• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE RELATIONSHIP BETWEEN SENSE OF HUMOR IN SEXUAL BEHAVIOR IN ADOLESCENTS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "THE RELATIONSHIP BETWEEN SENSE OF HUMOR IN SEXUAL BEHAVIOR IN ADOLESCENTS"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

THE RELATIONSHIP BETWEEN SENSE OF HUMOR IN SEXUAL

BEHAVIOR IN ADOLESCENTS

Nikko Novandi, Prof. Dr. A.M. Heru Basuki, MSi. Undergraduate Program, Faculty of Psychology, 2009

Gunadarma University

http://www.gunadarma.ac.id

Key Word : Sense of Humor, Sexual Behavior, Teens ABSTRACT :

Conflicts and changes that occur in adolescent demanding teenagers to be able to resolve the problem and trying to adjust to changes in the existing menyingkapi. For that needed fine tuning your sense of humor is owned by teenagers as one of the many solutions put forward in previous studies, so that teenagers can solve problems that dihadapainya especially regarding 'sexual behavior' without any anxiety, fear, guilt and depression. Sense of humor is owned by teenagers can lead to an increase in self-confidence (self esteem) in adolescents are also likely to survive to fight 'against life because the humor is often used to help resolve conflicts, especially on the' sexual behavior 'teens. Actually, humorous teenager who has not been fully controlled by the conflict, but trying to master the conflict in a certain way in the attainment of a mature personality.

Goals to be achieved in this study was to examine whether there is a relationship between a sense of humor (a sense of humor) with sexual behavior in adolescents. In this study, researchers used correlation analysis. The sample in this study were young men and women who are in the age range 18 years-24 years of status as a student at the Faculty of Psychology, University Gunadarma Kalimalang. Student sample was 170 people - students, consisted of 124 female and male subjects of 46 subjects. Data collection was performed by using the Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) to measure a sense of humor, and Sexual Behavior Scale to measure sexual behavior.

To measure a sense of humor used Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) proposed by Thorson & Powell (1993) which has been modified by the researchers based on the forms of sense of humor (a sense of humor). On the scale of sense of humor test validity with Cronbach alpha technique. Of the 34 item Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) that have been tested, 28 items are stated to have adequate validity ranging from 0.32 1 to 0.635 with niai reliability of 0.904.

To measure sexual behavior sexual behavior scale was used which is prepared by prepared by Cynthia (2003), which is based on forms of sexual behavior that put forward by Sarwono (2000). On a scale of sexual behavior conducted validity and Cronbach Alpha realiabilitas with the technique. Of the 52 item scale of sexual behavior that have been tested, 36 items are stated to have adequate validity ranging from 0.320 to 0.553 with realiabilitas value of 0.897.

The results showed that there was no relationship between a sense of humor with sexual behavior in adolescents appears to be caused by many factors that affect the sexual behavior is more prevalent due to the social environmental factors.

(2)

HUBUNGAN ANTARA RASA HUMOR

DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

NPM : 10505145

Nama : Nikko Novandi

Pembimbing : Prof. Dr. A.M. Heru Basuki, MP Tahun Sidang : 2009

Subjek : Rasa Humor, Perilaku Seksual, Remaja Judul

HUBUNGAN ANTARA RASA HUMOR

DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA Abstraksi

Konflik dan perubahan yang terjadi pada remaja me nuntut remaja untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan berusaha untuk menyesuaikan diri dalam menyingkapi perubahan yang ada. Untuk itu diperlukan pengasahan sense of humor yang dimiliki remaja sebagai salah satu sekian banyak solusi yang dikemukakan pada penelitian sebelumnya, agar remaja dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapainya khususnya mengenai „perilaku seksualnya‟ tanpa ada kecemasan, ketakutan, perasaan bersalah dan depresi. Sense of humor yang dimiliki remaja dapat menimbulkan suatu peningkatan rasa percaya diri (self esteem) pada remaja tersebut serta cenderung dapat survive berjuang „melawan hidup karena humor sering digunakan untuk membantu mengatasi konflik khususnya pada „perilaku seksual‟ remaja. Sebenarnya remaja yang memiliki humor belum sepenuhnya dikuasai oleh konflik, tetapi berusaha untuk menguasai konflik dengan cara tertentu dalam pencapaian kepribadian yang matang.

Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk menguji apakah ada hubungan antara rasa humor (sense of humor) dengan perilaku seksual pada remaja. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis korelasi. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja pria dan wanita yang berada pada rentang usia 18 tahun–24 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Kalimalang. Sampelnya adalah 170 orang mahasiswa - mahasiswi, terdiri dari wanita 124 subjek dan pria sebesar 46 subjek. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) untuk mengukur rasa humor, dan Skala Perilaku Seksual untuk mengukur perilaku seksual.

Untuk pengukuran rasa humor digunakan Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang dikemukakan oleh Thorson & Powell (1993) yang telah dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan bentuk-bentuk rasa humor (sense of humor). Pada skala rasa humor dilakukan uji validitas dengan teknik Alpha Cronbach. Dari 34 item Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang telah diuji cobakan, 28 item dinyatakan memiliki validitas yang memadai yaitu berkisar antara 0,32 1 sampai 0,635 dengan niai reliabilitas sebesar 0,904.

Untuk pengukuran perilaku seksual digunakan skala perilaku seksual yang disusun oleh yang disusun oleh Cynthia (2003), yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perilaku seksual yang dikemukakan oleh Sarwono (2000). Pada skala perilaku seksual dilakukan uji validitas dan realiabilitas dengan teknik Alpha Cronbach. Dari 52 item skala perilaku seksual yang telah diuji cobakan, 36 item dinyatakan memiliki validitas yang memadai yaitu berkisar antara 0,320 sampai dengan 0,553 dengan nilai realiabilitas sebesar 0,897.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja nampaknya disebabkan karena banyak faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual yang lebih dominan disebabkan oleh faktpr lingkungan sosial.

(3)

HUBUNGAN ANTARA RASA HUMOR DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA NIKKO NOVANDI

Program Sarjana, Universitas Gunadarma

Abstraksi

Konflik dan perubahan yang terjadi pada remaja menuntut remaja untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan berusaha untuk menyesuaikan diri dalam menyingkapi perubahan yang ada. Untuk itu diperlukan pengasahan sense of humor yang dimiliki remaja sebagai salah satu sekian banyak solusi yang dikemukakan pada penelitian sebelumnya, agar remaja dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapainya khususnya mengenai ‘perilaku seksualnya’ tanpa ada kecemasan, ketakutan, perasaan bersalah dan depresi. Sense of humor yang dimiliki remaja dapat menimbulkan suatu peningkatan rasa percaya diri (self esteem) pada remaja tersebut serta cenderung dapat survive berjuang ‘melawan hidup karena humor sering digunakan untuk membantu mengatasi konflik khususnya pada ‘perilaku seksual’ remaja. Sebenarnya remaja yang memiliki humor belum sepenuhnya dikuasai oleh konflik, tetapi berusaha untuk menguasai konflik dengan cara tertentu dalam pencapaian kepribadian yang matang.

Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk menguji apakah ada hubungan antara rasa humor (sense of humor) dengan perilaku seksual pada remaja. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis korelasi. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja pria dan wanita yang berada pada rentang usia 18 tahun–24 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Kalimalang. Sampelnya adalah 170 orang mahasiswa - mahasiswi, terdiri dari wanita 124 subjek dan pria sebesar 46 subjek. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) untuk mengukur rasa humor, dan Skala Perilaku Seksual untuk mengukur perilaku seksual.

Untuk pengukuran rasa humor digunakan Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang dikemukakan oleh Thorson & Powell (1993) yang telah dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan bentuk-bentuk rasa humor (sense of humor). Pada skala rasa humor dilakukan uji validitas dengan teknik Alpha Cronbach. Dari 34 item Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang telah diuji cobakan, 28 item dinyatakan memiliki validitas yang memadai yaitu berkisar antara 0,32 1 sampai 0,635 dengan niai reliabilitas sebesar 0,904.

Untuk pengukuran perilaku seksual digunakan skala perilaku seksual yang disusun oleh yang disusun oleh Cynthia (2003), yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perilaku seksual yang dikemukakan oleh Sarwono (2000). Pada skala perilaku seksual dilakukan uji validitas dan realiabilitas dengan teknik Alpha Cronbach. Dari 52 item skala perilaku seksual yang telah diuji cobakan, 36 item dinyatakan memiliki validitas yang memadai yaitu berkisar antara 0,320 sampai dengan 0,553 dengan nilai realiabilitas sebesar 0,897.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja nampaknya disebabkan karena banyak faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual yang lebih dominan disebabkan oleh faktpr lingkungan sosial.

(4)

A. LATAR BELAKANG

Masa remaja dengan berbagai permasalahannya, merupakan hal yang tidak habis-habisnya dan selalu menarik untuk dibicarakan. Disatu sisi, banyak pihak yang merasa cemas dan khawatir

(5)

para remaja sebagai anak yang penurut, memahami dan mengikuti kehendak mereka serta tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggalnya. Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang mencari keuntungan dengan menjadikan remaja sebagai mangsa, karena remaja merupakan umpan yang mudah dipengaruhi.

Bagi remaja sendiri, dengan terjadinya perubahan pesat pada dirinya baik fisik maupun psikis, sudah merupakan permasalahan tersendiri. Perubahan fisik misalnya, membuat remaja mulai merasakan suatu perubahan pada dirinya, yang sebelumnya tidak dirasakan. Sejalan dengan perubahan tersebut, remaja mulai beralih minat pada usahanya mencari informasi tentang masalah seks dalam hubungannya dengan lawan jenis.

Orang tua yang cenderung tertutup tentang masalah tersebut, bahkan tidak sedikit dari mereka yang masih menganggap bahwa berbicara masalah seks adalah tabu dan kotor, membuat remaja lebih menjadikan teman sebaya sebagai sumber informasi, yang tidak menutup kemungkinan bahwa informasi yang diperolehnya kurang tepat dan kurang benar, bahkan dapat menyesatkan. Terlebih lagi bagi pihak yang mencari keuntungan semata, dengan semakin mudahnya arus informasi yang masuk, memberikan peluang besar bagi mereka menjadikan remaja sebagai mangsa utama, dengan dalih membantu para remaja yang haus akan bacaan dan hiburan.

Fenomena yang tampak akhir-akhir ini menurut Hudayana pengajar Antropologi Universitas Indonesia (dalam Anggawi, 2005) mengatakan bahwa gencarnya pengaruh arus globalisasi berdampak pada perilaku remaja. Pengaruh budaya popular, seperti film, orang-orang di bar, dan diskotik dibawa kedalam kesehariannya. Sehingga bagi remaja khususnya yang tinggal di kota-kota besar, memperoleh bacaan-bacaan, gambar-gambar, atau film-film porno bukan lagi merupakan masalah yang sulit, seperti diungkapkan Sarlito (dalam Amin, 2005) mengatakan bahwa dalam 10 atau 15 tahun terakhir ini bagi remaja khususnya yang tinggal di kota-kota besar seperti di Jakarta (dan juga kota-kota lain di Indonesia), memperoleh bacaan-bacaan, gambar-gambar, atau film-film porno bukan lagi merupakan masalah yang sulit, seperti diungkapkan makin banyak hal

(6)

yang merangsang nafsu seksual remaja (film cabul, bacaan porno, lokalisasi WTS, taman - taman hiburan dan sebagainya). Informasi-informasi yang dapat merangsang seksual tersebut, cenderung menimbulkan gairah seks yang menggebu-gebu, dan mendorongnya untuk mencoba-coba guna memperoleh pengalaman-pengalaman barunya, dengan tanpa peduli akibat negatif dari perbuatannya (dalam Amin, 2005).

Menurut hasil penelitian Lembaga Center of Information for Mass Media (CIMM) pada tahun 1998 (dalam Amin, 2005), penelitian tentang perilaku seks remaja ini dilakukan di wilayah Jakarta dan kota-kota besar sekitarnya, semua perilaku seks ini berawal dengan „pacaran‟ atau „pendekatan lawan jenis‟. Diikuti kemudian dengan pegangan tangan (59,20% atau sekitar 193 responden). Baru melangkah ke pelukan (41,10% atau 134 responden), cium pipi (124 responden atau 38,04%), cium bibir (32,52% atau 106 responden), cium leher atau necking (19,63% atau sekitar 64 responden), meraba buah dada (16,27% atau sekitar 54 responden), meremas buah dada atau petting (14,42% atau sekitar 47 responden), dan akhirnya hubungan seksual intim atau coitus (12,57% atau kira-kira 41 responden).

Jika masalah ini dibiarkan terus berlanjut, maka kegelisahan akan semakin besar terjadi pada banyak pihak termasuk para remaja sebagai korban ketidak tahuan akan makna dan fungsi seks yang sebenarnya. Meskipun demikian, remaja tidak dapat segera menyalurkan hasrat seksual mereka karena adanya faktor-faktor yang menjadi pertimbangan, seperti: norma-norma yang berlaku di masyarakat, adanya persyaratan usia minimal berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 7 menyatakan bahwa syarat usia minimal menempuh perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun masih memerlukan izin orang tua untuk menikah. Setelah berusia di atas 21 tahun, ia diperbolehkan menikah tanpa izin orang tua (pasal 6 ayat 2 UUP No. 1/1974) dan persyaratan kematangan psiko-sosial, sebagai syarat untuk melangsungkan perkawinan, justru semakin berat sehingga diperlukan waktu lebih panjang untuk memenuhinya. Dorongan perilaku seksualitas yang

(7)
(8)

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penulisan ini penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja.

khususnya pada remaja, dapat menimbulkan suatu konflik dan perubahan seperti, ketegangan, kecemasan, dan frustasi dalam menghadapi kesehariannya bahkan sampai depresi (Widjanarko, 1995).

Konflik dan perubahan yang terjadi pada remaja menuntut remaja untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan berusaha untuk menyesuaikan diri dalam menyingkapi perubahan yang ada. Atas dasar itu maka diperlukan pengasahan sense of humor yang dimiliki remaja sebagai salah satu sekian banyak solusi yang dikemukakan pada penelitian sebelumnya, dengan asumsi agar remaja dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapainya khususnya mengenai „perilaku seksualnya‟ tanpa ada kecemasan, ketakutan, perasaan bersalah dan depresi. Sense of humor yang dimiliki remaja dapat menimbulkan suatu peningkatan rasa percaya diri (self esteem) pada remaja tersebut serta cenderung dapat survive berjuang „melawan hidup karena humor sering digunakan untuk membantu mengatasi konflik dalam dirinya. Konflik dalam hal ini mengenai penyaluran pada „perilaku seksual‟ remaja yang selalu bertentangan. Sebenarnya remaja yang memiliki humor belum sepenuhnya dikuasai oleh konflik, tetapi berusaha untuk menguasai konflik dengan cara tertentu dalam pencapaian kepribadian yang matang. Hal ini berdasarkan dari penelitian Kleverlaan (dalam Hartanti, 2002) diperoleh hasil bahwa orang yang dapat mentertawakan konflik yang dialami melalui media humor yakni dengan „melihat sisi terang‟ dari situasi tersebut, tampaknya memiliki adaptasi yang lebih baik daripada orang yang memberi respon pada masalah dengan cara menarik diri atau menjadi bermusuhan. Penelitian lain yang memperkuat pendapat tadi yaitu berdasarkan penelitian dari Thorson yang mengatakan bahwa rasa humor berkorelasi positif dengan adaptasi pada hidup yang aman, selain itu diperoleh korelasi negatif antara rasa humor dengan adaptasi yang buruk (dalam Hartanti, 2002). Hal ini yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk meneliti lebih jauh lagi mengenai respon humor yang ada pada remaja dalam menghadapi permasalahan dalam pembahasan „perilaku seksualnya‟.

(9)

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji apakah rasa humor memiliki hubungan dengan perilaku seksual pada remaja.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan wawasan baru mengenai keterkaitan antara humor dan perilaku seksual pada masyarakat umum dan masukan untuk perkembangan ilmu psikologi pada umumnya serta Psikologi Klinis, Psikologi Pendidikan, serta pada khususnya dalam hal ini diharapkan bagi peneliti lainnya; untuk menambah informasi tentang hubungan memiliki rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja, serta sebagai bahan penelitian selanjutnya dari penelitian-penelitian yang sudah ada penulis berharap dapat menambah wawasan baru dengan memperluas kaitan humor, tidak saja dalam masalah kesehatan mental tapi masalah-masalah lainnya.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan masukan kepada seluruh masyarakat khususnya remaja dalam rangka memahami manfaat memiliki rasa humor (sense of humor) dalam pengendalian dan penyaluran perilaku seksual yang baik dan benar yang merupakan bagian dari perkembangan jiwanya yang sesuai dan tidak bertentangan dengan tata nilai serta norma-norma yang berlaku dimasyarakat pada umumnya dengan salah satunya memiliki rasa humor (sense of humor).

D. LANDASAN TEORI 1. Pengertian Humor

humor adalah suatu situasi kompleks yang dapat menimbulkan kegembiraan berupa stimulus (seperti: cerita, dongeng lucu, lelucon, teka-teki yang jawabannya lucu, pertunjukan lawak, acara-acara televisi dan film komedi, buku humor dan sebagainya) yang memiliki unsur kejutan, kontradiktif, kenakalan, keganjilan atau ketidakpantasan, keunikan, menggelikan hati, kejenakaan, kelucuan dan sebagainya dalam diri manusia yang diungkapkan secara verbal maupun non verbal yang diterima pada seseorang sehingga dapat

(10)

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penulisan ini penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja.

(11)

serta terdorong untuk mengekspresikannya dengan tertawa atau tersenyum dan bisa saja tidak sama sekali sebagai respon yang bernilai bebas dari reflek psikologisnya.

2. Pengertian Tertawa

Tertawa merupakan sebuah respon yang paling mungkin dalam elemen rasa humor, dan hal ini merupakan bagian dari menghargai orang yang melontarkan humor. Saat kita mampu tertawa atau tersenyum, berarti kita menghargai hasil dari usaha kita atau usaha yang dilakukan oleh orang lain saat memproduksi humor.

3. Proses Terjadinya Humor

Stimulus humor yang diterima berupa isi, susunan, ataupun humor yang sifatnya kompleks, akan diproses oleh penerima berdasarkan kemampuan kognitif, yang nantinya dapat menimbulkan perubahan, baik perubahan psikodinamika maupun perubahan fisiologis. Reaksi yang timbul sehubungan dengan stimulasi tersebut, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kognitif, psikis ataupun psikologis, tetapi dipengaruhi juga oleh motivasi pada saat stimulus diterima, kepribadian individu, dan keadaan sosial saat menerima stimulus tersebut. Sebagai contoh dari gambar diatas adalah, walaupun isi stimulasi humornya berbobot, sehingga diproses oleh kognitifnya sebagai sesuatu yang sangat lucu dan menggelikan, namun bila keadaan pada saat memperoleh stimulasi tersebut, motivasinya untuk menerima stimulus bertaraf rendah, keadaan sosial tidak memungkinkan untuk tertawa (misalnya sedang melayat atau ada kematian), maka tidak akan muncul reaksi tertawa atau tersenyum. Namun sebaliknya bila isi ataupun susunan stimulasi humornya bertaraf rendah, namun bila motivasi pada saat menerima stimulus tergolong tinggi (misal: di saat sedang santai), maka akan berpengaruh pada pemprosesan kognitif menjadi lebih jernih, sehingga stimulus akan diproses sama seperti aslinya dan akan menimbulkan tertawa atau reaksi-reaksi fisiologis yang lain.

4. Komponen-Komponen Humor

(12)

humor yang diterima individu. Sehingga yang terkait dengan komponen kognitif dalam hal yang melatarbelakangi penerimaan responnya secara personal (individu), yaitu:

1) Pengetahuan seseorang, misalkan; banyak orang yang tahu bahwa jatuh terduduk dilantai bisa berbahaya (konon bisa membuat orang buta jika ketika jatuh terduduk itu terkena syaraf tertentu) akan marah melihat adegan orang jatuh terduduk itu. Tetapi yang tidak mengetahuinya bisa tertawa terbahak-bahak (Sarlito, 1996).

2) Latar belakang sosial-budaya, misalkan; ada sebuah humor yang sangat terkenal tentang seorang pastor Katolik dan seorang haji yang sedang mengobrol di kereta api. Pastor itu menawarkan roti berisi daging babi kepada sang haji dan haji menolak karena ia dilarang makan babi oleh agamanya. Pastor itu berkata bahwa haji itu rugi karena tidak tahu makanan yang paling enak di dunia. Sebaliknya, sang haji bertanya kepada pastor, apakah dia sudah menikah yang dijawab oleh pastor bahwa dia dilarang agamanya untuk menikah.Haji itu berkata bahwa pastorlah orang yang paling merugi di dunia, karena kawin adalah yang paling enak di dunia. Haji itu sendiri beristeri empat. Jika humor ini disampaikan kepada orang dari Amerika yang tidak mengerti soal sosial-budaya agama-agama Katolik dan Islam dan bagaimana hubungan antara kedua agama-agama itu di Indonesia, maka orang Amerika pasti tidak akan tetawa (Sarlito, 1996).

3) Tipe kepribadian, tipe kepribadian orang pun ikut berpengaruh terhadap kepekaannya terhadap humor. Orang-orang bertipe introvert (tertutup) mempunyai kepekaan yang lebih rendah dari pada yang bertipe extrovert (terbuka) (Sarlito, 1996).

4) Keadaan jiwa tertentu juga dapat menyebabkan perbedaan peka humor pada seseorang. Orang yang menderita depresi (keadaan murung yang berkepanjangan) atau sedang dalam keadaan stres (tekanan jiwa) tidak peka humor, sedangkan orang yang berkepribadian manis (emosi ceria yang berkepanjangan) sangat peka humor (ada semut lewat pun tertawa). Gangguan jiwa ini bisa karena memang ada kelainan, tetapi bisa juga bersifat sementara karena pengaruh penyalahgunaan obat atau pengaruh hal lain (baru kematian anggota

(13)

keluarga yang paling disayangi, dsb) (Sarlito, 1996).

5) Kedewasaan seseorang mempunyai peka humor yang berbeda. Anak-anak senang dengan humor jenis gerak semacam film Tom & Jerry (Tom kucing dipukul dengan palu sampai gepeng tetapi bisa melembung kembali dan mengejar Jerry tikus lagi). Sedangkan remaja dan orang dewasa sudah mampu menangkap humor-humor intelektual (dalam sebuah ceramah, profesor penceramah menyebutkan: “Survei membuktikan....” dan hadirin tertawa karena teringat pada Kuis Famili Seratus di Anteve). Yang paling canggih adalah jika orang sudah bisa mentertawakan dirinya sendiri. Jika orang yang jatuh terduduk di lantai dalam contoh di atas bisa ikut tertawa dengan orang-orang lain, maka menurut Psikolog G.W.Allport, orang tersebut sudah mempunyai salah satu ciri dari kepribadian yang matang (dewasa). Sebaliknya, jika ia marah-marah dan benci maka hal itu menunjukkan bahwa kepribadiannya masih kekanak-kanakkan (walaupun usianya mungkin sudah dewasa) (Sarlito, 1996).

b. Komponen afektif, yaitu perasaan yang bersifat subjektif yang dihasilkan oleh humor sebagai stimulus tersebut. Sehingga yang terkait dengan komponen afektif dalam hal yang melatarbelakangi perasaan seseorang secara subjektif dari penerimaan humor, yaitu:

1) Sebagai bentuk pemberian penghargaan oleh orang lain kepada individu. Tiap orang pada dasarnya termotivasi untuk mengembangkan rasa humor jika pada pengalaman masa lalunya pernah diberikan pengakuan sebagai orang yang humoris oleh orang-orang disekitarnya. Individu yang pernah diberikan „reward’ pada perilaku humorisnya akan lebih merasa bebas untuk mengembangkan rasa humor yang ada atau bahkan membuat variasi-variasi humor baru (Thorson & Powell, 1993).

2) Pengakuan yang dilontarkan dari orang lain. Hal ini berkaitan dengan sosialisasinya di kalangan orang humoris. Jika individu mempunyai apresiasi yang baik terhadap humor yang dilontarkan orang, maka dengan sendirinya akan meningkatkan motivasi dalam diri untuk menghasilkan atau melontarkan humor (Thorson & Powell, 1993).

(14)

3) Sebagai bentuk apresiasi pada humor. Yakni berhubungan dengan sikap terhadap humor dan sikap terhadap orang-orang yang humoris pula. Ketika individu memilki sikap yang terbuka dan positif terhadap humor maupun terhadap orang yang humoris, maka akan membentuk berkembangnya rasa humor (Thorson & Powell, 1993).

4) Perasaan humor (sense of humor) yang terdapat pada individu melalui tertawa sebagai responnya yang saling terkait. Tertawa merupakan sebuah respon yang paling mungkin dalam elemen rasa humor, dan hal ini merupakan bagian dari menghargai orang yang melontarkan humor. Saat kita mampu tertawa atau tersenyum, berarti kita menghargai hasil dari usaha kita atau usaha yang dilakukan oleh orang lain saat memproduksi humor (Thorson & Powell, 1993).

5) Perspektif (sudut pandang) seseorang. Sudut pandang individu dapat mempengaruhi pekembangan rasa humornya. Melalui sudut pandangnya, individu dapat menjadi lebih toleran, tidak mudah bersedih, tidak ingin untuk menentang atau menjadi musuh orang lain. Dengan sudut pandang yang meluas (broad minded) maka rasa humor dapat berkembang, serta sebaliknya; dengan terdapatnya rasa humor bisa membuat individu memilki sudut pandang yang meluas (Thorson & Powell, 1993).

5. Perkembangan Penggunaan Skala Rasa Humor Hingga Multidimensional Sense of

Humor Scale (MSHS)

Sejumlah instrumen yang berfungsi mengukur rasa humor telah berkembang sejak dahulu. Svebak’s Sense of Humor Qustionnaire adalah alat pengukur rasa humor yang pertama kali dibuat (Latifa, 2002). Alat ukur ini memiliki 2 sub skala yakni (1) mengukur kemampuan responden dalam mempersepsikan humor dan (2) merating kesukaan subyek pada humor. Namun alat ukur ini memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang sangat rendah, dimana nilai reliabilitasnya adalah 0,5 12 berdasarkan hasil penelitian Thorson dan Powell pada tahun 1991, ini berarti validitasnya juga rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak dapat diterjemahkannya secara baik dari bahasa aslinya Norwegia

(15)

(Thorson & Powell, 1993).

Kemudian alat ukur lainnya yang juga sering digunakan yakni The Coping Humor Scale oleh Martin dan Lefcourt yang mengukur penggunaan humor pada individu dalam menghadapi situasi penuh tekanan (stressful life events), serta Situational Humor Response Questionnaire (SHRQ) yang dibuat oleh Martin dan Lefcourt pada tahun 1984 yang mengukur reaksi subyek terhadap peristiwa-peristiwa lucu termasuk juga berkaitan dengan tersenyum dan tertawa (Thorson & Powell, 1993). Skala-skala tersebut ini ternyata memiliki kelemahan, yakni kurang memiliki indikator yang reliabel untuk mengukur rasa humor, melainkan hanya mengukur kecenderungan untuk tertawa atau mentertawakan suatu hal (unidimensional faktor saja). Menurut Thorson dan Powell (1993), jika humor hanya dikaitkan dengan “tertawa” saja, maka apakah dengan sendirinya dapat dikatakan sebagai “pengukur rasa humor” yang personal ?. Sebab tertawa dapat terjadi tanpa kehadiran rasa humor, dan humor tidak selalu diiringi dengan tertawa (Lefcourt & Martin dalam Thorson & Powell, 1993). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa senang dengan frekuensi tertawa dan tersenyum (Ricelli dalam Thorson & Powell, 1993), serta tidak ada hubungan antara tertawa dengan tingginya rasa humor yang dimiliki individu (Chapman & Foot, 1976). Berdasarkan hal ini maka tidak bisa dikatakan bahwa rasa humor sebagai sebuah konstruk yang menyeluruh dapat diwakilkan dengan frekuensi atau kecenderungan tertawa pada seseorang (Thorson & Powell, 1993).

Ada pula alat tes jenis „pengukur apresiasi terhadap humor‟, seperti misalnya menilai cerita lucu (Adelson dalam Thorson & Powell, 1993), esei-esei humoris (Powell dalam Thorson & Powell, 1993), kartun (Prerost, Reidlich, et al., dalam Thorson & Powell, 1993), atau merating tingkat kelucuan film-film komedi (Cogan dalam Thorson & Powell, 1993). Ruch dan Hehl mengkombinasikan cerita-cerita lucu dan gambar kartun yang disediakan untuk kemudian dirating tingkat kelucuannya oleh responden (Latifa, 2002). Lagi-lagi alat

(16)

ukur jenis „apresiasi terhadap humor‟ ini dianggap sebagai alat ukur yang rendah reliabilitasnya serta menyulitkan dalam hal pengadministrasiannya (Thorson & Powell, 1993).

Dari keterbatasan-keterbatasan yang ditemukan pada beberapa alat ukur yang sudah ada, maka para peneliti mengemukakan pentingnya pengukuran humor ke dalam multi dimensi. Hingga kemudian hadirlah Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang ditawarkan oleh Thorson & Powell pada tahun 1993 (dalam Latifa, 2002). Kedua tokoh ini berpendapat bahwa humor adalah sebuah konstruk yang multidimensional, dan alat ukur humor yang selama ini sudah ada masih bersifat unidimensional. Sementara konsep “personal sense of humor” itu sendiri adalah bukan konstruk yang unidimensional, namun terdiri dari berbagai elemen (Thorson & Powell, 1993). Menghadapi masalah (coping) dengan menggunakan humor, bisa jadi merupakan salah satu dari elemen tersebut, namun nyatanya ada hal lainnya yang merupakan indikasi dari elemen rasa humor ini seperti misalnya respon perilaku yang terjadi saat mendengar atau melihat hal lucu dan lain-lain.

Berdasarkan hal itu, kemudian Thorson & Powell (1993) menganalisa ketiga alat ukur rasa humor yang sudah ada (Svebak’s Sense of Humor Questionnaire, The Coping Humor Scale dan Situational Humor Response Questionnaire) untuk mengetahui faktor-faktor apa saja sebenarnya yang lebih personal yang dapat mewakili sebuah konstruk tentang „rasa humor‟. Mereka menggunakan prinsip-prinsip komponen „factor analysis’ dan „varimax rotation’ dalam mengolah pernyataan-pernyataan yang ada pada ketiga alat ukur tersebut, sehingga dihasilkan 26 pernyataan yang dianggap dapat mewakili sebuah konsep tentang rasa humor.

Menurut Thorson & Powell (1993), sense of humor itu sifatnya multidimensional, dan oleh sebab itu maka minimal harus terdiri dari elemen-elemen berikut: (1) Humor production, berupa kemampuan kreatif menjadi humoris, membuat lelucon, mengidentifikasi hal yang lucu dalam sebuah situasi serta mengkreasikan dan

(17)

menghubungkan situasi tersebut dengan cara-cara yang dapat menyenangkan orang lain, (2) Sense of playfulness, yakni kemampuan berada dalam kondisi yang senantiasa baik, menyenangkan, in a good mood, (3) Kemampuan menggunakan humor dalam hubungan sosial (Social Uses of Humor): meredakan situasi sosial yang tegang atau kaku, meningkatkan solidaritas dalam kelompok, (4) Personal Recognition of Humor, berupa penggunaan humor dalam memandang hidup dan melihat diri sendiri sebagai orang yang humoris, (5) Appreciation of Humor, berupa apresiasi terhadap orang-orang yang humoris dan situasi yang penuh humor, (6) Penggunaan humor sebagai mekanisme dalam beradaptasi, yakni kemampuan „mentertawakan situasi‟ atau mengatasi situasi sulit dengan menggunakan humor.

Dari hasil penelitian terhadap 3 skala tersebut, kemudian Thorson & Powell (1993) mengekstrasikan dimensi yang ada menjadi 4 dimensi humor yakni: 1) Produksi humor (Humor Production) : bagaimana seseorang dapat menghasilkan, memproduksi atau melontarkan humor, 2) Penggunaan humor sebagai mekanisme coping (Uses of Humor for Coping) : yakni penggunaan humor dalam menghadapi masalah (coping), mengatasi situasi sulit dengan menggunakan humor, 3) Penggunaan humor untuk tujuan sosialisasi (Social Uses of Humor) dan 4) Sikap-sikap terhadap humor dan orang-orang yang humoris (Attitudes Toward Humor and Humorous People).

Multidimensional sense of humor scale (MSHS) terdiri dari 26 item pernyataan yang harus dijawab oleh responden dalam 4 point Likert Scale. Rentang jawaban dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 4 (sangat setuju). Semakin tinggi nilai total yang didapat, maka semakin tinggi pulalah rasa humor yang dimiliki. Thorson & Powell (1993) melaporkan reliabilitas alpha cronbachnya adalah sebesar 0, 92; serta cenderung stabil dan netral secara gender dan tingkatan usia. Meskipun alat ini baru dikembangkan, namun telah diakui dapat digunakan secara memuaskan dalam kepentingan publikasi penelitian-penelitian (Hampes, Kohler, dan Ruch dalam Thorson & Powell, 1993).

(18)

Selain itu pula, Skala pengukur rasa humor „multidimensional sense of humor scale’ (Thorson & Powell, 1993) mampu menghasilkan penyebaran nilai yang hampir normal. Skornya secara akurat mampu merefleksikan gambaran sense of humor responden dengan jelas beradasarkan adaptasi pada kelompok sampel Masyarakat Umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Hasil adaptasinya menunjukkan koefisien validitas dan reliabilitas yang cukup memuaskan (α = 0,8674). Maka alat tes ini valid dan reliabel untuk digunakan pada populasi Indonesia (Latifa, 2006).

6. Teori-Teori Yang Melatarbelakangi Kelucuan Dalam Humor

Agar dapat menimbulkan tertawa, humor harus memiliki unsur-unsur penyebab kelucuan. Ada beberapa teori yang berupaya menjelaskan hal tersebut (Munandar, 1996), yaitu:

a. Teori superioritas dan degradasi. Menganggap humor sebagai suatu refleksi rasa kelebihan pihak yang mentertawakan terhadap pihak yang ditertawakan. Individu akan memperoleh kenikmatan dengan mentertawakan kelemahan atau kemalangan orang lain.

b. Teori konflik atau bisosiasi. Tertawa dapat muncul karena adanya dua pandangan atau lebih yang tidak konsisten (tidak kongruen atau berlawanan) dari suatu kejadian, dimana ketidakkonsistenan itu muncul dalam satu objek atau kumpulan orang-orang. Atau mungkin juga terjadi suatu hubungan antara kejadian-kejadian yang ganjil. Dimana kita menaruh perhatian terhadap kejadian tersebut (Saraswati, 1999). Menurut Munandar (1996) pada teori humor ini, humor adalah sesuatu yang memberi ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dilihat atau didengar.

c. Teori motivasional atau disebut juga teori pelepasan dari ketergantungan atau hambatan. Bertolak dari pendapat Freud bahwa asal mula lelucon adalah kecenderungan agresif yang karena tidak dapat diterima oleh kesadaran, sehingga ditekan ke alam tak sadar, dan bercampur dengan kesukaan bermain yang tidak terpuaskan pada masa kanak-kanak. Energi psikis yang semula dibutuhkan untuk menekan agresi akhirnya dibebaskan menjadi lelucon atau humor

(19)

yang diwujudkan dalam bentuk tawa. Dengan tertawa, maka terjadi suatu pelepasan tekanan, misalnya terlepas dari situasi yang menegangkan atau munculnya kesadaran bahwa lawan kita tidak berdaya.

7. Jenis-Jenis Humor

Menurut Sarwono (dalam Rachmaningrum, 1999) terdapat tiga jenis humor :

a. Jenis gerak (slapstick), yaitu jenis humor yang sangat sederhana dan mudah serta tidak memerlukan pemikiran yang sulit, sehingga dapat ditangkap oleh hampir semua orang. Contohnya : film kartun Tom and Jerry, Charlie Chaplin, dan Mr. Bean.

b. Jenis intelektual, yaitu jenis humor yang memerlukan daya tangkap dan pemikiran tertentu untuk dicerna. Contohnya : teka-teki. Humor jenis ini mengandalkan pada asosiasi dan harapan yang dibangun atau dikembangkan pada awal cerita, dan ditutup dengan klimaks yang aneh dan tak terduga. Faktor latar belakang sosial budaya, pengetahuan, dan pengalaman pembuat humor maupun penerimanya sangat berpengaruh pada sukses tidaknya humor ini.

c. Jenis gabungan, yaitu jenis humor yang menggabungkan gerak, busana dan kata-kata. Memerlukan persyaratan intelektual tertentu, walaupun tidak sesulit jenis intelektual murni, karena masih didukung oleh gerak dan gaya visual.

Jenis humor berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada umumnya lelaki lebih menyukai humor yang bertema agresif dan seksual, sedang perempuan lebih menyukai humor diluar dari tema agresif dan seksual atau tanpa tema (dalam Winberger dan Gulas,1992). Pada dasarnya tidak ada pengelompokkan jenis humor berdasarkan tahap perkembangan (anak-anak, remaja atau dewasa), akan tetapi jenis humor bisa disesuaikan dengan karakteristik pada tahap perkembangan tersebut. 8. Pendekatan Humor

Mindess (1991) berpendapat bahwa fungsi humor yang paling penting dan paling fundamental adalah kekuatannya untuk membebaskan diri dari banyak rintangan dan pembatasan dalam kehidupan sehari-hari. Humor dapat melepaskan individu dari berbagai tuntutan yang dialami. Humor juga dapat membebaskan individu dari perasaan inferioritas (perasaan tidak berarti

(20)

yang sangat kuat dan tidak disadari). Keyakinan pada pentingnya humor untuk kesehatan mental khususnya yang baik, tampaknya diakibatkan dari pengalaman umum banyak orang bahwa humor sering dapat mengangkat individu dari cengkraman depresi atau keadaan mental yang negatif (McGhee, 1979). Penelitian yang sudah dilakukan oleh O‟Connell mendukung pandangan bahwa humor secara positif berkaitan dengan adjustment (penyesuaian diri) yang sehat. Tingkat penghargaan terhadap humor seseorang secara positif berkorelasi dengan tolak ukur psikologis atau kematangan dan memilki karakteristik kepribadian yang stabil (dalam Soetedjo, 1999)

Seseorang yang memiliki rasa humor (sense of humor) yang baik dapat terbentuk berdasarkan beberapa pendekatan tentang humor, yaitu:

a. Pendekatan Kognitif, menurut O‟Connell (dalam Soetedjo, 1999), humor memilki aspek perseptual-kognitif. Penemuan melalui kaidah kognitif menyebabkan bagian yang ganjil dari lelucon itu dapat diterima dan dianggap masuk akal, meskipun masih melanggar pengharapan individu. Dengan kata lain, penciptaan humor melibatkan elaborasi dari situasi yang nampaknya normal dan masuk akal tetapi ditumbangkan oleh analogi dan penyimpangan dari yang biasa (Munandar, 1996). Lebih lanjut Martin dan Lefcourt (dalam Soetedjo, 1999) menjelaskan bahwa berpikir humoristik sama dengan cara berpikir yang kreatif, karena harus menerjemahkan hal-hal wajar (normal) menjadi sesuatu yang menghasilkan refleks fisiologis yaitu tertawa. Oleh karena itu, humor dianggap sebagai bagian dari aktivitas kreatif, selain penemuan ilmiah dan karya seni. Pada saat mengapresiasi humor terdapat faktor ketakterdugaan, yang terjadi pada saat apa yang diharapkan ternyata digantikan oleh sesuatu yang sepele, atau ketakterdugaan yang masuk akal yang bersifat tiba -tiba dan tidak diperkirakan sebelumnya. Salah satu contohnya adalah iklan Nescafe versi Dona yang sering ditayangkan di televisi dan media cetak. Adanya faktor ketakterdugaan menempelnya ampas kopi di gigi seseorang gadis cantik, menimbulkan reflek tertawa orang yang melihatnya.

(21)

(dalam Munandar, 1996) menemukan bahwa kemampuan untuk melihat humor dalam situasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis hidup, yaitu sebagai perlindungan terhadap perubahan dan ketidaktentuan. Humor dianggap sebagai alat yang efektif untuk mencapai status (Nilsen, 1993). Seseorang tertawa disebabkan secara tiba-tiba menyadari bahwa dirinya superior atau orang lain inferior dan menurut Martin dan Lefcourt humor juga dapat menjadi strategi coping yang adapatif (dalam Soetedjo, 1999), karena itu humor oleh Freud dianggap sebagai proses pertahanan diri yang tertinggi.

c. Pendekatan Fisiologis, hasil penelitian Lefcourt (2005) menunjukkan bahwa humor berhubungan dengan meningkatnya tingkat konsentrasi S-IgA, yaitu salah satu sistem kekebalan tubuh. Adam (dalam Rachmaningrum, 1999) mengatakan bahwa secara fisiologis, humor membentuk dasar kesehatan mental yang baik. Ketiadaan sense of humor pada diri individu mengindikasikan adanya masalah, seperti depresi atau keterasingan diri. Humor adalah alat penangkal stress dan sarana untuk memperlancar penyaluran-penyaluran naluriah yang baik. Humor juga dipercaya sebagai hal yang penting dalam penyelesaian masalah individual, komunitas, dan masyarakat.

d. Pendekatan Pendidikan dan Sosial, pendapat Nilsen (1993) bahwa humor sebagai pendidikan, humor dan tertawa menyebabkan seseorang lebih waspada, otak digunakan, dan mata bersinar. Humor dan tertawa merupakan alat belajar yang penting. Selain itu, merupakan alat yang sangat efektif untuk membawa seseorang agar mendengarkan pembicaraan dan alat persuasi yang baik. Sedangkan sebagai sosial, humor bukan saja dapat digunakan untuk mengikat individu atau kelompok yang disukai, tetapi juga dapat menjauhkan diri dari individu atau kelompok yang tidak disukai.

1. Definisi Perilaku Seksual

Berdasarkan semua teori diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang terbentuk dari banyak dimensi (mencakup dimensi kebudayaan, psikologis, etika, dan biologis) yang didasari akan hasrat seksual serta energi psikis

(22)

yang bertujuan untuk menarik perhatian, melakukan relasi seksual atau bersenggama, dan juga melakukan kegiatan-kegiatan non-seksual dengan lawan jenis, orang dalam khayalan, diri sendiri maupun dengan sesama jenis sebagai objek seksualnya.

2. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Seksual

Faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual remaja menurut Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono, 2000) yaitu:

a. Sosial- ekonomi seperti rendahnya pendapatan dan taraf pendidikan.

Karena kurangnya pendidikan dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi maka seseorang akan memilih untuk melakukan hubungan seks sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan resikonya.

b. Besarnya jumlah keluarga.

Seseorang yang berada dalam keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat besar akan membutuhkan biaya hidup yang besar pula. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut banyak orang terutama wanita yang terpaksa menjadi pekerja seks.

c. Rendahnya nilai agama di masyarakat yang bersangkutan.

Nilai-nilai agama yang ada dalam lingkungan masyarakat dapat sanga t berpengaruh pada kehidupan seseorang. Rendahnya nilai agama di masyarakat akan mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan seks bebas.

3. Macam-macam Perilaku Seksual

Menurut Sarwono (2000) mengemukakan bahwa dalam hubungan seks, keintiman dimulai dari perilaku:

a. Kissing (tingkah laku berciuman yang biasanya saling bersentuhan antara dua bibir manusia atau pasangan yang didorong oleh hasrat seksual).

b. Necking (berciuman belum sampai menempel alat kelamin yang biasanya dilakukan dengan memegang payudara atau melalui oral seks pada alat kelamin tetapi belum bersenggama).

(23)

c. Petting (bercumbuan sampai menempelkan alat kelamin, yaitu dengan saling menggesek-gesekan alat kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama).

d. Intercourse ( b e r s e n g g a m a d e n g a n m e n g a d a k a n h u b u n g a n k e l a m i n a t a u bersetubuh).

1. Definisi Remaja.

Berdasarkan dari semua definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa remaja adalah suatu masa transisi antara masa kanak -kanak dan masa dewasa tetapi belum memperoleh status dewasa dan tidak mempunyai status kanak-kanak. Dalam masa remaja banyak terjadi perubahan-perubahan yang bersifat fisiologis dan psikologis yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial budaya.

2. Rentangan Usia Remaja.

Berdasarkan pendapat dari tokoh-tokoh dapat ditarik kesimpulan bahwa masa remaja berada pada rentang usia antara 13 tahun – 21 tahun, dimana masa remaja ini dibagi lagi menjadi dua rentang usia yaitu: masa remaja awal yang berada pada rentang usia 13 tahun – 17 tahun dan masa remaja akhir pada usia antara 17 tahun – 21tahun. Di Indonesia, rentang usia remaja yaitu antara 11 tahun – 24 tahun. Dalam penelitian ini, pembatasan tentang batasan usia dalam penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sarwono yang berada pada rentang usia 18 tahun – 24 tahun.

3. Tugas Perkembangan Remaja.

Havinghurst (dalam Monks, 1999) mengatakan bahwa tugas perkembangan remaja pada usia 12 tahun – 18 tahun adalah:

a. Perkembangan aspek-aspek biologis.

b. Menerima peran dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri. c. Mendapati kebebasan emosional dari orang tua dan/atau orang dewasa yang lain. d. Mendapatkan pandangan hidup sendiri.

(24)

sendiri.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, mengenai tugas-tugas perkembangan remaja, maka dapat disimpulkan tugas-tugas perkembangan pada remaja adalah menerima keadaan fisiknya sendiri apa adanya, memperoleh kebebasan secara emosional, yakin dengan kemampuan yang dimiliki, serta memperoleh kebebasan menentukan pilihan, menjalin hubungan yang baik dengan lawan jenis.

4. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja.

Berdasarkan semua teori dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan perilaku seksual remaja dipengaruhi oleh pertumbuhan kelenjar -kelenjar seks seiring dengan bertambahnya usia seseorang. perilaku yang timbul bisa berupa; menjalin hubungan dengan lawan jenis dan melakukan masturbasi.

E. METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diuji, yaitu :Variabel Prediktor: Rasa Humor (Sense of Humor) dan Variabel Kriterium: Perilaku Seksual. Alat yang digunakan untuk mengukur rasa humor ( sense of humor) adalah Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) berdasarkan bentuk - bentuk rasa humor (sense of humor) yaitu Humor Production, Uses of Humor for Coping, Social Uses of Humor, dan Attitudes Toward Humor and Humorous People yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku seksual adalah Skala Perilaku Seks bebas (freesex) yang disusun oleh Cynthia (2003) berdasarkan jenis - jenis perilaku seksual, mulai dari tingkah laku Kissing, Necking, Petting, dan Intercourse. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS), dan Skala Perilaku Seksual.

F. SUBJEK PENELITIAN

Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang digunakan adalah remaja pria dan wanita yang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sarwono yang berada pada rentang usia 18 tahun – 24 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Kalimalang. Sedangkan sampelnya adalah 170 orang mahasiswa - mahasiswi.

(25)

G. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, Penelitian ini berusaha untuk menguji hubungan antara rasa humor (sense of humor) dengan perilaku seksual pada remaja. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa hipotesis ditolak, yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja.

Hasil tersebut tidak sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thorson (dalam Hartanti, 2002), bahwa dimana humor berkorelasi positif dengan pola adapatasi hidup yang baik dalam penyaluran perilaku seksual dan berkorelasi negatif dengan pola adaptasi yang buruk dalam penyaluran perilaku seksual pada remaja dalam kesehariannya.

Berdasarkan uji hipotesis dari hasil analisis data diketahui bahwa koefisien korelasi Pearson ( r ) yang diperoleh sebesar 0,037 dengan nilai sig.(1-tailed) sebesar 0,315 (p > 0,05) berarti Ho yang diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian hipotesis ini menyatakan tidak ada hubungan antara rasa humor (sense of humor) dengan perilaku seksual pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel kemungkinan disebabkan karena banyaknya variabel-variabel lain yang turut mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, seperti diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Menurut Notoatmodjo (dalam Yeti, 2000), perilaku seseorang ditentukan oleh sikap dan sikap tersebut dipengaruhi oleh berbagai gej ala kejiwaan (faktor internal) yaitu usia dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Sedangkan faktor eksternal yaitu terungkapnya (ekspose) makin banyak hal yang merangsang nafsu seksual remaja oleh arus informasi dari lingkungan sosial dan demografi keluarga termasuk didalamnya pola asuh keluarga.

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas pada seluk beluk anatomi dan proses faal dari reproduksi manusia semata tetapi menyangkut pula hal-hal lain seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria dan wanita dalam pergaulan, peran ayah-ibu dan anak-anak dalam keluarga serta kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat: apa yang dilarang, apa yang lazim dan bagaimana cara melakukan tanpa melanggar aturan. Sehingga pemahaman perilaku seksual pada usia remaja memungkinkan dicegahnya perilaku seksual yang beresiko (Sarwono, 2004).

(26)

Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual pada tempat pertama dan utama adalah keluarga. Orang tua adalah pendidik yang pertama kali dan utama bagi anaknya. Dalam keluargalah anak untuk pertama kali mengetahui bahwa manusia ada yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Interaksi yang baik antara suami dan isteri akan diserap sekaligus diresapi oleh anak. Oleh karena itu interaksi yang terjadi di dalam keluarga akan sangat mempengaruhi pemahaman anak (Tukan dalam Yeti, 2000).

Menurut Yeti (2000) demografi keluarga, khususnya pendidikan ibu berhubungan secara bermakna dengan perilaku seksual remaja dengan pola jika ibu berpendidikan rendah maka protektif terhadap perilaku seksual beresiko. Asumsinya adalah pengawasan ibu dirumah, sangat bermakna sebagai pengendali perilaku seksual anak remajanya. Sedangkan pekerjaan, ayah, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, maupun pola asuh tidak memberikan makna pada perilaku seksual remaja. Apabila orang tua pernah membicarakan tentang kesehatan reproduksi dengan anak remajanya maka hal ini bersifat protektif terhadap kejadian perilaku seksual beresiko. Sehingga remaja yang membicarakan kesehatan reproduksi dengan orang tua memiliki resiko yang rendah dari yang tidak pernah membicarakannya dengan orang tua.

Faktor lingkungan sosial merupakan faktor yang sangat banyak terungkapnya (ekspose) remaja oleh hal-hal yang berhubungan dengan reproduksi. Lebih dari 60 % remaja terungkap (ekspose) oleh informasi yang menjadikan mereka bingung atau tertarik ingin mencoba, dan pola yang ditemukan yaitu jika remaja terungkap (ekspose) oleh informasi tentang hal-hal reproduksi dari teman sebaya, media elektronik (seperti: siaran televisi, radio, VCD, internet) dan media cetak maka remaja mempunyai perilaku seksual beresiko (Yeti, 2000).

Dari beberapa pandangan - pandangan diatas, jelas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, sehingga tidak adanya hubungan yang signifikan antar rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja mungkin dikarenakan faktor-faktor tersebut diatas, yang lebih kuat pengaruhnya dalam mempengaruhi perilaku seksual pada remaja.

(27)

Dari hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik pada tingkat rasa humor (sense of humor) menunjukkan bahwa rasa humor (sense of humor) subjek berada pada kategori tinggi. Ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian diperoleh mean empirik yaitu 9 6,74 dan mean hipotetik yaitu 70 dengan standar deviasi untuk variabel rasa humor adalah 14. Hal ini mungkin disebabkan oleh Humor secara positif dapat membebaskan individu dari perasaan inferioritas (perasaan tidak berarti yang sangat kuat dan tidak disadari) pada perilaku seksual remaja seperti yang dikatakan McGhee (1979). McGhee mengatakan bahwa keyakinan pada pentingnya humor untuk kesehatan mental khususnya yang baik, tampaknya diakibatkan dari pengalaman umum banyak orang bahwa humor sering dapat mengangkat individu dari cengkraman depresi atau keadaan mental yang negatif

Sedangkan pada variabel perilaku seksual memiliki mean empirik yaitu 98,18 , memiliki tingkat perilaku seksual pada kategori rata-rata dan cenderung mendekati tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor keterungkapan (ekspose) remaja oleh informasi seksual dari lingkungan sosial sebagai faktor eksternal lebih dominan mempengaruhi perilaku seksual daripada faktor internal remaja seperti pengetahuan dan sikap. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa bagaimanapun, prioritas program akan lebih efektif jika diarahkan kepada upaya melindungi arus informasi dari lingkungan (Yeti, 2000). Pada umumnya yang lebih dominan, terbuka (open minded) dan mudah terpengaruh atas faktor eksternal dari lingkungan sosial terhadap perilaku seksual pada remaja serta „membolehkan‟ dalam menerima informasi seksual terdapat pada remaja laki dibandingkan remaja perempuan, hal ini dikarenakan sikap laki-laki memang pada umumnya lebih permisif daripada perempuan ( Sarwono, 2000). Dalam hal ini, subjek penelitian mayoritas adalah perempuan sehingga rata-rata kurang terbuka, kurang aktif dan tidak tertarik membahas informasi mengenai perilaku seksual.

Mengingat adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi, yang tidak dikontrol dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa hasil korelasi yang diperoleh tidak sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja.

(28)

Kemudian dari data demografis yang ada dapat dilihat pula bahwa subjek penelitian yang telah diambil mayoritas adalah remaja yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 124 orang (73 % dari 170 orang), sedangkan laki-laki sebanyak 46 orang (27 % dari 170 orang). Penelitian ini juga memasukkan data tambahan berupa usia dan status, hal ini bertujuan untuk melihat apakah subjek penelitian benar-benar sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Selain itu, peneliti juga mengkorelasikan prosentase remaja yang berdasarkan jenis kelamin dengan perilaku seksualnya yaitu wanita lebih besar tingkat perilaku seksualnya dibandingkan pria, wanita dengan perbandingan 35 % (dari 124 subjek) dan pria sebesar 13 % (dari 46 subjek), ini menunjukkan bahwa wanita lebih banyak jumlahnya di bandingkan pria, sehingga dorongan seksual pada wanita lebih besar dan sulit disalurkan kemungkinan dikarenakan wanita lebih tertutup jika membahas mengenai seksualitas dibandingkan pria. Selain itu, peneliti juga mengkorelasikan persentase subjek penelitian berdasarkan status yang dikorelasikan dengan tingkat perilaku seksualnya diperoleh komposisi sebagai berikut: 23% (dari 77 subjek) memiliki status „berpacaran‟, 21% (dari 75 subjek) memiliki status „sendiri (jomblo)‟, 2% (dari 5 subjek) memiliki status „teman tapi mesra (TTM)‟ dan 4% (dari 13 subjek) memiliki status „pendekatan (PDKT)‟. Ini menunjukkan perilaku seksual yang dimiliki remaja yang berpacaran lebih besar tingkatnya dibandingkan status-status yang lain, ini kemungkinan dikarenakan faktor internal dari masing-masing individu sendiri dan juga didukung oleh faktor ekternal khususnya lingkungan sekitar. Maka diperlukan pengawasan dan penyuluhan dari lingkungan sekitar khususnya dimulai dari lingkungan keluarga mengenai pendidikan seksual yang sehat.

H. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa humor (sense of humor) dengan perilaku seksual pada remaja. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena membutuhkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pada remaja yang lebih

(29)

berpengaruh terhadap perilaku seksual dibandingkan dengan rasa humor.

Selain itu, diperoleh bahwa tingkat rasa humor (sense of humor) menunjukkan bahwa rasa humor (sense of humor) subjek berada pada kategori tinggi. Sedangkan pada variabel perilaku seksual memiliki tingkat perilaku seksual pada kategori rata - rata.

Dengan demikian, mengingat bahwa hasil korelasi yang dipero leh ditolak yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara rasa humor dengan perilaku seksual pada remaja dan kemungkinan adanya banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti: faktor internal dan faktor eksternal yang harus dikontrol dalam penelitian ini. Berdasarkan dari hasil perhitungan mean empirik kedua variabel, yaitu hasil mean empirik rasa humor dan hasil mean empirik perilaku seksual memiliki keterkaitan terhadap faktor - faktor tersebut. Dimana hasil mean empirik rasa humor yang tinggi, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor internal pada subjek seperti perbedaan usia sebagai tingkat kematangan dan pengetahuan akan pengalaman dari perasaan inferioritas (perasaan tidak berarti yang sangat kuat dan tidak disadari) pada perilaku seksual remaja melalui humor untuk kesehatan mental yang baik (McGhee, 1979) dengan hasil mean empirik perilaku seksual yang rata - rata, yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan demografi keluarga termasuk didalamnya pola asuh keluarga subjek.

I. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian maka diajukan beberapa saran sebagai berikut :

a. Bagi subjek disarankan untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan berusaha untuk menyesuaikan diri dalam menyingkapi perubahan yang ada. Khususnya mengenai dorongan perilaku seksualnya tanpa ada kecemasan, ketakutan, perasaan bersalah dan depresi. Sense of humor yang dimiliki remaja merupakan sebagian dari solusi penyaluran tersebut, sehingga dapat menimbulkan suatu peningkatan rasa percaya diri (self esteem) pada remaja. b. Bagi peneliti selanjutnya disarankan, dalam pengambilan data sebaiknya menambahkan

faktor-faktor mendukung disertai pengambilan data subjek yang tidak terbatas hanya remaja tapi lebih meningkat pada tahap dewasa agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi lebih luas cakupannya dan diperoleh hasil penelitian yang lebih komprehensif serta dilakukan pengontrolan terhadap faktor-faktor tersebut (faktor internal dan faktor eksternal).

Referensi

Dokumen terkait

Relationship between the experience of online game genre and high risk of Internet gaming disorder in Korean adolescents.. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi

Tapi tetap saja ada orang yang "berkhayal" sambil mengatakan pemerintahan si gubernur ini adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." [Semoga apa

Tarif Laboratorium, Tarif Poliklinik, Tarif Penggunaan Lahan, Gedung, dan Sarana Olah Raga, dan Tarif Penggunaan Asrama, Rusunawa, dan Guest House sebagaimana

[r]

Just as we create business capability teams to build microservices for each bounded context, we also create a capability team responsible for providing a platform on which to deploy

This study aims to determine the relationship of the social environment with smoking behavior in adolescents in Taccorong Village, Gantarang District, Bulukumba

"The correlation between age of first dating and sexual behavior of adolescents and young adults in indonesia", Journal of Health.. Technology Assessment in

[r]