10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori
1. Belajar Matematika
Belajar sering diidentikkan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, mengamati, mendengarkan, dan menirukan sesuatu. Slameto (2003, 5) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Fontana (dalam Erman Suherman dkk, 2003, 7), belajar merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman setiap individu sehingga proses belajar bersifat unik dalam diri individu. Sugihartono dkk (2012, 74-76) menyatakan bahwa belajar merupakan proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku yang dimaksud adalah perubahan tingkah laku yang terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bersifat permanen, memiliki tujuan dan terarah, serta mencakup seluruh aspek tingkah laku seperti sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Berdasarkan uraian tersebut, pengertian belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses yang terjadi karena
11 adanya usaha yang dilakukan individu untuk mengadakan perubahan tingkah laku, baik berupa sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengalaman.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari siswa di sekolah. Russeffendi (dalam Erman Suherman dkk, 2003: 16) menyatakan bahwa matematika terbentuk dari hasil pemikiran yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran untuk memecahkan suatu masalah. Beth dan Piaget (dalam Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou, 2014: 28) menambahkan bahwa matematika berkaitan dengan berbagai struktur abstrak dan hubungan struktur-struktur tersebut sehingga terorganisasi dengan baik. Menurut Sujono (1988: 4), matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logis dan masalah-masalah yang berhubungan dengan bilangan. Menurut James dan James (dalam Erman Suherman dkk, 2003: 16), matematika merupakan ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Berdasarkan uraian tersebut, pengertian matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cabang ilmu eksak mengenai bilangan, penalaran yang logis, serta masalah tentang bentuk atau struktur, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain untuk memecahkan suatu masalah.
12 Berdasarkan uraian mengenai belajar dan matematika, pengertian belajar matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses yang terjadi karena adanya usaha untuk mengadakan perubahan yang berupa pengetahuan mengenai bilangan, penalaran yang logis, serta pemecahan masalah tentang bentuk atau struktur, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain. Dalam penelitian ini, pembahasan matematika yang digunakan dibatasi pada matematika sekolah. Matematika sekolah adalah matematika yang dipelajari di tingkat Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) dan Pendidikan Menengah (Sekolah Menengah Atas) yang dikembangkan berdasarkan kurikulum matematika yang telah disepakati bersama.
Selanjutnya, menurut Gagne (dalam Bell, 1978: 108-109), ada dua objek dalam pembelajaran matematika yang dapat dipelajari oleh siswa yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung meliputi fakta (facts), keterampilan (skills), konsep (concepts), dan prinsip (principles). Objek tak langsung meliputi kemampuan penyelidikan (inquiry ability), kemampuan pemecahan masalah (problem-solving ability), belajar mandiri (self-discipline), dan pemahaman struktur matematika. Objek langsung dalam pembelajaran matematika merupakan pemisahan isi dari matematika. Berikut ini penjelasan singkat mengenai objek langsung dalam pembelajaran matematika.
13 a. Fakta
Fakta matematika merupakan konvensi-konvensi (penjanjian) yang dituliskan dengan simbol matematika. Contoh fakta, yaitu “2” untuk menyatakan simbol bilangan dua, “+” untuk menyatakan simbol operasi penjumlahan, dan sebagainya. Fakta dapat dipelajari melalui teknik menghafal, latihan soal, tes, dan permainan. Siswa dianggap telah mempelajari fakta jika ia dapat menggunakan simbol matematika dengan tepat pada masalah yang berbeda-beda.
b. Keterampilan
Keterampilan adalah kemampuan untuk memberikan jawaban dengan tepat dan cepat. Keterampilan dapat ditentukan dengan suatu prosedur atau instruksi yang disebut algoritma. Contoh keterampilan. yaitu melakukan pembagian bilangan, menjumlahkan pecahan, memfaktorkan suku banyak, dan sebagainya. Keterampilan dapat dipelajari melalui demonstrasi, latihan soal, kegiatan kelompok, dan permainan. Siswa dianggap telah menguasai keterampilan jika dia dapat memecahkan suatu masalah dengan algoritma yang tepat dan cepat.
c. Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan siswa untuk mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Konsep dibangun dari definisi dan dibentuk melalui pengalaman.
14 Contoh konsep, yaitu konsep variabel. Variabel adalah nama dari suatu konsep yang terdiri dari lambang yang digunakan untuk mewakili suatu bilangan yang belum diketahui nilainya. Konsep dapat dipelajari melalui teknik mendengar, melihat, berdiskusi, serta membandingkan objek yang merupakan contoh dan bukan contoh. Siswa dianggap telah mempelajari konsep jika dia dapat mengelompokkan berbagai objek ke dalam contoh dan bukan contoh.
d. Prinsip
Prinsip adalah objek matematika yang paling kompleks. Prinsip merupakan gabungan dari beberapa fakta dan konsep yang dihubungkan dengan suatu operasi atau relasi tertentu. Contoh prinsip, yaitu prinsip pemfaktoran bentuk aljabar. Prinsip pemfaktoran bentuk aljabar merupakan gabungan dari konsep faktor persekutuan, operasi penjumlahan, dan perkalian. Prinsip dapat dipelajari melalui proses penyelidikan ilmiah (scientific inquiry), penemuan terbimbing (guided discovery), diskusi kelompok, problem solving, dan demonstrasi. Siswa dianggap telah mempelajari prinsip jika dia dapat menentukan konsep-konsep yang ada dalam prinsip tertentu, mampu menelusuri hubungan konsep yang satu dengan konsep lainnya, dan dapat menerapkan prinsip tersebut dalam suatu masalah tertentu.
15 2. Tahap Perkembangan Kognitif Siswa
Matematika terdiri dari objek-objek abstrak yang disusun secara berjenjang mulai dari hal yang konkret ke hal yang abstrak atau dari hal yang sederhana ke hal yang rumit dan kompleks. Objek abstrak dalam matematika berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip yang saling berkaitan satu sama lain dan dilengkapi dengan simbol matematika. Objek abstrak ini ada yang mudah dipelajari siswa dan ada juga yang sulit dipelajari oleh siswa. Cooney (1975: 203), memberikan petunjuk bahwa mudah atau sulitnya siswa belajar matematika dapat difokuskan pada dua jenis pengetahuan matematika yang penting, yaitu konsep dan prinsip. Untuk mengetahui pengetahuan siswa mengenai konsep dan prinsip, siswa perlu diberikan masalah matematika yang harus diselesaikan. Jika siswa telah menguasai konsep dan prinsip, maka siswa pasti dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik dan benar.
Menurut Piaget (dalam Erman Suherman dkk, 2003: 36), mudah atau sulitnya seseorang mempelajari sesuatu dipengaruhi oleh perkembangan skemata yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya. Skemata merupakan struktur kognitif yang tersusun dari kumpulan skema-skema yang membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran seseorang. Selanjutnya, menurut Piaget (dalam Erman Suherman dkk, 2003: 37-43), ada empat tahap perkembangan kognitif secara kronologis dari setiap individu, yaitu:
16 a. Tahap Sensori Motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini, anak belajar dari pengalaman yang diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi panca indera). Contohnya, anak yang mulai dapat berbicara dan meniru suara kendaraan tertentu.
b. Tahap Pra Operasi (2-7 tahun)
Pada tahap ini, anak belajar dari pengalaman konkret dengan mengklasifikasikan sekelompok objek sesuai kenampakannya. Contohnya, anak yang diperlihatkan segumpal plastisin berbentuk bola dengan ukuran yang sama. Lalu, salah satu plastisin dipipihkan sehingga tampak lebih besar. Jika anak ditanyakan plastisin mana yang lebih banyak, maka kemungkinan anak akan menjawab plastisin yang bentuknya pipih. Hal ini menunjukkan bahwa anak belum memahami konsep kekekalan.
c. Tahap Operasi Konkret (7-11 tahun)
Pada tahap ini, umumnya anak berada di Sekolah Dasar sehingga ia telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkret. Selain itu, anak juga baru mampu memahami definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, tetapi belum mampu merumuskan sendiri definisi tersebut. Contohnya, anak yang dapat menentukan harga buku dan pensil ketika bendanya ada, tetapi belum mampu menentukan harga buku dan pensil ketika dinyatakan dalam simbol matematika.
17 d. Tahap Operasi Formal (11-15 tahun)
Pada tahap ini, anak mampu menggunakan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak tanpa disertai benda-benda konret. Contohnya, anak dapat menentukan tinggi seseorang pada gambar dengan menggunakan konsep perbandingan.
Tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget ini menunjukkan bahwa perkembangan selalu mendahului pembelajaran. 3. Materi Pemfaktoran Bentuk Aljabar
Pemfaktoran merupakan teknik untuk menyatakan bentuk penjumlahan bilangan ke dalam bentuk perkalian dari faktor-faktor bilangan tersebut (M. Cholik Adinawan dan Sugijono, 2007: 16). Dalam pembelajaran pemfaktoran bentuk aljabar, siswa harus memahami konsep dan prinsip dasar aljabar terlebih dahulu. Konsep dasar aljabar yang harus dikuasai siswa antara lain mampu membedakan variabel, koefisien, konstanta, faktor persekutuan, suku sejenis, dan suku tak sejenis. Prinsip dasar aljabar yang harus dikuasai siswa antara lain menyederhanakan bentuk aljabar, menggabungkan bentuk aljabar dengan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan menggunakan faktor persekutuan untuk menyelesaikan pembagian bentuk aljabar, serta pemangkatan bentuk aljabar.
Selanjutnya, siswa dapat memahami konsep dan prinsip pemfaktoran bentuk aljabar. Konsep pemfaktoran bentuk aljabar yang
18 harus dikuasai siswa antara lain sebagai berikut (M. Cholik Adinawan dan Sugijono, 2007: 16-24).
a. Pemfaktoran dengan hukum ditributif, yaitu 𝑎𝑏 + 𝑎𝑐 = 𝑎(𝑏 + 𝑐)
b. Pemfaktoran bentuk 𝑥2± 2𝑥𝑦 + 𝑦2, yaitu
𝑥2+ 2𝑥𝑦 + 𝑦2 = 𝑥 + 𝑦 (𝑥 + 𝑦) dan
𝑥2− 2𝑥𝑦 + 𝑦2 = 𝑥 − 𝑦 (𝑥 − 𝑦)
c. Pemfaktoran selisih dua kuadrat, yaitu 𝑥2− 𝑦2 = 𝑥 + 𝑦 (𝑥 − 𝑦)
d. Pemfaktoran bentuk 𝑎𝑥2+ 𝑏𝑥 + 𝑐 dengan 𝑎 = 1, yaitu
𝑥2+ 𝑏𝑥 + 𝑐 = 𝑥 + 𝑝 𝑥 + 𝑞 , b dan c adalah bilangan real
dengan syarat 𝑐 = 𝑝 × 𝑞 dan 𝑏 = 𝑝 + 𝑞
e. Pemfaktoran bentuk 𝑎𝑥2+ 𝑏𝑥 + 𝑐 dengan 𝑎 ≠ 1, yaitu
𝑎𝑥2+ 𝑏𝑥 + 𝑐 = 𝑎𝑥2 + 𝑝𝑥 + 𝑞𝑥 + 𝑐
a, b dan c adalah bilangan real
dengan syarat 𝑎 × 𝑐 = 𝑝 × 𝑞 dan 𝑏 = 𝑝 + 𝑞.
Prinsip pemfaktoran bentuk aljabar yang harus dikuasai siswa antara lain menggabungkan bentuk aljabar dengan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, dan perkalian secara benar dan tepat. 4. Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Pengunaan Konsep dan Prinsip
Cooney (1975: 202-203) memberikan petunjuk bahwa untuk mengetahui kesulitan siswa dalam memahami suatu materi, perlu dilakukan suatu diagnosis kesulitan siswa agar dapat ditentukan cara
19 perbaikan yang tepat. Pada dasarnya, diagnosis kesulitan siswa ini hampir sama dengan diagnosis penyakit yang dilakukan oleh seorang dokter untuk menentukan resep pengobatan. Perbedaannya, dokter hanya melakukan diagnosis bagi pasien yang berkonsultasi dengannya, sedangkan guru melakukan diagnosis bagi siswa yang berkonsultasi maupun tidak.
Menurut Sugihartono dkk (2012: 150), diagnosis kesulitan dapat diartikan sebagai proses menentukan masalah atau ketidakmampuan siswa dalam belajar dengan cara menelusuri latar belakang penyebabnya atau dengan cara menganalisis gejala-gejala kesulitan dan hambatan belajar yang tampak dari diri siswa. Koestoer Partowisastro dan Hadisuparto (1982: 95) juga menambahkan bahwa diagnosis kesulitan belajar merupakan tindakan yang efisien untuk menemukan sampai sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang diharapkan oleh sekolah. Hal inilah yang menjadi dasar, peneliti melakukan diagnosis kesulitan untuk mengetahui kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran.
Diagnosis kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar dapat ditinjau dari pengetahuan konsep dan prinsip pemfaktoran bentuk aljabar. Pedoman dalam mendiagnosis kesulitan penggunaan konsep dan prinsip dapat diuraikan sebagai berikut.
20 a. Diagnosis Kesulitan Penggunaan Konsep
Konsep merupakan ide abstrak yang memungkinkan siswa dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh (Erman Suherman, 2003: 33). Kesulitan siswa dalam memahami konsep pemfaktoran bentuk aljabar dapat ditinjau dari pengetahuan siswa mengenai konsep-konsep yang ada dalam pokok bahasan materi pemfaktoran bentuk aljabar. Menurut Cooney (1975: 216-221), pengetahuan tersebut dapat ditinjau dari kemampuan siswa yang meliputi indikator sebagai berikut.
1) Menandai, menggungkapkan dengan kata-kata, dan mendefinisikan konsep. Contohnya, siswa belum dapat menentukan variabel dan konstanta dari suatu bentuk aljabar. 2) Mengidentifikasikan contoh dan bukan contoh. Contohnya,
siswa tidak mampu membedakan suku sejenis dan suku-suku tak sejenis dari suatu bentuk aljabar.
3) Menggunakan model, gambar, dan simbol untuk merepresentasikan konsep. Contohnya, siswa tidak dapat menyajikan himpunan dalam diagram Venn.
4) Menerjemahkan satu konsep ke konsep lain. Contohnya, siswa belum dapat menyatakan masalah sehari-hari ke dalam kalimat matematika yang tepat.
5) Mengidentifikasi sifat-sifat dari konsep yang diberikan dan mengenali kondisi (syarat) yang ditentukan suatu konsep.
21 Contohnya, siswa tidak mampu menyederhanakan bentuk aljabar dengan cara mengelompokkan suku-suku sejenis. 6) Membandingkan dan menegaskan konsep-konsep.
Contohnya, siswa tidak mampu membandingkan pola dari konsep pemfaktoran bentuk kuadrat sempurna dengan konsep penguadratan suku dua.
b. Diagnosis Kesulitan Penggunaan Prinsip
Prinsip merupakan objek yang paling abstrak dan berupa sifat atau teorema (Erman Suherman, 2003: 33). Kesulitan siswa dalam memahami prinsip pemfaktoran bentuk aljabar dapat ditinjau dari pengetahuan siswa mengenai prinsip-prinsip yang ada dalam pokok bahasan materi pemfaktoran bentuk aljabar. Menurut Cooney (1975: 221-225), pengetahuan tersebut dapat ditinjau dari kemampuan siswa yang meliputi indikator sebagai berikut.
1) Mengenali penggunaan prinsip. Contohnya, siswa tidak dapat menggunakan sifat distributif perkalian untuk menyelesaikan pemfaktoran bentuk 𝑎𝑏 + 𝑎𝑐 = 𝑎(𝑏 + 𝑐).
2) Memberikan alasan pada langkah-langkah penggunaan prinsip. Contohnya, siswa tidak memberikan dan menuliskan alasan pada setiap langkah penyelesaian masalah yang diberikan secara rinci.
22 3) Menggunakan prinsip secara benar dan tepat. Contohnya, siswa kurang telliti atau salah dalam menghitung hasil penjumlahan, pengurangan, dan perkalian bentuk aljabar. 4) Mengenali prinsip yang benar dan tidak benar. Contohnya,
siswa tidak dapat membedakan langkah-langkah memfaktorkan dengan menjabarkan.
5) Menggeneralisasikan prinsip baru dan memodifikasi suatu prinsip. Contohnya, siswa tidak mampu mengaitkan hasil pemfaktoran dengan akar-akar dari persamaan kuadrat. 6) Mengapresiasikan peran prinsip-prinsip dalam matematika.
Contohnya, siswa belum dapat menentukan penyelesaian pertidaksamaan linear satu variabel dengan cara mendata anggotanya dengan tepat.
Berdasarkan uraian indikator diagnosis kesulitan penggunaan konsep dan prinsip, dalam penelitian ini seharusnya dirancang suatu tes diagnostik yang sesuai dengan indikator diagnosis kesulitan tersebut. Tes diagnostik merupakan tes yang dirancang untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi letak kesulitan siswa secara tepat dan akurat (Ali Hamzah, 2014: 57). Akan tetapi, dalam penelitian ini, terdapat keterbatasan, yaitu tes yang dirancang justru merupakan suatu tes formatif. Tes formatif merupakan tes yang dirancang untuk mengetahui pada bagian
23 mana dari pokok bahasan dan subpokok bahasan yang belum dikuasai siswa sehingga dapat diupayakan perbaikannya (Ali Hamzah, 2014: 60). Meskipun demikian, kedudukan tes formatif dapat dipandang sebagai tes diagnostik karena hasil tes formatif dapat digunakan untuk mengetahui letak kesulitan siswa dalam mempelajari materi tertentu (Suharsimi Arikunto, 2006: 36-37). 5. Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Kesulitan belajar merupakan suatu gejala yang tampak pada siswa yang ditandai dengan adanya prestasi belajar yang rendah atau di bawah standar yang telah ditetapkan (Sugihartono dkk, 2012: 149). Pada umumnya, prestasi belajar siswa yang mengalami kesulitan belajar lebih rendah dibandingkan prestasi belajar siswa yang tidak mengalami kesulitan belajar atau prestasi belajarnya sendiri sebelum mengalami kesulitan belajar. Sugihartono dkk (2012, 154-155) mengemukakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut.
a. Prestasi belajar yang rendah atau di bawah standar yang telah ditetapkan;
b. Usaha yang dilakukan dalam pembelajaran tidak sebanding dengan hasil yang dicapai;
c. Lamban dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas; d. Acuh tak acuh dalam mengikuti pembelajaran;
24 e. Menunjukkan perilaku menyimpang seperti suka membolos, susah konsentrasi, tidak punya semangat belajar, dan sebagainya; f. Emosional seperti mudah tersinggung, mudah marah, merasa
rendah diri, dan sebagainya.
Kesulitan belajar yang dialami setiap siswa tidak selalu sama karena setiap siswa memiliki kemampuan dan keunikan masing-masing. Latar belakang terjadinya kesulitan belajar siswa tersebut, tentu dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis kesulitan. Selain itu, Sugihartono dkk (2012: 150) menambahkan bahwa kesulitan belajar yang dialami siswa tidak selalu disebabkan oleh inteligensi atau kecerdasannya yang rendah. Kesulitan belajar yang dialami siswa dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, sehingga guru harus menelusuri jenis, sifat, dan letak kesulitan belajar siswa. Berikut ini uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dari pandangan beberapa ahli.
Dimyati dan Mudjiono (1994: 228-235) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi proses belajar meliputi sikap terhadap belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan ajar, menyimpan perolehan hasil belajar, menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan berprestasi atau unjuk hasil kerja, rasa percaya diri, inteligensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar, dan cita-cita
25 siswa. Sedangkan, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses belajar meliputi guru, sarana dan prasarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan sosial di sekolah, dan kurikulum sekolah.
Menurut Fontana (dalam Sugihartono dkk, 2012: 155), faktor-faktor yang berperan dalam belajar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu faktor internal (dari dalam diri siswa) dan faktor eksternal (dari luar siswa). Faktor internal meliputi kemampuan intelektual; afeksi seperti motivasi, perasaan, dan percaya diri; kematangan belajar; usia; jenis kelamin; kebiasaan belajar; kemampuan mengingat; dan kemampuan penginderaan seperti melihat mendengar, dan merasakan. Faktor eksternal meliputi guru, kualitas pembelajaran, instrumen atau fasilitas pembelajaran, dan lingkungan belajar.
Menurut Dalyono (1997: 233-245), ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu faktor intern (faktor dari dalam diri individu itu sendiri) dan faktor ekstern (faktor dari luar individu). Faktor intern yang mempengaruhi proses belajar meliputi minat, bakat, motivasi, dan inteligensi. Faktor ekstern yang mempengaruhi proses belajar meliputi faktor keluarga (sarana dan prasarana) dan faktor sekolah (guru, faktor alat, dan kondisi gedung).
Menurut Muhibbin Syah (2005: 173), faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu faktor intern (keadaan yang muncul dari dalam diri siswa) dan faktor
26 ekstern (keadaan yang datang dari luar diri siswa). Faktor intern yang menyebabkan kesulitan belajar siswa meliputi aspek kognitif (ranah cipta) seperti rendahnya kapasitas inteligensi siswa, aspek afektif (ranah rasa) seperti labilnya emosi siswa, dan aspek psikomotor (ranah karsa) seperti terganggunya alat-alat indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). Faktor ekstern menyebabkan kesulitan belajar siswa meliputi lingkungan keluarga seperti ketidakharmonisan hubungan antara kedua orang tua (ayah dan ibu), lingkungan masyarakat seperti teman sepermainan (peer group) yang nakal, dan lingkungan sekolah seperti kondisi gedung sekolah, guru, dan alat-alat belajar yang kurang berkualitas.
Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar tersebut, faktor penyebab kesulitan belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada pengelompokkan sebagai berikut.
a. Faktor intern (faktor dari dalam diri siswa) yang meliputi: 1) Minat
Minat dapat menyebabkan siswa menyukai atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu. Minat dapat ditelusuri dari perilaku siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa yang cenderung pasif, jika ditanya diam saja, bersikap acuh tak acuh, dan suka membolos menunjukkan adanya kesulitan belajar (Sugihartono dkk, 2012: 153).
27 2) Motivasi
Motivasi menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa yang memiliki motivasi tinggi akan giat berusaha, pantang menyerah, dan rajin membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
3) Bakat
Bakat dapat mempengaruhi mudah sulitnya seseorang dalam mempelajari mata pelajaran tertentu. Siswa yang mempelajari mata pelajaran sesuai bakatnya akan cenderung aktif mengikuti pembelajaran, sering bertanya, rajin mengerjakan tugas, dan rajin mencatat.
b. Faktor ekstern (faktor dari luar diri siswa) yang meliputi: 1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian anak. Keluarga yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan anak seperti menyediakan fasilitas belajar yang lengkap, mendampingi anak belajar saat di rumah, dan menyediakan ruang belajar khusus akan mendukung kemajuan belajar anak.
28 2) Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang mengembangkan dan meneruskan pendidikan anak agar dapat menjadi insan yang cerdas, terampil, dan memiliki kepribadian yang baik (Dwi Siswoyo dkk, 2011: 149). Sekolah yang memiliki guru yang berkualitas, sarana dan prasarana pembelajaran yang lengkap, dan ruang belajar yang nyaman dapat mendukung kegiatan pembelajaran.
6. Strategi Penelitian Studi Kasus
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif karena peneliti bermaksud menelusuri jenis dan penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran secara mendalam dan menyeluruh. Menurut Lexy J. Moleong (2007, 6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami peristiwa yang dialami subjek penelitian (perilaku, motivasi, tindakan, dll) secara mendalam dengan cara dideskripsikan dengan kata-kata. Nana Sudjana (2001, 200), juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dimulai berdasarkan lingkungan alami bukan pada teori yang disiapkan sebelumnya sehingga peneliti harus mengamati keseluruhan peristiwa yang diteliti secara utuh untuk memperoleh fokus penelitian.
Studi kasus merupakan salah satu strategi penelitian dalam penelitian kualitatif. “Case study is a strategy to explore perceptions
29 and experiences of teachers and students” (Watson, 2016: 115). Menurut Yin (2012, 13-15), studi kasus merupakan strategi penelitian untuk memahami suatu kasus secara mendalam dengan pemberian pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” melalui wawancara sehingga peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol subjek penelitian. “Case studies are widely used for examine new or complex situation in an integrated way, revealing the existing problems systematically, and developing services for situation of those problems” (Ozguc, 2015: 806). Berdasarkan uraian tersebut, studi kasus yang dimaksud dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan mendalam dari kasus yang dipelajari dan tidak bertujuan untuk mendapatkan generalisasi. Noeng Muhadjir (2000, 55) juga menambahkan bahwa studi kasus bertujuan untuk mencari kebenaran ilmiah sehingga pertimbangan penarikan kesimpulan didasarkan pada ketajaman peneliti dalam melihat kecenderungan pola-pola yang sejenis.
Strategi penelitian studi kasus memiliki empat tipe desain, yaitu desain kasus tunggal holistik, desain kasus tunggal terjalin, desain multikasus holistik, dan desain multikasus terjalin (Yin, 2012: 46). Studi kasus holistik mengkaji peristiwa sebagai satu kesatuan unit, sedangkan studi kasus terjalin mengkaji peristiwa sebagai unit-unit yang terpisah. Dalam penelitian ini, digunakan desain kasus tunggal holistik karena menekankan pada satu kasus yang perlu dikaji
30 secara menyeluruh sebagai satu kesatuan unit. Menurut Sri Yona (2006: 77), terdapat beberapa langkah dalam mendesain studi kasus, yaitu menentukan masalah/kasus yang akan dikaji, menentukan instumen penelitian, menentukan teknik pengumpulan data, dan menentukan teknik analisis data, serta terakhir menyusun laporan.
Dalam penelitian ini, kasus yang dikaji, yaitu siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran. Selanjutnya, instrumen penelitian yang digunakan mengacu pada instumen penelitian kualitatif. Instrumen yang digunakan lebih ditekankan pada aspek validitas (Sugiyono, 2011: 268). Menurut Lexy J. Moleong (2007, 9), pada penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen pengumpul data utama. Peneliti bertindak sebagai human instrument yang terjun ke lapangan untuk menentukan fokus penelitian, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan (Sugiyono, 2012: 306). Hal ini disebabkan jika memanfaatkan instumen yang bukan manusia, maka sangat sulit bahkan tidak mungkin dapat menyesuaikan dengan keadaan atau kenyataan yang ada di lapangan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sampel bertujuan (purposive sample). Sampel bertujuan (purposive sample) adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2012: 126). Sampel ini dimaksudkan untuk mengarahkan pada pemahaman secara mendalam.
31 Selanjutnya, peneliti merancang tes formatif untuk menentukan subjek penelitian. Tes formatif yang dirancang terdiri dari soal isian singkat dan soal uraian. Menurut Ali Hamzah (2014: 40-41), soal isian merupakan soal dengan kalimat yang belum selesai atau tidak lengkap. Soal ini sesuai untuk mengukur kemampuan siswa dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan penerapan konsep sederhana. Selanjutnya, menurut Ali Hamzah (2014: 42), soal uraian merupakan soal yang menuntut siswa untuk menguraikan langkah-langkah penyelesaian soal. Soal ini memberikan kesempatan pada siswa untuk mengemukakan ide atau gagasan dengan kata-katanya sendiri. Soal ini sesuai untuk mengukur penguasaan konsep dan prinsip dari suatu materi.
Menurut Sugiyono (2011: 268), dalam penelitian kualitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang dicek adalah datanya. Untuk mengecek kevalidan data, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut (Sugiyono, 2011: 270).
a. Uji kredibilitas (validitas internal)
Uji kredibilitas dapat dilakukan dengan cara memperpanjang pengamatan, meningkatkan ketekunan dalam penelitian, triangulasi data, diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif, dan membercheck.
32 b. Uji transferabilitas (validitas eksternal)
Uji transferabilitas dapat dilakukan dengan cara menjamin hasil penelitian dapat digeneralisasikan terhadap masalah yang lain. c. Uji dependabilitas (reliabilitas)
Uji dependabilitas dapat dilakukan dengan cara mengaudit atau mengecek kembali pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui kontrol dari dosen pembimbing.
d. Uji konfirmabilitas (objektivitas)
Uji konfirmabilitas dapat dilakukan dengan cara mengaudit atau mengecek kembali data hasil penelitian dengan proses penelitian yang dilakukan melalui kontrol dari dosen pembimbing.
Selanjutnya, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif model Miles dan Huberman (Sugiyono, 2012: 334-343) dengan tahapan-tahapan sebagai berikut.
a. Reduksi data
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak sehingga perlu dilakukan analisis data melalui reduksi. Pada tahap ini, peneliti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan menentukan pola dari data yang diperoleh. Data yang telah direduksi ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai hal-hal yang menarik. Data ini dapat digunakan untuk menentukan fokus penelitian.
33 b. Penyajian data
Pada tahap ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk uraian (narasi) dan disusun dalam bentuk tabel. Data yang telah disajikan ini dapat memudahkan untuk memahami peristiwa yang terjadi. Data ini dapat digunakan untuk menelusuri letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran dan penyebab kesulitan ditunjau dari diri siswa. c. Penarikan kesimpulan
Pada tahap ini, peneliti membuat kesimpulan dari data yang diperoleh. Kesimpulan yang didukung dengan data yang valid merupakan kesimpulan yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Kesimpulan ini merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada atau belum tuntas dibahas. Temuan ini dapat berupa deskripsi/gambaran objek yang sebelumnya masih belum jelas, dapat berupa hubungan kausal/interaktif, dan dapat berupa hipotesis/teori.
B. Penelitian yang Relevan
Hasil-hasil penelitian yang relevan terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Murdanu (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Kesulitan Siswa-Siswa SLTP dalam Menyelesaikan Persoalan Geometri”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
34 kesulitan siswa-siswa SLTP dalam menyelesaikan persoalan geometri dan untuk mengetahui penyebab serta menunjukkan tindakan alternatif untuk mengatasi kesulitan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesulitan yang dialami siswa meliputi: kesulitan menginterpretaskan informasi dalam soal, kesulitan berbahasa, kesulitan pemahaman konsep dan prinsip dalam geometri, dan kesulitan teknis. Faktor penyebab kesulitan yang menonjol dari diri siswa, yaitu siswa tidak mengingat dan tidak memahami konsep dan prinsip geometri yang telah dipelajari. Tindakan alternatif yang dianjurkan untuk mengatasi kesulitan tersebut, yaitu pembenahan pembelajaran teknik penyelesaian soal geometri, pembenahan materi ajar, dan pemberian variasi persoalan geometri.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Fajar Hidayati (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Kesulitan Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam Mempelajari Aljabar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam menyelesaikan persoalan aljabar yang berkaitan dengan konsep dan prinsip, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam mempelajari aljabar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam menyelesaikan persoalan aljabar yang berkaitan dengan konsep dan prinsip adalah
35 siswa masih mengalami kesulitan dalam menggunakan gambar dan simbol untuk mempresentasikan konsep dan mengapreasiasikan peran prinsip–prinsip dalam matematika. Faktor–faktor yang menyebabkan kesulitan belajar siswa SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam mempelajari aljabar berasal dari faktor ekstern siswa, yaitu penggunaan alat peraga oleh guru.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Kukuh Susilonuringsih (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Faktor Intern dan Faktor Ekstern terhadap Minat Belajar Siswa Kelas I di SMK Yayasan Pendidikan Ekonomi (Yapek) Gombong Tahun Diklat 2005/2006”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar pengaruh faktor intern dan faktor ekstern terhadap minat belajar siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor intern memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap minat belajar siswa dibandingkan dengan faktor ekstern. Faktor intern termasuk kategori baik (69,6%) dengan besar pengaruh 32,6%, sedangkan faktor ekstern termasuk kategori cukup baik (62,2%) dengan besar pengaruh 23,42%.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kesulitan siswa dalam mempelajari matematika berkaitan erat dengan pemahaman konsep dan prinsip serta dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab kesulitan, baik faktor intern maupun ekstern. Oleh karena itu, penelitian ini lebih difokuskan pada kesulitan siswa dalam menyelesaikan
36 masalah aljabar yang berkaitan dengan konsep dan prinsip pemfaktoran bentuk aljabar serta penyebab kesulitan dari diri siswa.
C. Kerangka Pikir
Aljabar merupakan salah satu materi yang harus dipelajari siswa dalam pembelajaran matematika. Mempelajari aljabar berarti mempelajari objek matematika yang berupa fakta, konsep, keterampilan, dan prinsip. Konsep dan prinsip matematika disusun secara berjenjang dari yang sederhana ke yang rumit dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Apabila siswa tidak mampu memahami konsep dan prinsip dari suatu materi maka dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari materi matematika berikutnya. Materi aljabar di kelas VIII SMP mencakup memahami bentuk aljabar, relasi, fungsi, dan persamaan garis; serta memahami sistem persamaan linear dua variabel dan menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Pada materi memahami bentuk aljabar terdapat pokok bahasan pemfaktoran bentuk aljabar. Pemfaktoran bentuk aljabar termasuk materi dasar karena dipelajari setelah materi operasi hitung bentuk aljabar. Seharusnya, siswa dapat mempelajari materi pemfaktoran bentuk aljabar dengan baik karena ada kesamaan dengan materi operasi hitung bentuk aljabar. Akan tetapi, ditemukan beberapa siswa kelas VIII A di SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015/2016 yang mengalami kesulitan dalam mempelajari pemfaktoran bentuk aljabar. Hal ini didasarkan dari hasil
37 ulangan harian siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015/2016 pada materi pemfaktoran bentuk aljabar, terdapat 15 siswa yang belum mencapai KKM. Selain itu, dari hasil wawancara dengan guru matematika kelas VIII di SMP Negeri 2 Kalasan, guru menyatakan bahwa selalu ditemui siswa yang belum tuntas dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, selama ini belum ada upaya dari guru untuk menelusuri letak kesulitan dan penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran. Hal ini menunjukkan terjadi suatu kasus, yaitu terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran tetapi belum ditelusuri letak kesulitan dan penyebabnya.
Studi kasus merupakan salah satu strategi penelitian yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kesulitan siswa dan penyebab kesulitan dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran. Studi kasus menekankan pada penyelidikan suatu kasus secara memdalam dengan pemberian pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” sehingga memungkinkan peneliti untuk menelusuri letak kesulitan siswa dan penyebab kesulitan dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran dari jawaban yang diberikan siswa. Studi kasus juga memberikan sedikit peluang bagi peneliti untuk mengontrol peristiwa yang diteliti sehingga penelitian yang dilakukan valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
38 Berdasarkan diagnosis kesulitan penggunaan konsep dan prinsip yang dikemukakan Cooney, peneliti hanya menggunakan beberapa indikator diagnosis dalam penelitian ini. Diagnosis kesulitan penggunaan konsep yang digunakan, yaitu (1) menandai, mengungkapkan dengan kata-kata, dan mendefinisikan konsep; (5) mengidentifikasikan sifat-sifat dari konsep yang diberikan dan mengenali kondisi (syarat) yang ditentukan suatu konsep. Diagnosis kesulitan penggunaan prinsip yang digunakan, yaitu (1) mengenali penggunaan prinsip; (3) menggunakan prinsip secara benar dan tepat; (4) mengenali prinsip yang benar dan tidak benar. Hal ini disebabkan peneliti harus menyesuaikan dengan pembelajaran matematika yang dilakukan guru dan soal rutin yang ada di sekolah.
Diagnosis kesulitan penggunaan konsep yang tidak digunakan, yaitu (2) mengidentifikasikan contoh dan bukan contoh, karena guru memulai pembelajaran pemfaktoran bentuk aljabar dari bentuk umum tanpa dikenalkan contoh dan bukan contoh terlebih dahulu; (3) menggunakan model, gambar, dan simbol untuk merepresentasikan konsep, karena guru mengajarkan materi pemfaktoran bentuk aljabar hanya dengan lambang/simbol tanpa menggunakan model atau gambar; (4) menerjemahkan satu konsep ke konsep lain, karena guru belum mengaitkan materi pemfaktoran bentuk aljabar dengan masalah sehari-hari; (6) membandingkan dan menegaskan konsep-konsep, karena guru belum mengarahkan siswa untuk membandingkan operasi hitung bentuk aljabar dengan pemfaktoran bentuk aljabar. Diagnosis kesulitan
39 penggunaan prinsip yang tidak digunakan, yaitu (2) memberikan alasan pada langkah-langkah penggunaan prinsip, karena hal tersebut masih asing dan jarang dilakukan siswa saat menyelesaikan suatu masalah; (5) menggeneralisasikan prinsip baru dan memodifikasi suatu prinsip, karena hal tersebut kurang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa SMP; (6) mengapresiasikan peran prinsip-prinsip dalam matematika, karena guru belum mengaitkan peran pemfaktoran bentuk aljabar dengan kehidupan sehari-hari selama pembelajaran.
Berdasarkan alasan inilah, peneliti memandang perlu melakukan penelitian studi kasus untuk mengetahui kesulitan siswa dan penyebab kesulitan dari diri siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data kualitatif yang digunakan untuk menelusuri jenis dan penyebab kesulitan dari diri siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015/2016 dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan pemfaktoran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh guru untuk mengetahui letak kesulitan siswa dan penyebabnya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan atau pemecahannya.