• Tidak ada hasil yang ditemukan

Applications Entomopathogenic Nematodes & Metarhizium anisopliae fungi on Oryctes rhinoceros larvae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Applications Entomopathogenic Nematodes & Metarhizium anisopliae fungi on Oryctes rhinoceros larvae"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi Aplikasi Nematoda Entomopatogen dan Jamur Metarhizium anisopliae pada Larva

Oryctes rhinoceros

Applications Entomopathogenic Nematodes & Metarhizium anisopliae fungi on Oryctes rhinoceros larvae

Dyah Rini Indriyanti, Dwi Susanti dan Priyantini Widiyaningrum Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia Gedung D6 Lt.1 Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang Indonesia 50229

Email: dyahrini36@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi kombinasi dosis Nematoda entomopatogen (NEP) jamur & Metarhizium anisopliae ( MET) yang efektif membunuh larva O.rhinoceros. NEP yang digunakan merupakan pestisida hayati berbentuk cair yang dikemas dalam media spon berisi 10x 106 juvenil infektif (JI). Dosis pengenceran NEP yang digunakan adalah 1 kantong diencerkan dengan air 3,5 liter, 7 liter dan 14 liter. MET yang digunakan disimpan dalam media kaolin dengan kerapatan spora 1,81 x 108 kon/g dan viabilitas spora 94 %. Dosis MET: 1 g, 2 g dan 4 g/5 Kg media. Perlakuan menggunakan wadah pot diameter 30 cm dan tinggi 35 cm. Media yang digunakan adalah tanah kompos. Setiap pot diisi media sebanyak 5 kg. Larva O. rhinoceros yang digunakan adalah larva instar tiga. Rancangan acak kelompok 4 perlakuan dan 6 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 10 ekor larva. Kombinasi perlakuan: M1N14 (P1), M2N7 (P2), M4N3,5 (P3) dan kontrol (P4). Hasil pengamatan selama 6 minggu menunjukkan bahwa larva mati: pada dosis M2N7 (100%), M1N14 (91%), M4N3,5 ( 98%) dan P4 (13%). Dosis efektif mengendalikan larva O. rhinoceros adalah pada dosis kombinasi M2N7.

Kata kunci : Nematoda Entomopatogen; Metarhizium anisopliae; larva O. rhinoceros.

Abstract

This study aims to determine the dose of the combination of Entomopathogenic Nematodes (NEP) and Metharizium anisopliae (MET) effectively to kills O.rhinoceros larvae. NEP was a biological pesticide, it was a packaged in liquid media, containing 10x 106 infective juveniles (JI). MET used has been preserved in the media kaolin with spore density of 1,81 x 108 kon/g and the viability of the spores was 94%. MET Doses: 1 g, 2 g and 4g/5 Kg media. NEP dilution dosage were: 1 bag of water diluted with 3.5 liters, 7 liters and 14 liters. The treatment using a container pot diameter 30 cm and 35 cm high. The medium used is compost soil. Each pot is filled media as much as 5 kg. O. rhinoceros larvae used were third instar larvae. The study randomized complete block design with 4 treatments and 6 replications, each replication consisted of 10 larvae. The treatment combination consists of : M1N14 (P1), M2N7 (P2), M4N3.5 (P3) and control (P4). Observations for 6 weeks showed that the larvae die: at doses M2N7 (100%), M1N14 (91%), M4N3,5 ( 98%) and P4 (13%). The effective dose to control the O. rhinoceros larvae was on the dosage combination M2N7.

(2)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi PENDAHULUAN

Desa Jerukwangi terletak di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Masyarakat di desa Jeruk Wangi sebagian besar memiliki tanaman kelapa di pekarangan rumah maupun di kebun tersendiri. Beberapa waktu terakhir ini, dilaporkan adanya serangan hama kumbang kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabidae) atau Wangwung menyerang tanaman kelapa sehingga menyebabkan menurunnya hasil panen kelapa secara drastis. Imago menggerek pucuk tanaman kelapa sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan apabila serangannya berat dapat mematikan tanaman. Menurut Jackson & Klein, (2006), pada areal peremajaan tanaman kelapa, serangan hama ini dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa dan tanaman yang mati dapat mencapai 52%.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, penggunaan pestisida sintetik mulai diminimalkan dan para peneliti berusaha menggunakan agen hayati sebagai pengendali hama pada tanaman. Salah satu cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati adalah Metarhizium anisopliae. Berbagai informasi tentang penggunaan M. anisopliae untuk pengendalian hama telah banyak dilaporkan. Strack (2003) melaporkan bahwa M. anisopliae juga dapat menginfeksi beberapa jenis serangga hama lain dari ordo Coleoptera, Isoptera, Homoptera dan Hemiptera. Haryuni (2014) menggunakan M. anisopliae untuk mengurangi jumlah uret tebu di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Marheni et al. (2011), mengatakan dengan dosis 20 g/ 715,33cm3M. anisopliae

dalam media jagung mampu mematikan larva O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit dalam waktu 21 hari setelah perlakuan dalam skala laboratorium.

Upaya pengendalian hayati lainnya adalah memanfaatkan nematoda entomopatogen (NEP) yang merupakan nematode parasit serangga yang tinggal di dalam tanah. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan NEP efektif untuk mengendalikan serangga hama yang selama atau sebagian hidupnya di dalam tanah, misalnya Spodoptera litura F (Suyanto, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Wiratno (2012) terhadap Heterorhabditis sp. menunjukkan efektivitas NEP dalam mengendalikan hama pemakan daun kelapa B. longissima khususnya pada stadia larva dan imago. Kepadatan optimal NEP untuk mengendalikan B. longissima adalah 3.500 JI/ ml air. Khairunnisa et al., (2014) membuktikan bahwa dengan dosis NEP 250JI/ml mampu mematikan larva O. rhinoceros L. dalam waktu 24 jam setelah aplikasi yang di lakukan dalam skala laboratorium.

Hasil penelitian yang mengungkap pemanfaatan M. anisopliae untuk mengendalikan serangan O. rhinoceros pada tanaman kelapa telah banyak dilakukan, namun masih belum

(3)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

banyak yang mencoba untuk menggabungkan antara M. anisopliae dan NEP untuk mengendalikan serangan hama tersebut. Ansari et al., (2008) melakukan penelitian gabungan menggunakan NEP Heterorhabditis bacteriophora Poinar (Heterorhabditidae), Steinernema feltiae Bovien, dan Steinernema kraussei Steiner (Steinernematidae) dan M. anisopliae pada pengendalian Otiorhynchus sulcatus Fabricius (Coleoptera: Curculionidae). Namun belum dilakukan untuk O. rhinoceros. Oleh sebab itu penelitian bertujuan untuk menganalisi mortalitas larva O. rhinoceros akibat aplikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp dan Jamur M. anisopliae pada skala semi lapangan.

METODE

Penelitian dilakukan di area kebun kelapa salah satu warga penduduk desa

Jerukwangi, Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Dilaksanakan pada Maret-April 2015. Pemeriksaan laboratorium untuk memastikan larva O. rhinoceros mati akibat terinfeksi NEP dan MET dilaksanakan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang. Metarhizium anisopliae (MET) diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Perkebunan di Salatiga yang telah diawetkan dalam media kaolin dengan kerapatan spora 1,81 x 108 konidia/g dan viabilitas spora 94%. Pemberian MET dilakukan dengan mencampurkan kedalam media tanah tempat O.rhinoceros dipelihara. Dosis MET: 1 g, 2 g dan 4 g/5 Kg media.

Nematoda Entomopatogen (NEP) diperoleh Jember dalam bentuk Biopestisida spesies Heterorhabditis sp, dikemas dalam kantong berisi spon berisi cairan mengandung NEP dengan kepadatan 10x106 JI(Juvenil infektif). Dosis pengenceran yang digunakan 1 kantong diencerkan 14 liter air, 7 liter dan 3,5 liter. Setelah dincerkan, larutan NEP yang digunakan hanya 1 liter/ 5 Kg media. Larutan NEP kemudian di siramkan ke dalam media yang telah diisi dengan larva.

Larva instar tiga yang digunakan sebanyak 240 ekor diperoleh dari desa Jerukwangi, dengan ukuran panjang dari ujung caput sampai ujung abdomen 7- 10 cm, dengan berat 9- 11 gram per ekor. Dua puluh empat pot yang berukuran diameter 30 cm, tinggi 35 cm digunakan untuk tempat media pemeliharaan larva. Bagian bawah pot dilubangi kecil- kecil di bagian bawah untuk tempat keluarnya air. Setiap unit percobaan (pot) di isi media sebanyak 5 kg yang terdiri dari campuran tanah, serbuk gergaji dari pohon kelapa, dan kompos dengan perbandingan 2:1:2. Tiap pot diberi larva sebanyak 10 ekor.

(4)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

Mengacu pada petunjuk penggunaan MET didalam kemasan komersial dari BPT- BUN Salatiga yang mencatumkan bahwa penggunaan MET efektif pada dosis 2kg/ha yang kemudian di konfersikan menjadi 2g/5kg tanah. Penggunaan NEP mengacu pada penelitian Sihaloho (2016) yang mengatakan bahwa dosis efektif untuk mematikan larva O. rhinoceros adalah pada pengenceran 7 liter/bungkus. Dosis rekomendasi MET dan NEP kemudian di tambah dengan variasi dosis di bawah dosis rekomendasi dan diatas dosis rekomendasi seperti dijelaskan sebagai berikut :

PI = Perlakuan kombinasi MET& NEP dengan dosis 1 g MET dan 1 liter NEP (pengenceran 14 liter untuk 1 kemasan).

P2 = Perlakuan kombinasi MET& NEP dengan dosis 2 g MET dan 1 liter NEP (pengenceran 7 liter untuk 1 kemasan)

P3 = Perlakuan kombinasi MET& NEP dengan dosis 4 g MET dan 1 liter NEP (pengenceran 3,5 liter untuk 1 kemasan).

P4 = Kontrol (tanpa MET dan NEP)

Perlakuan dilakukan dengan mencampur media dengan MET, diaduk hingga rata, lalu diberi NEP dan larva masing masing 10 ekor larva instar tiga tiap pot. Masing- masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Pot ditutup dengan paranetting yang berlubang agar tidak diganggu hewan liar. Pot diletakkan di kebun secara terbuka dibawah naungan tanaman kelapa.

Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali, dengan cara membongkar larva didalam pot lalu dihitung larva yang terinfeksi dan mati. Setelah selesai dikembalikan lagi seperti semula. Pengamatan dilakukan sampai seluruh larva mati. Larva yang ditemukan sudah mati kemudian dilakukan uji lanjut/ pengamatan mikroskopis di Laboratorium Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang untuk memastikan bahwa larva yang mati benar-benar disebabkan oleh infeksi dari MET & NEP. Data mortalitas larva dianalisis secara deskrptif dan statistik dengan ANOVA, uji lanjut dilakukan analisis pos hoc dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHSAN PENDAHULUAN

Desa Jerukwangi terletak di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Masyarakat di desa Jeruk Wangi sebagian besar memiliki tanaman kelapa di pekarangan rumah maupun

(5)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

di kebun tersendiri. Beberapa waktu terakhir ini, dilaporkan adanya serangan hama kumbang kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabidae) atau Wangwung menyerang tanaman kelapa sehingga menyebabkan menurunnya hasil panen kelapa secara drastis. Imago menggerek pucuk tanaman kelapa sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan apabila serangannya berat dapat mematikan tanaman. Menurut Jackson & Klein, (2006), pada areal peremajaan tanaman kelapa, serangan hama ini dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa dan tanaman yang mati dapat mencapai 52%.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, penggunaan pestisida sintetik mulai diminimalkan dan para peneliti berusaha menggunakan agen hayati sebagai pengendali hama pada tanaman (Saenong & Alfons, 2009). Salah satu cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati adalah Metarhizium anisopliae (MET). Berbagai informasi tentang penggunaan M. anisopliae untuk pengendalian hama telah banyak dilaporkan. Strack (2003) melaporkan bahwa M. anisopliae juga dapat menginfeksi beberapa jenis serangga hama lain dari ordo Coleoptera, Isoptera, Homoptera dan Hemiptera. Haryuni (2014) menggunakan M. anisopliae untuk mengurangi jumlah uret tebu di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Marheni et al. (2011), mengatakan dengan dosis 20 g/ 715,33cm3M. anisopliae dalam media jagung mampu mematikan larva O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit dalam waktu 21 hari setelah perlakuan dalam skala laboratorium.

Upaya pengendalian hayati lainnya adalah memanfaatkan nematoda entomopatogen (NEP) yang merupakan nematode parasit serangga yang tinggal di dalam tanah. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan NEP efektif untuk mengendalikan serangga hama yang selama atau sebagian hidupnya di dalam tanah, misalnya Spodoptera litura F (Suyanto, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Wiratno & Rohimatun (2012) terhadap Heterorhabditis sp. menunjukkan efektivitas NEP dalam mengendalikan hama pemakan daun kelapa B. longissima khususnya pada stadia larva dan imago. Kepadatan optimal NEP untuk mengendalikan B. longissima adalah 3.500 JI/ ml air. Khairunnisa et al., (2014) membuktikan bahwa dengan dosis NEP 250JI/ml mampu mematikan larva O. rhinoceros L. dalam waktu 24 jam setelah aplikasi yang di lakukan dalam skala laboratorium.

Hasil penelitian yang mengungkap pemanfaatan M. anisopliae untuk mengendalikan serangan O. rhinoceros pada tanaman kelapa telah banyak dilakukan, namun masih belum banyak yang mencoba untuk menggabungkan antara M. anisopliae dan NEP untuk

(6)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

mengendalikan serangan hama tersebut. Ansari et al., (2008) melakukan penelitian gabungan menggunakan NEP Heterorhabditis bacteriophora Poinar (Heterorhabditidae), Steinernema feltiae Bovien, dan Steinernema kraussei Steiner (Steinernematidae) dan M. anisopliae pada pengendalian Otiorhynchus sulcatus Fabricius (Coleoptera: Curculionidae). Namun belum dilakukan untuk O. rhinoceros. Oleh sebab itu penelitian bertujuan untuk menganalisi mortalitas larva O. rhinoceros akibat aplikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp dan Jamur M. anisopliae pada skala semi lapangan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di area kebun kelapa salah satu warga penduduk desa

Jerukwangi, Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Dilaksanakan pada Maret-April 2015. Pemeriksaan laboratorium untuk memastikan larva O. rhinoceros mati akibat terinfeksi NEP dan MET dilaksanakan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang. Metarhizium anisopliae (MET) diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Perkebunan di Salatiga yang telah diawetkan dalam media kaolin dengan kerapatan spora 1,81 x 108 konidia/g dan viabilitas spora 94%. Pemberian MET dilakukan dengan mencampurkan kedalam media tanah tempat O.rhinoceros dipelihara. Dosis MET: 1 g, 2 g dan 4 g/5 Kg media.

Nematoda Entomopatogen (NEP) diperoleh Jember dalam bentuk Biopestisida spesies Heterorhabditis sp, dikemas dalam kantong berisi spon berisi cairan mengandung NEP dengan kepadatan 10x106 JI(Juvenil infektif). Dosis pengenceran yang digunakan 1 kantong diencerkan 14 liter air, 7 liter dan 3,5 liter. Setelah dincerkan, larutan NEP yang diambil hanya 1 liter/ 5 Kg media. Larutan NEP kemudian di siramkan ke dalam media yang telah diisi dengan larva.

Larva instar tiga yang digunakan sebanyak 240 ekor diperoleh dari desa Jerukwangi, dengan ukuran panjang dari ujung caput sampai ujung abdomen 7- 10 cm, dengan berat 9- 11 gram per ekor. Dua puluh empat pot yang berukuran diameter 30 cm, tinggi 35 cm digunakan untuk tempat media pemeliharaan larva. Bagian bawah pot dilubangi kecil- kecil di bagian bawah untuk tempat keluarnya air. Setiap unit percobaan (pot) di isi media sebanyak 5 kg yang terdiri dari campuran tanah, serbuk gergaji dari pohon kelapa, dan kompos dengan perbandingan 2:1:2. Tiap pot diberi larva sebanyak 10 ekor.

Mengacu pada petunjuk penggunaan MET didalam kemasan komersial dari BPT- BUN Salatiga yang mencatumkan bahwa penggunaan MET efektif pada dosis 2kg/ha yang kemudian di konfersikan menjadi 2g/5kg tanah. Penggunaan NEP mengacu pada

(7)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

penelitian Sihaloho (2016) yang mengatakan bahwa dosis efektif untuk mematikan larva O. rhinoceros adalah pada pengenceran 7 liter/bungkus. Dosis rekomendasi MET dan NEP kemudian di tambah dengan variasi dosis di bawah dosis rekomendasi dan diatas dosis rekomendasi seperti dijelaskan sebagai berikut :

PI = Perlakuan kombinasi MET& NEP dengan dosis 1 g MET dan 1 liter NEP (pengenceran 14 liter untuk 1 kemasan).

P2 = Perlakuan kombinasi MET& NEP dengan dosis 2 g MET dan 1 liter NEP (pengenceran 7 liter untuk 1 kemasan)

P3 = Perlakuan kombinasi MET& NEP dengan dosis 4 g MET dan 1 liter NEP (pengenceran 3,5 liter untuk 1 kemasan).

P4 = Kontrol (tanpa MET dan NEP)

Masing- masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali, setiap ulangan digunakan 10 larva instar 3

Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali, dengan cara membongkar larva didalam pot lalu diletakkan di dalam tampah plastik kemudian di lihat ciri- ciri atau gejala larva yang terinfeksi MET & NEP, setelah selesai dikembalikan lagi seperti semula. Pengamatan dilakukan sampai seluruh larva mati. Larva yang ditemukan sudah mati kemudian dilakukan uji lanjut/ pengamatan mikroskopis di Laboratorium Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang untuk memastikan bahwa larva yang mati benar-benar disebabkan oleh infeksi dari MET & NEP. Data mortalitas larva dianalisis secara deskrptif dan statistik dengan ANOVA, uji lanjut dilakukan analisis pos hoc dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas Larva O. rhinoceros

Hasil penelitian uji keefektifan dari kombinasi MET dan NEP terhadap mortalitas larva O. rhinoceros di Desa Jerukwangi disajikan pada Gambar 1.

(8)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

Gambar 1. Persentase Mortalitas Larva Orychtes rhinoceros akibat perlakuan MET dan NEP, selama enam minggu.

Persentase mortalitas larva O. rhinoceros akibat perlakuan kombinasi NEP dan MET (Gambar 1) mencapai 100% pada minggu ke- 5 dengan dosis perlakuan MET 2 g dan NEP dalam pengenceran 7 liter/ bungkus. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan dilakukan uji ANOVA pada minggu ke tiga, dimana terjadi fase peningkatan mortalitas. Hasil analisis ANOVA pada minggu ke-3 menunjukkan bahwa data mortalitas larva O. rhinoceros berdistribusi normal (p>0,05) dan memiliki varian data yang homogen (p>0,05). Nilai signifikasinya sebesar 0,00 atau (p<0,05), artinya bahwa pemberian kombinasi MET & NEP berpengaruh terhadap mortaliltas larva O. Rhinoceros. Hasil uji LSD pada taraf 5% tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Data Mortalitas Larva O. Rhinoceros akibat Perlakuan NEP dan MET pada Minggu Ketiga.

Perlakuan Mortalitas (Rerata±SD)

K 0,5 ± 0,83a

M1N14 3,0 ± 2,36b

M2N7 4,5 ± 1,22bc

M4N3,5 6,0 ± 2,0c

Keterangan: angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak perbedaan nyata pada taraf ketelitian 5%.

Pada Tabel 1 terlihat ada perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol (tanpa perlakuan) dengan ketiga varian dosis kombinasi MET&NEP dapat dilihat pada dosis

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 M or talitas L ar va (% ) K M1N14 M2N7 M4N3,5

(9)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

M1N14 tidak berbeda nyata dengan dosis M2N7 tetapi berbeda nyata dengan dosis M4N3,5. Dilihat dari analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis yang efektif mengendalikan larva O. rhinoceros adalah pada dosis M2N7. Dosis M2N7 berbeda nyata dengan kontrol (tanpa perlakuan) dan dosis M1N14 tetapi tidak berbeda nyata dengan M4N3,5 sehingga dilihat dari jumlah penggunaan, dosis yang efektif adalah dosis kombinasi MET 2 g dan NEP pengenceran 7 liter.

Penelitian ini berlangsung dalam kurun waktu yang relatif singkat (5 minggu) dengan keadaan lapang relatif sering turun hujan di waktu malam. Penelitian dengan skala lapang sangat dipengaruhi oleh faktor abiotic terutama cuaca. Pada saat penelitian di Desa Jerukwangi, sering turun hujan di waktu malam dengan intensitas hujan lebat dan berlangsung dalam beberapa hari dalam 1 minggu. Kisaran suhu selama penelitian yaitu 23-31 0C dan kelembaban 76-95%.

Gejala serangan larva oleh MET ditandai dengan adanya miselium yang berwarna putih yang kemudian setelah beberapa lama akan berubah menjadi berwarna hijau. Larva yang terserang MET juga akan mengalami proses mumifikasi atau pengerasan bagian tubuh larva. Hal ini disebabkan karena jaringan dan cairan tubuh larva yang terserang jamur entomopatogen biasanya akan habis diserap oleh jamur. Hal ini sama dengan yang dinyatakan Prayogo (2005). M. anisopliae menghasilkan metabolik sekunder yang disebut destruxine yang mematikan larva jika masuk melalui mulut/saluran pencernaan (Tanada & Kaya, 1993).

Jika larva yang terserang MET akan mati kaku atau mengalami mumifikasi, maka berbeda kondisinya dengan larva yang mati akibat infeksi NEP. Larva akan mati lemas karena larva mati akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri simbion yang terdapat dalam tubuh NEP. NEP Hetrorhabditis bersimbiosis dengan bakteri Photorhabdus sedangkan NEP Steinernema akan bersimbiosis dengan bakteri Xenorhabdus bakteri simbion tersebut terdapat di dalam saluran pencernaan NEP (Intestine) (Boemare, 2002). Larva yang terinfeksi NEP, aktivitas dan makannya akan berkurang dan segera mati dalam waktu singkat, akibat toksin interseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri simbion dalam waktu 24-28 jam (Wiratno & Rohimatun, 2012). Pada penelitian ini gejala ini tidak tampak karena prosesnya di dalam tanah. Menurut Sunardi et al., (2013), larva yang terserang NEP berwarna merah atau orange dikarenakan pigmen yang dihasilkan oleh bakteri dan serangga inang yang mati (cadaver) dapat mependarkan cahaya (luminesce) pada waktu yang pendek. Gejana ini juga hanya terlihat jika larva ada di permukaan. Gejala

(10)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

kematian larva O. rhinoceros karena NEP terlihat warna coklat tua dan elastis tidak kaku. Hal ini karena larva bercampur dengan tanah yang terkena hujan.

Sejauh ini telah banyak dilaporkan hasil penelitian menggunakan NEP (Uhan, 2005; Afifah et al., 2013) maupun MET (Rosmayuningsih et al., 2014), namun belum banyak yang menggabungkan keduanya dan melakukan penelitian dalam skala lapang. Penggabungan NEP& MET dalam penelitian ini diharapkan dapat mempercepat proses infeksi pada larva sehingga akan mempercepat proses pengendalian hama O. rhinoceros. Proses infeksi yang cepat sangat mempengaruhi keberhasilan dari pengendalian hama ini, karena proses penelitian ini dilakukan pada larva instar ketiga. Penelitian ini dilakukan selama 6 minggu (42 hari) dan sudah mendapatkan hasil kematian larva 100 persen sehingga kemungkinan larva berubah menjadi pupa sangat sedikit karena larva instar tiga berlangsung dalam waktu 82- 207 hari (Susanto et al., 2011).

SIMPULAN

Perlakuan kombinasi NEP dan MET yang efektif mengendalikan larva O. rhinoceros L. adalah pada kombinasi dosis 2 g MET/5 Kg media dan NEP dalam pengenceran 7 liter.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, L, B.T. Rahardjo & H. Tarno. 2013. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen pada Lahan Tanaman Jagung, Kedelai, dan Kubis di Malang serta Virulensinya terhadap Spodoptera litura Fabricius. Jurnal HPT Universitas Brawijaya. Malang 1(2): 1-9.

Ansari, M.A, F.A. Shah& T. M. Butt. 2008. Combined use of entomopathogenic nematodes and Metarhizium anisopliae as a new approach for black vine weevil, Otiorhynchus sulcatus, control. Journal compilatiom The Netherlands Entomological Society. 129: 340- 347.

Boemare, N. 2002. Biology, Taxonomy, and Systematics of Photorabdus and Xenorhabdus, in Gaugler (Ed.), Entomopathogenic Nematology, CABI Publishing, New Jerse : 57-78

Haryuni. 2014. Efektifitas Metarhizium dan Pupuk Organik Terhadap Perkembangan Hama Uret (Lepidiota Stigma) Pada Tanaman Tebu.

Jackson, T. A & M. G. Klein. 2006. Scarabs as Pests : Continuing Problem. Coleopteris Society Monograph. 5 : 102 – 119.

Khairunnisa, S, M. I. Pinem & F. Zahara. 2014. Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.)

(11)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

(Coleoptera: Scarabaidae) di Laboratorium. Jurnal Online Agroekoteknologi 2(2): 607- 620

Marheni, Hasanuddin, Pinde & W. Suziani. 2011. Uji Patogenesis Jamur Metarhizium anisopliae dan Jamur Cordyceps militaris Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium. Jurnal Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU 5(1): 32-41.

Mulyono. 2007. Kajian Patogenisitas Cendawan Metarhizium anisopliae terhadap Hama O. Rhinoceros L. Tanaman Kelapa pada Berbagai Waktu Aplikasi. Tesis. Program Pasca sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Prayogo, Y. 2005. Potensi, kendala dan upaya mempertahankan keefektifan cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama tanaman pangan. Buletin Palawija. 10: 53-65

Rosmayuningsih, Ayu, B. T. Rahardjo& R. Rachmawati. 2014. Patogenitas Jamur Metarhizium Anisopliae terhadap Larva Kepinding Tanah (Stibaropus Molginus) (Hemiptera: Cydnidae) dari Beberapa Formulasi. Jurnal HPT Universitas Brawijaya. Malang 2(2): 28-37.

Saenong, M. S & Alfons, J.B. 2009. Pengendalian Hayati Hama Penggerek Batang Jagung Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae). Jurnal Budidaya Pertanian. 5(1): 1-10.

Sihaloho, Litayani D. 2016. Aplikasi Nematoda Entomopatogen pada Larva Oryctes rhinoceros L. Menggunakan Tiga Variasi Dosis yang Berbeda. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Strack, B.H. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopatogen Metarhizium anisopliae.

Sunardi, T, Nadrawati& S. Br Ginting. 2013. Eksplorasi Entomopatogen dan Patogenitasnya pada Aphis craccivora.

Susanto, Agus, Sudharto & A.E. Prasetyo. 2011. Informasi Organisme Pengganggu Tanaman Kumbang Tanduk Oryctes rhinoceros Linn. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 13(1):1-9.

Suyanto, A. 2003, Kajian kemempanan Steinernema carpocasae Poinar (Nematoda: Steinernematidae) Terhadap hama ulat grayak Spodoptera litura F. (Noctuidae: Lepidoptera) pada tanaman caisin di rumah kaca. Agrin, 7(1) :28-33.

Tanada & Kaya. 1993. Entomopatogens Nematodes for Insect Control in IPM System. New York: Academia Press.

Uhan. 2005. Bioefikasi Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Isolat Lembang terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F) Pada Tanaman Kubis di Rumahkaca. J. Hort. 15(2): 109-115.

(12)

Melalui Akselerasi Inovasi Berwawawasan Konservasi

Wiratno & Rohimatun. 2012. Patogenisitas Nematoda Heterorhabditis sp. terhadap Kumbang Daun Kelapa Brontispa Longissima Gestro. Jurnal Littri 18(4): 137– 142.

Gambar

Gambar 1. Persentase Mortalitas Larva  Orychtes rhinoceros akibat perlakuan MET dan  NEP, selama enam minggu

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa kes telah dilaporkan di mana remaja bermain secara kompulsif, mengasingkan diri daripada hubungan sosial dan memberi tumpuan hampir sepenuhnya kepada pencapaian

Memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak,

Penelitian ini dikembangkan dari penelitian Griner dan Gordon (1995) dengan tiga tujuan utama adalah untuk menemukenali: pengaruh aliran kas internal terhadap

Direktorat Jenderal memberitahukan keputusan penolakan permohonan kepada pemohon apabila desain industri tersebut masuk dalam kriteria “bertentangan dengan peraturan

» contoh isik atau gambar atau foto serta uraian dari Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya (untuk mempermudah proses pengumuman permohonan, sebaiknya bentuk gambar atau

• Limbah sludge primer berasal dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) industri kertas yang menggunakan bahan baku kertas bekas dan menggunakan proses deinking dalam

Abu terbang sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pada stabilisasi tanah dasar serta yang ramah terhadap

Walaupun Grain diciptakan untuk fokus kepada hardware namun grain tetap dapat berjalan baik di software pada umumnya, namun grain tidak dapat dibandingkan dengan