• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOLAHAN LIMBAH B3 MENGGUNAKAN INSINERATOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGOLAHAN LIMBAH B3 MENGGUNAKAN INSINERATOR"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH TERMODINAMIKA TERAPAN

PENGOLAHAN LIMBAH B3 MENGGUNAKAN INSINERATOR

Dosen Pembimbing : M S. ALIM Disusun Oleh :

AGUS HIDAYAT HIE108059

ANGGUN PRADITA HIE108055

HERLAMBANG WIBISONO HIE108061

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

2010

(2)

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan karunia-Nya. Berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Termodinamika ini tepat pada waktunya.

Materi yang ditampilkan dalam makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu mengembangkan pengetahuan dan menetapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak M. S. Alim 2. Bapak Amadeo, ST, 3. Teman-teman Mahasiswa.

Karena bantuannya sehingga dapat terwujud makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna perbaikan selanjutnya dan kesempurnaan makalah

ini.

Semoga Tuhan selalu menyertai dan membimbing kita bersama dalam upaya menyelesaikan tugas kuliah. Amin.

Banjarbaru, Mei 2010

(3)

DAFTAR ISI hal KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii BAB I ... 1 PENDAHULUAN... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Tujuan Pengolahan Limbah B3... 2

I.3 Beberapa Parameter Operasional... 9

I.4 Beberapa Jenis Insinerator... 12

BAB II ... 18

PEMBAHASAN... 18

II.1Reaksi Kimiawi dan Prinsip Pembakaran, Termodinamika dalam Insenerasi, Serta Pengukuran Efisiensi... 18

II.1.1 Reaksi Kimiawi dan Prinsip Pembakaran... 18

II.1.2 Termodinamika dalam Insenerasi... 21

II.1.3 Pengukuran Efisiensi... 23

BAB IV ... 26

KESIMPULAN ... 26

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini makin banyak limbah-limbah dari pabrik, rumah tangga, perusahaan, kantor-kantor, sekolah dan sebagainya yang beruupa cair, padat bahkan berupa zat gas dan semuanya itu berbahaya bagi kehidupan kita. Tetapi ada limbah yang lebih berbahaya lagi yang disebut dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Hal tersebut sebenarnya bukan merupakan masalah kecil dan sepele, karena apabila limbah Bahan Berbahaya dan Beracun(B3) tersebut dibiarkan ataupun dianggap sepele penanganannya, atau bahkan melakukan penanganan yang salah dalam menanganani limbah B3 tersebut, maka dampak yang luas dari Limbah Bahan Berbahaya dan beracun tersebut akan semakin meluas, bahkan dampaknya pun akan sangat dirasakan bagi lingkungan sekitar kita dan tentu saja dampak tersebut akan menjurus pada kehidupan makhluk hidup baik dampak yang akan dirasakan dalam jangka pendek ataupun dampak yang akan dirasakan dalam jangka panjang dimasa yang akan datang dan kita tidak akan tahu seberapa parah kelak dampak tersebut akan terjadi namun seperti kata pepatah”Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati”, hal tersebut menjadi salah satu aspek pendorong bagi kita semua agar lebih berupaya mencegah dampak dari limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tersebut, dari pada menyaksikan dampak dari limbah B3 tersebut telah terjadi dihadapan kita dan kita semakin sulit untuk menanggulanginya

Secara garis besar, hal tersebut menjadi salah satu patokan bagi kita, bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menanggulanginya, khususnya pada masalah limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tersebut.

Dan yang menjadi permasalahannya sekarang adalah bagaimana cara mengatasi ataupun menanggulangi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun(B3) tersebut merupakan sesuatu yang sebenarnya harus menjadi perhatian khusus untuk pemerintah dan bahkan menjadi salah satu hal yang juga patut menjadi perhatian kita bersama.

Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya

dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau

memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan berbagai cara cara, salah satunya melalui proses pengolahan secara fisika yaitu insinerasi. Proses pengolahan secara fisik bertujuan untuk mengurangi daya racun

(5)

limbah b3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak berbahaya, selain itu untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.

Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan padat). Limbah berbahaya yang patogen, seperti dari rumah sakit sangat ampuh ditangani cara ini. Keuntungan lain adalah kemungkinan pemanfaatan panas yang ditimbulkannya. Kelemahan dari cara ini adalah modal awal yang relatif tinggi dibanding cara lain. Disamping itu masalah pencemaran udara yang dapat ditimbulkan, membutuhkan sarana yang baik dan cocok menanggulanginya.

I.1 Latar Belakang

Limbah berbahaya patogen misalnya dari rumah sakit, industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya termasuk kategori atau dengan sifat limbah B3. Kegiatan industri disamping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga menghasilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara. Limbah cair, yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat akan mencemari tanah dan sumber air tanah. Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia berupa SOx, NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2 dan NOx diudara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan kerugian karena merusak bangunan, ekosistem perairan, lahan pertanian dan hutan. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia. Limbah dari industri kimia pada umumnya mengandung berbagai macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia. Limbah pertanian yang paling utama ialah pestisida dan pupuk. Walau pestisida digunakan untuk membunuh hama, ternyata karena pemakaiannya yang tidak sesuai dengan peraturan keselamatan kerja, pestisida menjadi biosida – pembunuh kehidupan. Pestida yang berlebihan pemakaiannya, akhirnya mengkontaminasi sayuran dan buah-buahan yang dapat menyebabkan keracunan konsumennya. Pupuk sering dipakai berlebihan, sisanya bila sampai diperairan dapat merangsang pertumbuhan gulma penyebab timbulnya eutrofikasi. Pemakaian herbisida untuk mengatasi eutrofikasi menjadi penyebab terkontaminasinya ikan, udang dan biota air lainnya. Pertambangan memerlukan proses lanjutan

(6)

pengolahan hasil tambang menjadi bahan yang diinginkan. Misalnya proses dipertambangan emas, memerlukan bahan air raksa atau merkuri akan menghasilkan limbah logam berat cair penyebab keracunan syaraf dan merupakan bahan teratogenik. Kegiatan sektor pariwisata menimbulkan limbah melalui sarana transportasi, dengan limbah gas buang di udara, tumpahan minyak dan oli dilaut sebagai limbah perahu atau kapal motor dikawasan wisata bahari.

Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.

I.2 Tujuan pengolahan limbah B3

Tujuan pengolahan B3 adalah untuk untuk mengurangi daya racun limbah b3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak berbahaya, selain itu untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.

Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3, harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.

I.3 Identifikasi limbah B3

Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1. Berdasarkan sumber

2. Berdasarkan karakteristik

Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:

• Limbah B3 dari sumber spesifik;

• Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;

• Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

(7)

• Mudah meledak;

• Pengoksidasi;

• Sangat mudah sekali menyala;

• Sangat mudah menyala;

• Mudah menyala;

• Amat sangat beracun;

• Sangat beracun;

• Beracun;

• Berbahaya;

• Korosif;

• Bersifat iritasi;

• Berbahaya bagi lingkungan;

• Karsinogenik;

• Teratogenik;

• Mutagenik.

Karakteristik limbah B3 ini mengalami pertambahan lebih banyak dari PP No. 18 tahun 1999 yang hanya mencantumkan 6 (enam) kriteria, yaitu:

• Mudah meledak; • Mudah terbakar; • Bersifat reaktif; • Beracun; • Menyebabkan infeksi; • Bersifat korosif.

Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan:

• Lokasi pengolahan

Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:

1. Daerah bebas banjir;

(8)

Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus: 1. Daerah bebas banjir;

2. Jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya; 3. Jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m; 4. Jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;

5. Dan jarak dengan wilayah terlindungi (seperti: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m.

6. Fasilitas pengolahan

Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi: 1. Sistem kemanan fasilitas;

2. Sistem pencegahan terhadap kebakaran; 3. Sistem pencegahan terhadap kebakaran; 4. Sistem penanggulangan keadaan darurat; 5. Sistem pengujian peralatan;

6. Dan pelatihan karyawan.

Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengolahan limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan.

• Penanganan limbah B3 sebelum diolah

Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.

• Pengolahan limbah B3

Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sbb:

1. Proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.

2. Proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik, dll.

(9)

3. Proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir

4. Proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr.

Sebagian besar limbah organik berbahaya terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen dengan campuran halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Struktur molekul umumnya akan menentukan tingkat bahaya substansi organik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul sebuah limbah organik dapat dihancurkan atau direduksi menjadi karbondioksida, air dan substansi organik yang lebih sederhana, maka limbah tersebut bisa dikurangi tingkat bahayanya. Destruksi termal umumnya menjadi pilihan teknologi pengolahan dalam pengelolaan limbah berbahaya dan insinerator merupakan teknologi proses termal yang paling sering digunakan untuk mengolah limbah organik berbahaya, karena teknologi ini memungkinkan destruksi yang tinggi dalam banyak jenis limbah organik, walaupun pada saat yang sama dikeluarkan pencemaran udara dapat ditanggulangi dengan sarana dan kontrol yang sesuai.

Insinerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu noncombustible dan abu. Gas/partikulat tersebut dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu dikeluarkan dari insinerator dan disingkirkan pada lahan-urug. Disamping pengurangan massa dan volume, sasaran utama insinerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu sendiri, misalnya dalam detoksifikasi. Oleh karenanya peranan temperatur serta waktu tinggal yang akan sesuai akan memegang peranan penting dalam insinerator limbah B3.

Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan padat). Limbah berbahaya yang patogen, seperti dari rumah sakit sangat ampuh ditangani cara ini. Keuntungan lain adalah kemungkinan pemanfaatan panas yang ditimbulkannya. Kelemahan dari cara ini adalah modal awal yang relatif tinggi dibanding cara lain. Disamping itu masalah

(10)

pencemaran udara yang dapat ditimbulkan, membutuhkan sarana yang baik dan cocok menanggulanginya. Kontrol atau pengoperasian insinerator membutuhkan operator yang terlatih secara baik. Operasi sebuah insinerator pengolah limbah berbahaya adalah jauh lebih kompleks dibanding teknlogi lainnya, terutama dengan adanya variasi komposisi limbah untuk mencapai efisiensi destruksi termal yang diinginkan.

Bila sebuah insinerator tidak dilengkapi dan difungsikan dengan baik, maka akan menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan manusia misalnya dengan timbulnya bau, partikulat, gas-gas berbahaya yang mungkin lembur. Formasi pencemaran udara yang potensial seperti HCL, CO, SO2, NO, logam berat dan abu partikulat lainnya dapat menimbulkan dampak

serius.

Secara umum tahapan proses dari sebuah insinerator dapat dipisahkan menjadi beberapa langkah, yaitu :

- Penyiapan Limbah - Pemasokan limbah - Pembakaran limbah

- Pengolahan gas dan partikulat hasil pembakaran - Penanganan residu abu

Penangkapan panaas dapat pula dimasukkan sebagai salah satu bagian dari sistem sebuah insinerator.

(11)

Gambar 1 : Komponen –komponen dari sebuah insinerator

Gambar 1 merupakan gambaran dari bagian-bagian tersebut. Sebuah insinerator beroperasi layaknya sebuah sistem, masing-masing langkah tersebut saling berhubungan. Penyiapan limbah agar sesuai dengan kriteria rancaangan (dimensi butiran dan sebagainya) serta pemasokan limbah kedalam tungku pembakaran akan menentukan seberapa jauh limbah tersebut terbakar sempurna dan akhirnya akan mempengaruhi kualitas gas dan abu yang dihasilkan.

I.4 Beberapa Parameter Operasional

Destruksi limbah B-3 dalam sebuah insinerator tercapai dengan terpaparnya limbah pada temperatur tinggi, biasanya di atas 850 0C. Bila dirancang dan

dioperasikan secara tepat maka cara ini akan memberikan hasil yang baik dalam mengancurkan limbah berbahaya dan sekaligus mengurangi volume dan massanya. Di USA, sistem sebuah insinerator limbah biasanya mengacu pada aturan yang terdapat pada RCRA dan SCA. Aturan-aturan tersebut menggariskan adanya temperatur minimum untuk destruksi yang harus dipertahankan dengan tanggal waktu tinggal (Td) tertentu pada keadaan oksigen berlebih.

(12)

Insenerator limbah B-3 biasanya beroperasi dengan aliran yang panas dan terjadi turbulensi diantara refractori (dinding tungku). Beberapa faktor penting yang akan mempengaruhi terjaminnya destruksi panas antara lain:

a. Temperatur

Dalam proses thermal, maka parameter temperatur agaknya merupakan faktor yang signifikan dalam menjamin destruksi yang baik bagi limbah B-3. Efisiensi destruksi dan penyisihan atau DRE dalam setiap insenerator akan tergantung pada temperatur insenerator. Dikenal threshold temperatur yang didefinisikan sebagai temperatur operasi untuk memulai terjadinya destruksi termal terhadap limbah B-3.

b. Waktu tinggal

Volume sebuah insenerator akan menentukan waktu tinggal untuk debit aliran tertentu. Parameter ini berinteraksi dengan temperatur destruksi untuk menjamin terjadinya DRE. Waktu tinggal yang cukup diperlukan agar DRE tercapai. Dengan kata lain PIC harus cukup waktu untuk tinggal dalam insenerator dengan panas tertentu agar destruksi limbah organik menjadi CO2 dan H2O dapat terjamin. Bila POC tidak tecapai, maka dibutuhkan

perlengkapan di hilir sistem untuk menanggulangi masalah pencemaran udara. c. Turbulensi

Derajat turbulensi dapat digunakan secara efektif untuk mencapai DRE yang diinginkan dan mengurangi kegagalan operasional untuk memperoleh temperatur dan waktu tinggal yang merata. Konfigurasi sebuah insenerator akan mempengaruhi kemampuan DRE secara keseluruhan. Pemilihan pompa, blower dan penyekat (baffle) hendaknya didasarkan atas jenis limbah yang akan dibakar serta kebutuhan DRE yang harus dicapai. Transfer panas dan aliran fluida perlu dipertimbangkan dalam perancangan agar parameter turbulensi ini dapat terpenuhi.

d. Tekanan

Banyak insenerator limbah B-3 dirancang atas pengoperasian pada tekanan sedikit negatif untuk mengurangi emisi yang terlalu cepat. Kebocoran udara dapat terjadi pada tekanan rendah ini, tetapi pengendapan yang sangat ketat tidak dibutuhkan. Beda halnya bila insenerator dioperasikan pada tekanan tinggi, maka masalah kebocoran udara perlu mendapat perhatian yang serius, dan penambal yang digunakan juga harus tahan panas, salah satu kelemahan pada insenerator jenis ini adalah masalah kebocoran yang mungkin terjadi.

(13)

Operasi sebuah insenerator didasarkan atas reaksi komponen-komponen limbah dengan oksigen. Biasanya udara digunakan sebagai sumber oksigen. Insenerator pada dasarnya membutuhkan oksigen yang cukup untuk mencapai pembakaran yang sempurna. Namun beberapa jenis insenerator dioperasikan dengan sistem pirolisis (starved incenerator) pada pembakaran limbah padatnya, dilanjutkan dengan pembakaran sempurna dengan oksigen berlebih pada bagian gas yang dihasilkan. Suplai udara yang berlebihan akan mempengaruhi waktu tinggi (lebih pendek), temperatur (lebih rendah). Terjadinya kebocoran udara juga akan mempengaruhi banyaknya suplai udara.

f. Bahan konstruksi

Insenerator dibuat atau dibangun dengan bahan terpilih untuk memungkinkan operasi menerus yang bebas masalah dengan kondisi limbah B-3 yang tidak homogen. Bahan yang digunakan biasanya mulai dari baja biasa sampai exotic alloy. Prediksi jenis atau karakteristik limbah yang akan masuk pada insenerator sangat membantu dalam pemilihan jenis bahan insenerator, sehingga alat ini dapat beroperasi dengan baik dan berumur panjang.

g. Perlengkapan tambahan

Terdapat beragam perlengkapan tembahan yang perlu dipertimbangkan pada sebuah insenerator, seperti :

- Sistem pemasokan yang harus cocok dengan karakter limbahnya. - After burner dibutuhkan untuk menjamin DRE.

- Pengolahan di hilir yang biasnya dibutuhkan untuk mengolah produk tidak diinginkan, misalnya asam-asam mineral.

- Sarana penyingkir debu untuk menjamin destruki termal bagian limbah padat atau lumpur.

Isolasi insenerator dengan bahan refractrory dibutuhkan untuk menjamin bertahannya panas dalam insenerator. Insenerator beroperasi pada kondisi siklus temperatur tinggi dan rendah, sehingga akan mempengaruhi kekeuatan dinding, disamping pengaruh jenis kimia yang ada pada limbah, jadi sebuah insenerator limbah B-3 harus mempunyai ketahanan fisis dan kimia agar berumur lama. Beberapa jenis refractory yang biasa digunakan adalah : fireclay, alimina, silica, chromium, magnesia, dan berbagai oksida lainnya. Bahan ini biasanya dipasok dalam bentuk kering dan dicampur dengan air sebelum dicetakkan pada insenerator.

(14)

I.5 Beberapa Jenis Insenerator

Banyak limbah berbahaya yang bernilai kalor tinggi dibakar pada industri yang menggunakan boiler dan tungku, sehingga mengurangi bahan bakar sampai 5 – 10 %, misalnya pada pabrik semen. Namun biasanya sarana ini tidak dilengkapi dengan pencegahan pencemaran udara (misalnya HCl).

Beberapa jenis insenerator untuk limbah berbahaya tersebut akan dibahas secara ringkas.

a. Insenerator dengan injeksi cair (liquid injection inceneration)

Metode insenerasi untuk limbah berbahaya yang paling umum adalah didasarkan atas injeksi cair, baik horizontal, vertikal maupun tangensial. Mayoritas dari insenerasi ini adalah melalui nozel-pengatoman (atomizing nozzle) ke ruang pembakaran. Pemasok bahan bakar tambahan (gas dan cair) atau auxiliary fuel digunakan. Temperatur yang digunakan biasanya antara 1500 – 3000 0F (815 – 1650 0C). Limbah cair dengan pengatoman disemburkan ke dalam

ruang pembakaran dengan ukuran partikel antara 40 sampai 100 µm. Efesiensi destruksi ditentukan oleh banyaknya pengembunan dan uap yang bereaksi. Turbulensi sangat diinginkan untuk mendapatkan destruksi limbah organik berbahaya setinggi mungkin. Penambahan dan peletakan alat pembakar (fuel burner) serta nozel penginjeksi akan tergantung pada aliran cairan yang akan diinsenerasi (aksidal, radial ataupun tangensia l0 untuk mencapai temperatur, tingkat turbulensi dan waktu tinggal yang diinginkan.

b. Insinerator rotary kiln

Jenis insinerator rotary kiln sering digunakan dalam menangani limbah berbahaya (padat maupun cair) karena kemampuannya yang baik. Gambar 2 merupakan insenerasi jenis insenerator ini yang menerima segala jenis limbah cair atau padat.

(15)

Gambar 2 Insenerator Rotary Kiln

Limbah padat atau limbah cair dalam drum biasanya dipasok dengan sistem conveyor atau ram, limbah cair atau lumpur yang dapat terpompa diinjeksi melalui nozel.

Insinerator rotary kiln biasanya mempunyai diameter 1,5 sampai 3,6 m dengan panjang 3 sampai 6 meter serta ratio panjang ke diameter (P/D) antara 2 sampai 8. Rotasi yang digunakan biasanya 0,2 sampai 1 inchi perdetik. Rotasi lebih kecil digunakan bagi limbah yang membutuhkan waktu tinggal lebih lama. Waktu tinggal limbah padat didasarkan atas kecepatan rotasi dan sudutnya.

Persamaan yang biasa digunakan adalah: Ѳ = (0,9 L)/ NDS

Ѳ = waktu tinggal (menit) L = panjang kiln (ft)

(16)

N = rotari klin (h/menit) D = diameterkiln (ft) S = kemiringan kiln (ft/ft)

Drum-drum atau karto-karton limbah berbahaya langsung dipasok ke dalam kiln, tetapi biasanya perlu dipotong-potong terlebih dahulu. Umumnya sistem kiln terdiri dari 2 kamar, yaitu :

- Kamar -1 beroperasi pada 1500-2000 0F (815-15400C), serta

- Kamar-2 agar pembakaran sempurna (after-burner) bekerja pada 1800-30000F

(98000-16500C). Limbah cair biasanya diinjeksikan lansung pada kamar-2. Limbah

yang tervelatil meninggalkan kiln lalu masuk kamar-2, oksigen serta limbah cair berkalori tinggi atau bahan bakar ditambahkan. Limbah dihancurkan sesuai dengan DRE yang diinginkan di kamar-2. Kedua kamar biasanya dilengkapi dengan sistem pengapian untuk startup.

Kelebihan rotary klin adalah kemampuannya untuk menerima limbah yang bervariasi, dioperasikan pada temperatur tinggi dan pencampuran yang menerus. Insenerator ini dapat dioperasikan dalam kondisi kekurangan oksigen (pirolisis). Tetapi insenerator ini membutuhkan biaya yang tinggi serta tenaga yang terlatih. Jenis lain yang sejenis adalah cement-kiln. Pabrik semen dapat menghemat energi dengan meninsenerasi limbah cair. Asam hidroklorida dari limbah hidrokarbon-berkhlorida misalnya, dapat menetralisir kapur dalam kiln sehingga menurunkan alkalinitas pada produksemen. Cara ini yang diterpkan pada Pusat Pengolah Limbah B-3 di Cibinong, antara Waste Management Indonesia dengan Pabrik Semen di dekatnya.

c. Insenerasi dengan media terfluidasi (fluidized bed)

Proses temperatur tinggi dengan fluidized bed telah digunakan lama dalam industri. Pada awalnya teknologi ini digunakan dalam gasifikasi batubara, kemudian berkembang pada aplikasi catalytic cracking dalam refineri minyak. Teknologi fluized bed ini diadaptasi dalam berbagai proses karena teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan derajat turbulensi yang tinggi, area transfer panas yang besar untuk mencampur limbah berbahaya, oksigen dan media terfluidisasi. Dengan pencampuran yang baik antara media inert (biasanya pasir) akan memberikan hasil insenerisasi yang baik, dengan udara berlebih rendah dan gradien temperatur yang minimal di seluruh media. Waktu tinggal yang digunakan antara 5-8 detik atau lebih, pada temperatur 1400-16000F (760-8700C).

(17)

Kelebihan jenis insinerator ini adalah nilai DRE yang tinggi temperatur yang relatif seragam (uniform), residu nya yang relatif tidak berbahaya serta biaya operasi dan pemeliharaan yang rendah. Beberapa jenis fluidized bed ini antara lain : bubling fluidized bed dan circulating fluidized bed.

Insinerasi bubling-bed mempunyai media dari pasir yang diaduk dengan lewatnya udara melalui media serta yang memungkinkan media pasir terekspensi dan terfluidisasi. Pemanasan awal dari media dilakukan melalui sebuah burner. Aliran limbah dilakukan langsung ke media pasir. Dengan terpaparnya limbah secara langsung dengan media, maka didapat efisiensi insinerasi yang tinggi. Kedalaman media biasanya anatara 0,60 – 2,4 m.

Teknik circulating-bed merupakan pengembangan bubbling-bed dengan kenaikan turbulensi per-unit area. Teknik ini membutuhkan kecepatan udara yang tinggi dan sirkulasi padatan unuk menimbulkan turrbulensi yang tinggi serta memungkinkan waktu tinggal yang cukup guna menghancurkan limbah. Padatan dari area sirkulasi dipisahkan dari gas yang keluar melalui cyclone dan dikembalikan pada insinerator. Temperatur dari jenis ini biasanya lebih rendah dari jenis rotary klin atau bubling-bed, namun cukup mampu untuk menghancurkan limbah berbahaya dengan pencampuran yang lebih sempurna.

d. Insinerator di lautan

Di negara industri juga dikembangkan kapal insinerator menangani limbah berbahaya. Insinerator ini mula-mula dikembangkan di Jerman (1967) dengan menggunakan coastal tanker membakar limbah yang berkhlor yang menghasilkan HCl.

Sejak saat itu beberapa negara Eropa dan Amerika mengembangkan insinerator jenis ini terutama untuk limbah organik berhorinasi. Insinerator vulkanis merupakan contoh insinerator tersebut yang digunaan di USA, dengan kapasitas 25 metrik ton per jam, dilakukan denga liquid-injection pada tekanan pengembunan limbah yang dipasok sekitar 100 – 150 psig, temperatur 2300 0F (1260 0C) dan waktu tinggal sebesar 0,5 detik.

Sifat laut yang alkalin akan menetralisir asam yang keluar dari cerobong bila berkontrak dengan air laut, sehingga tidak dibutuhkan scrubber, dengan demikian akan mengurangi biaya. Namun di Amerika jenis insinerator ini mendapat kritik, salah satu alasannya karena sulit dipantau dampaknya sebab tidak menetap di satu titik.

e. Insinerator kamar-jamak

Rancangan insinerator tradisional yang biasa digunakan adalah insinerator kamar-jamak (multiple chambre incineration), dikenal dua jenis yaitu in-line hearth

(18)

dan retort hearth. Pada model in-line, gas pembakaran mengalir lurus melaui insinerator, dan membelok secara vertikal ke atas, sedang pada model retort aliran gas disamping berbelok secara vertikal tetapi juga berbelok ke samping. Model in-line berfungsi baik pada kapasitas di atas 340 Kg/jam, sedang model retort berfungi baik pada kapasitas di bawah 340 Kg/jam, dan biasa digunakan untuk limbah rumah sakit.

f. Insinerator dengan kontrol udara

Jenis insinerator yang sekarang banyak dikembangkan, misalya untuk insinerasi limbah rumah sakit adalah dari jenis controlled-air, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara starved air atau secara modular atau secara pyrolytic.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Dari semua jenis insinerator diatas, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

(19)

BAB II PEMBAHASAN

II.1 Reaksi Kimiawi Dan Prinsip Pembakaran, Termodinamika Dalam Insenerasi, Serta Pengukuran Efisiensi

II.1.1Reaksi Kimiawi dan Prinsip Pembakaran

Insinerasi adalah proses oksidasi senyawa organik dengan kontrol temperatur tinggi untuk dikonversi menjadi CO2 dan air. Adanya substansi anorganik semacam garam,

senyawa-senyawa metalik dalam limbah perlu dipertimbangkan dalam teknologi ini. Proses insinerasi untuk pengolahan limbah berbahaya relatif sangat kompleks, sehingga dibutuhkan kontrol kinetika reaksi-reaksi kimiawi dalam kondisi non-steady-state. Kontrol juga dibutuhkan dalam kaitannya dengan mekanisme transfer panas, baik secara konduksi. Konveksi dan radiasi, serta reaksi kimai terhadap limbah yang mempunyai fase padat, cair maupun gas dalam kondisi reaksi temperatur tinggi dengan laju pelepasan panas yang tinggi.

Kerumitan kombinasi kendala kimia dan transfer-panas ini diperberat lagi dengan kondisi aliran yang dapat berlangsung secara bersamaan, yaitu laminer maupun turbulen. Variasi perubahan komposisi kimia-fisis limbah berbahaya juga merupakan kendala menetukan agar insinerator itu berfungsi secara baik.

Ada 2 teknologi yang dipergunakan dalam proses oksidasi termal, yaitu pembakaran (combustion) dan insinerasi. Perbedaan antara pembakaran dan insinerasi adalah aplikasi kimiawi serta hubungannya dengan pengaruh konversi sumber daya dan destruksi materi. Proses pembakaran menggunakan bahan bakar (sumber daya alam) seperti

(20)

batu bara, mengoksidasinya dalam keadaan apa adanya untuk menghasilkan produk yang bermanfaat seperti energi, serta produk yang tidak diinginkan seperti pencemaran udara, abu dan debu. Insinerasi menggunakan bahan yang sudah tidak berguna (limbah) dan secara termal mendestruksi bahan tersebut untuk menghasilkan produk yang tidak berbahaya seperti CO2 dan

air serta energi panas yang mungkin dapat dimanfaatkan. Tetapi pencemaran udara, abu dan debu juga dihasilkan. Raeksi yang terjadi dapat dikatakan kompleks, dengan produk final yang sama.

Materi organik yang umumnya terdapat dari unsur karbon ( C ), hidrogen ( H ) dan oksigen ( O ) mengalami proses oksodasi, dan dihasilkan energi, uap air dan gas selama insinerasi. Elemen lain dalam limbah B-3 organik yang umumnya dijumpai dalam proporsi kecil adalah sulfur ( S ), nitrogen ( N ) dan khlor ( K ). Elemen-elemen ini dikenal sebagai sumber utama pencemaran udara. Jadi reaksi kimia dalam zone pembakaran akan melibatkan sejumlah materi organik yang bervariasi beserta komponen radikal bebasnya.

Reaksi pembakaran karbon yang disederhanakan adalah : C + O2 → CO2 + panas

2H2 + O2 → 2H2O + panas

Contoh hasil reaksi misalnya insinerasi alkane, dengan produk akhirnya adalah : 2C2 H6 + 7O2 → 4CO2 + 6H2O + panas

Bila hidrokarbon aromatis diinsenarasi dengan jalan yang sama, dihasilkan: CH3 - C6H5 + 9O2 → 7CO2 + 4H2O + panas

Insenerasi campuran limbah berbahaya seperti ethanol dan tolune dimulai saat temperatur limbah tersebut serta campuran udaranya naik sangat memungkinkannya reaksi oksidasi terjadi secara spontan. Panas pembakaran, yang merupakan resultan panas yang terlepas oleh pembakaran sempurna limbah berbahaya tersebut, umunya akan menghasilkan panas dengan laju tinggi dan fenomena “terbakar” akan terlihat. Dengan terpecahnya ikatan kimiawi elemen-elemen limbah, maka terbentuklah radikal yang bebas untuk kemudian menghasilkan produk pembakaran sempurna seperti CO2 dan air. Bila pembakaran tidak

sempurna maka dihasilkan gas CO.

Berdasarkan keseimbangan termodinamika serta test skala batch ternyata bhawa khlor organik hampir secara tuntas akan bereaksi dalam ruang pembakaran membentuk HCl serta sedikit elemen Cl2. Kecuali bila sistem mempunyai rasio H : Cl yang

(21)

kecil, maka prkatis tidak ada Cl2, yang terbentuk. HCl dan Cl2 ini akan meninggalkan ruang

pembakaran dalam fase uap.

Sulfur yang secara kimiawi terikat dalam materi organik akan terurai menjadi SO2. Sejumlah SO2 akan berekasi dengan komponen alkali. Namun reaksi ini praktis

dapat diabaikan, karena alkali yang ada lebih dulu akan bereaksi dengan HCl. Jadi dapat dikatakan bahwa sulfur organik dalam limbah akan meninggalkan insinerator dalam bentuk uap/gas SO2.

Komponen nitrogen dalam insinerator akan menghasilkan nitrogen oksida (NO2) dan masuk kedalam sistem dalam 2 cara, yaitu melalui udara yang dipasok dikenal

sebagai thermal NOx serta melalui bahan bakar (limbah) yang dikenal sebagai fuel NOx.

Mekanisme pembentukan NOx ini belum banyak dimengerti.

Insinerasi nyata dilapangan membutuhkan oksigen berlebih untuk menjamin pembakaran sempurna, dikenal sebagai products of complete combustion (POC), bila tidak disempurnakan dihasilkan products of incomplete combustion (PIC). Disamping itu udara berlebih dibutuhkan untuk memungkinkan pengenceran ataupun pendinginan.

Limbah yang sangat volatif, seperti limbah cair hidrokarbon, akan membutuhkan lebih sedikit udara dibanding lumpur hidrokarbon yang mengandung lebih sedikit volatile. Insenarasi limbah berlumpur dan padat biasanya membutuhkan udara berlebih 2 sampai 3 kali diatas ekuivalensi stoichiometrisnya. Namun suplai udara yang berlebihan perlu dihindari karena akan menaikkan kebutuhan bahan bakar untuk sampai pada panas tertentu, serta mengurangi waktu tinggal limbah yang akan dibakar dan menaikkan volume emisi udara yang dikeluarkan.

Insenerasi materi organik-berhalogen (halogenated organic) menghasilkan formasi asam-asam halogen yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut. Organik-berkhlor (chlorinated organic) merupakan komponen organik-berhalogen yang paling sering dijumpai pada limbah organik berbahaya, misalnya :

2C2H4Cl2 (dichloroethane) + 5O2 → 4CO2 + 2H2O + 4HCl

HCl yang terbentuk akan berkontribusi dalam hujan asam. HCl ini dapat disisihkan dengan scrubber air, soda atau kapur, atau dapat pula disisihkan selama operasi pembakaran dengan menggunakan sorben kering seperti kapur. Sorpsi HCl dalam air menghasilkan asam yang sangat korosif. Hal yang sama akan dijumpai dalam insenarasi organik-berhalogen yang

(22)

lain. Asam hidroflourik yang dihasilkan merupakan asam yang sangat korosif. Sedangkan asam bromida tidak sekorosif HCl atau HF, tetapi HBr ini akan menghasilkan emisi yang berwarna.

Limbah berbahaya dapat pula mengandung senyawa-senyawa sulfur, baik anorganik maupun organik. Bila limbah ini diinsenerasi, akan dihasilkan SO2, misalnya

pada insenerasi ethyl mercaptan :

2C2H5SH + 9O2 → 4CO2 + 6H2O + 2SO2

Biasanya scrubber alkalin yang mengandung kapur atau soda digunakan untuk menanggulangi SO2 ini yang relatif tidak begitu larut dalam air. Demikian halnya senyawa fosfor organik bila

diinsenerasi akan menghasilkan fosfor pentoxida dan bereaksi dengan air membentuk asam fosfor. Scrubber alkalin biasanya digunakan untuk menanggulangi pencemaran udara ini.

II.1.2 Termodinamika Dalam Insinerasi

Terdapat 2 hukum termodinamika yang langsung berhubungan dengan teknologi insinerasi. Yang pertama adalah bahwa walaupun energi berada dalam berbagai bentuk, namun total dalam energi tersebut adalah konstan. Artinya dalam setiap proses insenerasi, output dalam sistem harus selalu sama dengan input dari sistem tersebut. Hukum termodinamika yang kedua adalah mengekspresikan kenyataan bahwa setiap proses yang hanya terdiri dari transfer panas dari sebuah temperetur ke temperatur lain akan menghasilkan transfer panas dari daerah temperatur lebih tinggi ke daerah temperatur lebih rendah. Temperatur akan berfungsi sebagai penggerak (driving force) dari transfer energi panas. Laju transfer akan proporsional dengan perbedaan temperatur antara dua media. Satuan kuantitatif energi didasarkan atas perubahan temperatur dalam satuan massa air, yaitu kalori.

Disamping itu digunakan pula beberapa terminologi yang berkaitan dengan energi, yaitu :

a. Kalori : didefinisikan sebagai kuantitas panas (kalori) yang harus ditransfer pada satu gram air untuk menaikkan temperaturnya 1o Celcius Satuan lain adalah British Thermal Unit (BTU)

adalah kuantitas panas untuk menaikkan temperatur 1o Fahreinheit dari 1 pound air.

b. Panas pembakaran : panas yang dihasilkan akibat reaksi antara materi dalam bahan bakar dengan oksigen untuk memebntuk CO2 dan H2O sebagai akhir produk.

c. Nilai Kalor Bruto (gross calorific value) : kuantitas panas yang dihasilkan dengan pengukuran calorimeter (bomb calorimeter) dan produk pembakaran yang didinginkan sampai 16o C serta seluruh uap air terkondensasi

(23)

d. Nilai Kalor Netto (net calorific value) : identik dengan definisi di atas, namun air yang terbentuk tidak terkondensasi tetapi dibiarkan pada kondisi uapnya pada temperatur 18o C. Nilai kalor netto lebih kecil dibanding nilai kalor bruto.

e. Kandungan panasnya (enthalpy) : merupakan total kandungan panas (Kcal/kg dan lain-lain) di atas kondisi referensi (standar).

f. Panas sensible (sensible heat) : jumlak panas yang bila ditambahkan atau dikurangi akan mengakibatkan perubahan temperatur dalam sistem.

g. Panas laten (latent heat) : panas yang terkait dengan perubahan fase misalnya dari cair ke uap (vaporisasi) atau dari cair ke padat (fusi) tanpa mengakibatkan adanya perubahan temperatur, juga dapat dinyatakan misalnya sebagai Kcal/kg.

h. Panas tersedia (available heat) : kuantitas panas tersedia untuk digunakan lebih lanjut yang merupakan perbedaan antara panas bruto yang masuk dengan yang hilang.

Pada operasi dalam kondisi tunak maka :

Panas masuk (sensibel + NKB) =

Panas keluar (sensibel + laten + tersedia)

Panas yang dikeluarkan dalam proses pembakaran menghasilkan besaran sekitar 7,8 Kcal/kg karbon terbakar dan 34 Kcal/kg hidrogen terbakar. Alternatif lain adalah panas dikeluarkan dengan laju sebanding dengan aliran masa limbah (dan bahan bakar tambahan) serta NKB limbah (dan bahan bakar tambahan).

Temperatur maksimum dari pembakaran dicapai pada kondisi stoichiometris. Dengan udara berlebih di atas kebutuhan stoichiometrisnya, maka temperatur pembakaran akan menurun karena energi digunakan untuk memanaskan udara tersebut sampai temperatur udara campuran sama. Tambah besar volume udara

berlebih, maka tambah tinggi kehilangan panas karena digunakannya untuk menaikkan temperatur udara masuk, demikian sebaliknya. Tetapi di bawah titik stoichiometrisnya, temperatur juga akan turun walaupun udara masuk diturunkan karena reaksi tidak berjalan sempurna, seperti terlihat dalam gambar 3.

(24)

Gambar 3 : Hubungan Temperatur dan Udara Berlebih

Dengan kenaikan udara berlebih, maka volume oksigen yang tidak bereaksi dengan limbah akan meningkat sehingga konsentrasi oksigen di cerobong akan pula meningkat dan menurunkan konsentrasi CO2 akibat pengenceran. Konsentrasi oksigen dan CO2 di hilir proses

merupakan indikator yang baik bagi tingkat kelebihan udara serta berguna untuk memantau proses pembakaran.

II.1.3 Pengukuran Efisiensi

Berdasarkan TSCA, insinerator limbah cair PCB mendapat perhatian yang sangat ketat, selain insinerator tersebut harus disetujui oleh EPA, maka kriteria yang diberlakukan adalah :

a. Limbah cair yang dimasukkan harus dipertahankan selama paling tidak 2 detik pada 1200o C

± 100o C, dengan 3 % kelebihan oksigen pada cerobong; alternatifnya adalah limbah cair

dipertahankan selama 1,5 detik pada 1600o C ± 100o C dengan 2 % kelebihan oksigen.

b. Efisiensi destruksi dan penyisihan (destruction and removal efficiency atau DRE) untuk PCB adalah ≥ 99,9999 % yang merupakan total penyisihan PCB dari masuk sampai ke cerobong.

c. Efisiensi pembakaran paling tidak sebesar 99,99 % yang dihitung sebagai :

Efisiensi pembakaran = [ Cco2 / ( Cco2 + Cco)] x 100 %

Cco2 = konsentrasi karbondioksida

Cco2 = konsentrasi karbon monoksida

d. Debit PCB yang dimasukkan pada sistem pembakaran harus diukur dan dicatat secara reguler pada rentang tidak lebih dari 15 menit.

(25)

f. Aliran PCB ke dalam insinerator harus dihentikan secara otomatis bila temperatur dalam ruang peembakaran turun di bawah 1600o C atau 1200o C.

g. Monitoring emisi pada cerobong yang dilakukan adalah terhadap : oksigen (O2), karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), hidrogen khlorida

(HCl), total organik-berkhlor, PCB dan total materi partikulat.

h. Aliran PCB ke dalam insinerator harus dihentikan secara otomatis bila terdapat kegagalan operasional, kegagalan dalam memonitor dan mencatat debit PCB, atau kelebihan oksigen.

i. Scrubber digunakan untuk mengontrol HCl selama insinerasi PCB. Untuk limbah PCB non-cair, seperti perlengkapan yang berkaitan dengan PCB, container PCB dan sebagainya, maka kriteria yang di gumakan adalah :

a. Massa emisi udara dari insinerator harus tidak lebih besar dari 0,001 gram PCB per kilogram PCB yang di masukkan, atau DRE ≥ 99,9999 %

b. Aturan lain yang berlaku bagi limbah cair PCB juga di berlakukan di sini Untuk insinerasi limbah B-3 lainnya, maka aturan umum RCRA adalah:

• Insinerator harus mempunyai kemampuan DRE bagi setiap konstituen organik utama yang berbahaya (principal organic hazardous constituent atau POHC) sebesar 99,99% ; dalam hal ini DRE = [(Win –Wout)] / Win] x 100%

Win= laju massa POHC yang di masukkan

Wout=laju massa POHC keluar dari cerobong

• Sebuah insinerator yang menginsinerasi limbah B-3 dan menghasilkan emisi HCl lebih besar dari 1,8 kg/jam harus melengkapi pengontrol-pengontrol pencemaran udara sehingga emisinya tidak melebihi (di pilih yang terbesar) 1,8 kg/jam atau 1% HCl.

• Materi partikulat yang keluar dari cerobong tidak melebihi 180 mg/M3 kering bila di

koreksi dengan persamaan : Pc = Pm [14 – (21 – Y) ]

Pc = konsentrasi konsentrasi partikulat

Pm= konsentrasi partikulat terukur

Y = pengukuran konsentrasi oksigen di cerobong dengan metode Orsal Prinsip Kerja Incenerator

(26)

1. Tahapan pertama adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering dan siap terbakar.

2. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana

temperatur belum terlalu tinggi.

3. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 C - 600 C.

Ruang bakar kedua digunakan sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600 C ~ 1200 Suplay oksigen dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yang sempurna, asap yang keluar dari cerobong menjadi transparan.

BAB III KESIMPULAN

1. Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang).

2. Proses pengolahan limbah B3 bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah b3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak

(27)

berbahaya, selain itu untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.

3. Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Metode Pengolahan B3.

http://limbahb3.com/index.php/metode-pengolahan-limbah-padat-b3.html Diakses Tanggal 14 Mei 2010

Anonim1, 2010. Bahan Berbahaya dan Beracun.

http://Limbahb3.Com/Index.Php/Pengelolaan-Limbah-Bahan-Berbahaya-Dan-Beracun-B3.Html 2010.

(28)

Fachrozi Muallif, 2010. Mengenal Limbah Radiaktif dalam Limbah B3. http://www.jasamedivest.com/files/kep-03-bapedal-09-1995.pdf Diakses Tanggal 14 Mei 2010

http://majarimagazine.com/wp-content/uploads/2007/12/incinerator_1.jpg http://www.maxpelltechnology.com/images/incineratormedis_image006.gif http://www.ingvar.is/Sorp/RotaryKilnVerticalAfterBurn.gif

http://www.pollutionissues.com/images/paz_01_img0124.jpg PT. Oxtrimed Reka Mandiri , 2010. Incinerator.

http://www.produkdalamnegeri.com/pt.php?page=pt_produk&id=109&produk=212 Diakses Tanggal 14 Mei 2010

PT. Tenang Jaya Sejahtera, 2010. Limbah B3 dan Kesehatan.

http://limbahb3.com/index.php/limbah-b3-dan-kesehatan.html Diakses Tanggal 14 Mei 2010

Gambar

Gambar 1 : Komponen –komponen dari sebuah insinerator
Gambar 2 Insenerator Rotary Kiln

Referensi

Dokumen terkait

Kepemilikan Yayasan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Panca Bhakti Palu harus menerapkan strategi yang cemerlang dalam rangka meningkatkan jumlah Mahasiswa

Telah menyetujui isi Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga (keputusan yang telah disepakati dalam rapat Anggota) dan peraturan-peraturan perkoprasian yang berlaku. Keanggotaan

Line Fishing, merupakan teknik penangkapan ikan dengan menggunakan pancing, dengan istilah lainnya disebut hook and line atau angling yaitu alat

Jogja Travel Mart ( JTM ) tahun 2016 sendiri merupakan kegiatan ke-7 yang secara rutin diselenggarakan untuk mempertemukan antara para Seller industri Pariwisata yang berasal

Fuzzy Similarity dalam Penentuan Cakupan Wilayah Indeks Curah Hujan , dan Perbandingan Evapotranspirasi Potensial Antara Hasil Keluaran Model RegCM 4.0 dengan Perhitungan

Peubah yang diamati adalah saat muncul bunga pertama, letak bunga pertama, letak buah jadi yang pertama, umur panen buah pertama, panjang tangkai buah, panjang buah, diameter

9 Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu semua pasien yang menggunakan ventilator lebih dari 48 jam di ICU dan CVCU RSUD Arifin Achmad, data rekam medik pasien

Untuk memecahkan dan mengeksplorasi kandungan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 3 agar menjadi sebuah aturan hukum yang formal dan relevan di