• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mitos Demokrasi di Indonesia. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mitos Demokrasi di Indonesia. pdf"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MITOS DEMOKRASI DI INDONESIA

1

Oleh:

Muhammad Lubab al-Mubahitsin, SH.2

Di sini saya hanya ingin membuktikan sedikit, bahwa doktrin demokrasi yang selama ini dipuja-puja—bahkan terkadang diperjuangkan sampai membuat nyawa melayang seperti dalam kasus reformasi di beberapa negara, ternyata memiliki banyak "masalah" yang cukup akut, baik teori maupun praktek. Masalah inilah yang menurut saya bisa berakibat munculnya side-effect yang destruktif bagi sebuah masyarakat yang beradab. Setelah itu, saya akan berusaha untuk meraba-raba solusi yang paling mungkin untuk kita jadikan acuan sistem.

ANCIENT DEMOCRACY

Sampai saat ini, belum ada ijma' definisi tentang apa itu demokrasi. Ia berasal dari demos (rakyat), kratos (pemerintahan, kekuasaan). Jadi, secara singkat, demokrasi adalah: pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Istilah ini berseberangan dengan dictatorship dan totalitarianism.

Ketika pertama kali dikembangkan di Yunani Kuno, tepatnya di kota Athena pada abad kelima dan keempat sebelum masehi, demokrasi masih dalam bentuknya yang "pure" (murni). Secara teoritik, ini disebut "direct democracy" (demokrasi langsung). Ia muncul sebagai respon atas sistem monarki-diktator ketika itu.

Tapi di situ pun kita sudah melihat ada dua masalah. Pertama, "people" yang dimaksud memiliki hak politik untuk ber-demokrasi di Athena bukanlah semua penduduk. Wanita,3 budak, anak-anak dan pendatang ternyata tidak termasuk dalam istilah "people", sehingga mereka tidak boleh ikut dalam proses demokrasi.

1 Disampaikan dalam acara bedah buku Demokrasi Tersandera karya Husain Matla, Minggu 14

September 2008, Aula Masjid Agung Cilacap. Diselenggarakan atas kerjasama Hizbut Tahrir Indonesia dan Ikrar Muda.

2 Mantan Pembela Umum Tidak Tetap di LKBH UII, pernah menjadi aktivis Pusat Studi HAM

UII, dosen Fakultas Syari ah I‚IIG. E-mail: mas_lubab@yahoo.com, phone: 085 227 999 555.

3All democracies prevented women from voting until 1893, when New Zealand became the first country

(2)

Sekedar informasi, populasi Athena ketika itu adalah sekitar 250-300 ribu. Dari jumlah itu, yang dianggap punya hak politik sekitar 30 ribu, dan yang aktif menghadiri proses demokrasi hanya sekitar 5 ribu. Di sini kita bisa melihat masalah kedua, yaitu bahwa pada faktanya, antara yang terlibat dan yang tidak terlibat dalam demokrasi, ternyata lebih banyak yang tidak terlibat.

Dalam bentuknya yang paling ideal dan murni sekalipun, demokrasi sudah memiliki masalah. Apalagi dalam kebanyakan demokrasi sekarang yang sudah tidak murni lagi, tentu masalahnya semakin kompleks.

MODERN DEMOCRACY (abad 16 M)

Dalam perkembangan selanjutnya, demokrasi semakin "disempurnakan" oleh Magna Charta (membatasi dan membagikan hak-hak kaum feodal kepada rakyat), Machiavelli (sekularisme), Thomas Hobbes (kontrak sosial), John Locke (semua pemerintahan harus konstitusional), Montesquieu (pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif), JJ. Rosseau (kedaulatan rakyat dan kontrak sosial negara),4 Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara Prancis (liberte, egalite, fraternite), serta Bill of Rights Amerika (kebebasan berbicara, berserikat, berekspresi).

Dalam perkembangan itulah, khususnya ketika masalah semakin kompleks, demokrasi mulai mengalami "penyimpangan", sehingga melahirkan "representative democracy" (demokrasi perwakilan) yang sebenarnya bukanlah demokrasi. "Representative democracy" adalah perpaduan dua hal yang sangat berbeda, yaitu demokrasi murni Yunani, dengan sistem representatitive yang berakar dari sistem feodal. Rakyat Yunani sendiri menganggap representative democracy sebagai bukan demokrasi, tapi oligarchy.

with the right to vote; the sole exceptions are seven Muslim countries, primarily in the Middle East: Bahrain, Brunei, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, United Arab Emirates. (wikipedia)

4 Dalam pemikiran Thomas Hobbes di satu sisi, dan pemikiran Locke dan Jean Jacques Rosseau

di sisi yang lain, kebebasan manusia ini berbeda sifatnya. Menurut Hobbes, kebebasan manusia tersebut lebih cenderung agresif untuk menyerang, berusaha memiliki harta orang lain, dan selalu berusaha menang sendiri, sehingga manusia digambarkan seperti serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus), dan terjadilah perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes atau war of all against all). Sedangkan menurut Locke dan Rosseau, manusia pada dasarnya bersifat baik, begitu pula dalam hal menjalankan kebebasannya, sehingga kehidupan sebelum adanya negara sebenarnya tenteram dan damai. Selengkapnya tentang hal ini lihat, misalnya, Henry J. Schmandt, Filsafat Politik; Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 301-385. Meskipun pandangan Hobbes dan Rosseau berbeda, kedua pandangan tersebut tetap menghendaki adanya suatu aturan berupa perjanjian bersama (kontrak sosial), agar hak dan kebebasan pihak yang satu tidak berbenturan dengan hak dan kebebasan pihak lainnya. Pandangan tentang asal

(3)

Tragisnya lagi, dalam perkembangan inilah demokrasi kemudian tampak nyata telah ber-ba'iat setia untuk saling mendukung dengan sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Pada titik inilah, buku Husain Matla, Demokrasi Tersandera, dapat menjelaskan kepada Anda semua bagaimana ceritanya itu bisa terjadi. Maka muncullah apa yang disebut sebagai "borok-borok" demokrasi.

Demokrasi adalah sekuler, karena yang dianggap berdaulat adalah rakyat, Tuhan dilarang ikut ngurus negara. Vox populi vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), Lex populi supreme lex (hukum rakyat adalah hukum tertinggi). Demokrasi sama dengan liberalisme, karena mustahil ada demokrasi tanpa kebebasan dalam semua segi (aspirasi, ekonomi, expresi, dll). Demokrasi adalah kapitalisme, sebab ia pada kenyataannya hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk berdaulat atas rakyat.

BOROK DEMOKRASI

Demokrasi yang sesungguhnya, sudah hilang dan mati terpendam. Ia hanya tinggal "ilusi" dan "khayalan". Anda bisa bayangkan: ketika 1 orang DPR mewakili 400 ribu pemilihnya, apakah mungkin dia bisa mewaliki aspirasi orang sebanyak itu? Rakyat yang memilih si wakil merasa bahwa mereka telah ikut "aktif" dalam pemerintahan, tapi faktanya si wakil tersebut tidak pernah bertanya pada para pemilih tentang aspirasinya, dan bahkan jarang sekali mempertimbangkan aspirasi mereka setiap kali ia bersidang. Klaim bahwa suara 1 orang mewakili aspirasi 400 ribu orang jelas merupakan ilusi. Kita yang berakal sehat tentu sepakat, bahwa klaim suara anggota

parlemen adalah cerminan suara rakyat hanyalah mitos.

Kalau Anda masih ragu tentang mitos demokrasi, renungkan hal ini: di Indonesia ada sekitar (kurang lebih) 8000-an peraturan perundang-undangan dan 2000-an perjanjian bilateral maupun multilateral. ‚pakah ‚nda sebagai people tahu aturan apa saja itu? Apakah Anda ikut beraspirasi aktif dalam proses pembuatannya? Kalau Anda ternyata tidak tahu menahu dan tidak pernah terlibat, kenapa Anda masih percaya bahwa pemerintahan Indonesia adalah dari rakyat, oleh rakyat termasuk ‚nda , dan untuk rakyat?

(4)

Demokrasi kemudian hanya menjadi semacam teori kenegaraan dan pemerintahan yang bersifat "ilusif", yang difungsikan sebagai legitimasi pemerintahan. Jadi, pemerintahan kita diilusikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Faktanya rakyat tidak pernah ikut dalam pemerintahan, dan yang memerintah adalah segelintir orang. Yang akan selalu terjadi adalah government by the few, not by the people.

Padahal menjadikan demokrasi sebagai legitimasi bukanlah tanpa ongkos. Anda tahu pemborosan uang negara untuk "prosesi" demokrasi? Untuk Pemilu 2009 saja, ada isu bahwa KPU mengusulkan anggaran 47,9 triliun—yang tentu akan diikuti banyak korupsi.

Lalu sekarang banyak orang kurang percaya dengan "indirect democracry". Mereka ingin pilihan langsung seperti di Athena dulu. Maka terjadilah proses pemilihan langsung untuk kepala desa, bupati, gubernur, dan presiden, yang tentunya membuat ongkos demokrasi semakin mahal.

Pada proses pilihan langsung ini, orang yang buta terhadap calon, para tukang becak, WTS, penjudi, dan semua segmen masyarakat ikut memilih. Tentu saja sebagian besar pemilih tidak "melek" politik; tidak tahu masalah daerah, dan tidak tahu calon mana yang kira-kira cocok untuk mengatasinya.

Ketika demokrasi kita dirubah ke "direct democracy", muncul beberapa masalah kritis. Pertama, sistem pemilihan langsung belum bisa menjamin hasil demokratis. Contoh: ada 10 ribu pemilih dan 3 calon. Calon A dapat 4 ribu, calon B dapat 3 ribu, calon C dapat 3 ribu. Yang jadi tentu adalah calon A dengan pemilih 4 ribu. Dari keseluruhan 10 ribu rakyat pemilih, besar mana yang memilih dan tidak memilih calon A? Tentu besar yang tidak memilih (4 ribu versus 6 ribu). Sekarang apakah calon A layak kita katakan pemerintahan dari rakyat, sedangkan faktanya rakyat lebih banyak yang tidak memilihnya?5

5

(5)

Kedua, karena kebanyakan masyarakatnya "blind" tentang politik dan karakter calonnya, maka otomatis yang bermain adalah "logika uang";6 siapa yang bayar dia yang dipilih.7 Ketiga, asumsi masyarakat tentang si calon adalah hasil polesan media, informasi, dan permainan "opini publik". Di sini Anda harus ingat pada kaidah: "politic is a dirty game". Maka perubahan dari "indirect" ke "direct" ini hampir tidak ada manfaatnya, selain hanya menambah pemborosan anggaran dan pembukaan lahan korupsi baru.

Nah, dalam proses yang ruwet itulah—baik dalam direct maupun indirect democracy, tiga teman setia sekaligus konsekuensi dari demokrasi (sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme) pun diam-diam ikut bermain dalam kehidupan masyarakat, lalu menanamkan diri sebagai jati diri bangsa ini.

Lalu apa hasilnya? Negara ini pun menjadi negara "kedaulatan uang", dan konstitusinya adalah UUD (ujung-ujungnya duit). Liberalisme membuat moral ambruk dan agama semakin tersungkur (Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi sangat tinggi, angka aborsi nomor 1 di Asia, surga pornografi,8 dan tempat subur aliran sesat).9

SOLUSI..??

Anda bisa melihat, demokrasi tidak pernah bisa membuat semua people/rakyat/warga untuk aktif berpartisipasi dalam pemerintahkan. Di Athena yang masih "direct" pun tidak, apalagi dalam kondisi sekarang. Faktanya, dalam pemerintahan jenis apapun, tetap ada sekelompok orang yang memerintah, dan rakyat yang diperintah umumnya tidak tahu menahu proses pemerintahan.

Kalau faktanya demikian, maka dari pada kita sibuk membuang uang sebagai ongkos "demokrasi ilutif", ada baiknya kita kembali kepada sistem Islam yang jauh lebih irit dan bijak, yaitu sistem "ahlul halli wal 'aqdi". Jadi, ada sekelompok orang yang pintar, bersih moralnya, berwawasan luas, dan kredibel, yang kita percaya untuk memilih

6 ‚da keyakinan sementara orang, bahwa banyaknya golput di Jawa Tengah adalah karena

masyarakat sudah jenuh dengan pilihan-pilihan yang entah apa manfaatnya, di samping memang tidak ada uang yang turun yang bisa membuat mereka semangat mau memilih.

7 Faktanya adalah pemilihan langsung di Indonesia sekarang menjadi lahan gambling kaum kapitalis berduit. Biayanya sangat besar. Yang menang tinggal naik jabatan, lalu—kebanyakan— menjarah uang negara sebagai penutup hutang. Yang kalah stress memikirkan belitan hutang. Ingatlah bagaimana HMZ Yuli Nursanto, calon bupati Ponorogo yang tidak jadi, berusaha bunuh diri karena terbelit hutang 2,977 miliar. Ia stress dan akhirnya telanjang.

8 Republika 28 April 2006: Word Associated Press telah menobatkan Indonesia sebagai surga

pornografi terbesar nomor dua di dunia setelah Rusia.

(6)

pemimpin kita. Selain irit biaya, hasil pilihan mereka kemungkinan besar akan lebih baik dari hasil pilihan rakyat awam yang tidak tahu-menahu soal politik dan ekonomi negara.

Tentu kita harus jujur mengakui bahwa ini bukan demokrasi, karena ini memang— dalam bahasa Aristoteles—merupakan sistem aristokrasi. Tapi daripada kita "malu-malu" dan selalu saja membayar mahal hanya untuk "berkhayal" demokrasi, kenapa tidak kita ganti sistem saja sekalian?? Toh pada akhirnya juga sama-sama oligarki/aristokrasi. Jangan lupa, kita justru lebih punya akar artistokrasi ketimbang demokrasi. Bukankah konstitusi pertama kita dibuat oleh BPUPKI yang jelas tidak dipilih melalui cara demokratis, tapi lebih malah mirip dengan ahlul halli wal aqdi -nya ajaran Islam?

Jumlahnya "ahlul halli wal 'aqdi" tidak usah terlalu banyak, jangan seperti anggota legislatif yang jumlahnya sangat banyak, selalu minta fasilitas berlebih, dan kinerjanya mandul. Kita tidak perlu membuang uang negara untuk membayar orang yang tidak benar-benar bekerja. Ini untuk sistem kenegaraannya.

Apakah tidak ada kekhawatiran akan menjadi diktator? Diktator atau tidak, adalah persoalan kontrol pemerintahan , yang caranya tidak mesti mengadopsi ajaran demokrasi. Masih ada banyak variasi sistem kontrol pemerintahan selain demokrasi.

Lalu siapa yang berdaulat di negara ketika demokrasi sudah dicabut? Yang berdaulat adalah "syari'ah" atau hukum Tuhan. Hukum Tuhan ada dua: yang bersifat pasti, dan masih terbuka penafsiran/ijtihad. Hukum yang bersifat pasti tinggal ditegakkan. Yang masih butuh penafsiran, dapat menjadi dinamika pemikiran hukum di negara ini.

Jika ada yang menyangkal, "penafsiran agama kan berbeda-beda, apa tidak kacau?", cukup dijawab: "hukmul imam yarfa'ul khilaf" (keputusan imam menyelesaikan perbedaan pendapat). Jaksa dan pengacara juga selalu berbeda pendapat soal fakta dan penafsiran undang-undang, tapi toh selalu bisa diselesaikan oleh hakim.

(7)

APAKAH HARUS KHILAFAH?

Khilafah adalah sistem di mana seluruh umat Islam di dunia berada di bawah satu kepemimpinan. Ada imam a'dzam/khalifah yang memayungi semuanya. Secara mudah, khilafah adalah semacam "Negara Islam Internasional". Kita bertanya: apakah harus modelnya seperti ini? Apakah tidak boleh ada banyak "khalifah" untuk masing-masing negara—tanpa ada imam a'dzam yang memayungi semua?

Ada dua pendapat ulama. Pertama, hanya boleh ada satu khalifah untuk umat Islam di seluruh dunia. Ini pendapat jumhur ulama, termasuk Ahlus Sunnah yang di dalamnya ada mazhab empat. Kedua, boleh ada banyak khalifah. Ini adalah pendapat sebagian Mu'tazilah, Karamiyyah,10 dan Syi'ah Zaydiyyah.

Pendapat yang pertama (Ahlus Sunnah) terbagi lagi ke dalam dua kelompok. Pertama, khalifah harus tunggal, dan tidak boleh ada dua khalifah pada satu waktu, apapun alasannya. Ini adalah pendapat Jumhur Ahlus Sunnah Kedua, dalam kondisi tertentu, yaitu ketika sulit bersatu, boleh ada lebih dari satu khalifah pada satu waktu.11 Ini pendapat Imam al-Haramayn al-Juwayni, dan ia menisbatkan kepada gurunya, Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Ishaq al-Isfariyini. Ini juga merupakan pendapat sebagian ulama Syafi'iyyah—yang dirajihkan oleh Abu Manshur al-Baghdadi, dan pendapat Al-Qurthubi.12

Dengan memakai pendapat kedua dari kelompok pertama (Ahlus Sunnah) dan— terutama—melihat kondisi riil dunia Islam saat ini, ternyata masih ada celah bagi kita untuk mengatakan khilafah tunggal (seperti dikampanyekan Hizbut Tahrir) untuk sementara ini tidaklah wajib.

Ketika dunia Islam sudah terpecah-pecah ke dalam banyak negara dengan kedaulatan masing-masing, dan sangat sulit untuk menyatukan semuanya di bawah satu bendera khilafah, maka masing-masing negara Islam boleh untuk—sementara waktu— memiliki pemimpin sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah masing-masing melaksanakan syari'ah Islam, sebab khilafah itu sendiri didirikan juga untuk tujuan

10 Karamiyah berpendapat demikian, karena untuk melegalisir pemerintahan ‚li bin ‚bi

Thalib dan Mu awiyah sekaligus.

11 Pendapat kedua ini pada dasarnya masih memandang wajibnya khalifah tunggal. Bolehnya

lebih dari satu khalifah adalah sebuah hukum pengecualian karena alasan tertentu, sehingga jika alasan tersebut hilang, maka kembali ke hukum dasar, yaitu wajibnya khalifah tunggal.

12 Penjelasan ini mengacu pada thesis Abdullah Umar al-Dumayji di Universitas Ummul Qura

Makkah, yang kemudian terbit dengan judul Al-Imamah al-Udzma inda Ahlis Sunnah wa al

(8)

syari'at Islam. Yang jadi tujuan terpenting bukanlah khilafahnya, tapi syari'at Islamnya; khilafah hanya sarana penegak syari'ah.

Yang terpenting dan mendesak untuk kita lakukan adalah bagaimana memasukkan unsur-unsur syari'at Islam ke dalam proses legislasi di Indonesia, agar tiga kawan karib demokrasi (sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme) bisa kita reduksi semaksimal mungkin, atau bahkan kita usir dari bumi Indonesia.

Syari'at Islam bukanlah hal yang menakutkan. Adalah sangat wajar, jika legislasi di Indonesia banyak mengadopsi syari'at Islam, mengingat mayoritas warganya adalah Islam, dan fungsi legislasi adalah untuk mengarahkan masyarakat ke arah nilai-nilai ideal. Yang tidak wajar adalah justru ketika legislasi kita "disuntik" nilai dari luar, pro kapitalisme, dan mendukung liberalisme.

Semoga kita bisa segera mengusir sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Sebab ini adalah tiga nilai bawaan demokrasi yang akan memporak-porandakan tata-nilai asli di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian, menunjukkan bahwa sebagian besar kasus persalinan adalah rujukan karena penyulit kehamilan, dan persalinan atas kemauan sendiri untuk bersalin di RS

Mahas is wa melaks anakan s eminar propos al yang dipandu oleh moderator, dihadiri 2 dos en peng uji dan dos en pembimbing s erta mahas is wa yang memprog ram s krips i dileng kapi

Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara kompetensi membuat topeng peserta didik pada kelas eksperimen yang menggunakan media video dokumentasi dengan peserta

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi dan Sewa Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah

Seminar Nasional “Leptospirosis and Rabies in Indonesia : Control, Logic Behind The Scene and its Consequent” Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

analyze and identify entrepreneur behaviour on business performance especially to Small Medium Enterprise (SMEs) banana processing in South Garut.. The study was

ciri prakategoriaJ, morfoiogis, dan sintaksis. Herdasarkan eiri prakategorial, kata benda dapat diklasifikasi atas kala benda akar kata dan katahenda de[mitif. Kata

Kondisi SM Rimbang Baling sangat memprihatinkan saat ini, dan sangat disayangkan jika pada akhirnya, pemasalahan yang terjadi di kawasan konservasi menyebabkan