• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. atas permukaan laut (dpl) (Wulandari, 2005). Itik Cihateup merupakan komoditas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. atas permukaan laut (dpl) (Wulandari, 2005). Itik Cihateup merupakan komoditas"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Itik Cihateup (Anas platyrhyncos javanica) 2.1.1 Karakteristik Itik Cihateup

Itik Cihateup merupakan itik lokal berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup sesuai untuk dipelihara di daerah pegunungan karena memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan dingin yang baik dengan kemampuan hidup pada ketinggian 378 m di atas permukaan laut (dpl) (Wulandari, 2005). Itik Cihateup merupakan komoditas ternak unggas lokal yang sangat potensial sebagai penghasil telur. Perannya dalam menunjang perekonomian petani cukup besar, karena produktivitasnya sangat tinggi dengan rataan produksi telur 275 butir per ekor per tahun, tingkat kematian dewasa sekitar 2-5% dan berdaya adaptasi dengan kondisi lingkungan agraris cukup tinggi (Dudi, 2007).

Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air yang mempunyai sifat fisiologis dengan kemampuan termoregulasi yang rendah dibandingkan dengan unggas lainnya. Menurut Saraswati (2011), klasifikasi itik Cihateup adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Anseriformes Famili : Anatidae Genus : Anas

(2)

Wulandari dkk., (2005) meneliti karakteristik itik Cihateup pada corak bulu, warna paruh, dan shank, dijelaskan bahwa warna bulu bagian leher itik Cihateup jantan didominasi warna penciled dan ekor warna polos, sedangkan paruh dan shank didominasi warna hitam. Pada itik betina warna bulu bagian leher, dada, shank dan ekor sedikit berbeda dengan jantan yakni warna laced dan buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam. Warna paruh dan shank yang hitam pada itik Cihateup mirip dengan itik lainnya yang ada di Jawa seperti itik Tegal dan Mojosari. Itik Cihateup memiliki bentuk badan langsing dengan lingkar dada yang lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan itik Mojosari. Rata-rata bobot badan itik Cihateup umur 15 minggu adalah 1,388 kg.

2.1.2 Kebutuhan Nutrisi Itik Cihateup

Nutrisi dalam pakan digunakan tubuh unggas untuk menjaga keberlangsungan proses fisiologis yang secara umum berupa kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi telur dan deposit lemak (North dan Bell, 1990). Bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda dengan ransum ayam (Wahju, 1992). Ransum dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan ternak apabila cukup energi, protein, serta imbangan asam amino yang tepat (Rasyaf, 1995).

Standar kebutuhan dan energi dapat dihitung berdasarkan pola konsumsi ransum per hari (Wahju, 1992). Ransum merupakan gabungan dua atau lebih bahan pakan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien selama 24 jam meliputi lemak, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Anggorodi, 1995). Ransum yang diberikan dapat berupa bentuk pellet, crumble, dan mash. Ransum yang diberikan itik adalah berbentuk mash karena ukuran paruh itik yang lebar dan pipih. Kebutuhan nutrien dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur dan

(3)

fase, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat produksi (Anggorodi, 1995).

Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Itik Cihateup pada Berbagai Umur

Sumber : *) Sinurat (2000) **) NRC (1984) ***) Chen (1996)

Tabel 2. Rata-Rata Kebutuhan Pakan Per Ekor Per Hari

Sumber : Supriadi (2011)

2.1.3 Respon Fisiologi Itik Cihateup terhadap Lingkungan

Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi ternak (Ensminger dkk., 1990). Ternak memerlukan lingkungan yang nyaman untuk mempertahankan hidup, berproduksi, dan bereproduksi secara optimal.

Nutrien Starter (0-8 Minggu) * Grower (9-20 Minggu) Layer (>20 Minggu)* Energi Metabolis (Kkal/Kg) 3.100 2.800** 2.700 Protein Kasar (%) 17,00-20,00 16,00** 17,00-19,00 Calsium (%) 0,60-1,00 0,60** 2,90-3,25 Phospor (%) 0,60 0,60** 0,60 Lisin (%) 1,05 0,90** 1,05 Metionin (%) 0,37 0,56*** 0,37

Umur (Minggu) Jumlah (gram) Umur (Minggu) Jumlah (gram)

1 15,00 12 76,00 2 30,00 13 76,00 3 40,00 14 70,00 4 60,00 15 70,00 5 65,00 16 80,00 6 70,00 17 80,00 7 70,00 18 95,00 8 72,00 19 90,00 9 74,00 20 90,00 10 74,00 21 100,00 11 75,00 22 110,00

(4)

Itik merupakan golongan unggas air yang secara alaminya tumbuh dengan ketersediaan kolam untuk membasahi tubuhnya sehingga suhu itik tetap seimbang dan tidak mengganggu metabolismenya.

Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona nyaman yang disebut Thermoneutral Zone (TNZ) (Noor dan Seminar 2009). Itik Cihateup memiliki TNZ relatif rendah dibandingkan ternak unggas lainnya berkisar 18,3-25,5oC. Itik yang dipelihara dalam kondisi minim air atau air hanya diberikan untuk kebutuhan minum saja serta suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan itik mengalami stres atau cekaman panas. Namun, sebelum itik mengalami stres maka tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Stres merupakan respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homeostatis ternak (Moberg dkk., 2000). Homeostatis adalah kemampuan ternak untuk dapat mempertahankan suhu tubuh. Organ penting sebagai pusat pengaturan suhu tubuh adalah hipotalamus. Ketidakmampuan itik Cihateup melakukan homeostatis dan beradaptasi dalam kondisi minim air akan membuat itik stres.

Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan stres terhadap ternak sehingga konsumsi pakan menurun dan metabolisme terganggu, sehingga produktivitasnya menurun. Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss. Pada kisaran suhu lingkungan normal maka ternak akan melepaskan panas dengan cara sensible heat loss, yaitu hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi, dan konveksi. Pada saat suhu naik melebihi TNZ maka ternak melepas panas secara insensible heat loss, yaitu hilangnya panas tubuh melalui proses panting (Bird dkk., 2003). Ternak yang menderita stres akan mengalami

(5)

panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stres. Panting merupakan tanda klinis yang khas pada golongan unggas yang menderita heat stress secara bersamaan akan terjadi gangguan fungsi normal tubuhnya (Moares dkk., 2003). Suhu rektal ternakpun akan meningkat yang diikuti dengan peningkatan kadar hormon kortikosteron (Tamzil dkk., 2013). Kadar kortikosteron yang terus meningkat sehingga memengaruhi kerja hipotalamus dalam merangsang untuk menurunkan konsumsi pakannya. Ternak unggas yang stres memiliki ciri-ciri gelisah, banyak minum, dan feed intake menurun (Tamzil., 2014).

Ketika ternak menderita stres maka sistem neurogenik langsung diaktifkan (Virden dan Kidd, 2009) ditandai dengan peningkatan tekanan darah, otot, sensitivitas saraf, gula darah, dan respirasi. Bila upaya ini gagal untuk mengatasi stres, maka tubuh akan mengaktifkan Hypothalamicpituitary-Adrenal Cortical System. Ketika sistem ini diaktifkan maka hipotalamus menghasilkan Corticotrophin Releasing Factor (CRF) yang akan merangsang pituitari untuk pelepasan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Sekresi ACTH menyebabkan sel-sel jaringan korteks adrenal mengeluarkan kortikosteron. Hormon ini berfungsi untuk membantu proses glukoneogenesis (Ewing dkk., 1999). Tingginya kadar hormon ini menyebabkan konsumsi pakan menurun dan metabolisme tubuh menjadi terganggu karena kortikosteron merupakan hormon anti anabolisme. Adanya kortikosteron menyebabkan terganggunya produksi sel-sel imun dalam tubuh, yaitu jumlah neutrofil meningkat dan produksi limfosit menurun sehingga rasio neutrofil:limfosit meningkat (Aengwanich dan Chinrasri, 2003).

(6)

2.2 Feed Additive

2.2.1 Definisi Feed Additive

Feed additive adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan biasanya dalam kuantitas yang kecil ke dalam campuran pakan untuk memenuhi kebutuhan khusus (Hartadi dkk., 1991). Murwani dkk., (2002) menyatakan bahwa feed additive adalah bahan pakan tambahan bukan zat makanan yang diberikan pada ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak maupun kualitas produksi.

Berbagai macam feed additive yang bersifat non nutritive menurut Murwani dkk., (2002) antara lain :

1. Flavoring agent, yaitu zat pemberi bau enak yang dipergunakan untuk meningkatkan palatabilitas pakan

2. Enzim-enzim yang memperbaiki daya cerna di bawah kondisi tertentu 3. Antibiotika dipergunakan pada tingkat rendah untuk melindungi pakan

dari serangan perusakan oleh mikroorganisme dan mencegah timbulnya keracunan yang disebabkan oleh mikroflora dalam usus

4. Antioksidan untuk mencegah kerusakan asam-asam lemak yang tidak jenuh dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak karena proses peroksidasi

5. Hormon-hormon yang digunakan untuk memperbaiki metabolisme ternak antara lain :

a. Estrogen untuk memperbaiki pertumbuhan

b. Senyawa-senyawa thyroaktif untuk memperbaiki produksi telur, kualitas telur, kualitas kulit telur dan mencegah degenerasi lemak pada kondisi tertentu

(7)

Feed additive yang digunakan dalam percobaan ini adalah kitosan iradiasi yang memiliki sifat-sifat feed additive seperti antioksidan dan antibiotik.

2.2.2 Kitosan Iradiasi

Kitosan iradiasi adalah produk deasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, mollusca, coelanterata dan nematoda. Kitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Sepherd dkk., 1997). Menurut Cahyaningrum (2008), kitin berbentuk kristal berwarna putih, tidak berasa, dan tidak berbau. Kitin tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut oganik lainnya yang bersifat polikationik.

Kitin merupakan polimer (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-β-D-glukosamin yang dapat dicerna oleh manusia. Struktur kimia dari kitin mirip dengan struktur kimia dari selulosa. Residu monosakarida pada selulosa adalah β-D-glukosa sedangkan pada kitin adalah N-asetil-β-D-glukosa dimana gugus hidroksil (-OH) pada posisi C-2 digantikan oleh gugus asetamido (-NHCOCH3), dimana monosakaridanya dihubungkan melalui ikatan β(1,4) (Kumar, 2000). Struktur kitin dan selulosa dapat dilihat pada Ilustrasi 1 dan Ilustrasi 2.

(8)

Ilustrasi 1. Struktur Kitin

Ilustrasi 2. Struktur Selulosa

Proses utama dalam pembuatan kitosan iradiasi dimulai dengan deproteinasi, yaitu menghilangkan protein pada kulit udang. Tahap ini dilakukan dengan menambahkan NaOH pada konsentrasi rendah sehingga terbentuk Na-proteanat yang larut dalam air. Proses selanjutnya, yaitu tahap demineralisasi untuk memurnikan kitin dari mineral-mineral yang terkandung dalam kulit udang. Tahap ini dilakukan dengan menambahkan HCl encer. Proses terakhir adalah deasetilasi (penghilangan gugus asetil) kitin menjadi kitosan iradiasi yang dapat dilakukan secara kimiawi ataupun enzimatis. Secara kimiawi, deasetilasi kitin dilakukan dengan penambahan NaOH, sedangkan secara enzimatis digunakan enzim kitin deasetilasi (Kim, 2011). Deasetilasi adalah proses pemutusan gugus asetil dari glukosamin, derajat deasetilasi menunjukkan banyaknya gugus asetil yang putus dari glukosamin dan jumlah persentase dari gugus amino pada struktur polimer. Semakin besar derajat deasetilasi maka semakin banyak pula kitosan

(9)

iradiasi yang terbentuk dari kitin, sehingga lebih mudah lamrut dalam asam encer. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan iradiasi polikationik (Shahidi dkk., 1999).

Kitosan iradiasi merupakan jenis polimer rantai yang tidak linier yang mempunyai rumus umum (C6H11O4)n atau (1→4) 2-amino-2-deoxy-β-D

glucosamin, dimana strukturnya dapat dilihat pada Ilustrasi 3 sebagai berikut :

Ilustrasi 3. Struktur kitosan iradiasi

Kitosan iradiasi adalah kitosan yang diputuskan rantainya pada 1,4-β-glikosidik sehingga akan memperpendek rantai kitosan, menurunkan bobot

molekulnya, dan memperkecil efek sterik. Hal ini dikarenakan sifat kitosan yang tidak di iradiasi seperti bobot molekul yang relatif besar dan viskositas yang tinggi menyebabkan kendala dalam aplikasinya. Prabu (2013) menyatakan bahwa kitosan dengan berat molekul yang berbeda memiliki efek hiperkolesterolemik dan hipoglikemik yang berbeda sehingga dibutuhkan turunan kitosan tersebut yang lebih mudah larut dalam air dan viskositas yang rendah.

Pemutusan rantai kitosan dapat dilakukan secara kimiawi menggunakan asam kuat, enzimatis menggunakan enzim kitosanase, dan iradiasi. Pada percobaan ini kitosan yang digunakan sebagai perlakuan diperoleh dari hasil iradiasi. Proses iradiasi dilakukan dengan pemaparan sinar gamma pada bahan

(10)

pangan dalam jumlah dan waktu yang terkontrol untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Yao dkk., 2008). Kitosan ini akan mengalami depolimerisasi bila terkena iradiasi ionisasi.

Daya tembus sinar gamma memiliki banyak aplikasi dalam kehidupan manusia, dikarenakan sinar gamma dapat menembus beberapa bahan. Sejauh ini ada tiga radionuklida pemancar gamma yang paling sering digunakan, yaitu cobalt-60, cesium-137, dan technetium-99m. Salah satu radionuklida tersebut adalah cobalt-60 yang bermanfaat untuk sterilisasi peralatan medis di rumah sakit, pasterisasi beberapa makanan dan rempah, sebagai terapi kanker, dan mengukur ketebalan logam dalam stell mills (Melia, 2014).

Kitosan iradiasi yang dihasilkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menggunakan penyinaran sinar gamma cobalt-60 pada dosis 75 kGy dan laju dosis 5 kGy/jam. Sehingga kitosan iradiasi yang dihasilkan lebih mudah larut dalam air dan mudah terinfiltrasi ke dalam sel tubuh karena memiliki berat molekul rendah, yaitu 7-14 kD.

2.2.3 Sifat Kitosan Iradiasi

Menurut Kumar (2000), sifat fisika dari kitosan iradiasi, yaitu :

1. Pada umumnya polisakarida alami seperti selulosa, dekstrin, pektin, alginat, agar-agar, karagenan bersifat netral atau sedikit asam, sedangkan kitin dan kitosan iradisi bersifat basa

2. Kitosan yang belum dilakukan iradiasi merupakan molekul polimer yang mempunyai berat molekul tinggi.

(11)

Menurut Rismana (2006) kitosan iradiasi memiliki sifat kimia dan sifat biologi, yaitu :

a. Sifat kimia kitosan iradiasi, diantaranya: 1. Merupakan polimer poliamin berbentuk linear 2. Mempunyai gugus amino dan hidroksil aktif

3. Mempunyai kemampuan mengkelat beberapa logam b. Sifat biologi kitosan iradisi, diantaranya:

1. Bersifat biokompatibel dengan jaringan tubuh dan biodegradable dengan cairan tubuh

2. Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif

3. Bersifat hemostatik, fungistatik, antitumor, antikolesterol, antimikroba, dan immunoadjuvant

4. Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat 5. Tidak bersifat toksik

6. Mempunyai daya regeneratif jaringan tubuh

7. Daya ikat sangat tinggi sehingga mampu menghambat absorpsi lemak oleh tubuh

2.2.4 Kegunaan Kitosan Iradiasi

Potensi kitosan iradiasi dalam kehidupan sangat besar peranannya. Peranan kitosan iradiasi non-energi bagi kehidupan melingkup berbagai sektor, diantaranya pertanian, peternakan, kesehatan, industri, lingkungan, dan sumber daya air.

(12)

Berdasarkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (2013), kegunaan kitosan iradiasi dalam sektor peternakan salah satunya sebagai feed additive dalam pakan ternak yang memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Mempercepat pertumbuhan hewan 2. Anti bakteri atau jamur

3. Melindungi hewan dari berbagai penyakit (vaksin) 4. Immunostimulatory dan hypocholesterolemic

5. Mengikat ion logam berat sehingga hewan terhindar dari adanya cemaan yang dimakan

6. Mempunyai aktifitas imunologik seperti mengaktivasi makrofag peritoneal 7. Antioksidatif

8. Meningkatkan produksi

9. Oligokitosan mempunyai khasiat untuk memperbaiki pencernaan hewan, mengurangi absorpsi lemak dari saluran pencernaan dengan mengikat gugus karboksil lemak

2.3 Sistem Pencernaan Itik

Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan makanan, baik secara fisik maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap diserap oleh dinding saluran pencernaan. Pada ternak unggas empunyai saluran pencernaan yang sederhana, karena unggas merupakan hewan monogastrik (berlambung tunggal). Saluran pencernaan terdiri dari mulut, esophagus, provetrikulus, ventrikulus (gizzard), usus halus (duodenum, jejenum, ileum), usus

(13)

buntu (caeca), usus besar (colon dan rectum), dan kloaka. Sementara pankreas, hati (lever) dan kantong empedu (gallblader) merupakan organ pencernaan tambahan (Abun, 2008).

Kapasitas saluran pencernaan pada itik periode awal dalam memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) (Rovira dkk., 1994). Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan daya serap usus atau berakibat sebaliknya dengan pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi aktivitas enzim.

2.3.1 Usus Halus

Suprijatna dkk., (2005) menyatakan usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan dan absorpsi produk pencernaan. Berbagai enzim yang masuk ke dalam saluran ini berfungsi mempercepat dan mengefisiensikan pemecahan karbohidrat, protein, dan lemak untuk mempermudah proses absorpsi. Sebagian besar pencernaan terjadi di dalam usus halus, disini terjadi pemecahan zat-zat pakan menjadi bentuk yang sederhana dan hasil pemecahannya disalurkan ke dalam aliran darah melalui gerakan peristaltik di dalam usus halus.

Usus halus dibagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum (usus dua belas jari), jejenum (usus kosong), dan ileum (usus penyerapan). Ileum yang merupakan bagian usus halus yang paling tinggi melakukan penyerapan nutrisi dikarenakan paling banyak ditemui vili dibandingkan di duodenum dan jejenum.

Morfometrik ileum adalah kajian tentang bentuk luar dan susunan ileum yang berkaitan dengan ukuran-ukuran (Riznaya, 2015). Austic dan Nesheim (1990) melaporkan bahwa kemampuan pencernaan dan penyerapan zat-zat

(14)

makanan dapat dipengaruhi oleh luas permukaan epithel usus, jumlah lipatan-lipatannya, dan banyaknya vili serta mikrovili yang memperluas bidang penyerapan. Selain itu, dipengaruhi juga oleh tinggi dan luas permukaan vili, duodenum, jejunum, dan ileum (Sugito dkk., 2007).

Vili berfungsi untuk memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan pakan. Semakin lebar vili semakin banyak zat-zat pakan yang akan diserap pada akhirnya dapat berdampak pada pertumbuhan organ-organ tubuh dan karkas yang meningkat. Awad dkk., (2008) melaporkan bahwa peningkatan tinggi vili pada usus halus ayam pedaging berkaitan erat dengan peningkatan fungsi pencernaan dan fungsi penyerapan.

Permukaan vili terdiri atas tiga sel, yaitu sel absorptif, sel paneth, dan sel goblet. Sel absorptif atau sel toraks berfungsi untuk mengabsorpsi yang dihasilkan pada proses pencernaan. Fungsi dari sel paneth, yaitu mengawasi mengawasi flora yang ada di usus halus dan memliki aktivitas antimikroba. Sel goblet berfungsi untuk melepaskan mucus untuk mengabsopsi nutrisi dan sebagai alat pertahanan diri dari bakteri patogen. Sel goblet ini paling banyak terdapat di ileum (Utama, 2014). Balqis dkk., (2004) menyatakan bahwa sel goblet mensintesis dan mensekresikan mukus glikoprotein berbentuk gel untuk melindungi sel-sel epitelium intestinal dari serangan inang, seperti bakteri non patogen.

Stres dapat relatif cepat menyebabkan perubahan mukosa usus pada permukaan dan isi usus. Perubahan morfologi usus seperti memendeknya vili dan dampak lebihnya meningkatkan radikal bebas (Yason dkk., 1987). Ketika vili usus memendek maka luas permukaan akan berkurang. Semakin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi maka akan semakin aktif kegiatan usus untuk mencerna

(15)

sehingga dapat meransang pertumbuhan organ pencernaan (Sirl dkk., 1992). Panjang usus ternak tergantung pada jenis ransum yang dimakan dan panjang badan.

Kitosan iradiasi merupakan polimer golongan karbohidrat yang panjang berbentuk serat. Semakin banyak ransum yang mengandung kitosan iradiasi yang diberikan pada ternak maka akan semakin intensif kerja saluran pencernaan sehingga mampu memacu pertumbuhan organ pencernaan. Amrullah (2004), menyatakan bahwa serat kasar pada unggas membantu gerak peristaltik usus dan memacu pertumbuhan organ pencernaan. Serat ini menimbulkan perubahan ukuran saluran pencernaan sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang, dan lebih tebal. Retnodiati (2001) juga menyatakan bahwa serat yang tinggi memerlukan penyerapan secara instensif, hal ini mengakibatkan usus memperluas permukaan dan mempertebal dinding usus atau memperpanjang usus sehingga banyak nutrisi yang terserap.

Gambar

Ilustrasi 1. Struktur Kitin

Referensi

Dokumen terkait

NO NAMA TEMPAT TUGAS KECAMATAN BIDANG STUDI JADWAL UJIAN TEMPAT UJIAN ALAMAT 253 IKE RISRIYANINGRUM TK FLORY Tambak Sari Guru Kelas TK 2014-03-05(07.30-10.00) SMK NEGERI 1

Kata “mengerjakan amal shaleh” di dalam ayat tersebut daiartikan sebagai kegiatan pekerjaan seorang agen pemasaran ATK yang bekerja memasarkan produk perusahaan dan sesuai

Telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). 7) Tinggi dan rendahnya nilai kerja seseorang

terlebih dahulu, dengan terdaftarnya diri anda di perpustakaan ini anda telah di izinkan peminjaman buku dengan tempo waktu yang telah ditentukan oleh pihak

(8) Dalam hal pengelolaan Eks Tanah Bengkok diluar sewa garapan yaitu apabila dimanfaatkan dan digunakan untuk kepentingan Pemerintah dan / atau Negara akan diatur

Hasil penjumlahan dan pengurangan angka penting harus memiliki jumlah angka penting yang sama dengan bilangan yang memiliki angka penting terbanyak dari bilangan-bilangan

yaitu tingkat fixed tangible assets, tingkat profitabilitas, tingkat pertumbuhan perusahaan (growth), dan ukuran perusahaan (size) terhadap struktur hutang, baik hutang jangka

Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis gula merah yaitu gula aren, gula kelapa dan gula lontar sebagai alternatif pengganti gula pasir dalam pembuatan wine tomat yang