• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DI KAWASAN KARST (Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta) ASTRIANTI FAUZI SALIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DI KAWASAN KARST (Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta) ASTRIANTI FAUZI SALIM"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DI KAWASAN KARST

(Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta)

ASTRIANTI FAUZI SALIM

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ketersediaan Air di Kawasan Karst (Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing tugas akhir dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Astrianti Fauzi Salim

(4)
(5)

ABSTRAK

ASTRIANTI FAUZI SALIM. Analisis Ketersediaan Air di Kawasan Karst (Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta). Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN.

Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dengan wilayah yang didominasi oleh bentang alam karst meliputi 60% dari luas total wilayahnya. Secara biologi, vegetasi yang hidup di kawasan karst merupakan tumbuhan yang mampu beradaptasi pada kondisi kering dan lapisan tanah yang tipis seperti paku-pakuan, anggrek, dan beringin. Secara geologi, karst Gunungkidul tersusun atas beragamnya formasi batuan yang terdiri dari Formasi Semilir, Oyo, Wonosari, dan Kepek. Secara fisik, kenampakan permukaan berupa bukit-bukit kerucut, telaga, lembah-lembah tertutup, dan mata air permanen serta kenampakan di bawah permukaan berupa speleothem dan aliran sungai bawah permukaan dengan kedalaman sampai 120 meter atau lebih. Kawasan karst memiliki sistem tatanan hidrologi yang unik. Keunikan ini terjadi akibat berkembangnya porositas sekunder dari batuan yang mudah terlarut oleh air. Air di kawasan karst banyak tersimpan di bawah permukaan dan hanya sedikit yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Jumlah ketersediaan air di kawasan karst dapat dihitung sebagai surplus air yang diperoleh dari neraca air lahan dengan Metode Thornthwaite-Mather. Ketersediaan air secara klimatologis di kawasan karst Gunungkidul terhitung sebesar 7.28 x 108 m3/tahun, sedangkan kebutuhan air mencapai 0.27 x 108 m3/tahun untuk penggunaan domestik sebesar 0.83 x 107 m3/tahun serta pertanian pada lahan padi dan palawija sebesar 1.88 x 107 m3/tahun. Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air di kawasan karst mengidentifikasikan bahwa kawasan ini berada pada kondisi yang belum kritis. Diperlukan adanya pengelolaan kawasan karst yang tepat agar tercapai keberlanjutan. Analisis mengenai ketersediaan air di kawasan karst Gunungkidul dapat dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan kebijakan konservasi sumber daya air kawasan untuk saat ini maupun di saat yang akan datang. Diawali dengan penempatan ijin usaha penambangan yang sesuai dan penanaman vegetasi untuk mempertahankan lapisan tanah yang tipis di permukaan, serta mewujudkan kearifan lokal berprinsip selaras alam seperti pengadaan aturan mengenai sanksi sosial bagi para perusak dan ketentuan mengenai pemanfaatan kawasan terutama bagi para perusahaan yang melakukan galian untuk kegiatan penambangan.

Kata kunci : Biogeofisik, Karst Gunungkidul, Keberlanjutan, Ketersediaan air, Neraca air

(6)

ABSTRACT

ASTRIANTI FAUZI SALIM. Analysis of Water Availability in Karst Area (Case Study: District of Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta). Supervised by HIDAYAT PAWITAN.

Gunungkidul is one of area that covered by karst landform up to 60% of the total area. Karst consists of vegetations that have ability to adapted in dry condition and thin soil layer, such as ferns, orchids, and banyan trees. Karst Gunungkidul was composed by lithologic unit that consists of various formation of rocks, such as Semilir, Oyo, Wonosari, and Kepek Formation. In surface there are conical hills, closed depressions, lakes, and permanent springs. In subsurface, there are speleothems and subsurface rivers with 120 meters depth or more. Karst area has the unique hydrological system arrangement. This system occured because of the expansion of soluble rock’s secondary porosity. There are more water in subsurface storage but less in surface. The amount of water availability can be calculated as water surplus by Thornthwaite-Mather Method. Water availability in karst Gunungkidul is 7.28 x 108 m3/year, while water demand reached 0.27 x 108 m3/year, 0.83 x 107 m3/year for domectic use and 1.88 x 107 m3/year for agricultural use. Water availability and water demand in karst Gunungkidul has a great comparison. Based on the classification, this area is on uncritical condition. Karst area managements are required to achieve sustainability. Beginning with placement of mining activities license, plant vegetation, and apply local wisdom based on natural harmony principles such as rules of social punishment for destroyer and provisions of area utilization.

Keywords : Biogeophysics, Karst Gunungkidul, Sustainability, Water availability, Water balance

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Program Sarjana Meteorologi Terapan

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DI KAWASAN KARST

(Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta)

ASTRIANTI FAUZI SALIM

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Analisis Ketersediaan Air di Kawasan Karst (Studi Kasus: Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta)” sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan besar dalam penyelesaian penelitian ini, yaitu Bapak Hidayat Pawitan selaku pembimbing skripsi, Apa, Mamah, adik, dan keluarga besar atas segala do’a dan dukungan yang tak pernah henti, Ibu Tania June selaku Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, seluruh dosen, dan staff Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, Keluarga besar PPLH IPB, BKSDA DIY, Dinas PUP-ESDM DIY, dan BMKG DIY, Chikita, Ummu, Debby, Nuri, Orita, Sekar, Zi, Cindy, dan GFM49, GFM50, GFM48, Keluarga besar BCA dan Bakti BCA IPB, Pamatjik, serta semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Tidak ada suatu hal yang sempurna di dunia, begitu pula penulisan tugas akhir ini. Atas segala kekurangan yang ada, penulis menerima masukan dan saran yang membangun dalam bentuk apa pun. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Karst 2

Neraca Air di Kawasan Karst 4

Ketersediaan Air 5 Kearifan Lokal 5 Gunungkidul 6 METODE 7 Bahan 7 Alat 7

Prosedur Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Kawasan Karst Gunungkidul 12

Kondisi Biogeofisik Karst Gunungkidul 12

Neraca Air di Kawasan Karst Gunungkidul 15

Ketersediaan Air di Kawasan Karst Gunungkidul 19

Keberlanjutan Kawasan Karst Gunungkidul 21

SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 26

(14)

DAFTAR TABEL

1 Komponen neraca air 4

2 Klasifikasi indeks penggunaan air 10

3 Karakteristik formasi batuan pada zona pegunungan selatan Kabupaten Gunungkidul

13 4 Neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul 18 5 Besaran kebutuhan air untuk penggunaan domestik dan

pertanian

19 6 Penentuan nilai indeks penggunaan air di kawasan karst

Gunungkidul

20

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk poligon dalam penentuan curah hujan wilayah

menggunakan Metode Poligon Thiessen 8

2 Diagram alir tahapan yang dilakukan selama penelitian 11 3 Peta kawasan bentang alam karst Gunungkidul 12 4 Kenampakan morfologi perbukitan karst di Kecamatan

Playen

14 5 Rerata curah hujan bulanan yang terjadi di Nglipar, Playen,

Panggang, dan Paliyan periode 2006-2015

16 6 Kondisi surplus dan defisit pada neraca air lahan karst

Gunungkidul periode 2006-2015

17 7 Korelasi kelengasan tanah dan evapotranspirasi potensial di

kawasan Karst Gunungkidul

19 8 Perbandingan antara ketersediaan air dan kebutuhan air

kawasan karst Gunungkidul pada tahun 2014

20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luasan poligon yang mewakili stasiun Nglipar, Playen, Panggang, dan Paliyan Kabupaten Gunungkidul

27 2 Rataan klimatologi curah hujan bulanan stasiun Nglipar,

Playen, Panggang, dan Paliyan periode 2006-2015

27 3 Hasil perhitungan curah hujan wilayah Kabupaten

Gunungkidul dengan menggunakan Metode Poligon Thiessen

27

4 Data suhu udara bulanan (0C) Stasiun Geofisika Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2006-2015

28 5 Tekstur tanah Kabupaten Gunungkidul tahun 1999 28

6 Kebutuhan air pertanian tahun 2014 29

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air sangat vital keberadaannya di dalam kehidupan. Jumlah air yang tersedia hanya sekitar 2.5% dari total volume air yang ada di bumi. Persentase air tersebut terdistribusi dalam bentuk gletser sebesar 68.6%, airbumi sebesar 30.1%, dan air permukaan sebesar 1.3% (Shiklomanov dan Rodda 2003). Air permukaan yang hanya sedikit jumlahnya tidak menyebar secara merata. Akibatnya terjadi kelangkaan air di beberapa kawasan. Salah satu kawasan yang mengalami hal tersebut adalah kawasan karst.

Kawasan karst memiliki sistem tatanan hidrologi yang unik. Keunikan hidrologi ini terjadi akibat berkembangnya porositas sekunder dari batuan yang mudah terlarut oleh air (Ford dan Williams 1992a). Karst sebenarnya memiliki potensi simpanan air yang besar. Simpanan air tersebut berupa aliran dalam bentuk sistem jaringan sungai bawah permukaan (Ravbar dan Goldscheider 2009). Air bawah permukaan mengalir menuju laut bebas tanpa dimanfaatkan lebih dahulu oleh masyarakat setempat. Pemanfaatan air di kawasan karst menjadi belum optimal. Selain itu, bentuk lahan yang nampak berbukit, berbatu, dan gersang menjadikan wilayah ini dikenal sebagai wilayah yang tandus dan kering. Meskipun berada di negara tropis dengan banyak hari hujan seperti Indonesia, kawasan karst tetap mengalami kekurangan air karena kondisi geomorfologinya.

Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang didominasi oleh bentang alam karst. Pemanfaatan air yang belum optimal menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi wilayah ini. Air dekat permukaan belum cukup dalam memenuhi kebutuhan seperti untuk minum dan irigasi saat musim kemarau. Akibatnya, Gunungkidul disebut sebagai wilayah yang memiliki standar hidup penduduk yang rendah. Ditambah dengan adanya penambangan batugamping, lahan karst akan rusak dan fungsinya dalam menyimpan air pun akan hilang (Yunianto 2009). Oleh karena itu, kajian mengenai ketersediaan air di wilayah karst penting dilakukan secara bertahap, misalnya dengan menggunakan analisis kuantitatif neraca air lahan, sehingga hasil kajiannya dapat digunakan untuk mengetahui potensi ketersediaan air serta merekomendasikan upaya pengelolaan sumber daya air kawasan karst secara berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Kondisi biogeofisik kawasan karst Gunungkidul belum begitu diketahui oleh masyarakat luas, sebagian besar masyarakat telah mengenal kawasan karst identik dengan kekeringan. Jumlah air yang tersedia di kawasan ini telah beberapa kali dihitung dengan menggunakan metode atau pun pendekatan lain. Namun penelitian ini mencoba melihat dari segi neraca air lahan yang dihitung menggunakan Metode Thornthwaite-Mather. Nilai surplus yang diperoleh dalam neraca air digunakan sebagai nilai input dalam menentukan besarnya ketersediaan air di kawasan karst. Pengelolaan kawasan yang tepat perlu dilakukan agar sumber daya air kawasan maupun kawasan itu sendiri tetap berkelanjutan tidak hanya saat ini, namun juga di saat yang akan datang.

(16)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memerikan kondisi biogeofisik dan menduga ketersediaan air di kawasan karst Gunungkidul serta merekomendasikan upaya pengelolaan kawasan sehingga dapat diperoleh pemanfaatan kawasan karst dan sumber daya air yang berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Kondisi biogeofisik yang digambarkan dapat digunakan sebagai informasi dan memperkaya pengetahuan. Jumlah air yang diperoleh dapat digunakan sebagai informasi untuk mengoptimalkan penggunaan air terutama di musim kemarau yang umumnya mengalami defisit dan rekomendasi upaya pengelolaan kawasan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan upaya konservasi maupun sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan yang didasarkan pada kearifan lokal.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi analisis ketersediaan air di kawasan karst Gunungkidul. Ketersediaan air diduga dengan neraca air lahan Metode Thornthwaite-Mather. Penelitian dibatasi dengan tidak menitikberatkan pada kondisi geologi yang detail, namun hanya sebatas formasi batuan dan litologi penyusun kawasan. Ketersediaan air di kawasan karst Gunungkidul didasarkan pada air yang berasal dari curah hujan tanpa menghitung debit aliran sungai bawah permukaan. Hal ini dilakukan karena tidak tersedianya data debit air sungai bawah permukaan secara time series. Ketersediaan air yang diperoleh akan dikaitkan dengan upaya pemanfaatan air secara optimal dan rekomendasi pengelolaan kawasan berbasis kearifan lokal.

TINJAUAN PUSTAKA

Karst

Karst berasal dari istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia “kras” yang berarti lahan berbatu yang gersang. Di negara asalnya, istilah ini tidak berkaitan dengan batugamping dan proses pelarutan, namun saat ini istilah kras telah diadopsi untuk istilah bentuk lahan hasil proses pelarutan. Karst merupakan topografi unik yang muncul akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat. Topografi karst terbentuk akibat proses pelarutan kalsium karbonat dari batugamping oleh air permukaan.

Ford dan Williams (1992b) mendefinisikan istilah karst sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuk lahan yang diakibatkan oleh kombinasi dari batuan yang mudah larut (soluble rock). Selain itu, karst mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik. Sebagai akibatnya, kawasan karst

(17)

3 memiliki sungai permukaan yang minim namun banyak berkembang jalur-jalur sungai bawah permukaan atau sungai bawah tanah.

Haryono et al. (2009) menyebutkan bahwa kawasan karst setidaknya memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut meliputi terdapatnya cekungan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk, langkanya atau tidak terdapatnya drainase atau sungai permukaan, dan terdapatnya gua dari sistem drainase bawah tanah. Samodra (2007) menyatakan dalam konteks yang lebih luas bahwa, kawasan karst merupakan perpaduan antara unsur-unsur morfologi, kehidupan, energi, air, gas, tanah, dan batuan yang membentuk satu kesatuan yang utuh.

Proses yang dominan terjadi di kawasan karst adalah proses geologi. Proses tersebut berlangsung selama ribuan tahun. Proses-proses ini menghasilkan permukaan-permukaan mulai dari lubang-lubang vertikal, sungai-sungai dan mata air bawah tanah, hingga gua dan sistem drainase bawah tanah yang kompleks (BPLHD Jawa Barat 2009).

Ketetapan mengenai kawasan bentang alam karst diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 tahun 2012. Menurut peraturan tersebut, kawasan bentang alam karst ialah

“... karst yang memiliki bentuk eksokarst dan endokarst tertentu yang mempunyai kriteria sebagai berikut :

a. mempunyai fungsi ilmiah sebagai obyek penelitian dan penyelidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan;

b. memiliki fungsi sebagai daerah imbuhan air tanah yang mampu menjadi media meresapkan air permukaan ke dalam tanah;

c. memiliki fungsi sebagai media penyimpanan air tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer yang keberadaannya mencukupi fungsi hidrologi;

d. memiliki Mata Air Permanen; dan

e. memiliki gua yang membentuk sungai atau jaringan sungai bawah tanah.

Bentuk eksokarst yang dimaksud antara lain sebagai berikut ; a. Mata Air Permanen;

b. Bukit Karst; c. Dolina; d. Uvala;

e. Polje; dan / atau f. Telaga.

Bentuk endokarst yang dimaksud antara lain sebagai berikut ; a. Sungai Bawah Tanah; dan / atau

b. Speleothem ...”

Sedangkan untuk kawasan yang tidak memenuhi kriteria bentuk endokarst dan eksokarst disebut sebagai kawasan batugamping.

Istilah-istilah yang telah disebutkan sebagai bentuk eksokarst dan endokarst memiliki pengertian-pengertian yang telah disebutkan dalam peraturan di atas. Mata air permanen didefinisikan sebagai mata air yang selalu mengalir sepanjang tahun. Bukit karst didefinisikan sebagai bukit dengan bentuk kerucut (conical), membulat (sinusoida), menara (tower), meja (table) atau bentukan lainnya. Dolina didefinisikan sebagai lekukan tertutup di permukaan akibat proses

(18)

4

pelarutan dan peruntuhan dengan ukuran yang bervariasi berdiameter antara 10-1000 meter dan kedalaman antara 2-100 meter. Uvala merupakan gabungan dari dua atau lebih dolina. Polje merupakan gabungan dari dua atau lebih uvala. Telaga merupakan uvala atau polje yang tergenang air. Sungai bawah tanah adalah sungai yang mengalir di bawah permukaaan tanah, dan speleothem adalah ornamen gua seperti stalagtit, stalagmit, pilar, dan flowstone yang merupakan bentukan hasil proses pelarutan kalsium karbonat.

Karst yang terbentuk terutama bentukan endokarst merupakan serangkaian dari peristiwa karstifikasi yang berlangsung dalam periode yang cukup panjang. Karstifikasi merupakan proses pelarutan batuan dalam pembentukan bentuk lahan karst. Karstifikasi dipengaruhi oleh dua kelompok faktor, yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol merupakan faktor yang menentukan berlangsung atau tidaknya proses karstifikasi. Faktor pengontrol tersebut meliputi batuan yang mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan, serta batuan terekspos pada ketinggian yang memungkinkan adanya perkembangan sirkulasi air secara vertikal. Sedangkan faktor pendorong adalah faktor yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi. Faktor pendorong ini meliputi suhu dan penutupan hutan (Haryono dan Adji 2004).

Neraca Air di Kawasan Karst

Neraca air merupakan neraca masukan dan keluaran air di suatu tempat pada periode tertentu. Neraca air digunakan untuk mengetahui jumlah air di tempat tersebut. Jumlah air tersebut dapat menggambarkan kondisi kelebihan (surplus) atau pun kekurangan (defisit). Kondisi air yang surplus maupun defisit ini dapat digunakan untuk mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi, serta sebagai peringatan untuk mendayagunakan air sebaik-baiknya (Purnama et al. 2012a). Menurut Arsyad (2006), secara sederhana neraca air terdiri dari komponen-komponen di dalam Tabel 1.

(Air yang diterima) – (Air yang hilang) = (Air yang disimpan)

Terdapat banyak model neraca air. Diantaranya yang umum digunakan adalah model neraca air umum, model neraca air lahan, dan model neraca air pertanaman. Model neraca air yang digunakan pada penelitian ini adalah model neraca air lahan yang menghitung unsur gabungan dari data klimatologis dengan data tanah, terutama data kadar air tanah pada kapasitas lapang, titik layu permanen, dan air tersedia.

Kapasitas lapang adalah keadaan yang menunjukkan jumlah air terbanyak dan dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya gravitasi. Jumlah air yang ditahan oleh tanah ini, semakin lama akan semakin berkurang akibat air yang terus-menerus diserap oleh tanaman ataupun menguap kembali sebagai evaporasi. Titik layu Tabel 1 Komponen neraca air

Air yang diterima Air yang hilang Air yang tersimpan Presipitasi

(hujan, salju, hujan es) Kondensasi

(embun pada tumbuhan) Adsorpsi Aliran permukaan Perkolasi Evaporasi Transpirasi Evapotranspirasi Simpanan intersepsi Perubahan kandungan air tanah Simpanan permukaan (simpanan depresi)

(19)

5 permanen menunjukkan kondisi akar-akar tanaman tidak lagi mampu menyerap air tanah. Titik layu permanen ini mewakili kelembaban tanah pada saat kekuatan pegang air dari partikel tanah sebanding dengan daya maksimum penyerapan air oleh akar tanaman. Pada kondisi ini air tidak tersedia bagi tanaman. Air tersedia menunjukkan kondisi air cukup untuk digunakan oleh tanaman. Kondisi ini berada di antara kondisi air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen (Purnama et al. 2012b).

Neraca air di kawasan karst memperhitungkan curah hujan, run off, evapotranspirasi, aliran masuk dari DAS atau airbumi dari akuifer yang lebih dalam, dan aliran keluar menuju DAS (Markova 1983). Ketersediaan data yang terbatas terutama untuk aliran bawah permukaan di kawasan karst menjadi hambatan bagi penulis. Sehingga secara umum, penulis hanya memperhitungkan curah hujan sebagai masukan air dalam menentukan defisit dan surplus air.

Ketersediaan Air

Ketersediaan air pada dasarnya berasal dari curah hujan. Air tersebut ada yang langsung maupun tidak langsung dialirkan ke laut. Air yang langsung dialirkan ke laut disebut sebagai aliran tidak mantap. Aliran ini tidak dapat dimanfaatkan sepanjang tahun. Sedangkan air yang tidak langsung dialirkan ke laut disebut dengan aliran mantap. Aliran ini dapat menjadi ketersediaan air sepanjang tahun (Sari et al. 2011). Potensi air yang tersedia ini dapat berupa sumber daya air permukaan maupun air tanah.

Ketersediaan air di suatu wilayah bergantung pada curah hujan dan faktor-faktor fisik wilayah, seperti kondisi geomorfologi wilayah maupun tekstur dan jenis tanah. Geomorfologi karst yang unik, memiliki porositas tinggi, dan mudah larut oleh air mengakibatkan ketersediaan air di dekat permukaan sedikit jumlahnya (Ford dan William 1992c). Sedangkan untuk kondisi tanah berpengaruh pada kapasitas simpanan air tanah. Tanah bertekstur halus mempunyai kapasitas simpanan air tanah yang lebih besar dibandingkan dengan tanah bertekstur kasar.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) merupakan gagasan setempat yang secara konsisten diikuti oleh masyarakatnya (Sartini 2004). Kearifan lokal ini dijadikan sebagai acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun (Permana et al. 2011). Nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat merupakan sumber-sumber dari kearifan lokal (Zulkarnain dan Febriamansyah 2008).

(20)

6

Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul terbagi menjadi 18 kecamatan dan 144 desa. Batasan wilayah Kabupaten Gunungkidul sebelah barat adalah Kabupaten Bantul dan Sleman, sebelah utara Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, sebelah timur Kabupaten Wonogiri, serta sebelah selatan Samudera Hindia (Pemkab Gunungkidul 2015a).

Menurut Pemkab Gunungkidul (2015b), berdasarkan kondisi topografinya, Kabupaten Gunungkidul terbagi menjadi tiga zona pengembangan, yaitu:

1. Zona Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketingggian 200-700 meter di atas permukaan laut. Keadaan berbukit-berbukit dengan kedalaman sumber air tanah 6-12 meter dari permukaan tanah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Ponjong bagian utara;

2. Zona Tengah disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari, dengan ketinggian 150-200 meter di atas permukaan laut. Tanah didominasi oleh asosiasi dengan bahan induk batu kapur. Dengan kondisi demikian, meskipun dalam musim kemarau panjang, partikel-partikel air masih mampu bertahan. Terdapat sungai di atas tanah, tetapi di musim kemarau sungai tersebut kering. Kedalaman air tanah berkisar antara 60-120 meter di bawah permukaan tanah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah, dan Semanu bagian utara;

3. Zona Selatan disebut wilayah pengembangan Gunungsewu (Duizon

gebergton atau Zuider gebergton) dengan ketinggian 0-300 meter di atas

permukaan laut. Batuan dasar pembentuknya adalah batu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut (conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah permukaan. Wilayah ini meliputi Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Semanu bagian selatan.

Kabupaten Gunungkidul termasuk ke dalam daerah beriklim tropis. Pada wilayah yang didominasi oleh kawasan karst terutama di zona selatan, kondisi lahan umumnya kurang subur untuk pertanian. Secara umum, curah hujan rata-rata sebesar 1954 mm/tahun pada tahun 2010. Curah hujan paling tinggi terjadi di zona utara dibandingkan dengan zona tengah maupun selatan. Suhu udara harian rata-rata sebesar 27.7°C dengan suhu minimum sebesar 23.2°C dan maksimum mencapai 32.4°C. Kelembaban nisbi berkisar antara 80-85% (Pemkab Gunungkidul 2015c).

(21)

7

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga April 2016 di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan untuk menunjang penelitian sebagai berikut.

1. Laporan Kajian Potensi Biodiversitas Karst Gunungsewu di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta;

2. Laporan Rencana Penyusunan Zona Tata Guna Air Bawah Tanah di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral Daerah Istimewa Yogyakarta;

3. Data suhu udara bulanan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2006-2015 dari BMKG Stasiun Klimatologi Klas I Yogyakarta;

4. Data curah hujan bulanan Kabupaten Gunungkidul 4 stasiun (Nglipar, Playen, Panggang, Playen) Tahun 2006-2015 dari BMKG Stasiun Klimatologi Klas I Yogyakarta;

5. Data tekstur dan jenis tanah Kabupaten Gunungkidul dari Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian;

6. Data jumlah penduduk dan luas lahan pertanian Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 dari Badan Pusat Statistik.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat personal komputer/laptop dengan software Microsoft Excel 2010, Microsoft Word 2010,

ArcMap 10.1, Paint, seperangkat alat tulis, dan kalkulator.

Prosedur Analisis Data Tahap Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini terdiri atas data sekunder yang diperoleh melalui survei instansional. Selain itu, dalam tahap ini menekankan pada pengumpulan laporan kajian mengenai kondisi kawasan karst, biodiversitas hingga ketersediaan air di Kabupaten Gunungkidul.

(22)

8

Tahap Survei Lapangan

Dilakukan kunjungan ke suatu kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, yaitu Ponjong. Kunjungan dilakukan pada tanggal 8 Februari 2016. Selama kunjungan tersebut, penulis melihat sendiri kondisi penambangan batugamping oleh salah satu industri yang cukup besar dan mengamati kondisi vegetasi serta kenampakan fisik dari beberapa bukit karst di kawasan tersebut.

Tahap Pengolahan Data

Penentuaan Curah Hujan Wilayah

Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan yang diamati pada pos pengamatan hujan di BPP Panggang (08° 00’ 36.0” LS dan 10° 25’ 12.0" BT), BPP Paliyan (08° 00’ 21.8” LS dan 110° 31’ 31.4" BT), BPP Nglipar (07° 57’ 23.1” LS dan 110° 36’ 11.7" BT), serta BPP Playen (07° 55’ 17.3” LS dan 110° 34’ 35.7" BT). Hasil pengukuran curah hujan pada keempat pos pengamatan hujan ini dianggap dapat merepresentasikan curah hujan yang terjadi di satu kawasan Gunungkidul.

Keempat pos hujan ini memiliki tinggi curah hujan yang bervariasi. Agar diperoleh satu nilai curah hujan wilayah, digunakan Metode Poligon Thiessen. Metode ini memperhitungkan bobot masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Luasan wilayah poligon yang mewakili tiap stasiun disajikan dalam Gambar 1 dan Lampiran 1.

𝑅̅ = 𝐴1𝑅1+ 𝐴2𝑅2+ … + 𝐴𝑛𝑅𝑛 𝐴1+ 𝐴2+ … + 𝐴𝑛 Dimana,

𝑅̅ : nilai kedalaman / jeluk rata-rata curah hujan (mm)

R1, R2 Rn : nilai jeluk curah hujan stasiun 1,2,3 hingga ke-n (mm)

A1, A2, An : luas area poligon 1, 2, 3 hingga ke-n

Perhitungan Neraca Air Lahan dan Kelengasan Tanah

Neraca air lahan diduga dengan Metode Thornthwaite-Mather. Metode ini mampu menghasilkan analisis mengenai penggunaan air dalam tanah untuk Gambar 1 Bentuk poligon dalam penentuan curah hujan wilayah

(23)

9 evapotranspirasi saat terjadinya surplus air, defisit air, dan recharge. Masukan nilai yang digunakan tidak memerlukan data hidrologi, melainkan hanya memerlukan nilai kelengasan tanah.

Nilai kelengasan tanah dinamis terhadap bulan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelengasan tanah adalah tekstur tanah. Kelengasan tanah maksimum tercapai pada saat kondisi kapasitas lapang. Asumsi yang digunakan dalam memperhitungkan lengas tanah ini adalah air masih sempat tertahan di lapisan tanah sebelum masuk ke bawah permukaan, sehingga kandungan air pada saat kapasitas lapang dapat tercapai. Prosedur perhitungan dalam Metode Thornthwaite-Mather diuraikan sebagai berikut.

a. Penentuan evapotranspirassi potensial (EP) 𝐸𝑃𝑖 = 16 × (

10 × 𝑇𝑖

𝐼 )

𝑎

Dimana,

𝐸𝑃𝑖 : evapotranspirasi potensial pada bulan i (mm) 𝑇𝑖 : suhu rata-rata pada bulan ke i (°C)

I : jumlah 12 bulan dari ∑(𝑇𝑖

5) 1.514

a : (6.75 x 10-7 x I3) – (7.71 x 10-5 x I2) + (7.71 x 10-2 x I) + 0.49239 b. Penentuan kelengasan tanah (ST) dan perubahan kelengasan tanah (ΔST )

setiap bulan

𝑆𝑇 = 𝑆𝑇𝑜 × 𝑒−(𝐴𝑃𝑊𝐿/𝑆𝑇𝑜) Dimana,

e : 2,718

APWL : jumlah kumulatif defisit curah hujan

STo : kelengasan tanah saat kondisi kapasitas lapang

c. Penentuan evapotranspirasi aktual (EA) berdasarkan curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (EP)

Bulan-bulan basah (P > EP), maka EA = EP Bulan-bulan kering (P < EP), maka EA = P + |ΔST| d. Penentuan defisit (D)

Berlaku untuk bulan dengan curah hujan bulanan yang lebih kecil dari evapotranspirasi potensial

𝐷 = 𝐸𝑃 − 𝐸𝐴 e. Penentuan surplus (S)

Berlaku untuk bulan dengan curah hujan bulanan yang lebih besar dari evapotranspirasi potensial

ST = STo, maka 𝑆 = 𝑃 − 𝐸𝑃

ST < STo, maka 𝑆 = (𝑃 − 𝐸𝑃 )– 𝛥𝑆𝑇 Perhitungan Ketersediaan Air

Ketersediaan air di kawasan karst dihitung dari surplus air tahunan dan luasan lahan kawasan karst.

(24)

10

Perhitungan Kebutuhan Air

Kebutuhan air kawasan karst diperkirakan dari penggunaan air untuk keperluan domestik dan kebutuhan air pertanian. Kebutuhan air domestik ditentukan dengan jumlah penduduk. Menurut ketetapan dari UNESCO, standar penggunaan air di pedesaan sebesar 60 liter/hari (BAPPENAS 2006). Kebutuhan air pertanian diperkirakan dari luas lahan dan kebutuhan air tanaman yang didasarkan pada nilai koefisien tanaman yang dikeluarkan oleh FAO dalam FAO Irrigation and Drainage Paper No. 56.

𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝐴𝑖𝑟 = 𝐷𝑜𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖𝑘 + 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑖𝑎𝑛 Kebutuhan Air Domestik

Kebutuhan air domestik dihitung berdasarkan kebutuhan air untuk berbagai kegiatan manusia. Wilayah kajian berupa pedesaan, sehingga kebutuhan air domestik untuk memenuhi kebutuhan air penduduk tahunan dihitung dengan cara sebagai berikut.

𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑜𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖𝑘 = 𝛴 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑥 365 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 60 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟/ℎ𝑎𝑟𝑖 Kebutuhan Air Pertanian

Kebutuhan air untuk pertanian diduga dari evapotranspirasi yang dialami tanaman didasarkan pada koefisien tanaman sebagai berikut.

𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑖𝑎𝑛 = 𝐾𝑐 𝑥 𝐸𝑃 𝑥 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 Dimana,

Kc : Koefisien tanaman EP : Evapotranspirasi (mm) Perhitungan Kekritisan Air

Kekritisan air ditentukan dengan indeks penggunaan air sebagai berikut. 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 = 𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟

𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟× 100% Klasifikasi indeks penggunaan air disajikan dalam Tabel 2.

Tahap Analisis Data

Analisis Kondisi Biogeofisik

Kondisi biogeofisik kawasan karst ditinjau dari laporan-laporan kajian mengenai kawasan karst terutama laporan yang fokus pada kondisi geomorfologi serta inventarisasi flora kawasan karst Gunungkidul. Selain itu, kondisi

Tabel 2 Klasifikasi indeks penggunaan air

Indeks Penggunaan Air Kondisi

<50% Belum kritis

50% - 75% Mendekati kritis

>75% Kritis

(25)

11 biogeofisik ini pun dideskripsikan berdasarkan apa yang penulis lihat selama melakukan survei lapangan.

Analisis Ketersediaan Air dan Kondisi Kekritisan Air

Analisis dilakukan berdasarkan hasil perhitungan yang ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel. Grafik dan tabel menjadi ilustrator untuk memudahkan analisis mengenai kondisi surplus dan defisit air, korelasi antara kelengasan tanah dan evapotranspirasi potensial, serta perbandingan kebutuhan dan ketersediaan air yang dinyatakan dalam indeks penggunaan air.

Rekomendasi Pengelolaan Berbasis Kearifan Lokal

Indeks penggunaan air terhitung menunjukkan kondisi kritis atau tidaknya kawasan. Informasi tersebut digunakan dalam merekomendasikan upaya pengelolaan kawasan agar tercapai keberlanjutan. Rekomendasi pengelolaan kawasan didasarkan pada kearifan lokal yang telah ada. Kearifan lokal yang berlaku di masyarakat Gunungkidul ini diperoleh melalui kajian pustaka dan wawancara langsung dengan beberapa anggota masyarakat.

Langkah Kerja

Setiap tahapan yang dilakukan dalam analisis data secara keseluruhan ditampilkan dalam Gambar 2.

(26)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan Karst Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul terletak pada 7° 46’-8° 09’ LS dan 110° 21’-110° 50’ BT. Luas daerah Kabupaten Gunungkidul sebesar 1 485.36 km2

dengan didominasi oleh bentang alam karst sebesar 60% (Pemkab Gunungkidul 2015d). Karst Gunungkidul merupakan suatu perbukitan berbentuk kerucut di bagian atasnya. Kawasan karst ini tergabung dalam suatu wilayah pengembangan

Geopark Gunungsewu yang melalui tiga propinsi yakni Daerah Istimewa

Yogyakarta (Bantul dan Gunungkidul), Jawa Tengah (Wonogiri), dan Jawa Timur (Pacitan).

Menurut Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012, kawasan bentang alam karst yang menunjukkan bentuk eksokarst dan endokarst tertentu tidak mencakup semua wilayah Gunungkidul. Kawasan yang termasuk dalam kategori kawasan karst meliputi semua desa di Kecamatan Purwosari, Rongkop, dan Tanjungsari, serta sebagian besar di Kecamatan Paliyan, Panggang, Saptosari, Tepus, Semanu, Girisubo, Ponjong, dan satu desa di Kecamatan Karangmojo. Peta kawasan bentang alam karst Gunungkidul disajikan dalam Gambar 3.

Kondisi Biogeofisik Karst Gunungkidul

Kondisi biologi di kawasan karst cukup bervariasi. Perbedaan ekosistem karst yang meliputi endokarst dan eksokarst mampu menjadi tempat hidup bagi vegetasi yang berbeda pula. Vegetasi endokarst biasanya terdiri dari paku-pakuan, rumput, dan semak. Keberadaan tumbuhan tersebut sebenarnya lebih dominan berada pada gua vertikal, sedangkan gua horizontal hanya ditumbuhi

(27)

13 tumbuhan di dekat pintu gua. Vegetasi eksokarst lebih beragam dengan keberadaan tumbuhan yang hanya muncul pada musim yang cocok dan beberapa jenis tumbuhan yang telah toleran dengan kondisi kering. Bentuk adaptasi yang dilakukan oleh tumbuhan sehingga mampu hidup di puncak bukit yang kering adalah dengan memiliki sistem perakaran yang sangat panjang dan kuat sehingga mampu menembus celah rekahan batuan pada lapisan karst, seperti pohon beringin. Selain adaptasi dengan memiliki akar panjang dan kuat yang mampu menembus batuan untuk mencapai sumber air, bentuk adaptasi lain dari tumbuhan di kawasan karst adalah mampu bertahan pada lingkungan dengan solum yang sangat tipis. Adaptasi ini dilakukan oleh tumbuhan anggrek. Tumbuhan anggrek tidak lagi tumbuh di atas tanah, melainkan tumbuh di celah-celah batuan.

Kabupaten Gunungkidul secara umum memiliki dua jenis batuan. Batuan tersebut terdiri dari batuan vulkanistik di bagian utara serta batuan sedimen karbonat di bagian selatan. Batuan sedimen karbonat inilah yang kemudian berkembang menjadi bentang alam karst di sebelah selatan Gunungkidul. Terdapat stratigrafi yang unik di zona pegunungan selatan Gunungkidul ini. Keunikan stratigrafi tersebut menghasilkan satuan litologi yang dikenal sebagai formasi batuan. Terdapat empat formasi batuan yang menyusun Kabupaten Gunungkidul. Secara kronologis, formasi-formasi tersebut disajikan pada Tabel 3.

Kawasan karst Gunungkidul memiliki kenampakan geomorfologi yang beragam. Kenampakan geomorfologi tersebut dikategorikan sebagai perbukitan karst bergelombang lemah hingga kuat (Gambar 4). Dalam Laporan Rencana Penyusunan Zona Tata Guna Air Bawah Tanah di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi Sumber Daya dan Mineral menyebutkan bahwa bagian utara Gunungkidul lebih landai dibandingkan bagian selatan. Bagian utara memiliki kelerengan antara 15-30%. Tingkat kelerengan tersebut menjadikan bagian utara Gunungkidul ini dikategorikan sebagai perbukitan karst bergelombang lemah. Sedangkan sebaliknya, semakin ke arah selatan hingga berbatasan dengan Tabel 3 Karakteristik formasi batuan pada zona pegunungan selatan Kabupaten

Gunungkidul

Formasi Umur Litologi Lingkungan

Pembentukkan Semilir Oligosen akhir –

Miosen awal

Tuff, batu pasir tuff, batu

apung, batu lempung, aglomerat

Gunung api bawah laut Oyo Miosen tengah Batugamping frakmental,

pasiran, gampingan, konglomerat, gamping, napal, tuff

Laut dangkal

Wonosari Miosen tengah Batugamping terumbu berlapis, napal,

konglomerat gamping

Laut dangkal

Kepek Miosen akhir – Pliosen

Lempung, napal pasiran, batugamping berlapis

Laguna Sumber : Kusumayudha (2005)

(28)

14

Samudera Hindia, kelerengan nampak lebih terjal. Kondisi kelerengan di bagian selatan Gunungkidul ini dikategorikan sebagai perbukitan karst bergelombang kuat.

Kenampakan lapangan di permukaan paling terlihat jelas berupa bukit-bukit kerucut, telaga, dan lembah-lembah tertutup yang tersusun atas batugamping. Bukit-bukit yang nampak tersebut muncul sebagai individu maupun deretan bukit. Bukit-bukit karst di Kabupaten Gunungkidul termasuk ke dalam bukit karst poligonal. Proses terbentuknya bukit karst poligonal ini sangat dipengaruhi oleh proses karstifikasi. Proses karstifikasi menjadi intensif saat terdapat air yang cukup. Daerah tropis umumnya memiliki surplus air karena merupakan daerah yang memperoleh radiasi maksimum sepanjang tahun sehingga banyak uap air yang terbentuk dan berpotensi hujan. Oleh karena itu, karstifikasi yang terjadi di daerah tropis lebih dominan dibandingkan daerah lainnya.

Masing-masing bukit dipisahkan oleh lembah-lembah sempit. Saat terjadi musim hujan, terdapat lembah-lembah yang tergenang air. Lembah-lembah ini akan berubah menjadi telaga. Namun telaga yang terbentuk umumnya mengering saat tiba musim kemarau. Hal ini terjadi akibat air tersebut terevaporasi, merembes ke bawah permukaan tanah secara perlahan maupun dimanfaatkan sebagai sumber air musiman oleh warga setempat. Telaga tersebut akan kembali terisi oleh air saat memasuki musim hujan.

Selain bukit kerucut, telaga dan lembah yang tampak di permukaan, mata air permanen menjadi salah satu kenampakan yang dapat ditemukan di beberapa kecamatan. Mata air permanen yang telah diidentifikasi sebanyak 41 mata air. Pernah tercatat debit yang besar dari beberapa mata air ini. Diantaranya adalah

(a)

(b)

Gambar 4 Kenampakan morfologi perbukitan karst di Kecamatan Playen (Sumber: (a) Dinas PUP-ESDM DIY, (b) Dokumentasi penulis)

(29)

15 mata air yang terdapat di Kecamatan Ponjong seperti Nggeremeng dengan debit sebesar 18 970 liter/detik, Selonjong dengan debit sebesar 3 564 liter/detik, Bendungan dengan debit sebesar 326.5 liter/detik, dan Ngobaran dengan debit sebesar 190 liter/detik. Selain di Kecamatan Ponjong terdapat mata air dengan debit yang cukup besar seperti mata air Sundak di Tepus yang memiliki debit sebesar 200 liter/detik dan Baron di Semanu dengan debit sebesar 8 200 liter/detik (Dinas PUP-ESDM DIY 2013a).

Kenampakan lapangan di bawah permukaan meliputi gua aktif yang memiliki dengan ornamen yang khas dilengkapi keberadaan aliran sungai bawah permukaan, maupun gua pasif tanpa aliran sungai bawah permukaan. Sampai saat ini, jumlah gua yang telah ditemukan sebanyak 1 192 gua, 846 gua diantaranya merupakan gua yang telah terpetakan. Gua yang telah terpetakan merupakan gua yang telah teridentifikasi struktur dan alurnya mulai dari mulut gua hingga ke ujung gua. Selain gua-gua yang telah terpetakan, terdapat gua-gua yang telah diteliti lebih lanjut. Gua-gua tersebut dikategorikan dalam tipe gua arkeologi, hidrologi, dan objek wisata (Dinas PUP-ESDM DIY 2013b). Gua yang diteliti untuk mengetahui kemungkinan kehidupan tertua yang pernah terjadi di wilayah tersebut dikelompokkan ke dalam tipe gua arkeologi. Gua tersebut biasanya berupa gua kering dan sering ditemukan fosil-fosil makhluk hidup di dalamnya. Selain untuk kepentingan arkeologi, terdapat gua yang difokuskan untuk kajian potensi pemanfaatan air sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Gua ini biasanya berupa gua yang memiliki sistem aliran sungai bawah permukaan dan dikategorikan dalam gua dengan tipe hidrologi. Tak hanya untuk kepentingan arkeologi dan hidrologi, terdapat pula gua yang dijadikan sebagai objek wisata. Gua-gua ini dikelola dan dibuka untuk menarik para wisatawan.

Gua-gua aktif masih mengalami proses pelarutan karena kandungan airnya yang cukup, sehingga bentukan stalagtit maupun stalagmitnya masih mengalami perkembangan. Gua-gua dengan aliran sungai bawah permukaan menyimpan potensi air yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Namun aliran sungai ini baru dapat dijumpai pada kedalaman 120 meter atau lebih di bawah permukaan tanah. Meskipun diindikasi terdapat banyak aliran sungai bawah permukaan yang mungkin dapat dimanfaatkan, hingga saat ini bagian hulu dan hilir dari sungai-sungai tersebut banyak yang belum teridentifikasi.

Neraca Air di Kawasan Karst Gunungkidul

Neraca air memperhitungkan curah hujan sebagai salah satu unsur dalam masukannya. Curah hujan yang terjadi di wilayah karst Gunungkidul diwakili oleh empat stasiun pengamatan yang tersebar di beberapa kecamatan. Keempat stasiun pengamatan hujan tersebut adalah BPP Panggang yang terletak pada 08° 00’ 36.0” LS dan 10° 25’ 12.0" BT (315 mdpl), BPP Paliyan yang terletak pada 08° 00’ 21.8” LS dan 110° 31’ 31.4" BT (190 mdpl), BPP Nglipar yang terletak pada 07° 57’ 23.1” LS dan 110° 36’ 11.7" BT (190 mdpl), serta BPP Playen yang terletak pada 07° 55’ 17.3” LS dan 110° 34’ 35.7" BT (223 mdpl).

Curah hujan di wilayah Gunungkidul memiliki tipe monsunal dengan puncak hujan yang terjadi pada periode DJF (Gambar 5). Berdasarkan data yang digunakan di wilayah kajian, puncak curah hujan tertinggi tercatat di wilayah

(30)

16

Panggang dengan rataan tahunan sebesar 2086 mm dan terendah di wilayah Paliyan dengan rataan tahunan sebesat 1794 mm.

Defisit biasa terjadi di musim kemarau. Menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson, Kabupaten Gunungkidul memiliki iklim yang termasuk dalam iklim tipe C dan D. Berdasarkan klasifikasi tersebut, iklim di Kabupaten Gunungkidul bertipe agak basah dan sedang, sehingga jumlah hari hujan sepanjang tahun tidak begitu banyak. Kondisi air tersedia dinyatakan dari surplus air yang terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi potensial neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul selama periode 2006-2015 memperlihatkan hasil (Gambar 6) dimana rata-rata bulan Juli memiliki nilai evapotranspirasi yang rendah sebesar 100 mm, hal ini sebanding dengan rendahnya curah hujan yang terjadi pada bulan tersebut yang hanya sebesar 33 mm. Sementara itu, evapotranspirasi potensial maksimum terjadi pada bulan Oktober. Nilai evapotranspirasi potensial pada bulan tersebut mencapai 152 mm dengan curah hujan yang hanya sebesar 47 mm. Hal ini terjadi karena dipicu oleh tingginya suhu udara pada saat itu (Tabel 4). Evapotranspirasi tinggi dapat terjadi pada saat suhu udara sedang tinggi.

Gambar 5 Rerata curah hujan bulanan yang terjadi di wilayah (a) Nglipar, (b) Playen, (c) Panggang, dan (d) Paliyan periode 2006-2015

(31)

17

Evapotranspirasi aktual merupakan evapotranspirasi yang benar-benar terjadi. Nilai evapotranspirasi aktual akan sama dengan nilai evaporanspirasi potensial saat curah hujan yang terjadi melebihi evapotranspirasi potensial. Nilai evapotranspirasi aktual tertinggi terjadi pada bulan Nopember sebesar 142 mm dengan nilai yang sama seperti evapotranspirasi potensial. Sedangkan nilai evapotranspirasi aktual terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 10 mm dengan nilai evapotranspirasi potensial yang terlampau jauh hingga mencapai 110 mm. Penurunan nilai evapotranspirasi aktual yang jauh berbeda dari nilai evapotranspirasi potensial dipicu oleh penurunan kelengasan tanah yang terjadi di bulan tersebut (Tabel 4). Air yang dievapotranspirasikan secara aktual ini memiliki nilai lebih besar dari curah hujan yang terjadi pada bulan tersebut. Curah hujan yang terjadi di bulan Agustus hanya sebesar 8 mm. Nilai selisih 2 mm tersebut berasal dari lengas tanah yang nilainya dinamis terhadap waktu dan berbeda-beda untuk tiap tekstur tanah.

Kondisi surplus dan defisit air dalam neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul disajikan dalam Tabel 4. Selama satu tahun terdapat 6 bulan surplus air. Kondisi surplus air rata-rata tercapai pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Nopember, dan Desember. Bulan-bulan tersebut memiliki curah hujan bulanan rata-rata di atas 130 mm. Surplus air tahunan terhitung sebesar 817 mm. Kondisi sebaliknya, terjadi pada bulan-bulan kering. Kondisi defisit air terjadi pada bulan-bulan dimana evapotranspirasi yang terjadi baik potensial maupun aktual melebihi curah hujan pada bulan tersebut. Defisit air terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Besarnya defisit air diperoleh dari selisih antara evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi aktual. Pada bulan-bulan kekurangan air ini biasa ditandai dengan adanya nilai APWL (Accumulated Potential Water Loss). APWL ini merupakan nilai akumulasi dari nilai-nilai selisih antara curah hujan dengan evapotranspirasi potensial yang bernilai negatif.

Gambar 6 Kondisi surplus dan defisit pada neraca air lahan karst Gunungkidul periode 2006-2015 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des

mm

Bulan

P EP EA

(32)

18

Tekstur tanah di kawasan karst Gunungkidul didominasi oleh tanah dengan tekstur lempung berdebu, liat, liat berdebu, dan lempung liat berdebu (Lampiran 5). Informasi tersebut digunakan dalam menghitung kelengasan tanah. Kawasan karst memiliki kelengasan tanah yang rendah dibandingkan kawasan lainnya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pengaruh tekstur tanah dan kedalaman tanah yang dangkal. Kedalaman tanah di kawasan ini rata-rata kurang dari 50 cm (Suryatmojo 2002). Lapisan bawah dari solum tanah yang tipis tersebut langsung terdapat batugamping sehingga kemungkinan dapat ditembus oleh akar tanaman pun cukup sulit.

Kelengasan tanah dapat dikatakan memiliki korelasi yang positif dengan evapotranspirasi potensial (Gambar 7). Saat terjadi kenaikan kelengasan tanah, evapotranspirasi yang terjadi berada pada kondisi potensialnya. Kenaikan ini dipicu karena banyaknya air tersedia pada saat kelengasan tanah tinggi, sehingga potensi air untuk dapat dievapotranspirasikan pun lebih besar. Sedangkan saat terjadi penurunan kelengasan tanah, evapotranspirasi yang terjadi berada di bawah kondisi potensialnya atau sama dengan evapotranspirasi aktualnya. Hal ini telah sesuai dengan penelitan yang telah dilakukan oleh Tadjang (1980) dalam Abbas (1982), yang menyatakan bahwa penurunan kelengasan tanah selalu disertai dengan penurunan evapotranspirasi dari nilai potensialnya.

Saat kelengasan tanah berada pada titik nol, potensi air yang dievapotranspirasikan memiliki nilai yang berbeda-beda. Evapotranspirasi potensial yang terjadi pada saat kelengasan tanah bernilai nol sebesar 112 mm, 123 mm, dan bahkan mencapai 152 mm. Pada saat kelengasan tanah maksimum tercapai, air yang potensial dievapotranspirasikan berada pada kisaran 120-136 mm. Korelasi antara kelengasan tanah dan evapotranspirasi potensial dinyatakan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.1314. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya sebesar 13% keragaman evapotranspirasi potensial mampu dijelaskan oleh kelengasan tanah. Kelengasan tanah memiliki pengaruh terhadap evapotranspirasi potensial, namun pengaruh tersebut cukup kecil. Terdapat parameter lain yang mempengaruhi evapotranspirasi potensial selain kelengasan tanah.

Tabel 4 Neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul

[mm] Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des Total T 26.1 26 26.2 26.5 26.3 25.6 25 25.1 25.9 27 26.6 25.7 P 306 304 267 191 120 60 33 8 29 47 168 378 1909 EP 136 120 134 134 132 117 110 112 123 152 142 130 1542 P-EP 170 184 133 57 -13 -57 -77 -104 -94 -106 26 248 367 APWL 13 69 146 250 344 449 1271 ST 51 51 51 51 40 13 3 0 0 0 51 51 361 dST 0 0 0 0 -11 -27 -10 -3 0 0 51 0 EA 136 120 134 134 131 87 43 10 29 47 142 130 1143 D 0 0 0 0 1 30 67 102 94 106 0 0 399 S 170 184 133 57 0 0 0 0 0 0 26 248 817

(33)

19

Ketersediaan Air di Kawasan Karst Gunungkidul

Air yang tersedia dari curah hujan di kawasan ini terbilang cukup rendah. Setiap tahun terjadi kondisi surplus dan defisit dengan durasi sama. Nilai surplus sebesar 817 mm dalam satu tahun menghasilkan ketersediaan air tahunan sebesar 7.28 x 108 m3/tahun (Tabel 6). Jumlah tersebut hanya berasal dari curah hujan yang jatuh di kawasan.

Ketersediaan air yang terhitung dibatasi untuk penggunaan air dalam memenuhi kebutuhan air domestik serta untuk mengairi lahan pertanian berupa padi sawah dan tanaman palawija khususnya kedelai. Besar kebutuhan air tiap sektor tersebut diuraikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Besaran kebutuhan air untuk penggunaan domestik dan pertanian

Parameter Nilai

Kebutuhan Air Domestik (m3/tahun) 0.83 x 107 Kebutuhan Air Pertanian (m3/tahun)

- Padi 1.51 x 107

- Palawija 0.37 x 107

Sumber: perhitungan dilakukan dengan menggunakan data jumlah penduduk dan luas lahan sawah dan palawija tahun 2014

Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air menghasilkan indeks penggunaan air sebesar 4% (Tabel 6). Nilai ini mengidentifikasikan bahwa kawasan karst Gunungkidul berada pada kondisi yang belum kritis berdasarkan perhitungan neraca air secara klimatologis.

Gambar 7 Korelasi kelengasan tanah dan evapotranspirasi potensial di kawasan karst Gunungkidul y = 0.1878x + 122.85 R² = 0.1314 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 Ev apotr anspir asi pote nsia l Kelengasan tanah

(34)

20

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kawasan karst memiliki ketersediaan air yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan air di wilayah tersebut (Gambar 8). Perbandingan ini menunjukkan bahwa sebenarnya kawasan karst Gunungkidul ini menyimpan potensi air yang dapat digunakan untuk mengatasi kekeringan.

Namun hasil perhitungan menunjukkan perbedaan kondisi dengan kenyataannya. Kawasan karst Gunungkidul merupakan suatu kawasan yang berstatus kritis. Air yang tersedia sangat terbatas jumlahnya. Perbedaan ini terjadi kemungkinan besar karena kondisi geomorfologi kawasan yang tidak dilibatkan dalam perhitungan. Kondisi geomorfologi kawasan karst terdiri dari batuan yang mudah terlarut oleh air sehingga menghasilkan banyak celah yang mampu meloloskan air ke bawah permukaan, akibatnya air di permukaan hanya sedikit yang tertahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Notodihardjo, hanya sebesar 25% air yang jatuh di kawasan ini tertahan di permukaan dan dapat langsung dimanfaatkan. Sebagain besar lainnya (75%) masuk ke bawah permukaan dan mengalir mengikuti aliran sungai bawah permukaan menuju ke laut bebas tanpa sempat dimanfaatkan oleh masyarakat (Langi 2007).

Persentase air yang tertahan di permukaan dan dapat dimanfaatkan secara langsung lebih kecil dengan persentase air yang masuk ke bawah permukaan dan mengalir menuju laut bebas. Pemanfaatan air belum optimal sehingga perlu

Tabel 6 Penentuan nilai indeks penggunaan air di kawasan karst Gunungkidul

Parameter Nilai

Luas Karst (m2) 8.91 x 108

Surplus (m) 0.817

Ketersediaan Air (m3/tahun) 7.28 x 108 Kebutuhan Air (m3/tahun) 0.27 x 108

Indeks Penggunaan Air (%) 4

Sumber: perhitungan dilakukan dengan menggunakan data untuk kebutuhan air tahun 2014

Gambar 8 Perbandingan antara ketersediaan air dan kebutuhan air kawasan karst Gunungkidul pada tahun 2014

7.28 0.27 0 1 2 3 4 5 6 7 8 x 10 8 (m 3 /t

ahun) Ketersediaan air

(35)

21 dilakukan pengalokasian air secara tepat agar kebutuhan air kawasan dapat terpenuhi. Salah satu upaya yang telah dilakukan dalam memanfaatkan air yang sebagian besar masuk ke bawah permukaan adalah dengan melakukan pemompaan pada kedalaman tertentu hingga air tersebut terangkat ke permukaan. Air yang telah dipompa disalurkan dalam bentuk air PDAM ke beberapa kecamatan seperti Kecamatan Semanu, Rongkop, Girisubo, dan Tepus dalam bentuk air PDAM oleh pemerintah Gunungkidul. Namun, upaya tersebut membutuhkan usaha yang besar. Selain itu, air yang dapat dipasok dibatasi hanya sebesar 70 liter/detik pada tahun 2014 dan pengalokasiannya pun belum tersebar ke kecamatan-kecamatan lain yang juga sering mengalami kekeringan (JIBI 2014).

Keberlanjutan Kawasan Karst Gunungkidul

Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa air yang tersedia di kawasan karst Gunungkidul seharusnya dapat memenuhi kebutuhan air di kawasan tersebut. Kelangkaan air yang biasa terjadi selama musim kemarau karena air yang tertahan di permukaan sedikit jumlahnya dan hanya bisa diatasi dengan pasokan airbumi dalam bentuk air PDAM yang disalurkan kepada masyarakat. Selain itu, potensi sumber daya air masih banyak yang belum dioptimalkan. Beberapa upaya dalam mempertahankan sumber daya air secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara konservasi sumber daya air kawasan dan penerapan kearifan lokal berprinsip selaras dengan alam.

Konservasi Sumber Daya Air Kawasan Karst

Keberadaan kawasan bentang alam karst perlu dijaga. Salah satu bentuk perlindungan yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan kawasan karst menjadi suatu kawasan yang harus dilestarikan dan dilindungi (Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012). Di dalam aturan tersebut disebutkan bahwa terdapat kawasan yang tidak termasuk kawasan karst. Kawasan tersebut dikategorikan sebagai kawasan batugamping. Kawasan ini umumnya dirujuk sebagai kawasan yang diijinkan untuk dilakukan penambangan.

Pengelolaan kawasan karst dalam pemanfaatan air berkelanjutan dapat diawali dengan penempatan ijin usaha penambangan yang sesuai. Penambangan yang masih dilakukan di kawasan karst diupayakan untuk berpindah ke kawasan batugamping. Pemindahan lokasi penambangan batugamping dimaksudkan untuk meminimalisasi terjadinya kerusakan di kawasan karst yang lebih banyak sehingga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan fungsi kawasan karst sebagai kawasan konservasi.

Bagi perusahaan yang masih melakukan penambangan di kawasan karst, sebaiknya diberi himbauan untuk segera berpindah ke kawasan non karst tersebut. Pemberlakuan aturan dibuat tegas, sehingga para pelanggar yang masih melakukan galian di kawasan karst menjadi jera. Cara ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan pemangkasan bukit karst sehingga penyimpanan air dekat permukaan dapat dipertahankan. Zona penyimpanan air dekat permukaan ini sangat penting keberadaannya agar air tidak langsung merembes ke dalam

(36)

22

sungai bawah permukaan. Jika memang terjadi pemangkasan, diusahakan lubang yang tercipta tidak terlalu besar. Hal ini akan mengantisipasi masuknya zat pencemar yang terbawa dari permukaan bersama air ke dalam jaringan sungai bawah permukaan.

Prinsip konservasi air sebenarnya telah diterapkan oleh masyarakat setempat, misalnya dengan tidak membuang-buang air dan menggunakan air seperlunya. Selain itu, masyarakat sering melakukan pemanenan air hujan menggunakan bak penampungan air hujan (PAH). Menampung air hujan sudah menjadi kebiasaan masyarakat di kawasan karst terutama menjelang musim kemarau. Tindakan-tindakan tersebut dapat mempertahankan ketersediaan air sehingga pemenuhan kebutuhan air tetap terpenuhi.

Prinsip konservasi dalam keberlanjutan sumber daya air tidak hanya untuk sesaat, ketersediaan air di masa yang akan datang pun sangat diperlukan. Arahan yang paling utama dilakukan di kawasan karst ini adalah mempertahankan lapisan tanah yang tipis sehingga air cukup tersedia di permukaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman vegetasi. Kondisi solum yang dangkal membuat jenis vegetasi yang ditanam menjadi pertimbangan besar. Disarankan untuk menanam tanaman pioneer yang dapat cepat tumbuh pada lahan berbatu, seperti akasia. Vegetasi lain yang dapat ditanam adalah pohon jati, mahoni, dan sengon. Akar-akar dari vegetasi tersebut mampu menembus batuan induk. Selain menahan massa tanah, akar yang telah menembus batuan tersebut mampu menciptakan celah sebagai jalan masuknya air hujan ke lapisan tanah infiltrasi. Kearifan Lokal dan Prinsip Selaras Alam

Kondisi kawasan karst yang kering telah membuat warga di wilayah karst Gunungkidul beradaptasi. Bentuk adaptasi dalam jangka waktu yang panjang tersebut berubah menjadi suatu budaya yang dilakukan secara konsisten dan dianggap sebagai kearifan lokal di wilayah setempat. Kearifan lokal yang diterapkan di Gunungkidul beberapa di antaranya seperti pengelolaan sinkhole (lubang vertikal tempat masuknya air permukaan ke bawah permukaan) dengan menutup bibir sinkhole menggunakan tumpukan batuan. Hal ini berfungsi sebagai penyaring sedimen yang terbawa air sehingga saat musim hujan sumber air yang berada di dalam sistem tersebut tidak keruh. Selain sinkhole, danau-danau karst pun tak lepas dari pengelolaan. Danau-danau yang telah mati, dimanfaatkan kembali secara bergotong-royong. Pemanfaatan danau karst ini dilakukan dengan membuat susunan batuan di setiap tepian danau dan memberi lapisan tanah lempung di setiap sisi danau. Susunan batuan berfungsi sebagai penyaring air masuk dan lapisan tanah di setiap sisi danau berfungsi sebagai penahan air agar tidak masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-rekahan yang ada dan menanam berbagai macam tumbuhan di sekitar danau (Wacana 2008).

Kearifan lokal berprinsip selaras dengan alam diwujudkan dalam upaya pengadaan aturan mengenai sanksi sosial bagi para perusak, ketentuan mengenai pemanfaatan kawasan terutama bagi para perusahaan yang melakukan galian untuk kegiatan penambangan, perkiraan musim yang cocok untuk bercocok tanam dan jenis tanaman yang mampu menghasilkan produktivitas optimal dalam kondisi apapun, mengembangkan aspek teknis lain di luar sistem terrasering untuk wilayah dengan solum tipis dan rawan longsor, serta bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap iklim maupun ancaman lainnya.

(37)

23

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kawasan karst mendominasi wilayah Kabupaten Gunungkidul hingga 60% dari luas wilayah kabupaten tersebut secara keseluruhan. Secara biologi, terdapat vegetasi yang mampu bertahan dan toleran terhadap kondisi kering, hidup di lapisan tanah yang tipis bahkan mampu menembus celah rekahan batuan hingga mencapai batas sumber air. Secara geologi, karst Gunungkidul terdiri dari batuan vulkanistik di bagian utara serta batuan sedimen karbonat di bagian selatan. Secara fisik, kenampakan terlihat jelas di permukaan berupa bukit-bukit kerucut, telaga, lembah-lembah tertutup, dan mata air permanen di beberapa kecamatan. Di bawah permukaan terdapat gua dengan speleothem yang unik dan aliran sungai bawah permukaan. Jumlah air yang tersedia di dekat permukaan sebesar 7.28 x 108 m3/tahun. Nilai tersebut diperoleh dari surplus air tahunan yang terjadi di kawasan karst. Kawasan karst Gunungkidul berada dalam kondisi yang belum kritis berdasarkan perhitungan. Hal ini tidak sejalan dengan kondisi lapang dimana kawasan karst Gunungkidul kering dan kritis. Pengelolaan kawasan karst dan sumber daya air yang tepat penting dilakukan agar tercapai berkelanjutan. Diawali dengan penempatan ijin usaha penambangan yang sesuai dan tidak merusak kawasan serta mempertahankan lapisan tanah yang tipis dengan menanam vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi tanah kering dan tipis. Secara lebih lanjut diperlukan upaya pengelolaan yang melibatkan kearifan lokal berprinsip selaras dengan alam.

Saran

Penelitian selanjutnya sebaiknya menganalisis secara kuantitatif potensi airbumi di kawasan karst Gunungkidul. Airbumi di kawasan karst sangat penting untuk dikaji sehingga cadangan air dapat diketahui seluruhnya. Ketersediaan data debit sungai bawah permukaan benar-benar sangat diperlukan dalam perhitungan potensi airbumi tersebut. Aliran sungai bawah permukaan pun penting untuk dikaji. Pengkajian tidak perlu turun ke bawah permukaan tapi dapat menggunakan data DEM untuk diolah. Selain itu, pemberian kuisioner perlu dilakukan sehingga masyarakat sendiri sadar akan potensi sumber daya air yang melimpah dan menyampaikan aspirasinya untuk pengelolaan kawasan, sehingga kebijakan yang diterapkan dalam pengelolaan nanti akan sesuai dari segi pemerintahan maupun kearifan lokal. Perlu dilakukan analisis pada faktor-faktor lain yang lebih spesifik, seperti dampak penambangan terhadap potensi air sungai bawah permukaan sebagai perbaikan karya ini ke depannya.

(38)

24

DAFTAR PUSTAKA

Abbas J. 1982. Neraca air tanah pada tanah limbah tambang di daerah bekas tambang timah Rias, Toboali Pulau Bangka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Prakarsa

Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa: Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air di Pulau Jawa. Jakarta (ID): Direktorat Pengairan dan Irigasi BAPPENAS.

Bina Program Pengairan. 2005. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Air. Sleman (ID): Bina Program Pengairan.

[BPLHD Jawa Barat] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat. 2009. Penyelamatan kawasan karst Citatah. Bidang Konservasi dan

Pemulihan [Internet]. [diunduh 2015 Des 14]. Tersedia pada:

http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-konservasi-dan- pemulihan/ 141-penyelamatan-kawasan-karst-citatah/?showall=1.

[Dinas PUP-ESDM DIY] Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi Sumber Daya dan Mineral Daerah Istimewa Yogyakarta. 2013. Laporan Rencana Penyusunan Zona Tata Guna Air Bawah Tanah di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi Sumber Daya dan Mineral Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ford D, Williams P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London (UK): Chapman and Hall.

Haryono E, Adji T. 2004. Geomorfologi Dan Hidrologi Karst. Kelompok Studi Karst. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

Haryono E, Adji T, Widyastuti M, Trijuni S. 2009. Atmospheric Carbon Dioxide Sequestration Trough Karst Denudation Process, Preliminary Estimation From Gunungsewu Karst. Proceeding of Achieving Resilient-Agriculture

to Climate Change Through the Development of Climate-Based Risk Management Scheme. PERHIMPI, Bogor.

JIBI. 2014. Proyek Bribin Gunungkidul Bribin II sepenuhnya masih dikelola Jerman. Solopos [Internet]. [diunduh 2016 Mei 16]. Tersedia pada: http://www.solopos.com/2014/09/22/proyek-bribin-gunungkidul-bribin-ii-sepenuhnya-masih-dikelola-jerman-538264.

Kusumayudha SB. 2005. Karst Hydrogeology and Fractal Geometry Of

Gunungsewu Area. Yogyakarta (ID): Adicita Publisher.

Langi OA. 2006. Analisis neraca air meteorologi untuk kekritisan DAS pada karakteristik bentuk lahan karst dan vulkanik [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

Markova OL. 1983. Water balance peculiarities of karst areas. Hydrologie [Internet]. [diunduh 2016 Mei 7]. Tersedia pada: http://hydrologie.org/redbooks/a092/093031.pdf.

[Pemkab Gunungkidul] Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. 2015. Gunungkidul: Kondisi umum. Gunungkidul [Internet]. [diunduh 2015 Des 14]. Tersedia pada: http://www.gunungkidulkab.go.id/.

Gambar

Gambar 2  Diagram alir tahapan yang dilakukan selama penelitian
Gambar 3  Peta kawasan bentang alam karst Gunungkidul
Gambar  4    Kenampakan  morfologi  perbukitan  karst  di  Kecamatan  Playen  (Sumber: (a) Dinas PUP-ESDM DIY, (b) Dokumentasi penulis)
Gambar 6    Kondisi surplus dan defisit pada neraca air lahan karst Gunungkidul   periode 2006-2015 050100150200250300350400
+3

Referensi

Dokumen terkait

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul: Pengaruh Tingkat Perputaran Piutang Terhadap Rentabilitas Ekonomi Periode Tahun 2006-2010 (Studi