• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

Profesi seseorang yang memerlukan kontak yang mendalam dengan pekerjaannya, komitmen, keterlibatan yang tinggi dan memiliki tanggung jawab atas orang lain akan cenderung menimbulkan satu masalah yang disebut dengan Job Burnout. Pada umumnya seseorang hampir tidak mungkin merasakan Job Burnout apabila tidak memberikan dan melakukan banyak usaha. Bagian berikut ini penulis akan menguraikan latar belakang dari penelitian ini tentang Locus of control Eksternal, Work-life Balance dan Job Burnout pada anggota Satuan Penjagaan dan Pengaturan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.

1.1 Latar Belakang

Kepadatan penduduk di Provinsi DKI Jakarta begitu tinggi yang notabene Jakarta merupakan pusat pemerintahan Indonesia, pusat bisnis, pusat politik, dan pusat kebudayaan yang pasti juga banyak terjadi perputaran roda ekonomi di dalamnya, hal tersebut yang menjadi alasan DKI Jakarta disebut sebagai daerah metropolitan. Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2015), DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pusat pemerintahan dengan jumlah penduduk tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dan kepadatan penduduk 15.234 orang per km2, dikelilingi kawasan pemukiman Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang. Dari hasil survai komuter Jabodetabek tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah komuter Jabodetabek sebanyak 3.566.178 orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah/kursus di DKI Jakarta, 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek. Sementara komuter Bodetabek yang melakukan kegiatan di DKI Jakarta sebanyak 1.382.296 orang (Badan Pusat Statistik, 2015). Oleh sebab itu di DKI Jakarta masalah kemacetan di seluruh jalan ibu kota menjadi pemandangan sehari-hari.

(2)

2

Kemacetan yang terjadi pada jalan-jalan utama di kota Jakarta merupakan pemandangan yang umum ditemukan terutama pada jam sibuk pagi hari dan sore hari. Kemacetan lalu lintas pada jalan utama biasanya berawal dari simpang dan konflik pada akses ke guna lahan, tetapi pada jalan utama yang berdampingan dengan jalan tol kemacetan lalu lintas sering disebabkan atau berawal dari ramp on atau ramp off jalan tol dalam kota. Pada beberapa ruas jalan utama bahkan jarak antara ramp on dan ramp off jalan tol terlalu berdekatan sehingga tingkat konflik lalu lintas yang terjadi semakin tinggi sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas yang semakin parah (Najid dkk., 2014).

Kemacetan di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama di titik-titik persimpangan yang rawan dengan kemacetan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Puncak kemacetan di Jakarta terjadi pada jam sibuk di pagi hari (sekitar pukul 06.30-09.00 WIB) dan sore hari (sekitar pukul 16.30-19.30 WIB). Permasalahan kemacetan di Jakarta tidak terlepas dari akar permasalahan transportasi yaitu tidak terkendalinya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, serta buruknya pelayanan sistem angkutan umum yang ada saat ini. Menurut data Ditlantas Polda Metro Jaya (2014, dalam Badan Pusat Statistik, 2015), penambahan kendaraan baru di Jakarta rata-rata 4.800 unit perhari, pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 9,93% dan pertumbuhan sepeda motor tertinggi sebesar 10,54% pertahun, sementara panjang dan lebar jalan nyaris tidak berubah. Keadaan ini berakibat meningkatnya kepadatan lalu lintas di jalan raya yang pada akhirnya menimbulkan titik-titik rawan kemacetan di sejumlah tempat. Hasil survai Castrol Magnatec Start-Stop (2015) tentang lalu lintas kota kota besar di dunia menunjukkan bahwa kota Jakarta memiliki tingkat kemacetan paling buruk. Berdasarkan indeks Castrol Magnatec Start-Stop, tingkat berhenti jalan kendaraan di Jakarta mencapai 33.240 ribu per tahun dengan 27,22% dari waktu tempuh para pengendara berada pada posisi diam (Boy, 2015).

Menurut Sunarjo (2014), Jakarta Selatan adalah wilayah paling tinggi tingkat kemacetannya di antara kota Jakarta lainnya. Hal ini

(3)

3

disebabkan oleh banyaknya pusat kegiatan bisnis/perkantoran, pembangunan apartemen dan perumahan warga kota, pembangunan pusat perbelanjaan atau mall yang tidak terkendali yakni mencapai 57 mall pada tahun 2009, serta diaktifkannya jalur Transjakarta atau busway sejak tahun 2004 yang pembangunannya mengambil dari sebagian ruas jalan di Jakarta, sehingga fasilitas jalan tidak sesuai dengan jumlah kendaraan pribadi dan angkutan umum. Hal-hal tersebut adalah pemicu kemacetan di Jakarta. Menurut data yang diambil dari Ditlantas Polda Metro Jaya (dalam Sunarjo, 2014) jumlah kendaraan paling banyak terdapat di wilayah Jakarta Selatan. Ada 15 titik rawan kemacetan di wilayah Jakarta Selatan menurut data yang diambil dari TMC (Traffic Management Center) antara lain : Traffic Light (TL) Radio Dalam, Jl. Pangeran Antasari, Jl. Kapten Tendean, Jl. Dr. Satrio, Jl. Casablanka, Depan Terminal bus Lebak Bulus, Jl. Ciputat Raya, Pasar Pondok Labu, Jl. DR. Supomo, Jl. Raya Pasar Minggu, Jl. Buncit Raya, Jl. Ciledug Raya, TL Tarkindo, TL Pertanian, dan Jl. Raya fatmawati.

Kemacetan lalu lintas yang terjadi di kota Jakarta sekarang ini semakin membutuhkan penanganan dan pengaturan yang serius dari para profesional yang berkompeten dibidangnya (tentang pengaturan lalu lintas “Gatur Lantas”), dalam hal ini para profesional yang dimaksud adalah profesi polisi. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian (Indarti, 2014). Sementara itu Collins (2000) berpendapat bahwa suatu profesi dicirikan antara lain oleh adanya spesifikasi tertentu yang berkenaan dengan: pendidikan dan pelatihan, kepakaran/kometensi intelekual atau teoretikal sekaligus teknis, organisasi, disiplin dan kode etik, serta komitmen terhadap pelayanan yang bersifat altruistik (pelayanan publik). Berdasarkan pada hubungan pelaku profesi dan kliennya, Reiss (1971) mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-benar berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi.

Berfokus pada profesi polisi, seorang polisi dituntut untuk mempunyai komitmen terhadap pelayanan publik, menjalani pelatihan dan

(4)

4

pendidikan, memiliki kepakaran intelektual/teoretikal sekaligus teknis, tergabung dalam suatu organisasi, serta hidup dengan disiplin dan kode etik tertentu sebagaimana telah disepakati dan digariskan oleh profesi polisi itu sendiri (Indarti, 2014). Di dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 2, fungsi kepolisian pada dasarnya adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Secara umum fungsi kepolisian dibedakan diantaranya ke dalam apa yang disebut sebagai: fungsi utama, fungsi organik, dan fungsi pendukung. Khusus fungsi utama kepolisian lebih lanjut dijabarkan ke dalam: Reserse, Intelkam, Sabhara, Binmas dan Lalu-lintas (Sunarno, 2010). Lalu-lintas dan angkutan jalan merupakan masalah yang sangat vital dan penting sekali oleh masyarakat untuk menghubungkan dari suatu tempat ke tempat lainnya terutama dalam pelaksanaan roda perekonomian. Apabila tidak adanya pihak lain yang terkait dalam penegakan hukum lalu-lintas dan angkutan jalan ini maka tidak akan tercapai apa yang dicita-citakan oleh undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan itu sendiri. Polisi lalu-lintas mempunyai peranan yang penting dalam usaha menumbuh kembangkan kesadaran hukum lalu-lintas dalam rangka menciptakan suasana berlalu-lintas yang aman, tertib dan lancar (Hadrinal, 2009).

Pada kenyataannya suasana berlalu-lintas yang aman, tertib dan lancar hampir tidak mungkin di dapatkan di Kota Jakarta. Dari sekian banyak masalah yang dihadapi Jakarta, permasalahan kemacetan adalah masalah utama yang harus mendapat prioritas untuk segera diselesaikan (Prijanto, tahun tidak disebutkan). Maka kemacetan lalu lintas menjadi salah satu faktor yang menambah beban kerja polisi lalu lintas. Polisi Lalu lintas memiliki tugas mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat di bidang gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas. Ditambahkan oleh Suratni (2014) bahwa Polisi Lalu Lintas merupakan fungsi kepolisian dalam rangka menjaga ketertiban, pendidikan masyarakat, penegakan hukum, pengkajian masalah lalu lintas, administrasi registrasi dan

(5)

5

identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor serta melaksanakan patroli jalan raya. Melihat begitu kompleksnya tugas Polantas tersebut maka perlu kerja yang ekstra agar tugas tersebut dapat teratasi dengan baik oleh aparat kepolisian khususnya polisi lalu lintas. Disisi lain, banyak persepsi di masyarakat yang memandang masih rendahnya tingkat layanan polisi.

Hakekat tugas Ditlantas sebenarnya cukup berat. Karena dibanding fungsi-fungsi kepolisian lain yang mempunyai bobot tugas yang jauh lebih berat, di dalam berlalu lintas, banyak masalah yang dihadapi, baik itu yang menghambat atau bahkan yang mematikan proses aktivitas masyarakat. Contohnya, kecelakaan lalu-lintas, kemacetan lalu lintas, maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor (Suratni, 2014). Sunarjo (2014) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa polisi lalu-lintas yang berdinas di Jakarta berada dibawah naungan Direktorat Lalu-lintas Polda Metro Jaya yang membawahi berbagai (satker), salah satunya adalah satuan Penjagaan dan Pengaturan (Sat. Gatur). Anggota polisi lalu-lintas yang berdinas di Sat.Gatur merupakan tugas yang memiliki tingkat stres yang lebih tinggi diantara satker lainnya, karena anggota tersebut sepenuhnya bertugas di jalan raya, mengatur arus lalu-lintas yang penuh dengan kemacetan serta menindak para pengguna jalan yang tidak mematuhi peraturan lalu-lintas. Banyak faktor yang dapat menyebabkan anggota polisi lalu-lintas yang berdinas di Sat.Gatur mudah mengalami masalah psikologis, salah satunya adalah faktor fisik seperti kemacetan, cuaca, debu, populasi kendaraan dan lain-lain.

Hasil wawancara yang dilakukan Sunarjo (2014) dengan salah satu anggota polisi lalu-lintas yang bertugas di Pos Lantas Blok M, banyak faktor yang dapat menyebabkan stres antara lain faktor cuaca yang tidak menentu, ditambah siang hari yang panasnya sangat menyengat, debu, polusi, asap kendaraan yang tidak sehat, bahkan membuat sesak pernapasan, kemacetan di Jakarta yang tiada henti-hentinya, ketidakdisiplinan pengguna jalan, dan jarak tempuh dari rumah ke lokasi kerja yang sangat jauh dan menempuh waktu yang cukup lama serta banjir

(6)

6

di beberapa ruas jalan di Jakarta yang membuat tugas pengaturan jalan semakin sulit, sehingga menyebabkan kelelahan fisik seperti cepat lelah, pusing, sulit tidur, mudah sakit dan lain-lain. Selain itu adanya piket dan keharusan stand by setiap saat menyebabkan anggota harus siap kapan saja apabila dibutuhkan. Sehingga kewaspadaan dan tuntutan anggota harus sehat itu sangatlah diperlukan.

Beban dan tanggungjawab tersebut menimbulkan dampak negatif, secara fisik maupun psikologis. Salah satu dampak psikologis yang dapat muncul dari situasi tersebut adalah gejala job burnout. Pernyataan tersebut terdukung oleh pernyataan dari Humas Polri pada tahun 2015 merilis bahwa 80% anggota polisi pada fungsi lalu lintas dan reserse mengalami beban tugas yang berlebihan (Kusuma, 2015). Maka, umum diketahui profesi polisi memiliki derajat job burnout yang cukup tinggi (Khaerunnisa, 2013).

Ada 3 ciri-ciri umum burnout syndrome yang biasa terjadi pada individu yang telah diuraikan oleh Pines & Aronson (1989) yaitu, Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susah tidur, rasa letih yang kronis. Kelelahan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, tidak berdaya. Kelelahan mental dicirikan seperti acuh tak acuh pada lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, merasa tidak berharga.

Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat terlihat bahwa beberapa anggota unit lalu lintas yang telah diwawancarai mengalami gejala-gejala burnout. Gambaran burnout pada anggota unit lalu lintas, berdasarkan wawancara awal terungkap keluhan yang hampir sama, terkait tentang kelelahan fisik, buruknya persepsi di masyarakat, dan kondisi lingkungan saat bertugas. Seperti yang disampaikan oleh DF, yang telah menjadi anggota Polri fungsi lalu lintas selama 12 tahun, beliau menyampaikan bahwa merasakan kelelahan yang sangat pada fisiknya dan mudah merasakan pusing karena dari rumah ke lokasi kerja memakan banyak waktu, harus

(7)

7

berdiri lama disiang hari yang sangat panas dengan polusi kendaraan yang tidak sehat, apalagi jika berada pada waktu-waktu dengan tingkat kemacetan yang tinggi (emotional exhaustion). Ia juga selalu terpancing emosinya apabila menghadapi ketidakdisiplinan pengguna jalan dan sulit diatur, ia dapat berteriak, dan memukul kendaraan tersebut (dipersonalization/cynicism). Hal ini ia hadapi setiap hari dan harus siap kapan saja apabila dibutuhkan untuk mengurai kemacetan jalan. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa jika sudah tidak tertahankan lagi dengan pengaturan jalan yang semakin sulit, ia akan meninggalkan tugas dan beristirahat di pos. Ia membiarkan keadaan macet untuk beberapa waktu karena ia merasa kemacetan ini tidak akan ada habisnya (inefficacy/reduce personal accomplishment).

Wawancara dengan salah satu anggota Polantas yang sedang bertugas di Pos jaga menyampaikan bahwa ketika banjir di beberapa ruas jalanan di Jakarta dengan cuaca yang tidak menentu sehingga terus terjadi kemacetan, pengaturan jalan menjadi semakin sulit dibanding hari biasa maka menyebabkan kelelahan fisik hingga mudah sakit (emotional exhaustion). Terkadang kelelahan secara emosional dan fisik juga dapat terjadi ketika ada perubahan kebijakan pimpinan terkait jam dinas yang bertambah karena jam kerja tidak cukup untuk mengurai kemacetan di Jakarta (emotional exhaustion).

Tidak beda dengan WE, yang telah menjadi anggota Polri pada fungsi lalu lintas lebih dari 14 tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa pandangan masyarakat terhadap Polantas adalah negatif bahkan merasa seperti musuh, banyak juga pengguna jalan yang tidak menghargai keberadaannya (inefficacy/reduce personal accomplishment). Ia merasa masyarakat yang berurusan dengan Polantas artinya uang, padahal ia hanya menjalankan tugas yang tidak bisa ia tolak yaitu menegakkan aturan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggar. Banyak pengguna jalan yang tidak menghiraukan bunyi peluit dan tindakan anggota polantas maka ia dapat bersikap arogan dan lebih cepat emosi terlebih apabila menghadapi pelanggar yang salah namun tetap tidak mau mengakui

(8)

8

kesalahan dan hal ini dapat terjadi beberapa kali dalam sehari (dipersonalization/cynicism). Selain itu, ia juga merasa apabila berada dalam kondisi sangat kelelahan, ia tidak melakukan apel pagi atau apel sebelum bertugas (emotional exhaustion). Ia berfikir, tidak masalah tidak apel yang terpenting adalah ia hadir di pos jaga. Ia mengeluhkan waktu yang kurang untuk istirahat, karena kondisi kota yang penuh dengan kemacetan lalu lintas dimana-mana. Padahal tidak jarang ia mengalami kesulitan untuk tidur karena kondisi badan yang tidak mengenakkan (emotional exhaustion).

Hasil wawancara di atas sejalan dengan pernyataan Sunarjo (2014) dalam penelitiannya bahwa tuntutan pekerjaan yang semakin meningkat, faktor fisik seperti kemacetan Jakarta yang sudah parah, cuaca yang tidak menentu dan polusi kendaraan membuat anggota Polantas di jalan raya mudah terpancing emosi sehingga banyak dari mereka bersikap arogan terhadap pengguna jalan, selain itu keadaan seperti itu membuat anggota cepat jenuh dengan pekerjaannya, sehingga banyak anggota Polantas mangkir dinas untuk melepaskan kejenuhan atau sekedar untuk beristirahat. Hasil wawancara di atas juga memperjelas tingginya tuntutan dan beban pekerjaan yang di alami anggota Polri pada unit lalu lintas yang bekerja dimana penuh dengan tekanan harus melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat atau orang banyak dengan optimal dan sempurna. Beratnya beban tersebut berpotensi menjadi salah satu penyebab job burnout. Robbins (2001) menyebutkan bahwa beban tugas berasal dari kondisi tekanan dari lingkungan kerja. Beban kerja untuk meminimalisir jumlah tindak kejahatan dan menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas merupakan beban kerja yang tidak ringan (Muharam, 2016). Hal tersebut menyebabkan munculnya gejala kelelahan emosional sehingga anggota Polri pada unit lalu lintas tidak dapat memberikan pelayanan yang optimal terhadap masyarakat. Ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan pekerjaan menjadi polisi dapat mengurangi gairah untuk pekerjaan tersebut, kurang tidur, meningkatkan stres kronis, kelelahan, dan berhenti gaya (Slate, et al. 2007).

(9)

9

Bila kondisi polisi terlalu sering terpapar tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan kontrol yang rendah, dukungan sosial yang kurang dan perasaan yang negatif (takut, merasa bersalah bercampur dengan keinginan untuk istirahat), ini terus berlanjut dan tidak disertai dengan strategi coping yang positif maka kondisi tersebut bisa mengarah ke kondisi burnout (Backteman-Erlanson, 2013). Maka kondisi job burnout yang dapat dialami anggota Polri pada unit lalu lintas penting untuk diteliti karena memiliki pengaruh negatif pada pelayanan terhadap masyarakat sehingga dapat menyebabkan peningkatan kemacetan dan memperburuk keadaan lalu lintas di Jakarta. Dampak tersebut didukung dengan hasil studi eksperimen yang di lakukan oleh Utami & Supriyadi (2013) yang hasilnya menyatakan bahwa timbulnya job burnout pada karyawan akan mengakibatkan munculnya dampak negatif, pada akhirnya akan menurunkan kinerja, serta merasa tidak senang dan nyaman dalam menyelesaikan pekerjaannya. Maka dengan sangat jelas bahwa job burnout ini akan mempengaruhi perilaku seorang polisi dalam berinteraksi dengan masyarakat (Kop, 1999).

Leiter & Maslach (1988) mengemukakan bahwa burnout didefinisikan sebagai sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi, dan rasa penurunan personal, prestasi, yang dapat terjadi pada individu yang bekerja dengan orang-orang dalam kapasitas yang sama. Kemudian di perbarui oleh Pines & Aronson (1989) bahwa burnout merupakan kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan emosional. Bernardin (1990) menggambarkan job burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada orang yang bekerja pada bidang pelayanan kemanusiaan (human service) dan bekerja erat dengan masyarakat. Nicoara & Liliana-Amelia (2012) menyebutkan bahwa profesi polisi menempati peringkat sepuluh besar sebagai pekerjaan yang paling banyak menyebabkan stres di Amerika, serta dapat dikategorikan sebagai pekerjaan yang berpotensi stres di dunia.

(10)

10

Adapun dampak negatif yang muncul dari job burnout ini telah diteliti oleh peneliti terdahulu, Baker & Heuven (2006) menyebutkan bahwa ada penurunan performansi kerja perawat dan polisi yang terkena job burnout. Selain menurunnya performansi kerja dan kualitas kerja, job burnout juga dapat mengakibatkan gangguan mental berupa depresi (Gandi, Wai, Karick, & Dagona, 2011). Lebih lanjut menurut Dziner, Rabenu, Radomski, & Belkin (2015) menemukan hal penting bahwa job burnout menjadi salah satu akibat dari stres kerja karena akan memengaruhi hubungan profesional dalam bekerja.

Dalam dunia kerja, job burnout dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Leiter & Maslach (1997) yaitu beban kerja, kontrol, penghargaan, komunitas sekitar, fairless dan values. Job burnout dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dapat bersumber dari organisasi (Hobfoll, 1989). Kondisi organisasi memiliki peran yang signifikan terhadap sindrom negatif pada kondisi psikologis polisi yang kemudian berpotensi memunculkan burnout (Suresh, Anantharaman, Angusamy, & Ganesan 2013). Selain itu faktor internal yang terbagi menjadi dua yaitu, faktor kepribadian dan faktor demografi. Faktor kepribadian terdiri dari locus of control, harga diri, serta tipe kepribadian sedangkan faktor demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, serta masa kerja (Farber, 1991 dalam Sari, 2015). Sedangkan menurut Sari (2015) faktor kepribadian terdiri dari konsep diri rendah, perilaku tipe A, individu yang introvert, locus of control eksternal dan individu yang fleksibel. Hasil penelitian Sari (2015) menunjukkan bahwa orang dengan locus of control eksternal lebih cenderung mengalami burnout syndrome sedang dibanding locus of control internal cenderung ringan, hal ini disebabkan karena locus of control berpengaruh terhadap pemilihan strategi koping individu .

Selain locus of control eksternal, job burnout juga dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Mc. Carty & Skogan (2012) menyebutkan bahwa job burnout disebabkan oleh faktor-faktor yang hampir sama antara polisi maupun masyarakat biasa.

(11)

11

Kesulitan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan tanggungjawab dalam kehidupan (work-life balance), kurangnya dukungan dari pimpinan dan rekan kerja, kewajaran kebijakan dari organisasi dan beberapa faktor pribadi berkontribusi kepada tingkat job burnout seseorang.

Locus of control eksternal menjadi salah satu faktor Job Burnout. Rotter (1966) mendefinisikan locus of control eksternal sebagai keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau kekuatan lain. Locus of control eksternal mengacu pada sejauh mana seseorang mengharapkan bahwa penguatan atau hasil merupakan fungsi dari kesempatan, keberuntungan, atau nasib, adalah berada di bawah kendali kekuatan orang lain, atau tidak terduga (Rotter, 1990).

Orang dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mungkin menjadi depresif dan stres (Rotter dalam Friedman & Schustack, 2008). Karyawan ber locus of control eksternal merasa bahwa kekuatan eksternal seperti keberuntungan atau kegagalan mengontrol hasil (Luthans, 2006). Hidayat dkk. (2015), menyatakan bahwa locus of control eksternal adalah keyakinan individu dalam memandang sumber-sumber yang berada di luar usaha pribadi dan kendali diri mampu mempengaruhi dan menentukan hasil kerja, pencapaian tujuan, dan peristiwa yang dialami, serta meyakini nasib keberuntungan, peluang, kekuasaan orang lain, dan lingkungan menjadi kekuatan pendorong pada setiap perilaku yang di hasilkan dalam aktivitas.

Dari penelitian yang dilakukan oleh McIntyre (2011) didapatkan hubungan yang signifikan antara eksternal locus of control dan burnout syndrome. Penelitian lain oleh Jaya & Rahmat (2005) mengungkapkan dimana subjek dengan locus of control eksternal lebih rentan terhadap job burnout dari subyek yang memiliki locus of control internal. Hal ini berarti individu dengan locus of control eksternal lebih mudah merasa tertekan dalam bekerja dikarenakan merasa tidak mampu mengontrol kesuksesannya. Tümkaya (2001, dalam Akça & Yaman, 2010)

(12)

12

menemukan bahwa guru dengan locus of control eksternal cenderung lebih mungkin mengalami burnout.

Selain locus of control eksternal, work-life balance juga menjadi faktor terjadinya job burnout. Kurangnya praktek work-life balance dalam bekerja menjadi salah satu faktor pemicu stres dan job burnout. Karena semakin banyaknya waktu dalam bekerja maka stres akan meningkat. Ketika seorang individu tidak menjaga keseimbangan dan bekerja terlalu banyak dalam pengaturan organisasi, hal ini dapat menyebabkan kondisi psikologis (pikiran, jiwa) dan konsekuensi perilaku, sebagai hasil produktivitasnya juga akan rendah (Moedy, 2013). Work-life balance yang baik didefinisikan sebagai situasi dimana pekerja merasa mampu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi atau komitmen lain (Moore, 2007). Dapat dikatakan individu yang memperhatikan antara keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi merupakan individu yang lebih mementingkan kesejahteraan psikologisnya daripada mengejar kekayaan semata (Ula, 2014).

Adanya Work-life balance yang dimiliki oleh anggota polisi, diharapkan dapat menumbuhkan kondisi psikologis yang sejahtera sehingga dapat meminimalisir job burnout. Sebuah literatur berjudul “Work-family interference, emotional labor and burnout” menunjukkan bahwa ketidakseimbangan kehidupan-kerja “work-life imbalance” berkorelasi positif dengan burnout (Montgomery et al., 2006; Peeters et al., 2005) yang artinya seseorang yang tidak memiliki work-life balance akan cenderung lebih mudah terkena burnout dibanding dengan orang yang memiliki work-life balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan non-kerja.

Nitzsche, Pfaff, Jung & Driller (2013) menemukan bahwa semakin banyak orang menganggap kehidupan di rumah mereka menjadi negatif karena dipengaruhi oleh pekerjaan mereka, dan mereka lebih beresiko untuk kelelahan. Novess (2015) juga mengungkapkan bahwa membawa urusan pekerjaan ke dalam kehidupan di rumah atau tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan non-kerja dapat

(13)

13

memicu timbulnya kelelahan kerja “job burnout”. Selain itu efek yang dirasakan adalah efek psikososial seperti merasakan adanya gangguan kehidupan pada keluarga, hilangnya waktu luang, kecil kesempatan untuk berintegrasi dengan teman dan mengganggu aktivitas kelompok (Astrand & Rodhal, 1986 ; Pulat, 1992).

Menurut Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) job burnout juga dapat dipengaruhi oleh faktor individu meliputi karakteristik demografis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa usia berhubungan dengan job burnout, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Lau dkk. (2005, dalam Grayson et al., 2008) bahwa guru yang berusia muda lebih mengalami job burnout dibanding dengan rekan di atas usia mereka. Namun ada penelitian lain oleh Larasati & Paramita (2013) yang hasilnya tidak mendukung penelitian yang dilakukan Maslach (1996, dalam Zaidi dkk., 2011) yang hasilnya tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan tingkat job burnout. Dalam pernyataanya bahwa tingkat reduce personal accomplishment yang tinggi lebih dialami oleh responden yang berusia tua dibandingkan dengan responden yang berusia muda.

Penelitian lain terkait karakteristik demografis juga dilakukan oleh Triwijayanti, Dwiantoro & Warsito (2016) hasilnya mengartikan bahwa perawat yang lebih tua memiliki tingkat burnout yang lebih rendah karena semakin tua usia seseorang maka semakin matang dalam bersikap dan semakin berpengalaman sesorang dalam suatu pekerjaan maka akan semakin meningkatkan kemampuannya dalm menghadapi situasi dalam pekerjaan sehingga perawat yang aktif dan berpengalaman akan lebih mampu menghadapi stress dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadi burnout pada perawat.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas dan beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki hasil yang berbeda kepada masing-masing partisipan maka sangat penting untuk mengetahui pengaruh Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance secara simultan pada Job Burnout Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya dan perbedaan Job Burnout anggota Sat.Gatur

(14)

14

ditinjau dari usia dan lama bekerja. Sampel dan tempat penelitian yang digunakan dalam penelitian inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menjadikan ketertarikan penulis karena sepengetahuan penulis bahwa tugas polisi tidaklah ringan, sehingga potensi job burnout sangatlah tinggi yang kemudian memengaruhi kualitas layanannya kepada masyarakat, oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meminimalisir tingkat job burnout pada anggota polisi. Kualitas layanan kepada masyarakat yang buruk akan menggangu pencapaian Grand Strategy Polri tahap ketiga 2016-2025 (Siregar, Bhakti, Samego, Yanuarti, dan Haripin, 2015), yaitu Strive for Excellent, terutama terkait isu membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good government, best practice Polri, profesionalisme sumber daya manusia. Oleh karena itu, penulis hendak melakukan penelitian dengan judul Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance sebagai prediktor Job Burnout pada Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance, secara simultan atau parsial menjadi prediktor Job Burnout pada Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya?

2. Apakah ada perbedaan Job Burnout ditinjau dari usia Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya?

3. Apakah ada perbedaan Job Burnout ditinjau dari lama bekerja Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya?

(15)

15 1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan pengaruh Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance, secara simultan atau parsial terhadap Job Burnout pada Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya.

2. Menentukan perbedaan Job Burnout ditinjau dari usia Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya

3. Menentukan perbedaan Job Burnout ditinjau dari lama kerja Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai berikut:

1. Secara Teoritis,

Penelitian ini dapat menambah informasi bukti empiris dalam ilmu psikologi terutama dalam Job Burnout, Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance anggota Polri fungsi Lalu-lintas sehingga dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi penelitian sejenis yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Penelitian ini juga diharapkan dapat melihat relevansi antara teori dan kenyataan saat ini.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya manusia berdasarkan data yang diperoleh mengenai adanya locus of control eksternal dan melalui kebijakan yang dapat mendukung terciptanya work-life balance untuk meminimalisasi job burnout. b. Dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya sebagai bahan

acuan dalam penggalian informasi lebih dalam lagi berupa wawancara untuk mengetahui fenomena terkait ciri-ciri umum

(16)

16

gejala burnout anggota unit lalu lintas, karena masih banyak lagi yang dapat digali lagi misalnya seperti kelelahan fisiknya secara spesifik.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, penulis menyusun tulisan menjadi beberapa bab antara lain:

1. Bab I, dalam bab ini diuraikan tentang Pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab II, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Tinjauan Pustaka yang terdiri dari masing-masing peubah, teori-teori terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu teori locus of control eksternal, teori work-life balance, teori job burnout, teori usia, dimensi-dimensi, aspek-aspek, faktor-faktor, hasil penelitian sebelumnya, landasan teori, model penelitian dan hipotesis penelitian.

3. Bab III, dalam bab ini menguraikan tentang Metode Penelitian yang terdiri dari peubah penelitian, definisi operasional, populasi, sampel, dan teknik sampling, kemudian aspek dan indikator sehingga dapat dikembangkan skala penelitian yang dibangun dari teori yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, serta teknik analisa data.

4. Bab IV, dalam bab ini penulis menguraikan Hasil dan Pembahasan, yang terdiri dari deskripsi tempat penelitian, hasil seleksi aitem dan reliabilitas, deskripsi hasil pengukuran peubah penelitian, hasil uji asumsi klasik, hasil uji hipotesis dan pembahasan.

5. Bab V, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran yang terdiri dari kesimpulan penelitian, saran kepada instansi yang terkait dalam penelitian ini, dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Kewenangan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 94, tetapi Tidak

Untuk itu guna mengantisipasi akan adanya kegagalan proses maka PT.XYZ menerapkan Quality management System ISO/TS 16949 dengan tools yang digunakan seperti FMEA (

Dari hasil analisis diperoleh grain size pelet U02 sinter Cirene sebesar 7,9 11mdan pelet PWR sebesar 6,9 11m.Sedangkan porositas pelet Cirene adalah 12,4% dan pelet PWR adalah

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan

Sehati Gas dalam hal pengarsipan dan pencatatan penjualan dan produksi tabung.Sistem pengarsipan dan pencatatan sebelumnya menggunakan sistem manual sehingga

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka telaah kurikulum menjadi salah satu parameter akademik yang senantiasa perlu dilakukan sehingga tingkat kompetensi mahasiswa

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu data analog gelombang otak dapat digunakan sebagai perintah untuk menghidupkan atau

dengan menggunakan Unity 3D ini tidak hanya mudah dalam menggunakan atau mengerjakan suatu pekerjaaan, tetapi aplikasi Unity 3D ini juga dapat bekerja dengan aplikasi lainnya