• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawasan Karst Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul terletak pada 7° 46’-8° 09’ LS dan 110° 21’-110° 50’ BT. Luas daerah Kabupaten Gunungkidul sebesar 1 485.36 km2

dengan didominasi oleh bentang alam karst sebesar 60% (Pemkab Gunungkidul 2015d). Karst Gunungkidul merupakan suatu perbukitan berbentuk kerucut di bagian atasnya. Kawasan karst ini tergabung dalam suatu wilayah pengembangan

Geopark Gunungsewu yang melalui tiga propinsi yakni Daerah Istimewa

Yogyakarta (Bantul dan Gunungkidul), Jawa Tengah (Wonogiri), dan Jawa Timur (Pacitan).

Menurut Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012, kawasan bentang alam karst yang menunjukkan bentuk eksokarst dan endokarst tertentu tidak mencakup semua wilayah Gunungkidul. Kawasan yang termasuk dalam kategori kawasan karst meliputi semua desa di Kecamatan Purwosari, Rongkop, dan Tanjungsari, serta sebagian besar di Kecamatan Paliyan, Panggang, Saptosari, Tepus, Semanu, Girisubo, Ponjong, dan satu desa di Kecamatan Karangmojo. Peta kawasan bentang alam karst Gunungkidul disajikan dalam Gambar 3.

Kondisi Biogeofisik Karst Gunungkidul

Kondisi biologi di kawasan karst cukup bervariasi. Perbedaan ekosistem karst yang meliputi endokarst dan eksokarst mampu menjadi tempat hidup bagi vegetasi yang berbeda pula. Vegetasi endokarst biasanya terdiri dari paku-pakuan, rumput, dan semak. Keberadaan tumbuhan tersebut sebenarnya lebih dominan berada pada gua vertikal, sedangkan gua horizontal hanya ditumbuhi

13 tumbuhan di dekat pintu gua. Vegetasi eksokarst lebih beragam dengan keberadaan tumbuhan yang hanya muncul pada musim yang cocok dan beberapa jenis tumbuhan yang telah toleran dengan kondisi kering. Bentuk adaptasi yang dilakukan oleh tumbuhan sehingga mampu hidup di puncak bukit yang kering adalah dengan memiliki sistem perakaran yang sangat panjang dan kuat sehingga mampu menembus celah rekahan batuan pada lapisan karst, seperti pohon beringin. Selain adaptasi dengan memiliki akar panjang dan kuat yang mampu menembus batuan untuk mencapai sumber air, bentuk adaptasi lain dari tumbuhan di kawasan karst adalah mampu bertahan pada lingkungan dengan solum yang sangat tipis. Adaptasi ini dilakukan oleh tumbuhan anggrek. Tumbuhan anggrek tidak lagi tumbuh di atas tanah, melainkan tumbuh di celah-celah batuan.

Kabupaten Gunungkidul secara umum memiliki dua jenis batuan. Batuan tersebut terdiri dari batuan vulkanistik di bagian utara serta batuan sedimen karbonat di bagian selatan. Batuan sedimen karbonat inilah yang kemudian berkembang menjadi bentang alam karst di sebelah selatan Gunungkidul. Terdapat stratigrafi yang unik di zona pegunungan selatan Gunungkidul ini. Keunikan stratigrafi tersebut menghasilkan satuan litologi yang dikenal sebagai formasi batuan. Terdapat empat formasi batuan yang menyusun Kabupaten Gunungkidul. Secara kronologis, formasi-formasi tersebut disajikan pada Tabel 3.

Kawasan karst Gunungkidul memiliki kenampakan geomorfologi yang beragam. Kenampakan geomorfologi tersebut dikategorikan sebagai perbukitan karst bergelombang lemah hingga kuat (Gambar 4). Dalam Laporan Rencana Penyusunan Zona Tata Guna Air Bawah Tanah di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi Sumber Daya dan Mineral menyebutkan bahwa bagian utara Gunungkidul lebih landai dibandingkan bagian selatan. Bagian utara memiliki kelerengan antara 15-30%. Tingkat kelerengan tersebut menjadikan bagian utara Gunungkidul ini dikategorikan sebagai perbukitan karst bergelombang lemah. Sedangkan sebaliknya, semakin ke arah selatan hingga berbatasan dengan Tabel 3 Karakteristik formasi batuan pada zona pegunungan selatan Kabupaten

Gunungkidul

Formasi Umur Litologi Lingkungan

Pembentukkan Semilir Oligosen akhir –

Miosen awal

Tuff, batu pasir tuff, batu

apung, batu lempung, aglomerat

Gunung api bawah laut Oyo Miosen tengah Batugamping frakmental,

pasiran, gampingan, konglomerat, gamping, napal, tuff

Laut dangkal

Wonosari Miosen tengah Batugamping terumbu berlapis, napal,

konglomerat gamping

Laut dangkal

Kepek Miosen akhir – Pliosen

Lempung, napal pasiran, batugamping berlapis

Laguna Sumber : Kusumayudha (2005)

14

Samudera Hindia, kelerengan nampak lebih terjal. Kondisi kelerengan di bagian selatan Gunungkidul ini dikategorikan sebagai perbukitan karst bergelombang kuat.

Kenampakan lapangan di permukaan paling terlihat jelas berupa bukit-bukit kerucut, telaga, dan lembah-lembah tertutup yang tersusun atas batugamping. Bukit-bukit yang nampak tersebut muncul sebagai individu maupun deretan bukit. Bukit-bukit karst di Kabupaten Gunungkidul termasuk ke dalam bukit karst poligonal. Proses terbentuknya bukit karst poligonal ini sangat dipengaruhi oleh proses karstifikasi. Proses karstifikasi menjadi intensif saat terdapat air yang cukup. Daerah tropis umumnya memiliki surplus air karena merupakan daerah yang memperoleh radiasi maksimum sepanjang tahun sehingga banyak uap air yang terbentuk dan berpotensi hujan. Oleh karena itu, karstifikasi yang terjadi di daerah tropis lebih dominan dibandingkan daerah lainnya.

Masing-masing bukit dipisahkan oleh lembah-lembah sempit. Saat terjadi musim hujan, terdapat lembah-lembah yang tergenang air. Lembah-lembah ini akan berubah menjadi telaga. Namun telaga yang terbentuk umumnya mengering saat tiba musim kemarau. Hal ini terjadi akibat air tersebut terevaporasi, merembes ke bawah permukaan tanah secara perlahan maupun dimanfaatkan sebagai sumber air musiman oleh warga setempat. Telaga tersebut akan kembali terisi oleh air saat memasuki musim hujan.

Selain bukit kerucut, telaga dan lembah yang tampak di permukaan, mata air permanen menjadi salah satu kenampakan yang dapat ditemukan di beberapa kecamatan. Mata air permanen yang telah diidentifikasi sebanyak 41 mata air. Pernah tercatat debit yang besar dari beberapa mata air ini. Diantaranya adalah

(a)

(b)

Gambar 4 Kenampakan morfologi perbukitan karst di Kecamatan Playen (Sumber: (a) Dinas PUP-ESDM DIY, (b) Dokumentasi penulis)

15 mata air yang terdapat di Kecamatan Ponjong seperti Nggeremeng dengan debit sebesar 18 970 liter/detik, Selonjong dengan debit sebesar 3 564 liter/detik, Bendungan dengan debit sebesar 326.5 liter/detik, dan Ngobaran dengan debit sebesar 190 liter/detik. Selain di Kecamatan Ponjong terdapat mata air dengan debit yang cukup besar seperti mata air Sundak di Tepus yang memiliki debit sebesar 200 liter/detik dan Baron di Semanu dengan debit sebesar 8 200 liter/detik (Dinas PUP-ESDM DIY 2013a).

Kenampakan lapangan di bawah permukaan meliputi gua aktif yang memiliki dengan ornamen yang khas dilengkapi keberadaan aliran sungai bawah permukaan, maupun gua pasif tanpa aliran sungai bawah permukaan. Sampai saat ini, jumlah gua yang telah ditemukan sebanyak 1 192 gua, 846 gua diantaranya merupakan gua yang telah terpetakan. Gua yang telah terpetakan merupakan gua yang telah teridentifikasi struktur dan alurnya mulai dari mulut gua hingga ke ujung gua. Selain gua-gua yang telah terpetakan, terdapat gua-gua yang telah diteliti lebih lanjut. Gua-gua tersebut dikategorikan dalam tipe gua arkeologi, hidrologi, dan objek wisata (Dinas PUP-ESDM DIY 2013b). Gua yang diteliti untuk mengetahui kemungkinan kehidupan tertua yang pernah terjadi di wilayah tersebut dikelompokkan ke dalam tipe gua arkeologi. Gua tersebut biasanya berupa gua kering dan sering ditemukan fosil-fosil makhluk hidup di dalamnya. Selain untuk kepentingan arkeologi, terdapat gua yang difokuskan untuk kajian potensi pemanfaatan air sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Gua ini biasanya berupa gua yang memiliki sistem aliran sungai bawah permukaan dan dikategorikan dalam gua dengan tipe hidrologi. Tak hanya untuk kepentingan arkeologi dan hidrologi, terdapat pula gua yang dijadikan sebagai objek wisata. Gua-gua ini dikelola dan dibuka untuk menarik para wisatawan.

Gua-gua aktif masih mengalami proses pelarutan karena kandungan airnya yang cukup, sehingga bentukan stalagtit maupun stalagmitnya masih mengalami perkembangan. Gua-gua dengan aliran sungai bawah permukaan menyimpan potensi air yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Namun aliran sungai ini baru dapat dijumpai pada kedalaman 120 meter atau lebih di bawah permukaan tanah. Meskipun diindikasi terdapat banyak aliran sungai bawah permukaan yang mungkin dapat dimanfaatkan, hingga saat ini bagian hulu dan hilir dari sungai-sungai tersebut banyak yang belum teridentifikasi.

Neraca Air di Kawasan Karst Gunungkidul

Neraca air memperhitungkan curah hujan sebagai salah satu unsur dalam masukannya. Curah hujan yang terjadi di wilayah karst Gunungkidul diwakili oleh empat stasiun pengamatan yang tersebar di beberapa kecamatan. Keempat stasiun pengamatan hujan tersebut adalah BPP Panggang yang terletak pada 08° 00’ 36.0” LS dan 10° 25’ 12.0" BT (315 mdpl), BPP Paliyan yang terletak pada 08° 00’ 21.8” LS dan 110° 31’ 31.4" BT (190 mdpl), BPP Nglipar yang terletak pada 07° 57’ 23.1” LS dan 110° 36’ 11.7" BT (190 mdpl), serta BPP Playen yang terletak pada 07° 55’ 17.3” LS dan 110° 34’ 35.7" BT (223 mdpl).

Curah hujan di wilayah Gunungkidul memiliki tipe monsunal dengan puncak hujan yang terjadi pada periode DJF (Gambar 5). Berdasarkan data yang digunakan di wilayah kajian, puncak curah hujan tertinggi tercatat di wilayah

16

Panggang dengan rataan tahunan sebesar 2086 mm dan terendah di wilayah Paliyan dengan rataan tahunan sebesat 1794 mm.

Defisit biasa terjadi di musim kemarau. Menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson, Kabupaten Gunungkidul memiliki iklim yang termasuk dalam iklim tipe C dan D. Berdasarkan klasifikasi tersebut, iklim di Kabupaten Gunungkidul bertipe agak basah dan sedang, sehingga jumlah hari hujan sepanjang tahun tidak begitu banyak. Kondisi air tersedia dinyatakan dari surplus air yang terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi potensial neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul selama periode 2006-2015 memperlihatkan hasil (Gambar 6) dimana rata-rata bulan Juli memiliki nilai evapotranspirasi yang rendah sebesar 100 mm, hal ini sebanding dengan rendahnya curah hujan yang terjadi pada bulan tersebut yang hanya sebesar 33 mm. Sementara itu, evapotranspirasi potensial maksimum terjadi pada bulan Oktober. Nilai evapotranspirasi potensial pada bulan tersebut mencapai 152 mm dengan curah hujan yang hanya sebesar 47 mm. Hal ini terjadi karena dipicu oleh tingginya suhu udara pada saat itu (Tabel 4). Evapotranspirasi tinggi dapat terjadi pada saat suhu udara sedang tinggi.

Gambar 5 Rerata curah hujan bulanan yang terjadi di wilayah (a) Nglipar, (b) Playen, (c) Panggang, dan (d) Paliyan periode 2006-2015

17

Evapotranspirasi aktual merupakan evapotranspirasi yang benar-benar terjadi. Nilai evapotranspirasi aktual akan sama dengan nilai evaporanspirasi potensial saat curah hujan yang terjadi melebihi evapotranspirasi potensial. Nilai evapotranspirasi aktual tertinggi terjadi pada bulan Nopember sebesar 142 mm dengan nilai yang sama seperti evapotranspirasi potensial. Sedangkan nilai evapotranspirasi aktual terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 10 mm dengan nilai evapotranspirasi potensial yang terlampau jauh hingga mencapai 110 mm. Penurunan nilai evapotranspirasi aktual yang jauh berbeda dari nilai evapotranspirasi potensial dipicu oleh penurunan kelengasan tanah yang terjadi di bulan tersebut (Tabel 4). Air yang dievapotranspirasikan secara aktual ini memiliki nilai lebih besar dari curah hujan yang terjadi pada bulan tersebut. Curah hujan yang terjadi di bulan Agustus hanya sebesar 8 mm. Nilai selisih 2 mm tersebut berasal dari lengas tanah yang nilainya dinamis terhadap waktu dan berbeda-beda untuk tiap tekstur tanah.

Kondisi surplus dan defisit air dalam neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul disajikan dalam Tabel 4. Selama satu tahun terdapat 6 bulan surplus air. Kondisi surplus air rata-rata tercapai pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Nopember, dan Desember. Bulan-bulan tersebut memiliki curah hujan bulanan rata-rata di atas 130 mm. Surplus air tahunan terhitung sebesar 817 mm. Kondisi sebaliknya, terjadi pada bulan-bulan kering. Kondisi defisit air terjadi pada bulan-bulan dimana evapotranspirasi yang terjadi baik potensial maupun aktual melebihi curah hujan pada bulan tersebut. Defisit air terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Besarnya defisit air diperoleh dari selisih antara evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi aktual. Pada bulan-bulan kekurangan air ini biasa ditandai dengan adanya nilai APWL (Accumulated Potential Water Loss). APWL ini merupakan nilai akumulasi dari nilai-nilai selisih antara curah hujan dengan evapotranspirasi potensial yang bernilai negatif.

Gambar 6 Kondisi surplus dan defisit pada neraca air lahan karst Gunungkidul periode 2006-2015 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des

mm

Bulan

P EP EA

18

Tekstur tanah di kawasan karst Gunungkidul didominasi oleh tanah dengan tekstur lempung berdebu, liat, liat berdebu, dan lempung liat berdebu (Lampiran 5). Informasi tersebut digunakan dalam menghitung kelengasan tanah. Kawasan karst memiliki kelengasan tanah yang rendah dibandingkan kawasan lainnya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pengaruh tekstur tanah dan kedalaman tanah yang dangkal. Kedalaman tanah di kawasan ini rata-rata kurang dari 50 cm (Suryatmojo 2002). Lapisan bawah dari solum tanah yang tipis tersebut langsung terdapat batugamping sehingga kemungkinan dapat ditembus oleh akar tanaman pun cukup sulit.

Kelengasan tanah dapat dikatakan memiliki korelasi yang positif dengan evapotranspirasi potensial (Gambar 7). Saat terjadi kenaikan kelengasan tanah, evapotranspirasi yang terjadi berada pada kondisi potensialnya. Kenaikan ini dipicu karena banyaknya air tersedia pada saat kelengasan tanah tinggi, sehingga potensi air untuk dapat dievapotranspirasikan pun lebih besar. Sedangkan saat terjadi penurunan kelengasan tanah, evapotranspirasi yang terjadi berada di bawah kondisi potensialnya atau sama dengan evapotranspirasi aktualnya. Hal ini telah sesuai dengan penelitan yang telah dilakukan oleh Tadjang (1980) dalam Abbas (1982), yang menyatakan bahwa penurunan kelengasan tanah selalu disertai dengan penurunan evapotranspirasi dari nilai potensialnya.

Saat kelengasan tanah berada pada titik nol, potensi air yang dievapotranspirasikan memiliki nilai yang berbeda-beda. Evapotranspirasi potensial yang terjadi pada saat kelengasan tanah bernilai nol sebesar 112 mm, 123 mm, dan bahkan mencapai 152 mm. Pada saat kelengasan tanah maksimum tercapai, air yang potensial dievapotranspirasikan berada pada kisaran 120-136 mm. Korelasi antara kelengasan tanah dan evapotranspirasi potensial dinyatakan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.1314. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya sebesar 13% keragaman evapotranspirasi potensial mampu dijelaskan oleh kelengasan tanah. Kelengasan tanah memiliki pengaruh terhadap evapotranspirasi potensial, namun pengaruh tersebut cukup kecil. Terdapat parameter lain yang mempengaruhi evapotranspirasi potensial selain kelengasan tanah.

Tabel 4 Neraca air lahan di kawasan karst Gunungkidul

[mm] Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des Total T 26.1 26 26.2 26.5 26.3 25.6 25 25.1 25.9 27 26.6 25.7 P 306 304 267 191 120 60 33 8 29 47 168 378 1909 EP 136 120 134 134 132 117 110 112 123 152 142 130 1542 P-EP 170 184 133 57 -13 -57 -77 -104 -94 -106 26 248 367 APWL 13 69 146 250 344 449 1271 ST 51 51 51 51 40 13 3 0 0 0 51 51 361 dST 0 0 0 0 -11 -27 -10 -3 0 0 51 0 EA 136 120 134 134 131 87 43 10 29 47 142 130 1143 D 0 0 0 0 1 30 67 102 94 106 0 0 399 S 170 184 133 57 0 0 0 0 0 0 26 248 817

19

Ketersediaan Air di Kawasan Karst Gunungkidul

Air yang tersedia dari curah hujan di kawasan ini terbilang cukup rendah. Setiap tahun terjadi kondisi surplus dan defisit dengan durasi sama. Nilai surplus sebesar 817 mm dalam satu tahun menghasilkan ketersediaan air tahunan sebesar 7.28 x 108 m3/tahun (Tabel 6). Jumlah tersebut hanya berasal dari curah hujan yang jatuh di kawasan.

Ketersediaan air yang terhitung dibatasi untuk penggunaan air dalam memenuhi kebutuhan air domestik serta untuk mengairi lahan pertanian berupa padi sawah dan tanaman palawija khususnya kedelai. Besar kebutuhan air tiap sektor tersebut diuraikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Besaran kebutuhan air untuk penggunaan domestik dan pertanian

Parameter Nilai

Kebutuhan Air Domestik (m3/tahun) 0.83 x 107 Kebutuhan Air Pertanian (m3/tahun)

- Padi 1.51 x 107

- Palawija 0.37 x 107

Sumber: perhitungan dilakukan dengan menggunakan data jumlah penduduk dan luas lahan sawah dan palawija tahun 2014

Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air menghasilkan indeks penggunaan air sebesar 4% (Tabel 6). Nilai ini mengidentifikasikan bahwa kawasan karst Gunungkidul berada pada kondisi yang belum kritis berdasarkan perhitungan neraca air secara klimatologis.

Gambar 7 Korelasi kelengasan tanah dan evapotranspirasi potensial di kawasan karst Gunungkidul y = 0.1878x + 122.85 R² = 0.1314 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 Ev apotr anspir asi pote nsia l Kelengasan tanah

20

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kawasan karst memiliki ketersediaan air yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan air di wilayah tersebut (Gambar 8). Perbandingan ini menunjukkan bahwa sebenarnya kawasan karst Gunungkidul ini menyimpan potensi air yang dapat digunakan untuk mengatasi kekeringan.

Namun hasil perhitungan menunjukkan perbedaan kondisi dengan kenyataannya. Kawasan karst Gunungkidul merupakan suatu kawasan yang berstatus kritis. Air yang tersedia sangat terbatas jumlahnya. Perbedaan ini terjadi kemungkinan besar karena kondisi geomorfologi kawasan yang tidak dilibatkan dalam perhitungan. Kondisi geomorfologi kawasan karst terdiri dari batuan yang mudah terlarut oleh air sehingga menghasilkan banyak celah yang mampu meloloskan air ke bawah permukaan, akibatnya air di permukaan hanya sedikit yang tertahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Notodihardjo, hanya sebesar 25% air yang jatuh di kawasan ini tertahan di permukaan dan dapat langsung dimanfaatkan. Sebagain besar lainnya (75%) masuk ke bawah permukaan dan mengalir mengikuti aliran sungai bawah permukaan menuju ke laut bebas tanpa sempat dimanfaatkan oleh masyarakat (Langi 2007).

Persentase air yang tertahan di permukaan dan dapat dimanfaatkan secara langsung lebih kecil dengan persentase air yang masuk ke bawah permukaan dan mengalir menuju laut bebas. Pemanfaatan air belum optimal sehingga perlu

Tabel 6 Penentuan nilai indeks penggunaan air di kawasan karst Gunungkidul

Parameter Nilai

Luas Karst (m2) 8.91 x 108

Surplus (m) 0.817

Ketersediaan Air (m3/tahun) 7.28 x 108 Kebutuhan Air (m3/tahun) 0.27 x 108

Indeks Penggunaan Air (%) 4

Sumber: perhitungan dilakukan dengan menggunakan data untuk kebutuhan air tahun 2014

Gambar 8 Perbandingan antara ketersediaan air dan kebutuhan air kawasan karst Gunungkidul pada tahun 2014

7.28 0.27 0 1 2 3 4 5 6 7 8 x 10 8 (m

3 /tahun) Ketersediaan air

21 dilakukan pengalokasian air secara tepat agar kebutuhan air kawasan dapat terpenuhi. Salah satu upaya yang telah dilakukan dalam memanfaatkan air yang sebagian besar masuk ke bawah permukaan adalah dengan melakukan pemompaan pada kedalaman tertentu hingga air tersebut terangkat ke permukaan. Air yang telah dipompa disalurkan dalam bentuk air PDAM ke beberapa kecamatan seperti Kecamatan Semanu, Rongkop, Girisubo, dan Tepus dalam bentuk air PDAM oleh pemerintah Gunungkidul. Namun, upaya tersebut membutuhkan usaha yang besar. Selain itu, air yang dapat dipasok dibatasi hanya sebesar 70 liter/detik pada tahun 2014 dan pengalokasiannya pun belum tersebar ke kecamatan-kecamatan lain yang juga sering mengalami kekeringan (JIBI 2014).

Keberlanjutan Kawasan Karst Gunungkidul

Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa air yang tersedia di kawasan karst Gunungkidul seharusnya dapat memenuhi kebutuhan air di kawasan tersebut. Kelangkaan air yang biasa terjadi selama musim kemarau karena air yang tertahan di permukaan sedikit jumlahnya dan hanya bisa diatasi dengan pasokan airbumi dalam bentuk air PDAM yang disalurkan kepada masyarakat. Selain itu, potensi sumber daya air masih banyak yang belum dioptimalkan. Beberapa upaya dalam mempertahankan sumber daya air secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara konservasi sumber daya air kawasan dan penerapan kearifan lokal berprinsip selaras dengan alam.

Konservasi Sumber Daya Air Kawasan Karst

Keberadaan kawasan bentang alam karst perlu dijaga. Salah satu bentuk perlindungan yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan kawasan karst menjadi suatu kawasan yang harus dilestarikan dan dilindungi (Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012). Di dalam aturan tersebut disebutkan bahwa terdapat kawasan yang tidak termasuk kawasan karst. Kawasan tersebut dikategorikan sebagai kawasan batugamping. Kawasan ini umumnya dirujuk sebagai kawasan yang diijinkan untuk dilakukan penambangan.

Pengelolaan kawasan karst dalam pemanfaatan air berkelanjutan dapat diawali dengan penempatan ijin usaha penambangan yang sesuai. Penambangan yang masih dilakukan di kawasan karst diupayakan untuk berpindah ke kawasan batugamping. Pemindahan lokasi penambangan batugamping dimaksudkan untuk meminimalisasi terjadinya kerusakan di kawasan karst yang lebih banyak sehingga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan fungsi kawasan karst sebagai kawasan konservasi.

Bagi perusahaan yang masih melakukan penambangan di kawasan karst, sebaiknya diberi himbauan untuk segera berpindah ke kawasan non karst tersebut. Pemberlakuan aturan dibuat tegas, sehingga para pelanggar yang masih melakukan galian di kawasan karst menjadi jera. Cara ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan pemangkasan bukit karst sehingga penyimpanan air dekat permukaan dapat dipertahankan. Zona penyimpanan air dekat permukaan ini sangat penting keberadaannya agar air tidak langsung merembes ke dalam

22

sungai bawah permukaan. Jika memang terjadi pemangkasan, diusahakan lubang yang tercipta tidak terlalu besar. Hal ini akan mengantisipasi masuknya zat pencemar yang terbawa dari permukaan bersama air ke dalam jaringan sungai bawah permukaan.

Prinsip konservasi air sebenarnya telah diterapkan oleh masyarakat setempat, misalnya dengan tidak membuang-buang air dan menggunakan air seperlunya. Selain itu, masyarakat sering melakukan pemanenan air hujan menggunakan bak penampungan air hujan (PAH). Menampung air hujan sudah menjadi kebiasaan masyarakat di kawasan karst terutama menjelang musim kemarau. Tindakan-tindakan tersebut dapat mempertahankan ketersediaan air sehingga pemenuhan kebutuhan air tetap terpenuhi.

Prinsip konservasi dalam keberlanjutan sumber daya air tidak hanya untuk sesaat, ketersediaan air di masa yang akan datang pun sangat diperlukan. Arahan yang paling utama dilakukan di kawasan karst ini adalah mempertahankan lapisan tanah yang tipis sehingga air cukup tersedia di permukaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman vegetasi. Kondisi solum yang dangkal membuat jenis vegetasi yang ditanam menjadi pertimbangan besar. Disarankan untuk menanam tanaman pioneer yang dapat cepat tumbuh pada lahan berbatu, seperti akasia. Vegetasi lain yang dapat ditanam adalah pohon jati, mahoni, dan sengon. Akar-akar dari vegetasi tersebut mampu menembus batuan induk. Selain menahan massa tanah, akar yang telah menembus batuan tersebut mampu menciptakan celah sebagai jalan masuknya air hujan ke lapisan tanah infiltrasi. Kearifan Lokal dan Prinsip Selaras Alam

Dokumen terkait