• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Pertentangan partai-partai politik Islam dan Partai Komunis Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Pertentangan partai-partai politik Islam dan Partai Komunis Indonesia"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR

1.1 LATAR BELAKANG

Pertentangan partai-partai politik Islam dan Partai Komunis Indonesia adalah telah mewarnai sejarah politik Indonesia semenjak kemunculan keduanya sebagai organisasi modern pada tahun 1920an. Sebagai sistem kepercayaan, Islam memang telah hadir di wilayah Nusantara semenjak abad 131, Sementara sebagai organisasi modern yang berhaluan politik, Islam baru hadir di atas panggung pergerakan awal abad XX, sebuah periode ketika organisasi-organisasi dengan karakteristik serupa bermunculan.2 Pada periode yang sama, kemunculan kelompok komunis sebagai organisasi modern ditandai dengan pendirian ISDV (Indische Sociale-Democratisch Vereniging).3 Organisasi ini kemudian mencari induk semang organisasi yang lebih besar dan mapan dengan “menyusup” ke dalam tubuh Sarikat Islam yang berujung pada terbelahnya Sarikat Islam menjadi kelompok “merah” dan “putih”.4

1

M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 4.

2

Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 106.

3

Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2009) , hlm. 127.

4

(2)

Kemunculan kedua kelompok tersebut pada periode yang sama memperbesar interaksi antara keduanya baik secara politik maupun ideologis. Interaksi tersebut tidak hanya menghadirkan pertentangan melainkan keselarasan. Salah satu titik temu dari ide-ide Islam dan Komunisme, setidaknya menurut Haji Misbach, adalah aspek perjuangan menuju masyarakat yang egaliter dan proporsional. Haji Misbach, yang juga dikenal dengan sebutan “Haji Merah”, mengungkapkan bahwa “orang yang mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju dengan adanya komunisme, saya berani mengatakan bahwa ia bukan Islam sejati”.5

Gagasan Haji Misbach mengenai keselarasan Islam dan komunisme berbasis pada idenya tentang agama yang seharusnya tidak tercerabut dari akar sosialnya. Agama adalah suatu ajaran yang lebih dahulu mengajarkan mengenai cara menyelesaikan solusi masyarakat atau ummat. Sebagai ideologi terbuka, Islam, mampu menampung ideologi-ideologi lain yang sejalan (bahkan tidak sejalan namun mengalami serangkaian penyesuaian).6

Selain Haji Misbach, di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Sarikat Islam menjadi sebuah organisasi Islam yang banyak mengakomodasi ide-ide kiri dalam pergerakannya. Awalnya, SI di bawah Tjokroaminoto berjuang menciptakan kelas pedagang Muslim. Ide perjuangan untuk menciptakan kelas pedagang Muslim didasari oleh keadaan riil bahwa pada masyarakat Hindia

5

Nor Hiqmah, Pertarungan Islam & Komunisme melawan Kapitalisme Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach (Malang: Madani, 2011), hlm. 6.

6

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahudin Press, 1989), hlm. 39.

(3)

Belanda telah terdapat beberapa kelas seperti pedagang Tionghoa dan ambtenaar Belanda . Saat kelas pedagang Muslim telah mampu mengimbangi keberadaan kelas-kelas lain, SI justru memilih untuk mengakomodasi bergabungnya kelompok buruh yang memperjuangkan masyarakat tanpa kelas.7 Salah satu tokoh yang berada di balik ide merangkul kelompok buru adalah Haji Misbach.8

Dirangkulnya kelompok buruh dan diakomodasinya ide perjuangan masyarakat tanpa kelas memicu perselisihan di tubuh SI. Perselisihan ini mendorong Misbach untuk membagi kelompok Islam pada saat itu menjadi dua: Kelompok Islam yang berbasis pada rakyat dan mereka yang oleh kelompok pertama dituduh sebagai kapitalis.9 Pada periode tersebut, secara jelas, Haji Misbach mengalamatkan tuduhan “Islam kapitalis”nya terhadap organisasi Islam modern pada waktu itu: Muhammadiyah.10 Serangan-serangan Misbach kepada Muhammadiyah dan sebaliknya adalah sebuah bentuk pertentangan pertama antara organisasi Islam dengan organisasi komunis meskipun keduanya belum berbentuk partai politik.

Pandangan kelompok Islam terhadap Komunisme yang didasari oleh pertentangan pada tahun 1920an dipelihara oleh organisasi massa Islam seperti

7

Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 42.

8

Takashi Siraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti, 1997), hlm. 394. 9 ibid 10 ibid

(4)

NU dan Muhammadiyah maupun partai politik seperti Masyumi.11 Konstruksi ini mempengaruhi sikap-sikap kelompok Islam tersebut dalam menentukan pihak mana yang dapat mereka ajak kerjasama. Khusus untuk NU, salah satu gesekan terbesar yang terjadi antara kelompok mereka dengan komunis adalah apa yang terjadi di pedesaan-pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur menjelang tahun 1948. Basis kedua organisasi ini yang banyak berpusat di pedesaan membuat keduanya berpotensi besar dalam mengalami gesekan.

Tidak jauh berbeda dengan konflik antara kelompok komunis di bawah pengaruh Haji Misbach dengan Muhammadiyah pada tahun 1920an, konflik antara NU dengan PKI menjelang tahun 1948 bergerak pada isu “harta dan ummat”. Gesekan-gesekan tersebut paling intens terjadi di desa-desa di daerah Jawa Timur bagian selatan seperti Madiun, Pacitan, dan Trenggalek.12 Mayoritas konflik yang terjadi di pedesaan-pedesaan Jawa Timur pada tahun tersebut berhubungan dengan tanah.13

11 Bagi Muhammadiyah, pengalaman “berhadapan” dengan kelompok

Islam Merah pimpinan Haji Misbach pada tahun 1920an menjadi pijakan penting dalam menentukan sikap terhadap kelompok yang sama pada periode-periode setelahnya. Lihat dalam Mustafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam perspektif Historis dan Ideologis. (Yogyakarta: LPPI Muhammadiyah, 2002), hlm. 146. Sementara NU dan Masyumi kerap meminjam “cerita pertentangan” yang sama untuk membangun pandangan bahwa kelompok Islam dan Komunis telah bertentangan semenjak awal pendirian keduanya.

12

Abdul Mun‟im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965 (Jakarta: Langgar Swadaya, 2014), hlm. 41.

13

Lihat contoh Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada. “Aksi Kekerasan di Pedesaan Klaten dan Banyuwangi”. Dalam Robert Cribb (ed.), Pembantaian PKI di Jawa dan Bali

(5)

Tanah pada kasus ini merujuk pada simbol-simbol kekayaan yang dimiliki oleh pemuka agama (kyai) sekaligus sebagai isu yang digunakan oleh kelompok kiri dalam merebut hati pendukungnya. Konflik antara pemilik dan orang-orang yang tak memiliki tanah pecah menjadi huru hara dan teror yang sangat jelas targetnya: para kyai dan pengikutnya.14 Kekacauan yang paling sering digambarkan pada tahun-tahun menjelang 1948 ternyata lebih mirip dengan yang akan terjadi pada tahun 1960an dibandingkan apa yang telah terjadi pada tahun 1920an. Tindakan yang terjadi menjelang 1948 tersebut lebih didominasi oleh teror dan pembunuhan terbuka ketimbang serangan-serangan di forum seperti yang dimotori oleh Misbach pada tahun 1920an.15

Sejak 1948, konstruksi kelompok Islam tentang pesaingnya di sayap kiri telah meluas dari kritik-kritik terbuka di media massa dan rapat akbar menjadi konflik dengan potensi kekerasan fisik. Rivalitas antara NU dengan PKI pada tahun 1948 mengendap dalam memori aktivis NU yang masih hidup hingga tahun 1950an dan 1960an.16 Dalam banyak hal, Masyumi, Muhammadiyah, PSII dan NU memang memiliki perbedaan namun dalam hal berurusan dengan PKI, kelompok-kelompok Islam ini cenderung satu suara.

1965-1966 (Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat Indonesia, 2003), hlm. 206 dan Greg Fealy. op.cit, hlm. 308.

14

Abdul Mu‟nim DZ, op.cit, hlm. 42

15

Takashi Siraishi,op.cit, hlm. 381.

16

Abdul Mun‟im DZ, op.cit, hlm. 42.

(6)

Pada tahun 1950an, serangan partai politik Islam terhadap Partai Komunis Indonesia mengemuka pada saat penyelenggaraan pemilu tahun 1955. Hal yang berbeda pada periode ini dengan periode lain adalah status kelompok Islam yang telah terpecah menjadi partai-partai politik. Pemilu pertama yang dilaksanakan sebelum republik ini genap berusia 10 tahun tersebut mempertemukan kelompok-kelompok dengan ideologi yang berbeda. Jika pembagian kelompok-kelompok-kelompok-kelompok tersebut mengikuti pemetaan yang dilakukan oleh Ricklefs maka dapat dikatakan bahwa kelompok abangan terwakili oleh PNI dan PKI. Sementara itu, kelompok putihan yang terbelah menjadi kelompok tradisional dan modernis diwakili oleh NU, PSII, dan Masyumi.17 Persaingan ini mengalami perubahan setelah kedua partai yang dianggap mewakili abangan yaitu PNI dan PKI meraih suara yang signifikan.18 Kemenangan PNI dan PKI yang dianggap merepresentasikan kelompok abangan mendorong partai-partai Islam untuk berkolaborasi meskipun terdapat perbedaan yang mencolok pada sikap politik masing-masing partai.19

Periode 1960an, terutama tahun 1965, adalah “titik didih” konflik antara organisasi massa dan partai politik Islam dengan Komunis. Istilah “titik didih” digunakan karena intensitas gesekan antara massa kelompok Islam dengan

17

M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (Jakarta: Serambi, 2013), hlm. 162.

18

Menurut Remy Madinier dalam Partai Masyumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 199. PNI memperoleh 22,3 % suara dan PKI memperoleh 16,4 %

19

Andre Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (LKiS: Yogyakarta, 1999), hlm. 235.

(7)

Komunis, terutama pada lapisan akar rumput, berada pada titik puncak.20 Titik puncak ini ditandai oleh meluasnya konflik fisik antara simpatisan organisasi massa dan partai politik Islam dengan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Contoh konflik fisik sekitar tahun 1960an yang kerap dijadikan contoh kebiadaban PKI oleh organisasi massa dan partai politik Islam adalah: penyerbuan mental training GPII di Kanigoro, Kediri.21

Pada setiap momentum gesekan antara kelompok Islam yang telah berlangsung semenjak tahun 1920an, kelompok politik Islam kerap melancarkan serangan terhadap kelompok komunis dengan bingkai wacana keislaman. Wacana keislaman menjadi hal yang unik mengingat, di sisi yang lain, kampanye kelompok komunis (PKI) terhadap kelompok Islam telah banyak dinarasikan dalam historiografi yang disponsori oleh rezim Orde Baru dengan nada yang provokatif.22 Sementara serangan-serangan kelompok Islam terhadap kelompok komunis (terutama PKI) belum banyak diungkap.

20

M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, hlm. 190, Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang terlupakan, (KPG: Jakarta, 2000), hlm. 166.

21

ANRI, Inventaris Arsip Nahdlatul Ulama 1948-1979, Jakarta, 2014, No. Inventaris 3006. Surat Pengurus Besar PII kepada PBNU tertanggal 27 Januari 1965

22

Salah satu contoh serangan PKI terhadap NU yang sering didengungkan oleh Orde Baru adalah Ide-ide Aidit tentang “tujuh setan desa”, sebagai contoh, juga telah sering diartikulasikan kembali meskipun dengan nada dan konteks yang berbeda seperti saat Aidit menulisnya dalam buku Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa. Ide yang dirasa sangat menyerang banyak pemuka agama Islam (terutama yang berkedudukan di pedesaan) disebabkan oleh fakta bahwa mayoritas dari kelompok tersebut menguasai tanah-tanah.

(8)

Serangan kelompok Islam terhadap komunis kerap dihadirkan dalam bentuk yang paling ekstrem yaitu aksi kekerasan terutama yang terjadi setelah tahun 1965. Pandangan kelompok Islam terhadap Komunis diterjemahkan dari ajaran ilahiah yang kemudian dijadikan pedoman dalam memandang persoalan yang lebih praktis. Lebih dari sekadar pemikiran yang melegitimasikan aksi kekerasan, diskursus kelompok Islam terhadap Komunisme mempengaruhi lebih banyak aspek, seperti: sikap dan posisi politik kelompok Islam, dinamika internal, perkembangan media populer, hingga pewarisan memori. Proses interpretasi tuntunan teologis menjadi sikap dalam menghadapi kompetisi dan konflik politik akan menjadi aspek terpenting dalam skripsi ini.

1.2 PERMASALAHAN DAN RUANG LINGKUP

PENELITIAN

Pentingnya eksplanasi tentang produksi wacana keislaman dari kelompok politik (terutama partai politik Islam) di Indonesia pada saat mereka melancarkan serangan kepada kelompok Komunis mendorong penelitian ini untuk menjadikannya sebagai pokok permasalahan. Pokok permasalahan itu dirumuskan sebagai berikut: Mengapa partai politik Islam menggunakan wacana keislaman untuk menyerang Partai Komunis Indonesia khususnya pada tahun 1950an sampai akhir 1960an.

Rumusan masalah di atas dijabarkan di dalam beberapa pertanyaan penelitian:

(9)

1. Bagaimana partai politik Islam pada tahun 1950an sampai 1960an memahami dan menerjemahkan konflik serta rivalitas politik dengan Partai Komunis Indonesia ?

2. Bagaimana partai-partai politik Islam pada tahun 1950an sampai 1960an mereproduksi wacana keagamaan untuk membingkai isu konflik politik ? 3. Media apa yang digunakan oleh partai politik Islam pada tahun 1950an

sampai 1960an dalam menyebarluaskan wacana keagamaan tersebut kepada kalangan yang lebih luas ?

Batasan temporal awal dari penelitian ini adalah tahun 1950an. Tahun 1950an dipilih sebagai awal karena pada tahun tersebut kompetisi politik antara PKI dengan Kelompok Islam berada pada fase yang cukup penting mengingat semenjak awal tahun 1950an beberapa kelompok politik memperebutkan posisi dominan dalam memperluas pengaruhnya. Dipilihnya tahun 1950an juga memiliki pertimbangan pragmatis yaitu pada periode-periode puncak dari sebuah peristiwa, sumber yang membahas peristiwa tersebut akan lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun yang cenderung “tenang”. Tahun 1950an yang hanya berselang kurang dari satu dekade dari berakhirnya periode kolonial dan penjajahan Jepang mendorong penelitian ini untuk menelusuri akar historisnya hingga periode kolonial.

Sementara batasan akhir dari penelitian ini adalah tahun 1960an ketika Orde Baru telah berada pada posisi yang cukup mapan. Setelah berhasil mengeliminasi kelompok kiri dari panggung politik, Presiden Soeharto berusaha

(10)

membatasi gerak kelompok kanan (dalam hal ini Islam) yang juga potensial menjadi oposisi yang kuat dalam panggung politik.23 Peristiwa ini digunakan sebagai batasan akhir mengingat semenjak phobia atas kelompok “kiri” dan “kanan” telah menjiwai kebijakan pemerintahan Orde Baru, kelompok Islam tidak lagi melihat komunis sebagai ancaman utama melainkan rezim Orde Baru sebagai ancaman yang lebih wajib diwaspadai.

Batasan spasial dari penelitian ini adalah Pulau Jawa. Pulau Jawa dipilih karena alasan faktual bahwa Pulau Jawa adalah basis utama bagi sebagian besar kelompok Islam dan PKI. Di dalam penelitian ini, kelompok Islam yang akan dibahas ditekankan pada dua partai politik Islam yang besar yaitu Masyumi dan NU (baik sebagai organisasi massa maupun partai politik).

1.3 KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka konseptual di dalam penelitian ini adalah wacana keislaman yang muncul pada serangan politik. Konsep wacana keagamaan, terutama yang berkaitan dengan isu politik didefinisikan oleh Diane Singerman sebagai “salah satu bentuk dari manifestasi politik yang dimiliki oleh masyarakat”.24

Secara lebih jauh, Diane Singerman mendefinisikan religious discourse sebagai “tempat” di mana hubungan antar kelompok dinegosiasikan, hak dan ide dikontestasikan, dan

23

Andre Feillard. op.cit, hlm. 235. 24

Diane Singerman, Avenues of Participation: Family, Politics, and Networks in Urban Quarters of Cairo (Princeton University Press: Princeton, 1995), hlm. 4 seperti dikutip oleh Dana Hearn, “Fatwa and Religious Discourse as an Avenue of Participation”. The Arab Studies Journal, Vol. 6/7, No. 2/1 (Fall 1998/Spring 1999), pp. 84-9, hlm. 84.

(11)

identitas didefinisikan.25 Definisi ini dibuat berdasarkan kondisi di Arab Saudi di mana kekuasaan politik yang ekslusif membuat masyarakat menciptakan kesempatan alternatif yaitu wacana keagamaan.26

Dana Hearn, di tengah kutipan Diane Singerman menegaskan bahwa wacana keagamaan tidak selalu menjadi “alternatif” dari kekuasaan negara (state). Pada konteks negara-negara yang memiliki kekuasaan inklusif, peran wacana keagamaan justru menjadi tempat di mana hubungan masyarakat dan negara dapat terjadi meskipun masih merentang antara akomodasi hingga konfrontasi.27

Kepercayaan masyarakat terhadap wacana keagamaan sebagai sebuah wacana dalam memanifestasikan cita-cita politiknya, menurut E.M. Adams, terletak pada relasi antara ajaran keagamaan yang tidak pernah terpisah dari kebudayaan masyarakat yang menerimanya.28 Sinergitas antara ajaran agama dengan kebudayaan masyarakat menciptakan sebuah kemampuan bagi masyarakat untuk menginterpretasikan dan mendefinisikan mengenai hal-hal yang lebih praksis terutama berhubungan dengan kemanusiaan dan isu-isu yang berada di sekelilingnya.29

25

Dana Hearn, op.cit, hlm. 6 26 ibid. 27 ibid. 28

E.M. Adams, “The Accountability of Religious Discourse”. International Journal for Philosophy of Religion, Vol. 18, No. 1/2 (1985), pp. 3-17, hlm. 4.

29

E.M. Adams, op.cit

(12)

Khusus pada konteks wacana keagamaan Islam dalam politik, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa perangkat politik umat Islam yang pertama adalah perangkat doktrinal.30 Doktrin politik umat Islam memiliki empat sumber hukum utama: Al-Qur‟an, As Sunnah, Ijma, dan Qiyas.31 Pada dunia perpolitikan, sumber hukum yang lebih sering dirujuk hanyalah dua sumber utama: Al Qur‟an dan As Sunnah sebab Ijma dan Qiyas dipengaruhi oleh jiwa zaman (zeitgeist) dan terikat kepada kebudayaannya (Kulturgebundendeit).32

Gabungan dari keempat sumber hukum tersebut yang berusaha diterjemahkan, dan diaplikasikan oleh pemimpin agama Islam dalam menghadapi persoalan tertentu disebut sebagai Ijtihad.33 Ijtihad yang berfungsi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh umat secara lebih kontekstual dibandingkan semata-mata mengikuti satu dari beberapa mazhab membuat wacana keagamaan Islam tetap hidup meskipun periode kerasulan, sebagai periode utama “diturunkannya” ajaran keagamaan, telah berakhir.34

Akibatnya dalam konteks Islam, produksi wacana keagamaan terutama yang berkaitan dengan upaya menjawab persoalan yang aktual dapat disebut sebagai Ijtihad. Bagaimanapun, Ijtihad sebagai sarana pembentukan wacana keagamaan lebih

30

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung; Mizan, 1997), hlm. 212. 31 ibid. 32 ibid., hlm. 213. 33 ibid. 34 Kuntowijoyo, op.cit, hlm. 213

(13)

identik dengan kelompok modernis yang lebih terbuka dalam melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Islam yang dianggap tidak lagi relevan.35

Masih dalam konteks Islam, menurut Bernard Lewis, ketaatan umat terhadap penguasa dapat digolongkan sebagai ketaatan yang final.36 Ketaatan yang final ini berdasar pada ajaran Al Qur‟an Surat An Nisaa ayat 59 yang berbunyi, “Taatilah Allah, Taatilah Rasul-Nya, dan taatilah mereka yang berkuasa atasmu”.37

Ayat ini memberikan dua sisi berbeda kepada penguasa dan pengikut. Kepada penguasa, ayat ini memberikan legitimasi untuk menjadi otoriter sementara kepada pengikut / warga, ayat ini melegitimasi mereka untuk bersifat patuh atau dalam istilah Bernard Lewis disebut sebagai tunduk-pasif.38 Pada cakupan yang lebih luas, penguasa dalam teori Lewis tidak serta merta mengacu kepada pemerintah. Melainkan, bersama dengan definisi Diane Singerman, hal ini juga mengacu kepada kepatuhan terhadap kekuatan alternatif yaitu kelompok politik agama.

Sebagai kesimpulan, konsep wacana keagamaan yang digunakan di dalam skripsi ini didefinisikan sebagai interpretasi ajaran agama untuk menjawab persoalan aktual yang dipandang oleh umat berfungsi sebagai sarana alternatif

35

Greg Fealy, op.cit., hlm. 187.

36

Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 135. 37 ibid. 38 ibid.

(14)

dalam manifestasi politik yang secara hukum dipandang sebagai sesuatu yang wajib dipatuhi.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang pertama adalah menjelaskan penciptaan diskursus keislaman yang berkaitan dengan kompetisi politik. Tujuan penelitian yang kedua adalah mengidentifikasi bentuk hubungan antara agama dan negara pada sebuah peristiwa politik yang terjadi pada masa transisi. Tujuan penelitian yang ketiga dan sekaligus yang terakhir adalah memberikan sudut pandang baru pada historiografi Indonesia khususnya yang berkaitan dengan penulisan periode di seputar 1965.

Tujuan terakhir ditetapkan mengingat selama ini penulisan sejarah di sekitar tahun 1965 menitikberatkan pada usaha mencari pelaku sesungguhnya dari G30/S atau menjelaskan hingga membenarkan serangkaian aksi kekerasan yang terjadi sebelum, pada saat, dan setelah tahun 1965. Upaya menungkap pelaku di balik peristiwa G30/S tentu bukan kesalahan mengingat pertanyaan “siapa” adalah salah satu pertanyaan penting di dalam penulisan sejarah. Pertanyaan “siapa” hanyalah salah satu dari banyak pertanyaan lain perlu yang masih dijawab dari periode ini. Eksplanasi tentang kekerasan juga bukanlah sebuah hal yang keliru meskipun menganggap kekerasan sebagai suatu bagian yang normal dari sejarah adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh.39

39

Gyanendra Pandey seperti dikutip oleh Gerry Van Klinken. Perang Kota Kecil. (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 1

(15)

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Mengingat tahun 1965 adalah tahun yang kurang lebih masih menjadi misteri dalam sejarah Indonesia, literatur yang membahas tentang tahun ini sudah sangat banyak dan hampir telah mencakup berbagai sisi dan sudut pandang. Mayoritas literatur tentang tema ini berkutat pada apa yang terjadi pada peristiwa yang dipercaya sebagai kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965 dan apa yang dilakukan setelahnya baik oleh pemerintah maupun pihak yang dikalahkan yaitu PKI.

Secara lebih khusus di dalam tinjauan pustaka ini, literatur yang akan dibahas adalah literatur yang lebih banyak membahas peristiwa yang terjadi setelah 1 Oktober 1965 dan menekankan pada tindakan “pembersihan” yang dilakukan oleh pemerintah. Literatur yang cukup terkenal adalah “buku putih” yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI dengan judul Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, dan Buku Bahaya Laten Komunisme Indonesia : Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya Jilid IV A dan IV B yang diterbitkan oleh Mabes ABRI.

Kedua buku yang disusun oleh pemerintah ini menyajikan data yang cukup lengkap meskipun versi yang dirilis oleh pemerintah yang berkuasa sangat mono-interpretasi. Mono interpretasi yang hadir di dalam buku ini membuat pihak yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ini yaitu PKI sama sekali tidak memiliki halaman untuk menghadirkan versinya. Selain itu kedua buku ini didominasi oleh narasi sejarah militer tentang pelaksanaan operasi, persaingan,

(16)

dan peradilan militer terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965.

Berseberangan dengan sudut padang kedua buku tersebut, Buku Pretext to

mass murder: The September 30th Movement and Soeharto‟s Coup d‟Etat In

Indonesia karangan John Roosa, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 karangan Benedict Anderson dan Ruth Mc‟Vey dan Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981 karya Julie Southwood & Patrick Flannagan menampilkan sisi yang sama sekali berbeda. Menitikberatkan pada peristiwa yang terjadi setelah Oktober 1965, kedua buku pertama ini melihat Orde Baru sebagai pemeran sentral dalam peristiwa ini. Karya John Roosa sebagai sebuah karya terbaru misalkan, menampilkan bahwa G30/S adalah peristiwa yang digunakan oleh Suharto sebagai dalih untuk merongrong kekuasaan Soekarno. Pendapat Soekarno bahwa peristiwa ini “hanya riak kecil” sama sekali tidak diindahkan oleh Suharto yang menjadikan peristiwa ini sebagai sebuah bencana kemanusiaan.

Teror Orde Baru karangan Julie Southwood dan Patrick Flannagan memberikan tekanan yang berbeda dengan dua buku lainnya. Buku ini menjelaskan sejumlah penyelewengan di bidan hukum yang digunakan oleh Orde Baru dalam upayanya menghabisi lawan politiknya yaitu PKI. Selain itu, penyelewengan terjadi pada hal dibentuknya Kopkamtib sebagai unit di luar struktur militer yang bertindak sebagaimana Gestapo di rezim Nazi dan Kenpeitai

(17)

Keempat literatur di atas yang ditulis berdasarkan dua versi yang berbeda dianggap cukup untuk mewakili buku-buku utama mengenai peristiwa ini. Sesungguhnya masih banyak buku yang ditulis, baik oleh pelaku, korban, keluarga korban hingga peneliti asing mengenai peristiwa ini. Mengingat penelitian ini akan terfokus pada persinggungan kelompok agama dan negara dalam menghadapi konflik politik maka literatur berikutnya yang akan ditinjau adalah literatur yang memuat tentang hal tersebut.

Dari sisi Islam, literatur yang mengungkap mengenai peran mereka selama konflik politik tersebut juga tidak sedikit. Benturan NU dan PKI karya Abdul Mun‟im DZ, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan karya Hermawan Sulistyo, beberapa bagian di Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1957 karya Greg Fealy, NU vis-a-vis Negara karya Andre Feillard, Kelompok Paramiliter NU karya Hairus Salim HS, dan NU: Tradisi Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru karya Martin Van Bruinessen. Karya-karya tersebut telah mengungkap beberapa hal dari peran umat Islam (terutama NU sebagai pemeran utama) meskipun fokusnya terletak pada dua hal. Hal pertama adalah tindakan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok Islam sebagai panggilan ideologis mereka dan bagaimana relasi kekuasaan antara kelompok agama dan negara menyebabkan peristiwa tersebut terjadi.

Di dalam karya-karya tersebut propaganda yang membenarkan tindakan tersebut dihadirkan hanya sebagai prakata sebelum deskripsi mengenai pembunuhan massal. Karya-karya tersebut belum nampak merekam syiar agama yang membenarkan pembunuhan massal tersebut sebagai sebuah fenomena

(18)

tersendiri. Meskipun rata-rata karya yang ditulis memilih NU sebagai tema utamanya namun di dalam beberapa tulisan, teridentifikasi bahwa organisasi lain seperti Muhammadiyah dan organisasi yang terafiliasikan dengan Partai Katolik juga berdiri di sisi yang sama dengan NU dan tentara.

Kelompok agama Katolik dan Kristen yang juga diduga terlibat dalam penghancuran PKI terekam dalam Di-PKI-Kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur karya R.A.F. Paul Webb dan Steven Farram. Di dalam buku ini, Webb dan Farram merekam bagaimana pembantaian tertuduh PKI berlangsung di wilayah Timor yang mayoritas penduduknya memeluk Katolik. Selain itu bagaimana respon gereja di saat PKI melancarkan serangkaian propagandanya di daerah-daerah tertentu yang mayoritas merupakan daerah miskin. Menurut Webb dan Farram, Kepedulian gereja terhadap umat di Timor sempat dikalahkan oleh “kepedulian” PKI dan hal inilah yang membuat PKI memiliki banyak peminat di Timor.

Wilayah Nusa Tenggara dan Bali dalam kaitannya dengan persoalan pembantaian PKI juga diungkap oleh Stefan Eklof dalam “Pembunuhan-Pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya” dalam Orde Zonder Order : Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998 yang disunting oleh Frans Husken dan Huub de Jonge. dan Geoffrey Robinson yait Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik. Kedua buku yang mengungkap serangkaian pembersihan terhadap tertuduh PKI yang memang menjadikan Bali sebagai sebuah tempat eksekusi. Banyak pula korban pembunuhan yang dibawa dari Jawa namun diakhiri hidupnya di Bali. Sehubungan dengan dipilihnya Bali

(19)

sebagai latar mau tidak mau membuat tulisan itu bersinggungan dengan kelompok agama terbesar di Bali yaitu Hindu.

Di dalam tulisannya, Eklof menunjukkan bahwa persinggungan PKI dengan masyarakat beragama Hindu sangat variatif. Dalam sebuah keterangan yang ia kutip dari seorang Muslim Bali mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat Hindu di desa-desa Bali adalah komunis.40 Sementara pada keterangan lain Eklof mengungkapkan bahwa pembantaian terhadap tertuduh komunis sangat biasa terjadi di desa-desa Bali, ini terjadi disebabkan oleh tuntutan yang diciptakan oleh kepala desa yang juga mendapat tuntutan dari pihak lain.41

Literatur-literatur yang membahas secara umum mengenai peristiwa 1965 dan yang memberi penekanan pada kompetisi dan konflik antara kelompok Islam dan Komunis sudah banyak ditulis. Oleh karena itu sangat penting untuk mengemukakan orisinalitas dalam penelitian ini. Berbeda dengan sejumlah penelitian yang sudah ada, penelitian ini akan menekankan bagaimana peristiwa puncak konflik antara Islam dan Komunis pada 1965 terekam dalam wacana keagamaan (dalam hal ini Islam). Bahasa agama yang dipakai tentu tidak hanya akan mengacu pada realitas yang terjadi di sekelilingnya, lebih jauh, bahasa tersebut harus mengacu kepada hukum-hukum agama yang telah ada dan cenderung kompleks.

40

Stefan EklÖf. “Pembunuhan-Pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya” dalam Frans Hüsken & Huub de Jonge (eds.). “Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998. Yogyakarta: LKiS, 2003., hlm. 195.

41

(20)

1.6 METODE PENELITIAN DAN SUMBER

Dalam melakukan penelitian, metode adalah satu komponen yang sangat menentukan. Dalam definisi sederhana, metode adalah cara melakukan sesuatu / rencana yang tersusun dalam menyelesaikan sesuatu.42 Setiap ilmu memiliki metode dalam menjawab persoalan yang berkaitan dengan keilmuan tersebut. Hal ini juga disebabkan karena sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu jika memiliki metode tersendiri. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam “Pengantar Ilmu Sejarah”, penelitian sejarah terdiri atas setidaknya empat tahap. Tahap pertama dari penelitian sejarah adalah tahap pengumpulan sumber atau heuristik. Tahap kedua adalah verifikasi / kritik sumber. Tahap ketiga dari metode sejarah adalah interpretasi atau biasa dikenal dengan sebutan lain yaitu Auffassung. Sementara tahap keempat adalah tahap penulisan atau Darstellung.43

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah pemikiran yang menurut Kuntowijoyo tidak hanya dapat dihasilkan oleh pelaku individual seperti tokoh tetapi juga pelaku kolektif yang dalam penelitian ini adalah kelompok / organisasi politik Islam.44 Penelitian ini juga menjawab tiga “tugas” dari sejarah pemikiran yaitu: membicarakan pemikiran yang berpengaruh pada

42

http://www.merriam-webster.com/dictionary/methods diakses pada 2 Oktober 2014 pukul 09: 38.

43

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta; 2005, Bentang Pustaka)., hlm. 90.

44

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta; 2003, Tiara Wacana)., hlm. 190

(21)

peristiwa sejarah, konteks sejarah dari pertumbuhan dan perkembangan pemikiran tersebut, hingga hubungan antar lapisan masyarakat dalam menerima pemikiran tersebut sehingga sejarah pemikiran bukan hanya sejarah mengenai ide-ide yang dihasilkan oleh kelas elite / masyarakat kelas atas.45

Tahap penelitian yang pertama adalah pengumpulan sumber / heuristik. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai jenis sumber (kecuali sumber sejarah lisan yang tidak digunakan dalam penelitian ini) dan tempat. Mengingat penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan produksi wacana keislaman dalam serangan politik partai-partai politik Islam terhadap PKI maka sumber utama yang diakses adalah terbitan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama tersebut. Terbitan-terbitan tersebut antara lain adalah Aliran Islam, Hikmah, dan Daulah Islamyah yang berafiliasi dengan Masyumi, dan Duta Masjarakat milik Partai Nahdlatul Ulama seluruh terbitan berkala dan koran ini diakses di Perpustakaan Nasional RI Jakarta dan Perpustakaan Kota Yogyakarta Jogja Library Center Malioboro.

Khusus untuk mengungkap produksi wacana keislaman di kalangan organisasi dan Partai NU, digunakan arsip-arsip yang diproduksi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1948-1979 dengan fokus penggunaan mulai tahun 1952 sampai 1969 yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia dengan nomor khasanah Ra. 30 dan Ra. 30a. Beberapa arsip yang diproduksi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga diakses di Perpustakaan PBNU di Kantor PBNU Jakarta.

45

(22)

Sumber lainnya adalah sumber pustaka / buku yang relevan dengan tema penelitian. Jenis buku yang dipakai adalah buku yang menjelaskan sudut pandang kelompok-kelompok Islam tertentu dalam menghadapi kelompok komunis. Buku yang menjadi prioritas adalah buku yang ditulis sezaman dengan batasan temporal penelitian ini yaitu tahun 1950an sampai 1970an atau buku yang ditulis oleh tokoh kelompok Islam yang aktif pada tahun tersebut.

Buku-buku tersebut diakses di sejumlah perpustakaan, antara lain: Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Freedom Institute Jakarta, Perpustakaan PBNU Jakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan FIB UGM, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan UGM dan koleksi buku pribadi.

Tahap kedua dari penelitian ini adalah verifikasi / kritik sumber. Tahap kritik sumber ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap kritik eksternal dan kritik internal. Pada tahap kritik eksternal akan dilakukan pengujian autentisitas terhadap sumber. Dalam tahap ini, sumber akan diverifikasi unsur-unsur ekstrinsiknya seperti penggunaan bahasa, penciptaan tulisan (diketik / tulisan tangan), dan penampilan luar dari sumber.46 Pengujian kertas / autentisitas dokumen secara kimia tidak akan dilakukan mengingat peneliti tidak memiliki kompetensi pada bidang pengujian tersebut. Kritik sumber yang kedua yaitu kritik internal menyangkut faktor intrinsik dari dokumen. Sebagai contoh apakah lembaga yang menciptakan dokumen benar-benar ada, apakah tokoh di dalam

46

(23)

dokumen memang hidup di zaman itu, serta melakukan verifikasi silang antara satu sumber dengan sumber lainnya.

Tahap ketiga dari penelitian ini adalah tahap interpretasi terhadap sumber. Interpretasi adalah upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah.47 Penafsiran tersebut dilakukan dengan menganalisa teks yang diproduksi oleh ormas dan partai politik Islam disesuaikan dengan konteks peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Tahap terakhir dari penelitian ini adalah penulisan. Sistematika penulisan dari penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya.

1.7 SISTEMATIKA PENULISAN

Uraian skripsi ini akan dibagi ke dalam beberapa bab dan subbab. Pembagian penulisan akan diawali dengan bab pendahuluan, bab-bab isi, bab kesimpulan, dan bibliografi / daftar pustaka. Khusus untuk bab-bab isi, penulisan akan disusun secara kronologis yang mengacu pada pertanyaan-pertanyaan masalah di dalam rumusan masalah.

Bab I dari skripsi ini adalah bab pendahuluan yang akan mengantarkan pembaca pada hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini, rumusan dan pertanyaan masalah, tujuan dilakukannya penelitian, metode penelitian dan sumber yang akan digunakan di dalam penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II dari skripsi ini menjadi bab pertama yang mengulas pembahasan inti dari skripsi. Untuk mengawali eksplanasi, bab II akan digunakan untuk

47

Daliman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: 2012, Ombak), hlm. 83.

(24)

menjelaskan pembentukan perspektif kelompok Islam terhadap kelompok komunis yang terjadi sebelum tahun pada 1920an sampai 1950an. Bab ini diberi judul “Akar-akar pertentangan Islam dan Komunisme di Indonesia pada 1920an sampai 1950an”. Bab II terdiri dari 3 subbab yang terdiri dari: Subbab 2.1. berjudul “Keselarasan dan Pertentangan: Islam dan Komunisme di Hindia Belanda tahun 1920an”, Subbab 2.2. berjudul “Pelarangan sampai Perjuangan Kemerdekaan: Islam dan Surut Pasang Gerakan Komunisme 1930an sampai 1948” dan Subbab 2.3. berjudul “Kompetisi Politik di dalam Republik: Islam dan PKI 1948-1955”

Bab III dari skripsi ini memuat periode puncak dari pertentangan antara kelompok Islam dan Komunis yang terjadi pada pertengahan 1950an sampai 1965. Bab ini diberi judul “Memerangi Musuh Tuhan: Puncak Pertentangan Islam dan Komunisme 1955-1965”. Bab III terdiri dari dua subbab dengan subbab 3.1. berjudul “Pemilihan Umum dan Kelompok Kufur: Perspektif Masyumi terhadap Komunisme” dan subbab 3.2. berjudul “Islam bukan tjandu rakjat: Perspektif Nahdlatul Ulama terhadap Komunisme”.

Bab IV dari skripsi ini memuat periode pasca 1965 hingga akhir tahun 1960an ketika kelompok Islam telah berhasil menyingkirkan “musuh Tuhan” meskipun harus menghadapi tantangan lain yang terinstitusionalisasi dalam rezim Orde Baru. Bab ini diberi judul “Kelompok Islam, Komunis, dan Rezim Orde Baru”. Bab V akan membahas kesimpulan penelitian. Kesimpulan penelitian adalah jawaban dari pertanyaan masalah yang diajukan di awal penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai T statistik yang di dapatkan dalam menggambarkan hubungan antara antara peran bidan terhadap pemanfaatan kelas ibu hamil di Pusk- esmas Pamulihan Kabupaten Garut tahun 2015

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

dan Maze Runner menjadi dua film yang tidak hanya mendominasi CGV Cinemas Paris van Java dan Ciwalk XXI, melainkan juga tiap-tiap bioskop di Kota Bandung.. Aspek

Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan data tahun 2015 pelayanan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Besar memiliki kecendrungan masuk ke daerah efisiensi dengan

Peningkatan Kemampuan Siswa dalam Mengemukakan Pendapat dengan Menggunakan Pendekatan KooperafifTipe Jigsaw dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Komunikasi Kelas

Segala hormat, puji dan syukur bagi Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas berkat, anugerah dan rahmat-Nya yang berlimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

Hal seperti itu dapat terjadi karena kebiasaan guru dalam menyajikan pembelajaran terlalu mengacu pada target pencapain kurikulum sehingga mengabaikan hal yang nampaknya sepele

Penerimaan diri ibu dari anak autis adalah sikap positif yang.. dimiliki oleh seorang ibu dalam menerima keadaan diri