• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1.1 Umur Peralatan di Indonesia (WMC, 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 1.1 Umur Peralatan di Indonesia (WMC, 2014)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

1. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produk yang beredar dipasar semakin banyak, hal ini ditandai dengan semakin pendeknya siklus hidup produk dipasar. Markplus melakukan survey mengenai umur rata-rata pergantian beberapa kategori produk di lima kota besar di Indonesia pada tahun 2013 (WMC, 2014). Temuan survey Markplus menunjukan bahwa saat ini umur rata-rata masa produk untuk beberapa kategori hanya sekitar 3-6 tahun (Gambar 1.1). Umur tersebut jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan umur rata-rata masa produk menurut hasil penelitian Cooper dan Mayers (2000) tiga belas tahun lalu (Tabel 1.1). Hasil survey Markplus di Indonesia juga didukung oleh hasil penelitian Berger (Sabadka, 2013) yang menyatakan bahwa variasi produk pada lima belas tahun terakhir meningkat dua kali lipat lebih banyak dan siklus hidup produk menjadi lebih pendek sekitar 25%.

(2)

Tabel 1.1 Rata-Rata Umur Peralatan Rumah Tangga di Inggris (Cooper dan Mayers, 2000)

Kategori produk Umur peralatan yang dibuang

(tahun)

Electric cookers 12

Kulkas dan freezers 11

Televisi 10

Hi-fi dan stereo 9

Mesin cuci, mesin pencuci piring dan tumble

dryers 9

Vakum pembersih dan pembersih karpet 8

Peralatan video 7

Peralatan rumah dan kebun 7

Oven microwave 7

Komputer dan peralatannya 6

Radio dan personal radio, stereo dan CD 6

Telepon, fax dan answer machines 6

Ponsel dan pager 4

Pekerjaan kecil atau peralatan perawatan

pribadi 4

Mainan 4

Tidak semua produk yang diluncurkan ke pasar sukses, ada produk yang gagal di pasar. Menurut Booz dalam (Bjorklund dkk, 2007) pada tahun 1963 sampai dengan 1981, terdapat 35% dari produk yang diperkenalkan di pasar mengalami kegagalan. Dalam penelitian Cooper dkk (2004) juga menemukan bahwa rata-rata terdapat 40% produk gagal setelah diluncurkan dipasar dan sebesar 20,8% produk gagal merupakan produk yang gagal akibat proses komersial. Barczak dkk (2009) dalam penelitiannya juga mengkonfirmasi tingkat kegagalan tersebut. Hasil penelitian Barczak dkk (2009) menyatakan bahwa sekitar kesuksesan produk yang diluncurkan pada lima tahun terakhir hanya sekitar 58-59%.

Faktor harga merupakan salah satu penyebab kegagalan beberapa produk. Contohnya produk Cereal Mates milik perusahaan sereal terbesar Kellogg asal Amerika yang diluncurkan pada tahun 1999. Produk Cereal Mates diluncurkan dengan konsep ‘all-in-one breakfast product’ dengan tujuan untuk mempersempit

(3)

waktu sarapan. Salah satu faktor kegagalan produk ini menurut Haig (2003) adalah faktor harga produk yang dirasa terlalu mahal menurut konsumen. Kegagalan produk Cereal Mates bahkan menjadikan General Mills (perusahaan kompetitor Kellogg) mengambil alih posisi Kellogg menjadi produsen sereal nomer satu di Amerika. Faktor harga sebagai penyebab kegagalan produk juga terjadi pada beberapa produk yang bahkan berasal dari perusahaan ternama seperti: produk web

PC tahun 1999 milik perusahaan Dell serta produk kamera advantix milik

perusahaan Kodak yang diluncurkan pada tahun 1997.

Harga produk merupakan satu faktor penting dalam pertimbangan pembelian bagi konsumen. Menurut hasil survey Markplus tahun 2013 di lima kota besar di Indonesia (WMC, 2014), faktor harga merupakan faktor kedua yang jadi pertimbangan bagi konsumen dalam pembelian produk. Faktor harga juga menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi konsumen dalam pembelian produk mobile

phone (Uddin dkk, 2014). Faktor harga menjadi faktor kedua yang dipilih

konsumen dengan jumlah persentase sebesar 10.49%.

Penentuan harga produk bukan merupakan keputusan yang mudah bagi perusahaan. Harga yang terlalu rendah dapat menimbulkan sejumlah masalah bagi perusahaan. Kotler dan Keller (2012) menyatakan ada empat kemungkinan masalah yang dapat muncul, yaitu konsumen mengasumsikan produk memiliki harga yang rendah (low-quality trap), tidak menjamin terciptanya market loyality walaupun memiliki market share yang besar (fragile-market share trap), kalah bersaing dengan kompetitor yang memiliki cadangan kas perusahaan besar (shallow-pocket

trap) dan dapat mengarahkan perusahaan pada situasi perang harga yang dapat

menghancurkan ekonomi perusahaan (price-war trap). Namun, penetapan harga yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan sejumlah masalah bagi perusahaan. Menurut Anderson dkk (2010) penetapan harga yang terlalu tinggi dapat melemahkan profitabilitas supplier dan melemahkan hubungan perusahaan dengan konsumennya.

Penentuan harga akan berdampak pada jumlah permintaan produk (demand). Menurut hukum law of demand (Monroe, 2006) dijelaskan bahwa jumlah permintaan akan meningkat seiring dengan penurunan harga produk hal

(4)

tersebut bukan hanya karena pembeli meningkatkan jumlah konsumsinya namun juga karena adanya pembeli baru (new buyer) yang masuk dalam pasar produk. Sebaliknya, jumlah permintaan akan menurun jika harga produk naik yang dikarenakan sebagian pembeli akan keluar dari pasar produk dan pembeli yang tersisa akan mengurangi tingkat konsumsi produk dikarenakan harga yang semakin meningkat. Semakin tinggi harga maka semakin turun jumlah permintaan, begitu pula dengan sebaliknya, sehingga dikatakan peningkatan harga berbanding terbalik dengan jumlah permintaannya. Hubungan antara jumlah permintaan dan harga produk sesuai dengan hukum permintaan ditampilkan dalam Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Hubungan Jumlah Permintaan dan Harga Produk (Monroe, 2006)

Terdapat beberapa pendekatan penentuan harga yang biasa digunakan namun tidak ada strategi yang paling baik untuk digunakan. Ada tiga pendekatan penentuan harga menurut Hinterhuber (2008) yaitu: cost-based pricing,

value-based pricing dan Competitor value-based pricing. Cost-value-based pricing merupakan

strategi penentuan harga dengan menggunakan data dari cost accounting untuk menentukan harga. Keuntungan dari strategi cost-based pricing adalah data yang dibutuhkan sudah tersedia, sehingga mudah dalam menetapkan harga, namun kelemahan penggunaan pendekatan ini adalah belum mempertimbangkannya faktor kompetitor serta faktor kesediaan konsumen untuk membeli produk di dalam perhitungan. Pendekatan kedua yaitu pendekatan value-based pricing yaitu

(5)

pendekatan dengan menggunakan value produk sebagai pertimbangan utama dalam menentukan harga. Dalam pendekatan value-based perspektif konsumen sudah dipertimbangkan dalam penentuan harga, namun data yang digunakan dalam strategi value-based sulit didapatkan dan diinterpretasikan serta dapat menghasilkan harga yang sebih tinggi apabila pengambilan data customer value yang kurang tepat. Strategi yang ketiga adalah strategi competition-based pricing yaitu strategi penentuan harga dengan mempertimbangkan strategi harga kompetitor sebagai acuan utama. Keuntungan dari competitor-based sudah mempertimbangkan faktor kompetitor dalam menentukan harga produk namun pendekatan ini belum mempertimbangkan faktor value dari sisi konsumen produk. Sebanyak 56% dari 270 manajer menggunakan strategi cost-plus pricing dalam menentukan harga produk yang akan dijual (Noble dan Gurca, 1999). Cost-plus

pricing erat kaitannya dengan strategi markup yaitu strategi penambahan sejumlah markup harga terhadap biaya produksi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu

buah produk. Besarnya markup harga yang dapat dibebankan ke produk merupakan hal utama dalam strategi ini, namun sayangnya penentuan besarnya markup harga biasanya ditentukan berdasarkan intuisi maupun pengalaman dari para pengambil keputusan perusahaan.

Pentingnya mengetahui besar markup yang dapat diberikan kedalam sebuah produk didekati dengan menggunakan faktor tidak terukur (intangible) yang dimiliki sebuah produk. Menurut White (2006) faktor intangible merupakan aset tak berwujud yang dimiliki perusahaan, dapat berkontribusi pada produksi barang dan jasa, serta merupakan faktor yang dapat menghasilkan keuntungan. Faktor

intangible patut dipertimbangkan perusahaan selain faktor tangible dalam

menentukan harga produk (Fahin, 2010).

Penelitian mengenai penentuan harga dengan mempertimbangkan

intangible factors dalam penentuan harga produk mendorong beberapa penelitian

untuk menggunakan faktor intangible dalam penentuan harga produk Fahin (2010), Damareza (2011) dan Kurniawan (2013) telah memodelkan besarnya intangible

price secara matematis untuk produk fungsional dengan menggunakan beberapa

(6)

relationship. Model yang dihasilkan pada penelitian pendahulu menghasilkan

model dengan nilai R2 terbesar sebesar 77.63 % dan kemapuan prediksi sebesar 98.1% yaitu pada hasil penelitian penelitian Kurniawan (2013). Disisi lain, penentuan harga dengan menganalisis faktor intangible untuk kategori produk pasca-fungsional juga telah dilakukan oleh Lestariningsih (2013) dengan menggunakan objek produk lukisan yang menghasilkan model dengan nilai R2 sebesar 76% dan kemampuan prediksi sebesar 76.2%.

Penelitian mengenai penentuan harga produk yang dapat digunakan untuk kedua kategori produk (functional dan post-functional) telah dilakukan oleh Wulandari (2014). Berdasarkan penelitian tersebut penentuan harga produk dapat dilakukan dengan menggunakan karakteristik produk, yang terdiri dari karakteristik tingkat kegunaan, jenis produk, level intensitas kegunaan, art level serta faktor

brand dengan nilai R2 sebesar 66.6% dan kemampuan prediksi sebesar 56.6%. Model matematis penentuan harga produk masih memiliki koefisien determinasi (R2) yang masih belum maksimal. Model penentuan harga yang dapat digunakan untuk produk fungsional dan pasca-fungsional (model milik Wulandari (2014)) masih memiliki nilai koefisien lebih rendah jika dibandingkan dengan model penelitian pendahulu yaitu penelitian Kurniawan (2013) dan Lestariningsih (2013) yang menghasilkan model dengan nilai R2 diatas 70%. Selain itu, hasil penelitian Wulandari (2014) yang menggabungkan objek penelitian Kurniawan (2013) dan Lestariningsih (2013) masih memiliki kelemahan yaitu, produk yang dijadikan objek penelitian belum dipastikan memiliki harga yang tepat. Pada penelitian Wulandari (2014) semua produk yang dijadikan sampel penelitian diasumsikan memiliki harga yang tepat tanpa mempertimbangkan produk yang dijadikan sampel penelitian merupakan produk yang memiliki penjualan baik ataupun merupakan produk yang sukses dipasar. Kurangnya justifikasi akan harga tepat dalam penelitian Wulandari (2014) memberikan peluang untuk meningkatkan koefisien determinasi model yang dihasilkan. Untuk itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan model penentuan harga pada produk yang dapat digunakan untuk semua jenis produk.

(7)

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut perlu dikembangkan model penentuan harga produk yang dapat digunakan baik untuk produk fungsional dan pasca-fungsional dengan mempertimbangkan objek penelitian dengan justifikasi harga tepat dan tingkat keakuratan yang lebih baik dari model yang sudah ada.

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Produk yang digunakan dalam penelitian ini tidak termasuk produk

convenience yaitu produk yang dibeli sehari-hari dengan segera dengan

usaha yang minimum.

2. Jenis produk dan jasa yang digunakan sebagai objek dalam penelitian ini dianggap mampu mewakili seluruh produk dan jasa yang ada.

3. Nilai intangible pada harga jual produk dihitung dengan pendekatan

cost-based costing.

4. Produk fungsional yang digunakan merupakan produk-produk yang berasal dari D.I.Yogyakarta.

5. Faktor intangible yang dipertimbangkan merupakan faktor motivasi, faktor seni dan faktor brand.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pemilihan objek dengan kategori harga tepat.

2. Membangun model penentuan harga produk yang dapat digunakan untuk seluruh produk, baik produk fungsional dan pasca-fungsional dengan tingkat keakuratan lebih baik dari model yang sudah ada.

(8)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah didapatkannya model matematis untuk menentukan harga jual produk sehingga memudahkan para pelaku yang bergerak di bidang industi dalam pengambilan keputusan.

Gambar

Gambar 1.1 Umur Peralatan di Indonesia (WMC, 2014)
Gambar 1.2 Hubungan Jumlah Permintaan dan Harga Produk (Monroe, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Dari Tabel 8 atau Gambar 5 di atas terlihat bahwa bahan bakar solar berada pada posisi teratas, artinya energi yang terbentuk lebih besar jika dibandingkan dengan campuran

Pada hari ini, seramai 517 Person Under Surveillance (PUS) telah mendaftar masuk di hotel untuk menjalani kuarantin, menjadikan jumlah keseluruhan PUS di 38 buah hotel

Dari kurangnya pengetahuan publik akan perusahaan Belle and The Company serta sebagai salah satu alat penyatu antar distributor, serta untuk mengetahui perkembangan perusahaan,

Tetapi Matsue melihat dari tempat tersembunyi perahu yang dinaiki ibu guru dan teman- temannya pergi dari pelabuhan lalu menangis seorang diri... Anak-anak menjadi kian

Android SDK (Software Development Kit) menyediakan Tools dan API yang diperlukan untuk mengembangkan aplikasi pada platform Android dengan menggunakan bahasa pemrograman

JUDUL SKRIPSI/TESIS yang dipersiapkan dan disusun oleh Wahyu Jatmiko (Nama mahasiswa) 09/123456/PTK/123 (Nomor Mahasiswa) telah dipertahankan di depan Dewan Penguji. pada

Jadi berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan bahwa jenis- jenis hukuman dalam membentuk perilaku disiplin pada anak usia 5-6 tahun adalah bentuk hukuman yang

Hasil pengalaman kami dengan produk ini dan pengetahuan kami mengenai komposisinya kami menjangka tidak terdapat bahaya selagi produk ini digunakan dengan cara yang sesuai