• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNITAS

DIBO-DIBO

:

Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

Pengantar

Ada satu kesepakatan bersama masyarakat suku di jazirah Halmahera bahwa Dibo-dibo mengacu pada sekumpulan orang yang berprofesi sebagai pembeli barang hasil kebun. Dalam bahasa masyarakat suku Sahu, dibo-dibo lebih dekat dengan kata ti‟bo yang artinya “beli” (Visser,1989). Awalnya mengacu pada kegiatan jual beli barang yang sifatnya universal. Namun lambat laun mengalami penyempitan makna, yang mana dikhususkan saja pada sekelompok orang yang membeli hasil-hasil kebun untuk kemudian diangkut ke salah satu tempat. Mereka ini kemudian lebih dikenal dengan lebih luas lagi sebagai „Tengkulak‟. Kelompok ini sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan, walaupun ada juga yang dilakukan oleh laki-laki.

Dalam upaya untuk menggambarkan sosok dan aktivitas mereka, dalam bagian ini akan diulas mengenai keseharian mereka, bentuk dan pola jaringan kerja serta pola komunikasi yang terbangun di antara mereka.

Dunia Keseharian

15

Ketika matahari mulai menampakan wajah merahnya di ufuk timur, terlihat sebuah kesibukan beberapa ibu-ibu untuk menyiapkan segala macam barang bawaannya ke Ternate. Tidak tertinggal juga

15 Merupakan hasil kompilasi dari keseluruhan wawancara yang dilakukan oleh

(2)

mereka menyiapkan makanan untuk keluarga, yang sudah disiapkan dari sejak subuh. Hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tugasnya untuk melayani anggota keluarga.

Langkah kaki yang pasti turut menentukan pergerakan mereka menuju pelabuhan. Biasanya barang-barang hasil kebun sudah diangkut pada malam hari, jika barang yang diangkut banyak sekali. Namun jika tidak, biasanya diangku ketika mereka tiba di pelabuhan. Dengan mengontrol para buruh melakukan proses bongkar muat, terlihat juga mereka sering bersenda gurau dengan sesame teman yang juga berprofesi sebagai dibo-dibo.

Pada pukul 08:00 WIT kapal yang mereka tumpangi mulai berangkat menuju Ternate. Lama perjalanannya kurang lebih 1,5 jam. Ketika kapal tersebut mulai dekat dengan pelabuhan Dufa-Dufa Ternate, terlihat para penunggu sudah berdiri di Jembatan. Ada yang sudah menyiapkan buruhnya untuk bingkar muat, ada juga buruh lepas yang hendak menawarkan jasa.

Pada siang itu, terlihat begitu ramai. Penumpang umum yang menggunakan jasa penyeberangan ini dibiarkan turun. Namun suasana pada dek bawah kapal sangat sumpek dan ramai sekali. Mereka mulai memastikan barang bawaan mereka, baik itu dalam palka kapal, maupun di atasnya.

Para anggota jaringan mereka yang ada di Ternate mulai turun untuk bertemu dalam rangka penawaran terhadap barang-barang yang dibawa oleh langganan mereka sendiri. Terlihat para dibo-dibo yang berasal dari Sahu mulai melakukan penawaran secara langsung di dalam kapal. Ada sebagian juga yang menunggu untuk diangkut pada terminal penumpang. Terminal penumpang merupakan tujuan akhir. Karena barang-barang yang mereka bawa akan didistribusikan pada pasar tradisional, yang letaknya berdekatan dengan terminal penumpang di Pasar Gamalama Ternate.

Setelah dipastikan semua barang telah berada pada jaringan mereka di Ternate, tampak dari mereka yang mulai berjalan-jalan di

(3)

pasar untuk membeli segala keperluan keluarga mereka. Ada yang membeli baju, peralatan dapur dan juga keperluan yang lainnya.

Pada saat terjadi penawaran, ada juga yang langsung dibayar, namun begitu tidak menutup kemungkinan ada yang tidak dibayar pada saat itu. Jaringan yang menerima barang di Ternate biasanya menerima dari dibo-dibo kemudian dijual di pasar rakyat Gamalama. Hasilnya baru diambil pada hari berikut. Kebiasaan ini menjadi modal mereka untuk pulang pergi Ternate Jailolo. Dibo-dibo Sahu, selain membawa barang-barang mereka, kepergian ke Ternate sekaligus mengambil hasil jualan para anggota jaringan di Ternate.

Pada pukul 13:30 WIT, mereka mulai kembali ke pelabuhan Dufa-dufa untuk kembali ke Jailolo. Tepat pada pukul 14:00 WIT kapal penyebarangan yang mereka tumpangi mulai meninggalkan pelabuhan Dufa-dufa Ternate. Dengan menyusuri pulau Ternate, kemudian pulau Hiri, dengan perlahan namun pasti menyusuri teluk Jailolo. Dengan penuh tatapan yang diam membisu, pulau kecil di bibir teluk Jailolo, pulau Bubua menjadi tanda masuknya kapal tersebut di wilayah teluk Jailolo.

Sekitar pukul 16:00 WIT, kapal tersebut mulai merapat di pelabuhan Jailolo. Pada waktu yang bersamaan, ada sebagian dibo-dibo yang pada waktu itu tidak ke Ternate, karena mereka harus mencari bahan-bahan, baik yang dipesan dariTernate atau yang tidak. Dengan menyusuri rumah-rumah masyarakat atau juga ke kebun masyarakat. Terlihat mereka mulai melakukan penawaran dengan penduduk setempat.

Waktu itu, terlihat dirinya masuk pada salah satu rumah. Dengan bahasa Sahu, dirinya mulai menghampiri tuan rumah. Dengan ramah pula seorang ibu yang di wajahnya mulai tergores guratan ketuaan. Terjadilah penawaran yang biasanya dilakukan oleh seorang dibo-dibo. Akhirnya kesepakatan itu terjadi. Dibo-dibo yang kala itu membawa gerobak dan ada beberapa anak laki-lakinya, mulai memanjat pohon nangka, diambillah nangka yang masih muda (belum matang).

(4)

Tidak berhenti di situ saja, dibo-dibo ini menemui beberapa orang yang berprofesi sama, akan tetapi hanya bergerak di kampong mereka sendiri, karena tidak memiliki jaringan di Ternate. Mereka telah menyiapkan bahan-bahan hasil kebun di dalam karung untuk kemudian tinggal diangkut.

Sore itu, di rumahnya dipenuhi oleh barang-barang yang sudah di-packing dan siap untuk diangkut ke Ternate. Tak lupa juga dirinya untuk menghubungi temannya yang ada di Ternate. Terjadi dialog, yang sepengetahuan penulis memakai bahasa Ternate.

Lebih sibuk lagi kalau musim buah. Mobil pickup selalu bolak balik pelabuhan untuk melakukan bongkar muat. Karena muatan yang sangat banyak sekali. Seperti pada bulan Juli tahun 2010, duren yang buahnya merata pada daratan Sahu. Setiap rumah selalu memiliki duren. Karena begitu banyaknya buah duren, harga yang ditawari oleh dibo-dibo juga rendah. Berkisar Rp. 25.000,- sampai Rp. 50.000,-. Harganya bergantung pada kualitas buah itu sendiri. Tidak hanya duren, akan tetapi bersamaan dengan itu pula musim panen rambutan dan langsat.

Pada musim buah ini, tingkat kesibukan mereka (dibo- dibo) sangat tinggi. Dalam kondisi ini, mereka telah memesan orang-orang tertentu untuk melakukan penawaran dengan pemilik kebun dan atau dengan masyarakat untuk memperoleh harga yang murah. Karena bawaan utama mereka adalah duren, rambutan dan langsat. Akan tetapi mereka juga tidak melupakan bahan-bahan penghasil kebun dan juga rempah-rempah.

Pada akhir bulan, ada beberapa dari mereka yang datang ke Bank BRI untuk menyetor tabungan. Kisaran setoran tabungan mereka adalah Rp. 500.000,- sampai Rp.1.000.000,-. Dari sumber yang diketahui bahwa penghasilan mereka dalam sebulan sangat fariatif, sangat bergantung pada musim. Artinya jika musim buah, maka penghasilan mereka juga naik. Jika tidak, maka sangat bergantung pada pola manajemen keluarga. Karena jika tidak dikelola dengan baik, maka pada akhir bulan tidak sempat untuk ditabung. Kisaran

(5)

penghasilan mereka dari Rp. 1.000.000,-, sampai Rp. 2.500.000,-. Bergantung pada manajemen pribadi artinya bahwa tergangung pada tingkat pengelolaan pemenuhan kebutuhan keluarga. Artinya bahwa karena pemasukan yang mereka

terima 3 kali dalam seminggu, maka jika dikelola, akan ada sisanya untuk ditabung, tetapi jika tidak, maka akan habis dalam sebulan. Apalagi dengan harga barang yang cukup tinggi pula dalam konteks perekonomian di Ternate maupun di Kab. Halmahera Barat.

Aktivitas Sosial Komunitas

Dibo-dibo

Berangkat dari rutinitas seorang dibo-dibo di atas, pada sub bab ini akan dijabarkan tentang aktivitas sosial komunitas dibo-dibo, yang di dalamnya akan menjabarkan tentang motivasi, trust, komunikasi dan relasi sosial dalam komunitas serta sanksi dan pemberlakuannya di antara sesama anggota komunitas.

Motivasi utama mereka dalam komunitas adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing keluarga. Karena komunitas ini sangat terkait dengan profesi dan minat mereka terhadap praktek jual-beli barang. Aktivitas yang mereka jalani selama ini merupakan gambaran utama dari motivasi dasar mereka untuk bergabung dengan komunitas dibo-dibo.

Selain motivasi ekonomis, mereka juga memperoleh keuntungan sosial, yakni terjalinnya relasi yang baik di antara sesama dibo-dibo. Relasi yang terbangun tersebut didasarkan pada persamaan tujuan dri sesama anggota. Yang kemudian bermuara pada hubungan yang akrab dalam anggota komunitas. Salah satu keuntungan sosial, yang bagi kebanyakan anggota adalah mereka tidak terasing ketika sampai ke Ternate, karena ada keluarga-keluarga (jaringan di Ternate) yang bisa menyambut mereka dengan hangat dan ramah. Keuntungan semacam ini merupakan modal utama mereka dalam menjaga keakraban di antara sesama dibo-dibo.

(6)

Dalam kaitannya dengan trust, masing-masing menjaganya dengan melakukan apa yang telah disepakati oleh sesama mereka. Kepercayaan yang mereka pahami adalah saling memahami dan selalu berbuat apa yang telah disepakati bersama. Adapun pola trust yang terbangun pada jaringan mereka adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1. Pola Trust Komunitas Dibo-dibo

Dengan pola di atas, dapat dilihat bahwa kesusuaian tindakan dan kejujuran dalam relasi adalah hal mendasar yang melandasi order hasil kebun dalam sesama jaringan, yang kemudian berimplikasi pada pembagian keuntungan penjualan. Seorang dibo-dibo yang berasal dari Sahu akan membawa hasil kebun di Ternate, yang kemudian dijual oleh jaringan mereka di Ternate. Terkadang mereka tidak langsung memperoleh keuntungan dari barang bawaan mereka, karena harus menunggu hasil penjualan di Ternate. Dasar kepercayaan mereka ini adalah persamaan tujuan, yang membungkus seluruh aktivitas mereka. Oleh karena itu ada trust yang dalam di antara mereka.

Tidak ada rasa khawatir ditipu atau dimanipulasi oleh sesama mereka, karena dari pola di atas diketahui bahwa pembagian keuntungan pun dilakukan dengan mempertimbangkan trust di antara sesama dibo-dibo.

(7)

Pola yang mutualis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. di atas merupakan ciri khas mereka. Dalam upaya untuk menjaga pola trust di atas, sesama dibo-dibo membangun apa yang mereka sebutkan sebagai “kesepakatan dagang” . Dalam arti bahwa masing-masing selalu dikondisikan untuk menjalankan apa yang telah disepakati. Masing-masing dibo-dibo akan terus berkomunikasi secara langsung maupun tidak dalam jaringan mereka. Dalam hal ini, masing-masing dibo-dibo memiliki satu atau dua orang yang menjadi anggota jaringan mereka di Ternate. Dan di antara mereka tidak akan keluar dari jaringan ini. Inilah yang menurut mereka bisa menjaga pola trust di atas. Karena masing-masing sudah dikondisikan untuk tetap konsisten dengan anggota jaringan mereka sendiri.

Konsekuensi dari penyelewengan yang terjadi dalam jaringan, maka anggota jaringan tersebut akan keluar dan mencari jaringan yang lain dalam komunitas. Bagi mereka hal ini merupakan prinsip utama dalam jaringan mereka sendiri, karena masing-masing anggota hanya diperbolehkan untuk menerima barang dari sesama jaringan mereka. Keterbukaan di dalam jaringan bisa terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu.

Kondisi-kondisi tersebut adalah jika barang yang dipesan tidak ada pada sesama jaringan. Itu pun jika jaringan lain mengijinkan untuk diambil oleh pemiliknya. Pola hubungan seperti itulah yang menjadi dasar utama mereka dalam berkomunikasi.

Selain unsur trust di atas, komunikasi juga merupakan salah satu elemen yang penting bagi mereka. Komunikasi merupakan hubungan timbal balik antara dua subjek atau lebih. Demikian merupakan hakikat utama dari komunikasi. Jika bersentuhan dengan hakikat tersebut, maka ketika hal tersebut dikaitkan dengan kehidupan keseharian dibo-dibo, akan tergambar satu pola yang kurang lebih tetap. Artinya bahwa pola komunikasi mereka ditopang oleh kultur orang Halmahera.

Maksudnya bahwa kecenderungan mereka dalam membangun komunikasi dalam jaringan mereka biasanya menggunakan kultur

(8)

suku masing-masing. Sebagai contoh bahasa yang mereka pakai. Dalam kelompok yang berhadapan secara langsung dengan masyarakat, mereka lebih cenderung mengenal dengan baik masyarakatnya, terutama bahasa yang digunakan oleh mereka sendiri. Para dibo-dibo dalam kelompok ini lebih cenderung untuk menggunakan bahasa local setempat. Jika berhadapan dengan masyarakat suku Sahu, maka mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Sahu. Begitu juga ketika mereka berhadapan dengan jaringan yang ada di Ternate, mereka juga lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Ternate.

Selain bahasa, kultur juga mereka kenal dengan baik. Sebagai contoh ketika berhadapan dengan orang Sahu, mereka lebih cenderung melakukan penawaran di kebun, daripada di rumah. Hal ini karena kondisi di kebun dan di rumah lain. Di kebun, orang Sahu lebih cenderung tidak memiliki pilihan harga, karena mereka dari hari senin hingga Sabtu berada di kebun dan tidak mengetahui fluktuasi harga barang yang terjadi di kampung. Akibatnya, para dibo-dibo bisa memperoleh harga beli yang sangat rendah.

Di samping itu pula, mereka juga menggunakan kedekatan hubungan kekerabatan dalam menawarkan barang. Kebanyakan dibo-dibo yang berhadapan langsung dengan masyarakat adalah mereka menggunakan pola hubungan kekerabatan. Dari sumber wawancara dengan nara sumber, diketahui bahwa mereka lebih mudah untuk membeli pada keluarga sendiri ketimbang orang lain. Karena tidak semua barang langsung dibayar pada saat itu.

Pola komunikasi ini menandakan bahwa faktor utama mereka adalah persoalan kultur yang menopang setiap komunikasi yang terjadi pada setiap jaringan. Ketertutupan yang terjadi pada kelompok kedua (pola kedua pada bahasa di atas), diakibatkan oleh determinasi budaya, yang mana mereka tidak terlalu mengenal orang Sahu, yang merupakan sumber modal stok barang yang akan dibawa ke Ternate.

Hal terkahir dalam mengkaji karekter sosial dari komunitas ini adalah sanksi. Terkait dengan sanksi, dalam komunitas ini tidak diberlakukan aturan atau sanksi yang sifatnya tertulis. Sanksi tersebut

(9)

disepakati secara lisan. Karena sanksi tersebut juga muncul sebagai konsekuensi dari aturan main yang disepakati secara lisan juga. Adapun aturan main mereka dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4.2. Alur Tanggung Jawab dalam Jaringan Dibo- dibo

Dengan gambaran di atas, diketahui bahwa dalam komunitas dibo-dibo memiliki jaringan-jaringan. Dan masing- masing jaringan memiliki tanggung jawab yang sama, yakni jaringan dari Sahu memiliki tanggung jawab untuk membawa hasil kebun dari masyarakat suku Sahu dan jaringan Ternate menerima dan kemudian dijual di pasar Ternate. Tanggung jawab dalam jaringan ini bisa saja berpindah dari satu jaringan ke jaringan yang lain bila jaringan dari Ternate tidak memperoleh barang yang dipesan dari jaringan dibo-dibo Sahu.

Aturan main di atas akan bersifat tetap dan tertutup di sesama jaringan. Jika salah satu anggota dalam jaringan tidak memnuhi kewajibannya secara terus-menerus, maka anggota jaringan bisa membuat hubungan baru, atau bahkan bergabung dengan jaringan lain.

Aktivitas Ekonomi Komunitas

Dibo-dibo

Dalam membahas aktivitas ekonomi, akan diorientasikan pada pembahasan tentang Motivasi Ekonomi, Sumber Daya, Kebutuhan, Resiko Ekonomi, Pertukaran Pengetahuan dan Sumber Daya (modal).

(10)

Terkait dengan motivasi ekonomi, disadari bahwa komunitas ini sangat menguntungkan, terutama jika dikaitkan dengan produktivitas. Bagi mereka bahwa profesi ini sangat memberikan keuntungan bagi pemenuhan kebutuhan keseharian keluarga. Karena itu, persamaan tujuan yang menjadi hakikat dasar dari komunitas ini adalah sama-sama harus memperoleh keuntungan.

Dalam kaitannya dengan modal yang dipakai oleh dibo-dibo, terutama dibo-dibo di Sahu adalah tanah, relasi keluarga dan jaringan serta finansial. Akan tetapi, tidak semua dibo-dibo memiliki semua modal di atas secara bersamaan. Terkait dengan tanah (dalam penelitian ini dimaksudkan untuk kebun sendiri), tidak semua memilikinya. Kebun mereka cenderung kurang dari 1 Ha. Namun begitu, modal ini bukan modal yang sangat penting bagi dibo-dibo. salah satu modal utama selain finansial untuk operasional Jailolo Ternate, adalah hubungan kekerabatan.

Sumber daya keluarga merupakan salah satu penopang utama bagi dibo-dibo dari atau yang hidup di wilayah Sahu. Dengan modal anggota keluarga, sudah terjamin bahwa stok bahan hasil kebun akan terus terjaga. Di samping itu pula, modal relasi anggota keluarga akan memampukan dibo-dibo untuk tetap memperoleh hasil kebun dengan harga yang murah. Selain itu pula, ketergantungan ekonomis yang tercipta di antara keluarga akan sangat menguntungkan dibo-dibo. Karena hasil kebun akan tetap ada dan bisa diperoleh dengan harga yang cukup murah. Selain hubungan kekerabatan, modal mereka adalah jaringan.

Dalam mengidentifikasi pola jaringan dibo-dibo di Sahu, akan ditemukan pola yang berbeda-beda. Sangat bergantung pada bagaimana setiap dibo-dibo menjalankan usahanya. Ketika ditemui, diketahui bahwa pola mereka terdiri atas 4 (empat) pola, yang masing-masing memegang peranan yang penting dalam distribusi barang sampai ke tangan konsumen, baik itu di Ternate maupun di tempat yang lain.

(11)

Pola Pertama. Adalah mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat dalam melakukan penawaran pembelian. Mereka ini cenderung tidak membawa barang ke Ternate. Mereka lebih memilih melakukan aktivitas di kampung sendiri, dan mengumpulkan barang di rumah, yang kemudian diangkut oleh orang-orang tertentu yang telah memesan, atau pun tidak. Kelompok ini biasanya disebut dengan “dibo-dibo kampong”. Kelompok ini biasanya lebih terbuka. Artinya bahwa mereka lebih cenderung untuk tidak bergantung pada satu orang saja, melainkan siapa saja boleh datang untuk melakukan menawaran dengan mereka.

Pola Kedua. Adalah mereka yang memiliki jaringan ke Ternate. Kelompok ini merupakan kelompok yang selalu berhubungan dengan pembeli di Ternate. Biasanya mereka ini menguasai pasar tradisional di Ternate. Kelompok ini biasanya sudah memiliki hubungan yang dekat dengan orang-orang di Ternate. Ciri khas mereka ini adalah selalu bisa menguasai bahasa Ternate, walau cuma sedikit, yang penting bisa berbahasa Ternate. Tiap hari mereka ke Ternate, karena sudah memiliki stok barang yang siap untuk diangkut, karena sudah dijamin oleh jaringan mereka yang masuk dalam kategori pertama di atas. Kelompok ini cenderung tertutup, artinya bahwa mereka kebanyakan hanya berhubungan dengan kelompok pada pola pertama. Jarang sekali mereka berhadapan secara langsung dengan masyarakat. Ketika kembali dari Ternate, bisanya mereka langsung melakukan penawaran ke kelompok pertama di atas dan kemudian siap untuk diangkut ke Pelabuhan malam itu juga, agar besok paginya tidak perlu repot untuk mengurus bongkar muat lagi.

Pola Ketiga. Adalah mereka yang lebih cenderung terbuka. Artinya bahwa mereka ini akan langsung melakukan penawaran dengan masyarakat, baik itu di rumah maupun di kebun. Mereka lebih cenderung menjemput barang sendiri dan diangkut ke Pelabuhan. Atau juga mereka mengumpulkan barang-barang yang telah dibeli di rumah dan keesokan diangkut ke Ternate. Kelompok ini biasanya melakukan usaha dalam skala yang tidak terlalu besar. Alasan mereka untuk tidak memakai jaringan pada pola pertama di atas,

(12)

adalah untuk memotong harga barang. Karena ketika melakukan penawaran langsung ke masyarakat, harga yang mereka dapat bisa lebih murah lagi. Kelompok ini biasanya kelompok yang berasal dari Sahu, dan menguasai daerah setempat. Dalam arti bahwa mereka dengan mudah mengidentifikasi potensi kepemilikan masyarakat. Mereka juga mengenal masyarakat dengan baik, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk melakukan penawaran. Di samping itu juga, mereka memiliki hubungan kekerabatan yang luas. Modal inilah yang sering dipakai oleh mereka dalam melakukan penawaran secara langsung dengan masyarakat.

Pola Keempat. Adalah kelompok dibo-dibo yang ada di Ternate. Kelompok ini lebih tertutup. Artinya bahwa mereka tidak dengan sembarangan menerima barang dari orang lain. Mereka lebih cenderung untuk mempertahankan hubungan dengan jaringan mereka yang datang dari Jailolo-Sahu. Setiap satu orang memiliki jaringan 1-2 orang dibo-dibo. Jadi kelompok inilah yang berhadapan dengan pedagang pasar tradisional di Ternate. Terkadang juga mereka menjual sendiri barang-barang yang dibawa oleh dibo-dibo dari Jailolo-Sahu. Kelompok ini sebagian besar adalah mereka yang berpenduduk asli Ternate, ada juga dari suku Makean, dan juga sebagian berasal dari suku Bugis-Makasar.

Dari keempat pola di atas, dapat dilihat bahwa dibo-dibo di Sahu memiliki jaringan yang sangat kuat dan masing-masing memiliki peran yang penting dalam mendistribusikan barang ke Ternate. Dari keempat pola tersebut juga di atas, juga nampak bahwa ada satu mata rantai pemasok yang jelas dalam jaringan mereka. Jika terjadi pemutusan mata rantai pemasok seperti yang telah digambarkan di atas, maka akan terjadi penumpukan barang pada salah satu daerah, baik di Ternate atau juga di Jailolo-Sahu. Secara keseluruhan, keempat pola di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

(13)

Gambar 4.3. Pola Jaringan Komunitas Dibo-dibo

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa cara yang pertama, sebelum sampai pada jaringan dibo-dibo di Ternate, terjadi dua kali distribusi barang, yakni dari masyarakat suku Sahu, akan didistribusikan oleh “dibo-dibo kampong”, yang kemudian akan diambil oleh dibo-dibo yang memiliki jaringan di Ternate. Sedangkan cara yang kedua adalah tidak melalui “dibo-dibo kampong”, tetapi dibo-dibo yang memiliki jaringan di ternate akan berhadapan langsung dengan masyarakat suku Sahu.

Berangkat dari pola jaringan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, apakah akan terjadi sharing pengetahuan dan sumber daya di antara mereka? Dengan relasi jaringan yang sering tertutup dalam komunitas ini, apakah ada kesepakatan di antara mereka terkait dengan sharing pengetahuan atau sumber daya?

Dalam upaya untuk melihat komunitas ini, sharing pengetahuan dalam pemahaman dibo-dibo adalah sharing informasi terkait dengan info harga pasar, serta permintaan barang dari Ternate. Jadi informasi tersebut bisa saja terjadi sharing antar jaringan, dalam arti bahwa informasi yang terkait dengan kondisi pasar di Ternate akan bisa melampaui batas tanggung jawab antar jaringan. Secara khusus untuk dibo-dibo yang berada di Sahu, mereka lebih cenderung untuk terbuka terhadap informasi ini untuk di-sharing kepada dibo-dibo yang lain (terutama yang berasal dari Sahu). Bagi mereka, kelansungan distribusi di antara sesama dibo-dibo yang berasal dari Sahu merupakan pertimbangan utama dalam membagi informasi tersebut.

(14)

Informasi lain yang sering dibagikan di antara sesama mereka adalah informasi seputar keberadaan stock hasil kebun. Informasi tersebut biasanya mengenai tempat dan juga siapa yang harus dihubungi (dibo-dibo kampong). Syarat utama dari sharing akan informasi ini adalah relasi yang akrab di antara pemberi dan penerima informasi. Dalam arti bahwa syarat utama dari sharing informasi ini adalah mereka yang sudah sering berkomunikasi secara intens.

Dalam kaitannya dengan sharing sumber daya (modal), yang paling sering dilakukan adalah sharing hasil kebun. Secara khusus untuk dibo-dibo yang berasal dari Sahu, tidak jarang sesama mereka sering melakukan sharing hasil kebun yang akan dibawa ke Ternate. Tidak jarang juga, jika pada musim panen buah (seperti duren dan rambutan), mereka sering bergabung untuk mengambil hasil panen masyarakat dalam jumlah yang besar. Karena tempat yang berbeda, sangat memungkinkan terjadinya sharing stok hasil panen tersebut.

Gambar

Gambar 4.1. Pola  Trust  Komunitas  Dibo-dibo
Gambar 4.2. Alur Tanggung Jawab dalam Jaringan  Dibo- dibo
Gambar 4.3. Pola Jaringan Komunitas  Dibo-dibo

Referensi

Dokumen terkait

Sorotan Prediksi Kebutuhan Pangan Hewani Asal Hewan (Daging dan Telur) Menghadapi HBKN di Jawa Barat Tahun 2009 - 2010. 6

106 Yoseph Maulana Politeknik Negeri Bandung Teknik Konversi Energi. 107 Rap Olo Martinus Sinaga institut teknologi bandung Semua

Pada perlakuan ini dengan pakan yang terbuat dari daun kelapa sawit dan kombinasi ampas singkong sebagai pakan ternak tambahan, setelah 4 minggu dengan respon ternak yang

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Karena banyak siswa yang gagal dalam belajarnya karena guru yang mengajarnya tidak memiliki basis keilmuan yang tinggi, ataupun metode yang digunakan oleh guru dalam

Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 252/PMK.05/2014 tentang Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, dengan ini kami mengajukan permohonan

Hasil penelitian ialah bahwa ritual ibadah kebaktian adalah kegiatan ibadah rutin setiap Selasa malam, dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang

Persyaratan peserta sebagaimana tercantum dalam dokumen kualifikasi yang dapat diperoleh dengan mengakses aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) pada