap kesepakatan langkah 1 dan 2 (6) Hitung periode yang akan datang untuk tiap jenis obat

Perencanaan obat dengan metode konsumsi akan memakan waktu lebih banyak tetapi lebih mudah dilakukan, namun aspek medik penggunaan obat kurang dapat dipantau. Kelemahannya yaitu kebiasaan pengobatan yang tidak rasional seolah-olah ditolerir.

3)Metode gabungan, metode ini untuk menutupi kelemahan kedua metode diatas.

Pedoman perencanaan obat untuk rumah sakit yaitu Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN), Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, atau dari rencana pengembangan.

Perencanaan yang telah dibuat harus dilakukan koreksi dengan menggunakan metode analisis nilai ABC untuk koreksi terhadap aspek ekonomis, karena suatu jenis obat dapat memakan anggaran besar disebabkan pemakaiannya banyak atau harganya mahal. Dengan analisis nilai ABC ini, dapat diidentifikasi jenis-jenis obat yang dimulai dari golongan obat yang membutuhkan biaya terbanyak.

Pada dasarnya obat dibagi dalam tiga golongan yaitu golongan A jika obat tersebut mempunyai nilai kurang lebih 80 % sedangkan jumlah obat

(9)

tidak lebih dari 20 %, golongan B jika obat tersebut mempunyai nilai sekitar 15 % dengan jumlah obat sekitar 10 % - 80 %, dan golongan C jika obat mempunyai nilai 5 % dengan jumlah obat sekitar 80 % - 100 %.

Analisa juga dapat dilakukan dengan metode VEN (Vital, Esensial dan Non Esensial) untuk koreksi terhadap aspek terapi, yaitu dengan menggolongkan obat kedalam tiga kategori. Kategori V atau vital yaitu obat yang harus ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, kategori E atau essensial yaitu obat yang terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit atau mengurangi pasienan, kategori N atau non essensial yaitu meliputi berbagai macam obat yang digunakan untuk penyakit yang dapat sembuh sendiri, obat yang diragukan manfaatnya dibanding obat lain yang sejenis.5 Analisa kombinasi metode ABC dan VEN yaitu dengan melakukan pendekatan mana yang paling bermanfaat dalam efisiensi atau penyesuaian dana.

2.Pengadaan (Procurement) dan Penyimpanan serta pengendalian inventori a. Pengadaaan (Procurement)

Pengadaan obat merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui :

1) Pembelian :

a) Secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)

b) Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan 2) Produksi/pembuatan sediaan farmasi :

a) Produksi Steril b) Produksi Non Steril

3) Sumbangan/droping/hibah pembelian secara tender.

Tujuan pengadaan adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan.

Pengadaan memegang peranan yang penting, karena dengan pengadaan rumah sakit akan mendapatkan obat dengan harga, mutu dan jumlah, yang sesuai dengan kebutuhan. Rumah sakit tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien jika persediaan obat tidak ada, hal ini dapat berakibat fatal bagi pasien

(10)

dan akan mengurangi keuntungan yang seharusnya dapat diterima rumah sakit.

Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah berlaku untuk pengadaan obat di rumah sakit milik pemerintah, pengadaan obat ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Keppres ini, pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilakukan dengan menggunakan:

1) Penyedia barang/jasa, yaitu dengan menggunakan badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/ layanan jasa. 2) Pengadaan barang/jasa swakelola, yaitu direncanakan, dikerjakan, dan

diawasi sendiri oleh institusi pemerintah penanggungjawab anggaran atau institusi pemerintah penerima kuasa dari penanggungjawab anggaran atau kelompok masyarakat penerima hibah. Swakelola dapat dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa, instansi pemerintah lain, kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah.

Untuk menentukan sistem pengadaan perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa yang ada. Prinsip pengadaan barang/ jasa yaitu:

1) Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

2) Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan

3) Terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan

4) Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya

(11)

terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya .

5) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun. 6) Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun

manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.

Proses pengadaan obat memiliki beberapa proses yang baku, dan merupakan siklus yang berjalan terus menerus sesuai dengan kegiatan rumah sakit. Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar obat-obatan yang diadakan, menentukan jumlah item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang dan memeriksa, melakukan pembayaran serta menyimpan yang kemudian didistribusikan. Agar proses pengadaan berjalan lancar dan dengan manjemen yang baik memerlukan struktur komponen berupa personel yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, adanya prosedur yang jelas dan terdokumentasi didasarkan pada pedoman baku, sistem informasi yang baik, didukung oleh dana dan fasilitas yang memadai.

Tiga elemen penting pada proses pengadaan yaitu :

1) Metode pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan biaya tinggi

2) Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja, sangat penting untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu, waktu dan kelancaran bagi semua pihak.

3) Order pemesanan, agar barang sesuai macam, waktu dan tempat.

Setelah barang diadakan kegiatan berikutnya adalah pada proses penyimpanan dan pengendalian inventori.

b.Penyimpanan dan Pengendalian Inventori

Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan

(12)

2) Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya

3) Mudah tidaknya meledak/terbakar 4) Tahan/tidaknya terhadap cahaya

disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.

Tujuannya adalah untuk mempertahankan kualitas obat, mengoptimalkan manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat yang akan datang, melindungi permintaan yang naik turun, melindungi pelayanan dari pengiriman yang terlambat, menambah keuntungan bila pembelian banyak, menghemat biaya pemesanan, dan mengurangi kerusakan dan kehilangan.

Kegiatan dari penyimpanan, penyaluran dan pemeliharaan yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Menerima obat/barang dan dokumen-dokumen pendukungnya antara lain surat pesanan/surat kontrak, surat kiriman, faktur obat/barang.

2) Memeriksa obat/barang dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan baik dari segi jumlah, mutu, expire date, merk, harga, dan spesifikasi lain bila diperlukan, pentingnya meneliti barang-barang adalah sangat perlu untuk menjamin kebenaran dari spesifikasi kuantitas dan kualitas barang yang diterima.

3) Menyimpan obat/barang sesuai ketentuan:

a) Perlu diperhatikan lokasi dari tempat penyimpanan digudang dan menjamin bahwa obat yang disimpan mudah diperoleh dan mengaturnya sesuai penggolongan barang, kelas terapi obat/khasiat obat dan sesuai abjad.

b) Perlu diperhatikan untuk obat-obatan dengan syarat penyimpanan khusus, obat-obat thermolabiel, dan expiration date obat.

c) Memeriksa secara berkala dan menjaga obat dari kerusakan/hilang yang merupakan fungsi dari pemeliharaan dan pengendalian (control

link).

d) Memilih dan melakukan pengepakan untuk persiapan pengiriman obat dan menyiapkan dokumen-dokumennya.

e) Mengirim obat dengan dokumen-dokumen pendukungnya dan mengarsipkannya.

(13)

f) Mengadministrasikan keluar masuknya obat dengan tertib.

g) Menjaga kebersihan dan kerapian ruang kerja dan tempat penyimpanan/gudang.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam fungsi penyimpanan adalah: 1) Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari

penyimpanan, apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah terbakar.

2) Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah karyawannya sehingga banyak waktu menganggur yang merupakan biaya, demikian juga sebaliknya, kekurangan tenaga akan menimbulkan antrian di pusat pelayanan yang akan merugikan kedua belah pihak.

3) Pergunakan ruangan yang tersedia seefisien mungkin, baik dari segi besarnya ruangan dan pembagian ruangan.

4) Memelihara gudang dan peralatannya sebaik mungkin.

5) Menciptakan suatu sistem penataan yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus barang.

Ada beberapa macam sistem penataan obat, antara lain yang pertama sistem First In First Out (FIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan dibelakang obat yang terdahulu, yang kedua Last in First Out (LIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan didepan obat yang datang dahulu, yang ketiga First Expired First Out (FEFO) yaitu obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa lebih dahulu diletakkan didepan obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa kemudian. Ada beberapa cara penempatan obat yang dapat dilakukan yaitu menurut jenisnya, menurut abjad, menurut pabrik yang memproduksi dan menurut khasiat farmakoterapinya.

3. Distribusi (Distribution)

Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan : a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada

(14)

Sistem distribusi obat di rumah sakit terbagi menjadi pendistribusian obat untuk pasien rawat inap, rawat jalan, dan distribusi obat di luar jam kerja.

a. Pendistribusian obat untuk pasien rawat inap

Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi.

b. Pendistribusian obat untuk pasien rawat jalan

Merupakan kegiatan pendistribusian obat untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep perorangan oleh Apotik Rumah Sakit. c. Pendistribusian obat di luar jam kerja

Merupakan kegiatan pendistribusian obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh:

a. Apotek rumah sakit/satelit farmasi yang dibuka 24 jam

b.Ruang rawat yang menyediakan obat-obat emergensi Sistem pelayanan distribusi terdiri dari:

1) Sistem persediaan lengkap di ruangan

a) Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat merupakan tanggung jawab perawat ruangan.

b) Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat.

c) Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat dikontrol secara berkala oleh petugas farmasi.

3) Sistem resep perorangan

Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.

4) Sistem unit dosis

Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan, diberikan/digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup untuk penggunaan satu kali dosis biasa.

(15)

3.Penggunaan (Use)

Penggunaan obat adalah proses yang meliputi peresepan oleh dokter, pelayanan obat oleh farmasi serta penggunaan obat oleh pasien. Seorang dokter diharapkan membuat peresepan yang rasional, dengan indikasi yang tepat, dosis yang tepat, memperhatikan efek samping dan kontra indikasinya serta mempertimbangkan harga dan kewajarannya. Obat yang ditulis dokter pada resep selanjutnya menjadi tugas farmasi untuk menyiapkan dan menyerahkan kepada pasien.

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria obat yang benar, indikasi yang tepat, obat yang manjur, aman, cocok untuk pasien dan biaya terjangkau, ketepatan dosis, cara pemakaian dan lama yang sesuai, sesuai dengan kondisi pasien, tepat pelayanan, serta ditaati oleh pasien. Manfaat penggunaan obat yang rasional adalah meningkatkan mutu pelayanan, mencegah pemborosan sumber dana, dan meningkatkan akses terhadap obat esensial. Sebaliknya penggunaan obat dikatakan tidak rasional yaitu jika

a. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak ada atau samar-samar

b. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu

c. Cara pemakaian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian tidak sesuai

d.Pemakaian obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar padahal obat lain yang sama kemanfaatan (efficacy) dengan potensi efek samping lebih kecil juga ada

e. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia

f. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatan dan keamanannya (established efficacy and safety)

g. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatannya dan keamanannya masih diragukan

h.Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu pada sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasari pada sumber informasi yang diragukan kebenarannya.

(16)

Standar Kompetensi Apoteker di Indonesia telah disusun oleh kelompok ahli dalam bidang Industri, Rumah Sakit, dan Apotek. Dibawah naungan organisasi profesi dan telah ditetapkan pemberlakuannya oleh Pimpinan Pusat ISFI periode 2000-2004 dengan SK BPP ISFI Nomor 1008/BPP/SK016 tertanggal 8 Oktober 2003.Berdasarkan rapat-rapat Pengurus Pusat periode 2005-2009 yang dihadiri pula oleh Majelis Pakar dan Badan Sertifikasi Profesi Apoteker telah disepakati bahwa Standar Kompetensi disusun kembali sehingga dapat disesuaikan dengan Sistem Kesehatan Nasional 2005, Kebijakan Obat Nasional 2006, Kebijakan Obat Tradisional Nasional 2007, standar kompetensi yang berlaku umum, Pedoman Penyusunan Standar Profesi Depkes, dan perbandingan model penyusunan standar kompetensi di negara lain, serta mempertimbangkan standar pelayanan kefarmasian di Apotek dan Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Sedangkan Petunjuk Pelaksanaan akan ditetapkan oleh organisasi profesi setelah standar profesi tersebut ditetapkan dan diberlakukan oleh Menteri kesehatan Republik Indonesia. Khusus bagi tenaga Apoteker yang bekerja di pemerintahan, Petunjuk Pelaksanaannya akan ditetapkan oleh Departemen Kesehatan.

Pekerjaan Kefarmasian diselenggarakan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Pekerjaan kefarmasian hanya dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang memiliki keahlain dan kewenangan yang berdasarkan pada Standar Profesi dan paradigma Pelayanan Kefarmasian. Standar Profesi dan paradigma Pelayanan Kefarmasian merupakan pedoman yang harus diikuti oleh tenaga kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian.

Kompetensi umum apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian harus mempunyai kemampuan sebagai berikut :

1. Menguasai Ilmu Kefarmasian 2. Menguasai Asuhan Kefarmasian 3. Menguasai Regulasi Kefarmasian

4. Menguasai Manajemen Praktek Kefarmasian 5. Menguasai Akuntabilitas Praktek Kefarmasian 6. Menguasai Komunikasi Kefarmasian

(17)

8. Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian

Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian dapat diselenggarakan pada :

1. Pemerintah yang melakukan kebijakan kefarmasian.

2. Sarana produksi sediaan farmasi berupa pabrik sediaan farmasi, pabrik bahan baku sediaan farmasi, pabrik obat tradisisonal, dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu.

3. Sarana distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan.

4. Sarana pelayanan sediaan farmasi melalui praktik di apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik/praktek bersama; dan

5. Sarana kesehatan lain yang ditetapkan Menteri.

Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit harus mempunyai kompetensi sebagai berikut :

1. Mampu malaksanakan pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

2. Mampu melaksanakan distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan (Good

Distribution Practice) di rumah sakit.

3. Mampu melaksanakan fungsi farmasi klinik bersama dokter untuk kepentingan pasien dalam penggunaan obat dan alat kesehatan yang rasional.

4. Mampu melaksanakan fungsi konsultasi, informasi, dan edukasi tentang obat yang digunakan oleh pasien dan masyarakat serta yang membutuhkan

5. Mampu melaksanakan fungsi pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai kebutuhan rumah sakit.

6. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices dan Good Storage Practices.

7. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices

Atau secara lebih lengkap kompetensi apoteker di rumah sakit dapat di jelaskan pada tabel berikut ini :

(18)

C. Farmasi Klinis

Istilah farmasi klinis dibuat untuk menguraikan kerja apoteker yang tugas utamanya berinteraksi dengan tim kesehatan lain, interview dan menaksir pasien, membuat rekomendasi terapi spesifik, memonitor respons pasien atas terapi obat dan memberi informasi tentang obat. Farmasi klinis tempat kerjanya di rumah sakit dan ruang gawat darurat dan pelayanannya lebih berorientasi pada pasien dari pada berorientasi produk. Farmasi klinis dipraktekkan terutama pada pasien rawat inap dimana data hubungan dengan pasien dan tim kesehatan mudah diperoleh. Rekam Medis ( medical record ) atau file dari pasien adalah dokumen resmi termasuk informasi yang diberikan rumah sakit, dimulai dari riwayat pasien , kemajuan latihan fisik sehari-hari yang dibuat tenaga kesehatan yang profesional yang berinteraksi dengan pasien, konsultasi , catatan perawatan, hasil laboratorium, prosedur diagnosa dan sebagainya.

(19)

Farmasi klinis memerlukan pengetahuan terapi yang tinggi, pengertian yang baik atas proses penyakit dan pengetahuan produk-produk farmasi. Tambahan lagi farmasi klinis memerlukan ketrampilan berkomunikasi yang baik dengan pengetahuan obat yang padat ketrampilan monitoring obat, pemberian informasi obat, ketrampilan perencanaan terapi dan kemampuan memperkirakan dan menginterpretasikan hasil laboratorium dan fisik.

Penakaran farmakokinetik dan monitoring merupakan ketrampilan dan pelayanan istimewa dari farmasi klinis. Seorang farmasi klinis adalah sering merupakan anggota tim kesehatan yang aktif , ikut serta ke bangsal untuk mendiskusikan terapi di ruang rawat inap.

III. Penyelesaian Kasus

Dari uraian kasus diatas rumah sakit tersebut di klasifikasikan berdasarkan pada kapasitas pola tempat tempat tidurnya yaitu 100-199. Untuk jumlah apoteker di rumah sakit yang ideal berdasarkan petunjuk Depkes RI adalah 30 tempat tidur di rumah sakit harus dilayani oleh 1 orang apoteker. Sehingga dari petunjuk Depkes RI mengenai ketentuan jumlah apoteker dengan jumlah tempat tidur yang berjumlah 150, dapat diakatan rumah sakit tersebut masih kurang ideal, karena hanya memiliki 4 orang apoteker saja.

Namun untuk mengangkat seorang tenaga kerja / pegawai tidaklah mudah, banyak pertimbangan yang harus dilakukan terutama masalah ketersediaan anggaran yang ada dengan klasifikasi kompetensi yang dibutuhkan serta output yang akan dicapai dari penambahan pegawai tersebut nantinya. Untuk itu peranan 4 orang apoteker yang ada harus dilakukan secara maksimal dengan membuat strategi operasional yang mendukung agar peranan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) sebagai revenue center dapat benar-benar terwujud.

Strategi yang dapat diterapkan dalam kaitannya pada kasus ini adalah melaksanakan pelayanan farmasi klinik dan penerapan kompetensi apoteker di rumah sakit berdasarkan pada prinsip-prinsip drug management cycle secara komperhensif, dimana tujuan akhirnya adalah sebuah instalasi farmasi yang efektif dan efisen. Untuk itu langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan pembenahan pada lingkup organisasi di IFRS tersebut, dimana tercipta suatu bagan organisasi yang menggambarkan uraian tugas, fungsi, wewenang dan tanggung

(20)

jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit.

Secara garis besar dalam organisasi maupun IFRS, pembagian tugas berdasarkan peran apoteker di rumah sakit tersebut meliputi 2 peran utama yaitu peran apoteker dalam manajemen farmasi dan peran apoteker sebagai pelayanan farmasi klinis. Dalam hal ini untuk 4 orang apoteker tersebut pembagian perannya di IFRS tersebut dapat dibagi 2 orang apoteker bertugas pada manajemen farmasi rumah sakit, sedangkan 2 orang apoteker lagi bertugas sebagai apoteker pada pelayanan farmasi klinis di rumah sakit tersebut.

Peran Apoteker dalam manajemen farmasi rumah sakit dapat dikatakan sebagai peran yang paling urgent, karena siklus pengelolaan obat harus diatur sedemikian rupa agar pelayanan kesehatan di rumah sakit khususnya dalam hal penyediaan obat-obatan dapat terlaksanan secara terus-menerus. Karena itulah apoteker perlu memiliki pengetahuan dibidang manajemen yang baik. Dalam setiap implementasi peran yang dilakukan perlu dilakukan evaluasi adanya perubahan, baik langsung maupun tidak langsung, dan perlu dilakukan pula penilaian kesesuaian dengan tujuan dan target dari program yang dilaksanakan, dalam kriteria ini yang diinginkan adalah setiap tahap yang dilakukan dapat berjalan secara efektif dan efisien oleh apoteker di rumah sakit tersebut. Implementasi peran apoteker di rumah sakit yang perlu mendapatkan evaluasi untuk mengetahui apakah indikator tersebut sudah berlangsung secara efektif dan efisien terdiri dari :

- Peranan apoteker dalam tahap seleksi dan perencanaan obat di IFRS

Peran ini merupakan awal yang sangat berarti terhadap rumah sakit, karena dengan melakukan pemilihan obat yang tepat bagi kebutuhan rumah sakit maka pelayanan dapat berlangsung dengan baik dan dapat memenuhi keinginan berbagai pihak yang mempunyai kebijakan di rumah sakit.

Dalam tahap ini evaluasinya menyangkut Persentase kepatuhan terhadap formularium atau obat esensial, dimana obat yang ada dalam formularium yang dilayani dilakukan perbandingan dengan keseluruhan obat yang dilayani di rumah sakit tersebut, evaluasi pada peranan apoteker dalam tahap seleksi juga dilakukan terhadap Rata-rata ketersediaan obat indikator, yakni dengan melihat perbandingan jumlah obat yang tersedia dengan rata-rata pemakaian obat tiap bulannya; Persentase formularium dengan DOEN, yakni jumlah obat dalam formularium yang terdapat dalam DOEN dibandingkan dengan yang ada di

(21)

formularium, kemudian untuk mengetahui dibuat dalam persentase dengan mengalikannya 100%, pelayanan tersebut dapat dikatakan efektif apabila hasil yang diperoleh mendekati 100%.

Sedangkan dalam tahap perencanaan, peranan apoteker dilakukan evaluasi terhadap persentase dana yang tersedia dengan kebutuhan, yaitu dengan membandingan dana yang ada dengan dana yang dibutuhkan; Persentase perencanaan dengan kenyataan, yakni dengan membandingkan antara jumlah obat yang ada dalam perencanaan dengan jumlah obat yang kenyataan diadakan; Persentase kesesuaian antara perencanaan dengan kenyataan untuk masing-masing obat, yaitu perbandingan antara jumlah obat indikator yang ada dalam perencanaan dengan kenyataan yang diadakan, semua evaluasi dalam kemampuan apoteker di IFRS akan dikatakan efektif apabila hasil dari evaluasi tersebut mendekati nilai 100%.

- Peranan Dalam Pengadaan Perbekalan Farmasi.

Perencanaan pengadaan kebutuhan perbekalan farmasi memerlukan kajian yang cermat, tepat dan teliti berdasarkan pada stok yang ada serta dilakukan pengkajian obat yang akan diadakan sesuai dengan formularium yang terkendali, dan formularium tersebut secara terus-menerus dilakukan pemutakhiran. Sehingga dengan begitu anggaran menjadi efektif dan efisen.

Dalam pengadaan yanng berbasis pada formularium maupun metode pengadaan lain dilakukan juga dengan melakukan analisis-analisis ekonomi, seperti Economic Order Quantity untuk obat-obatan maupun perbekalan farmasi yang kebutuhannya tetap, Just in time, untuk sediaan obat-obatan yang memiliki harga yang mahal namun jarang dipakai, dan obat-obatan yang di akan diadakan sebelumnya telah disusun menggunakan metode Pareto atau ABC analisis. Dalam arti Apoteker harus mempunyai kemampuan administrasi dan manajerial dalam mengelolah data kebutuhan obat yang kemudian di tuangkan ke dalam rencana operasional yang digunakan dalam anggaran serta berkonsultasi dengan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).

- Peranan dalam Penyimpanan Obat

(22)

pentingnya pengaturan dan pengendalian stok untuk menjamin mutu dari obat-obatan maupun alat kesehatan yang disimpan dapat dipakai ataupun berefek sesuai dengan yang diharapkan. Pada kegiatan penyimpanan ini sangat dibutuhkan sistem informasi manajemen yang andal, agar pelayanan dapat memberikan outcome yang positif. dan untuk mempersiapkan laporan dibuat pola sistem dan prosedur kerja serta administrasi yang sesuai dan memenuhi syarat.

Dalam tahap ini untuk mengetahui apakah pekerjaan yang dilakukan Apoteker sudah efektif perlu di evaluasi terhadap : Persentase kesesuaian antara stelling card (kartu tunggu) dengan kenyataan, yakni dengan membandingkan antara jumlah obat dalam kenyataan yang tidak cocok dengan kartu stelling yang cocok; TOR = Turn Over Ratio, yakni dengan membandingkan jumlah penjualan dalam Harga Pokok Penjualan (HPP) dengan rata-rata total nilai persediaan dalam HPP; pada kedua indikator tersebut nilai yang didapat akan menjadi efektif dan efisIen jika hasilnya diperoleh nilai yang besar, untuk TOR sepengetahun penulis ada rumah sakit yang dapat mencapai TOR lebih dari 80 kali dalam setahun; Persentase kesesuaian antara kebijakan sistem penyimpanan dengan kenyataan, yakni dengan membandingkan antara obat yang disimpan tidak sesuai kebijakan dengan yang sesuai, persentase yang baik apabila nilai yang diperoleh mendekati 100%.

- Peranan Dalam Distribusi Obat

Distribusi obat untuk pasien rawat jalan dan rawat inap dilaksanakan oleh Apotek Farmasi Rumah Sakit, yang harus mempertimbangkan pula segi efektifitas dan efisensi dalam hal biayanya serta keamanan dan ketepatan obat setelah kegiatan dispensing obat oleh petugas farmasi di IFRS. pada kasus ini mengingat keterbatasan jumlah apoteker dan rumah sakit tersebut tidak terlalu besar, sistem distribusi yang dapat digunakan untuk pasien rawat inap adalah dengan sistem obat resep individual sentralisasi. Dalam sistem ini semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di dispensing dari IFRS. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS kemudian order / resep tersebut diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk di distribusikan kepada penderita tertentu, dimana yang memberikannya adalah perawat rumah sakit tersebut. Keuntungan dari sistem disteribusi ini adalah :

(23)

a. Semua resep /order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara

apoteker-dokter-perawat-penderita

c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan d. Mempermudah penagihan biaya obat penderita

- Peran Apoteker dalam penggunaan sediaan farmasi di IFRS

Sesuai dengan kompetensi yang dimiliki apoteker di rumah sakit, apoteker juga memiliki peran dalam hal mengontrol penggunaan sediaan farmasi, agar sediaan tersebut dapat memberikan manfaat bagi pasien di rumah sakit, dalam peran ini aspek farmakoekonomi dapat digunakan untuk melihat efektivitas dan efiisensi penggunaan sedian farmasi tersebut. Tujuannya agar rasionalisasi penggunaan obat oleh pasien dapat terealisasi.

Dalam peran ini evaluasi yang dilakukan oleh apoteker meliputi : indikator persepan obat kepada pasien terhadap :

a. Average number of medicines per encounter, yakni dengan

menghitung jumlah R/ resep (dalam bulan atau tahun) dibandingkan dengan jumlah lembar resep. Dalam hal ini semakin besar nilai rata-rata dari nomal yang ditetapkan, maka dapat dikatakan pola peresepan yang dilakukan persepan berlebih atau kurang rasional

b. Percentage of medicines prescribe by generic name, yakni menghitung

jumlah obat yang ditulis (R/) dengan generik dibandingkan dengan obat yang ditulis, dalam hal ini berkaitan dengan keputusan menteri kesehatan yang menginginkan agar di rumah sakit dokter-dokter yang melakukan peresepan untuk menulis resep dengan resep obat dengan nama generik, hal ini untuk menyebarluaskan penggunaan obat generik kepada masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu dan menekan biaya pengobatan di rumah sakit.

c. Percentage of encounters with an antibiotic prescribed, yaitu jumlah obat antibiotik yang ditulis dibandingkan dengan semua obat yang ditulis, dalam penggunaan obat yang rasional, kuur pengobatan dengan antibiotik harus sesuai dengan indikasinya, semakin besar ketidaksesuaian yang didapatkan,

(24)

maka dapat dikatakan bahwa penggunaan antibiotik di rumah sakit tersebut kurang rasional

d. Percentage of encounters with an injection prescribed, yaitu jumlah

obat injeksi yang ditulis dibandingkan dengan semua obat yang ditulis pada evaluasi ini dilakukan untuk menilai terhadap peranan penggunaan injeksi di rumah sakit, semakin besar persentase yang ditulis, berkaitan dengan semakin tingginya pola pengobatan yang menggunakan injeksi dalam terapinya. Dan hal ini berhubungan dengan mengukur ketersediaan apotek tersebut bagi kebutuhan rumah sakit.

e. Percentage of medicines prescribed from formulary, yaitu jumlah obat yang

masuk formularium dibandingkan dengan semua obat yang ditulis kemudian dikalikan dengan 100%, persentase ini akan menggambarkan seberapa efektif penggunaan formularium dalam peresepan yang ditulis oleh tenaga medis, semakin besar persentase penyimpangan yang didapatkan maka dapat dikatakan bahwa penggunaan formularium di rumah sakit tersebut kurang berhasil.

f. Percentage of non formulary medicines, yakni jumlah obat yang ditulis

dan termasuk non formularium dibandingkan dengan jumlahsemua obat kemudian dikalikan dengan 100%.

g. Persentase obat yang rusak dan kadaluwarsa, yakni dengan :

1)menghitung jumlah obat yang rusak dan kadaluwarsa dengan jumlah keseluruhan obat kemudian dikalikan dengan 100%

2)mengHitung nilai obat yang rusak dan kadaluwarsa bandingkan dengan total nilai persediaan kemudian dikalikan dengan 100%

penilaian ini menggambarkan efektifitas apoteker dalam mengelola inventorynya, sehingga semakin besar persentase yang didapatkan maka kinerja yang telah dilakukan dapat diniali kurang efektif

h. Persentase obat yang disimpan sesuai FIFO & FEFO, yakni dengan menghitung jumlah obat yang disimpan apakah tidak sesuai dengan FIFO&FEFO bandingkan dengan yang cocok kemudian dikalikan dengan 100%

i. Tingkat ketersediaan obat , yakni dengan membandingkan antara jumlah obat (tertentu) yang tersedia dengan rata-rata penggunaan obat per bulan _dalam bulan

(25)

j. Persentase obat dengan tingkat aman, yakni dengan membandingkan total jenis obat dengan tingkat minimal, sama dengan waktu tunggu dengan total jenis obat dalam persediaan kemudian dikalikan dengan 100%

k. Patient care indicators, terdiri dari :

1) Average consultation time, yakni rata-rata waktu yang digunakan dalam

konsultasi

2) Average dispensing time, yakni rata-rata waktu yang digunakan untuk

memberikan pelayanan sejak resep diterima sampai obat diberikan kepada pasien disertai informasi

3) Percentage of medicines actually dispensed, yakni dengan menghitung

jumlah obat yang dilayani dibandingkan dengan keseluruhan obat yang seharusnya dilayani kemudian dikalikan dengan 100%

4) Percentage of adequately labeled, yakni dengan menghitung jumlah

label yang dibuat yang tidak sesuai standar bandingkan dengan label yang sesuai standar label yang harus dipenuhi

5) Percentage of patients’ knowledge of correct dosage, yakni dengan

membandingkan jumlah pasien yang tidak mengerti dosis dan pemakaian obat dengan yang mengerti kemudian dikalikan dengan 100%

6) Percentage of patient complains, yakni perhitungan yang dibuat dengan

terlebih dahulu membual kuesioner, dan melakuan penyebaran kueisioner tersebut untuk mengetahui seberapa besar pasien yang dilayani merasa puas dengan pelayanan farmasi di rumah sakit

7) Percentage of medical doctors complains, sama dengan untuk

mengetahui penilaian kepuasan pasien, yakni dengan membuat kuesioner kepuasan dokter, kemudian menghitung persentase dokter yang tidak puas terhadap pelayanan yang dilakukan di IFRS.

8) Biaya per kunjungan resep, yakni dengan membandingkan dana pemakaian obat tahun lalu dengan jumlah kunjungan resep tahun lalu

9) Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit, yakni dengan membandingkan antara jumlah jenis obat yang tersedia dengan jumlah jenis obat untuk semua kasus (dilihat dari standar pengobatan) X 100 %, semakin besar persentase yang didapat akan menggambarkan bahwa ketersediaan obat di IFRS tersebut sudah sesuai dengan pola penyakit

(26)

10) Percentage patients treated without medicines, yakni dengan

menghitung pasien yang mengalami DRP karena ada indikasi tetapi tidak mendapatkan obat

11) Percentage medicine – costs spent on antibiotic, yakni dengan meng

hitung biaya antibiotika yang digunakan bandingkan dengan keseluruhan biaya obat

12) Percentage medicine costs spent on injection, yakni dengan menghitung

biaya injeksi yang digunakan bandingkan dengan keseluruhan biaya obat

13) Prescription in accordance with treatment guidelines, yakni dengan

melihat tingkat kepatuhan terhadap standar diagnosa dan terapi

14) Percentage of health facilities with access to impartial medicine information, yakni dengan menetapkan standar informasi yang harus

dilakukan, bandingkan antara pasien yang mendapatkan informasi tidak sesuai standar dengan yang sesuai standar kemudian X 100%

- Peran Apoteker dalam pelayanan farmasi klinis

Berkaitan dengan kasus ini 2 dari 4 orang apoteker yang ada dapat di optimalkan dalam hal pelayanan farmasi klinis di rumah sakit tersebut, dimana peran apoteker dalam hal klinis ini meliputi :

1. Peranan Dalam Kontrol Kualitas Obat

Apoteker melakukan kontrol kualitas obat galenika, analitik, biologis, mikrobiologis, fisika, dan kimia

2. Peranan Sebagai Pusat Informasi, yakni :

a. Memberikan informasi mengenai obat bagi yang memerlukannya. Mengevaluasi dan membandingkan obat-obatan yang tergolong dalam satu kelompok farmakologis.

b. Membantu para dokter dalam pemilihan obat yang aman dan efektif. c. Mendidik tenaga paramedis

d. Bertukar informasi dengan apoteker di rumah sakit lain untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang cara memberikan informasi mengenai obat..

Karena itulah selain memerlukan pengetahuan terapi yang tinggi, pengertian yang baik atas proses penyakit dan pengetahuan produk-produk farmasi.

(27)

Pelayanan farmasi klinis juga memerlukan ketrampilan berkomunikasi yang baik.

Pada Drug Management Cycle hal yang perlu diperhatikan selain kegiatan-kegiatan utamanya (Selection, Procurement, Distribution, and Use) terdapat manajemen pendukung yang juga harus diperhatikan, meliputi :

a. Organisasi

Faktor pendukung organisasi mencakup tentang struktur orgnisasi dari IFRS tersebut telah diatur secara jelas terhadap tugas, fungsi dan jabatan dari petugas IFRS, memiliki Standar Operasional Prosedur yang baik, yaitu suatu sistem yang dibuat untuk pengaturan kerja di instalasi farmasi rumah sakit, agar nantinya pekerjaan yang dilakukan dapat sesuai dengan yang diharapkan. Karena itu di IFRS tersebut, ke empat apoteker harus saling bekerjasama dengan baik, walaupun dalam hal tugas dan wewennang berbeda. Dan dapat mengakomodir keperluan dari para staf yang ada dalam IFRS tersebut agar dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan SOP maupun tugas pokok dan fungsinya.

b. Keuangan

Keuangan sangat mendukung terhadap jalannya suatu kegiatan, karena dengan

budget yang cukup maka kegiatan tersebut diharapkan dapat lebih berkualitas dan

dapat memenuhi tujuan yang diharapkan. Untuk itu pengelolaan keuangan yang dimaksud adalah pengelolaan keuangan yang menjunjung tinggi aspek transparasi, akuntabel, tepat sasaran, dan efisen. Apalagi dalam hal ini instalasi farmasi rumah sakit merupakan revenue center.

c. Sistem Informasi Manajemen

Saat ini untuk memiliki daya saing yang unggul salah satunya adalah dengan memiliki keunggulan dalam hal teknologi dan informasi atau TI. Karena dengan penerapan teknologi informasi yang dalam hal ini adalah sistem informasi manajemen Obat di IFRS yang terintegrasi di setiap unit pelayanan lainnya, maka pekerjaan akan menjadi lebih mudah dan efisen dalam hal tenaga kerja dan penyimpanan file. Dengan SIM obat ini kegiatan yang ada di IFRS juga lebih mudah untuk dilakukan evaluasi untuk mencari feed back dari suatu masalah tersebut. Agar lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan IFRS, pada desain program SIM apoteker harus ikut terlibat sehingga lebih memahami situasi yang berkembang saat itu dan dapat meramalkan kebutuhan program selanjutnya.

(28)

Bagi rumah sakit dan organisasi lainnya Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan intangible asset, karena dengan adanya SDM yang memiliki kompetensi dan knowledge yang tinggi di bidangnya masing-masing, maka akan dapat menciptakan nilai tambah ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan berbagai aset berwujud (tangible asset) seperti modal. Karena itu untuk meningkatkan kompetensi dan knowledge dari Intangible assetnya, manajemen rumah sakit dalam hal ini bagian HRD harus berupaya untuk membuat program-program pelatihan maupun kursus-kursus yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Karena telah terbukti intangible asset ini akan berkolerasi positif terhadap keunggulan bersaing dari rumah sakit tersebut.

Dari penerapan peran farmasis tersebut baik terhadap aspek manajerial maupun aspek pelayanan farmasi klinis diharapkan rumah sakit tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang dapat bersaing dan memberikan value added kepada konsumernya sehingga quality of life dari pasien dapat semakin meningkat.

IV. Daftar Pustaka

Anonim, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI.

Anonim, 2002, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Supervisi dan Evaluasi

Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta : Direktorat Jenderal

Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

Djoko, W., 1999, Manajemen Mutu. Teori Strategi dan Aplikasi. Vol. I. Surabaya : Airlangga University Press

Daris, A., 2006, Perkembangan praktek kefarmasian (online)

http://www.ikatanapotekerindonesia.net/artikel-a-konten/sekilas-info/153.html, diakses 23 agustus 2010

Gandjar,I.G., 2009, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, Kompetensi Apoteker di Indonesia, (online) diakses tanggal 23 Agustus 2010.

Handayani, S., 2008, Standar Kokpetensi Apoteker (online) http://srihandayani.blogsome.com/2008/05/17/standar-kompetensi-apoteker/ diakses tanggal 23 agustus 2010.

Istinganah., dkk. 2006, Evaluasi Sistem Pengadaan Obat dari Dana APBD Tahun 2001-2003 Terhadap Kesediaan dan Efisiensi Obat [Jurnal]. Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 09/No. 01/Maret 2006.

(29)

Ida Prista Maryetty, 2008, Regulasi Obat yang Mempengaruhi Peresepan. (Online). fkuii.org/tiki_wiki_attachment.php?

attId=199&page=pengobatan_rasional_handout diakses tanggal 23 Agustus 2010.

Ozal, 2010 Metode perencanaan (online) http://apoteker-istn.blogspot.com/2010/03/metode-perencanaan.html, diakses 23 agustus 2010

Pudjaningsih, D., 1996, Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Farmasi

Rumah Sakit [Tesis]. Yogyakarta : Magister Manjemen Rumah Sakit

Universitas Gadjah Mada ;

Quick, 1997, Managing Drug Supply (2nd ed). Management Sciences for Health USA : Kumarian Press

Siregar, J.P dan Amalia, l., 2004, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan. Jakarta : EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan ekstrak terhadap bahan alam kulit jeruk dan mangga sebagai penghambat laju korosi pada baja karbon API 5L Gr B dalam media air laut buatan.. Latar

Data dari post-test juga diperoleh dari lembar observasi dan lembar tes pilihan ganda yang dilakukan sesuai dengan video yang digunakan setiap kali pemberian

Yang gua dapat dari duobudjang juga sebenarnya adanya RUU Permusikan ini dibikin pun tidak masalah tapi tergantung konteksnya, kalo misalkan kebebasan berekspresi

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar penurunan dan efektifitas penurunan kandungan logam berat Fe dan Cr pada air lindi TPA Tlekung,

Berdasarkan pada hasil uji F didapatkan bahwa nilai F hitung sebesar 55,345 yang berarti bahwa variabel kinerja karyawan (Y) dipengaruhi secara signifikan oleh variabel

1) Dalam strategi pembelajaran ini interaksi siswa dengan siswa lebih besar dibandingkan interaksi siswa dengan guru. Hal ini menyebabkan siswa lebih banyak belajar antara

Badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau warga negara asing bersama warga negara Indonesia; atau.

Dikatakan oleh Sarman (2001) bahwa kombinasi yang memberikan hasil baik pada tumpangsari adalah jenis-jenis tanaman yang mempunyai kanopi daun yang berbeda, yaitu