• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan pada penting tidaknya informasi itu. Bahasa yang digunakan di tiap wilayah tidak sama. Perbedaan bahasa yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan pada penting tidaknya informasi itu. Bahasa yang digunakan di tiap wilayah tidak sama. Perbedaan bahasa yang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai sarana komunikasi, bahasa selalu terkait dengan 3 unsur, yaitu pembicara, mitra wicara, dan isi wicara. Isi wicara juga dapat disebut sebagai informasi. Informasi ini dikemas dalam tuturan. Ada dua cara untuk menganalisis informasi, antara lain (1) berdasarkan pada kedudukannya dalam tuturan dan (2) berdasarkan pada penting tidaknya informasi itu.

Bahasa yang digunakan di tiap wilayah tidak sama. Perbedaan bahasa yang digunakan itu akan berdampak terhadap persepsi penutur bahasa tersebut terhadap realita. Antropolog bernama Edward Sapir (1884-1939) dan muridnya Benjamin Lee Whorf (1897-1841) melakukan penelitian mengenai hal tersebut yang kemudian menghasilkan sebuah pemikiran yang disebut Hipotesis Shapir-Whorf.

Pertama, teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda dan bahwa perbedaan ini akan terkodekan dalam bahasa. Kedua, teori determinisme linguistik menyatakan bahwa bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa kita, tetapi bahasa yang kita bahasa yang kita gunakan juga dapat mempengaruhi cara kita berpikir secara sangat mendalam. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dapat mencerminkan pola pikir penutur bahasa tersebut.

(2)

2

Penelitian ini akan mengungkap perbedaan pola pikir orang Prancis dan orang Indonesia melalui teks sastra Prancis sebagai teks sumber (TSu) dan teks sastra terjemahan Indonesia sebagai teks sasaran (TSa). Untuk mengungkap perbedaan tersebut dilakukan analisis mengenai penataan informasi dalam wacana bahasa Prancis dan bahasa Indonesia. Penataan informasi ini menyangkut status informasi dan urgensi informasi. Status informasi mencakup informasi lama dan informasi baru. Informasi baru merupakan informasi yang disampaikan oleh pembicara kepada mitra bicara untuk pertama kalinya, sedangkan informasi lama merupakan informasi yang telah dibicarakan oleh pembicara dan mitra bicara (Chafe, 1970:210). Pada tataran leksikal, status informasi berkaitan dengan ketakrifan (definitness). Nomina yang berciri taktakrif (indefinite) merupakan satuan lingual yang mengandung informasi baru, sedangkan nomina yang berciri takrif (definite) merupakan satuan lingual yang mengandung informasi lama (Baryadi, 2002: 70-71). Perhatikan contoh kalimat yang mengandung informasi lama (selanjutnya disingkat IL) dan informasi baru (selanjutnya disingkat IB) berikut.

(1) La maison brûlait comme une torche. (VVS : 88)

IL IB

‘Rumah menyala-nyala bagaikan obor.’ (KL: 84) IL IB

Kalimat (1) terdapat dua satuan informasi pada bahasa Prancis (bP) dan bahasa Indonesia (bI), yaitu informasi lama dan informasi baru. IL pada kalimat tersebut berciri takrif, sedangkan IB berciri taktakrif.

(3)

3

Untuk mengatur dan menata pengungkapan informasi dalam setiap konstituen tuturan, salah satu caranya adalah ditata menurut urgensinya, yaitu mana informasi yang dipandang penting dan mana informasi yang dipandang kurang penting. Dalam kalimat tunggal, informasi yang lebih penting disebut tema, sedangkan informasi yang kurang penting disebut rema. Dalam kalimat majemuk, informasi yang lebih penting disebut latar depan (foreground), dan informasi yang kurang penting disebut latar belakang (background). Klausa yang menyatakan informasi yang lebih penting dinamakan klausa latar depan, sedangkan klausa yang menyatakan informasi yang kurang penting dinamakan klausa latar belakang (Baryadi, 2002: 89-94). Sama halnya dengan kalimat majemuk, informasi penting dalam wacana disebut juga sebagai latar depan dan informasi yang kurang penting disebut latar belakang. Berikut contoh kalimat yang dipilah berdasarkan urgensi informasinya.

(2) Quelques jeunes gens étaient repartis du château en

IP IKP maugréant. (RT : 63)

‘Beberapa pemuda meninggalkan istana sambil

IP IKP

menggerutu.’(CT:47)

Berdasarkan urgensi informasinya, kalimat (2) dapat dipilah menjadi dua bagian yaitu konstituen yang mengandung informasi penting (selanjutnya disingkat IP) dan informasi kurang penting (selanjutnya disingkat IKP). Pola informasi pada kalimat majemuk dan wacana akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.

(4)

4

Dalam penelitian ini, sumber data diambil dari dua novel bahasa Prancis dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Kedua novel bahasa Prancis tersebut adalah Vendredi ou la Vie Sauvage karya Michael Tournier diterbitkan oleh Gallimard tahun 1971 dan Le Rocher de Tanios karya Amin Maalouf diterbitkan oleh Grasser & Fasquelle tahun 1993. Novel terjemahannya adalah Kehidupan Liar yang diterjemahkan oleh Pustaka Jaya tahun 1992 dan Cadas Tanios yang diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 1999.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah tentang penataan informasi wacana bahasa Prancis dan bahasa Indonesia yang analisisnya meliputi analisis status informasi dan urgensi informasi. Dari pemaparan latar belakang itu, muncul pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana pola informasi kalimat bahasa Prancis dan bahasa Indonesia?

2. Bagaimana pola pikir orang Prancis dan orang Indonesia berkaitan dengan pola tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola informasi kalimat bahasa Prancis dan bahasa Indonesia. Tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui

(5)

5

tentang perbedaan pola pikir orang Prancis dan orang Indonesia berkaitan dengan pola tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka

Status informasi pernah diteliti oleh Sajarwa (2000) dan dimuat dalam Jurnal Humaniora dengan judul Status Informasi dalam Kalimat dan Wacana Bahasa Prancis. Artikel penelitian itu menjelaskan tentang ketakrifan, status informasi dalam kalimat tunggal, status informasi dalam kalimat majemuk, status informasi dalam wacana bahasa Prancis. Dalam artikel itu, dipaparkan tentang jenis-jenis takrif dalam bahasa Prancis beserta penanda-penandanya. Selain itu, dalam artikel ini juga dijelaskan tentang status informasi pada tiap tataran kalimat yaitu kalimat tunggal, kalimat majemuk, serta wacana bahasa Prancis. Namun, pembahasan tentang pola informasi kalimat bahasa Prancis dan bahasa Indonesia belum dilakukan.

Penelitian mengenai sistem ketakrifan pernah dilakukan oleh Sajarwa (2003) dalam artikelnya di Jurnal Humaniora yang berjudul Sistem Ketakrifan dalam Bahasa Prancis. Artikel ini menunjukkan tentang takrif berpemarkah dan tak berpemarkah; ketakrifan dan status informasi; berbagai jenis takrif, taktakrif, dan penandanya. Sistem ketakrifan erat hubungannya dengan pola informasi. Tetapi dalam tulisan ini hanya dibahas tentang sistem ketakrifan dalam bahasa Prancis, dan tidak membahas tentang ketakrifan bahasa Indonesia.

Novel Le Rocher de Tanios pernah dipakai oleh Siti Hartiti Sastriyani sebagai sumber data untuk penelitian dalam disertasinya yang berjudul Le Rocher

(6)

6 de Tanios karya Amin Maalouf dan Terjemahannya dalam bahasa Indonesia Cadas Tanios : Tinjauan Resepsi. Disertasi ini membahas tentang: Francophonie dalam dunia sastra, resepsi karya sastra Le Rocher de Tanios dalam bentuk terjemahannya Cadas Tanios dari segi konvensi bahasa, segi konvesi budaya, dan dari segi konvensi sastra. Meskipun novel yang dipakai sama dengan salah satu novel yang digunakan dalam penelitian ini, akan tetapi permasalahan yang diangkat berbeda. Perbedaan lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Hartiti Sastriyani merupakan penelitian pada bidang sastra, sementara penelitian ini merupakan penelitian pada bidang linguistik.

Drewes (1997) dalam artikelnya yang berjudul Penerjemahan Sebagai Dialog Antarbudaya: Beberapa Catatan Mengenai Teori dan Metode Penerjemahan yang dimuat di jurnal Humaniora membahas tentang sejarah penerjemahan, proses penerjemahan. Pada proses penerjemahan, semakin besarnya perbedaan antara dua budaya dan dua bahasa, semakin perlunya perubahan atau penyesuaian tertentu dalam menerjemahkan. Masalahnya ialah batas-batas penyesuaian. Batas itu harus ditentukan melalui analisis yang cermat dari semua faktor yang memainkan peran dalam proses penerjemahan. Perbedaan budaya yang muncul masih terbatas pada terjemahan secara umum, belum sampai pada analisis pola kalimat terjemahan.

Dari uraian di atas, berdasarkan penelitian yang sudah ada, penelitian tentang penataan informasi pada wacana bahasa Prancis dan bahasa Indonesia belum pernah dilakukan.

(7)

7 1.5 Landasan Teori

1.5.1 Informasi

Informasi adalah keseluruhan makna yang menunjang amanat, terutama nampak dalam bagian-bagian amanat tersebut (Kridalaksana, 1983: 65). Informasi merupakan salah satu bagian dari suatu proses komunikasi. Informasi ini dikemas dalam sebuah tuturan. Untuk menganalisis informasi, ada dua cara yang dapat digunakan, yaitu:

1. berdasarkan pada kedudukannya dalam tuturan 2. berdasarkan pada penting tidaknya informasi itu.

Kedudukan informasi dalam tuturan sering disebut sebagai status informasi, sedangkan penting tidaknya informasi itu biasa disebut sebagai urgensi informasi.

A. Status Informasi

Salah satu fungsi tuturan atau ujaran dalam proses komunikasi verbal adalah sebagai pembawa informasi dalam dari pembaca kepada mitra bicara. Artinya, sebuah tuturan mengandung kesatuan informasi (information unity). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, telah diketahui bahwa sebuah tuturan merupakan struktur yang dibangun oleh unsur-unsur sebagai konstituennya. Dengan demikian, konstituen yang merupakan unsur-unsur pembangun tuturan itu juga mengandung informasi. Setiap konstituen dalam tuturan itu berarti mengandung satuan informasi (information units). Dalam hal ini setiap konstituen dalam tuturan juga memiliki kedudukan tertentu sebagai pembawa informasi.

(8)

8

kedudukan konstituen-konstituen dalam suatu tuturan sebagai pembawa informasi disebut status informasi (Baryadi, 2002: 69).

Status informasi mencakup informasi lama dan informasi baru. Informasi baru merupakan informasi yang disampaikan oleh pembicara kepada mitra bicara untuk pertama kalinya. Informasi lama merupakan informasi yang telah dibicarakan oleh pembicara dan mitra bicara (Chafe, 1970:210). Pada tataran leksikal, status informasi berkaitan dengan ketakrifan (definitness). Nomina yang berciri taktakrif (indefinite) merupakan satuan lingual yang mengandung informasi baru, sedangkan nomina yang berciri takrif (definite) merupakan satuan lingual yang mengandung informasi lama (Baryadi, 2002: 70-71).

Bahasa-bahasa yang memiliki artikel ketakrifan (definitenes article), nomina takrif dimarkahi dengan artikel takrif (definite article), sedangkan nomina tak takrif dimarkahi dengan artikel tak takrif (indefinite article)1. Salah satu contohnya adalah bahasa Prancis. Nomina dalam bahasa Prancis mengenal gender (maskulin atau feminin) dan jumlah (tunggal atau jamak). Çvelyne dan Loiseau mengatakan bahwa gender dan jumlah sangat mendasar peranannya dalam bahasa Prancis karena keduanya menimbulkan kaidah konkordansi yang dapat mempengaruhi bentuk dan makna suatu kata. Gender diartikan sebagai kategori gramatikal yang menunjukkan jenis kelamin nomina (maskulin atau feminin), sedangkan jumlah merupakan kategori gramatikal yang menunjukkan bentuk tunggal dan jamak. Bahasa Indonesia juga memiliki konsep jenis gender, bentuk tunggal dan jamak, tetapi tidak mengenal penyesuaian yang terdapat dalam bahasa

(9)

9

Prancis. Gender dan jumlah dalam bahasa Indonesia tidak tampak secara eksplisit. Bentuk ini hanya ditandai dengan ciri-ciri semantik tertentu yang dapat menunjukkan jenis kelamin, bentuk tunggal, dan bentuk jamak (Tobing, 2012:222). Kembali pada konsep ketakrifan, dalam bahasa Prancis nomina takrif ada yang berpemarkah dan tidak berpemarkah. Penanda nomina takrif berpemarkah antara lain:

1. Artikel takrif (article défini), yaitu artikel defini le untuk nomina maskulin tunggal, la untuk nomina feminin tunggal, dan les untuk nomina maskulin/feminin jamak.

2. Ajektif posesif dan ajektif demonstratif.

Selanjutnya, nomina takrif yang tidak berpemarkah adalah nomina nama diri dan pronomina. Nomina tak takrif ditandai dengan artikel tak takrif (article indéfini) yaitu un untuk nomina maskulin tunggal, une untuk nomina feminin tunggal, dan des untuk nomina maskulin/feminin jamak.2

Dalam bahasa Indonesia ada pengelompokan nomina takrif yang dibagi menjadi tujuh jenis :

1. Nama benda tunggal, contoh: matahari, bulan, bumi. 2. Nama diri, contoh: Rani, Andi.

3. Pronomina persona, contoh: saya, aku, daku, kau, dia, ia, mereka. 4. Nomina diikuti pronomina persona, contoh: mobil saya, mobilmu,

mobilnya, mobil kita.

2 Sajarwa, 2000, Jurnal Humaniora, Status Informasi dalam kalimat dan Wacana Bahasa Prancis,

(10)

10

5. Nomina diikuti pronomina demonstratif, contoh: buku ini, buku itu, buku tersebut.

6. Nomina diikuti nama diri, contoh: pensil Tuti, pensil Joni. 7. Nomina diikuti pembatas, contoh: anak yang menangis tadi. 8. Artikel diikuti nomina, contoh: sang raja, si kancil.

Selanjutnya, nomina tak takrif dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi dua jenis yaitu nomina yang berpemarkah tak takrif seperti suatu dan numeralia diikuti kata satuan seperti seekor, dan nomina yang tidak berpemarkah tak takrif3. Pengelompokan mengenai macam-macam takrif juga terdapat dalam bahasa Prancis yang dibedakan menjadi enam jenis yaitu :

1. Les noms propre ‘nomina nama diri’, contoh : Pierre, Paris.

2. Les pronoms démonstratifes ‘pronomina demonstratif’, contoh :

celui, celui-ci, celle-ci, ceux-ci.

3. Les grupes nominaux précédes d’un démonstratif ‘grup nomina yang

didahului demonstratif’, contoh : cette voiture, ces choissures.

4. Les pronoms personneles ‘pronomina persona’, contoh : je, tu, elle,

lui, la.

5. Les groupes nominaux précédes d’un article défini ‘grup nomina

yang didahului artikel definit’, contoh : le roi de France ‘raja Prancis’, les livres de Charles ‘buku-buku Charles’

(11)

11

6. Les groupes nominaux précédés d’un possessif ‘grup nomina yang

didahului posesif’, contoh : ma mère, mes amis.4

B. Urgensi Informasi

Informasi diatur atau ditata dalam setiap konstituen tuturan. Salah satu cara penataan informasi itu adalah menurut urgensinya, yaitu mana informasi yang dianggap penting dan mana informasi yang dianggap kurang penting. Konstituen yang mengandung informasi penting memiliki ciri lingual yang berbeda dengan konstituen yang mengandung informasi kurang penting. Ciri lingual tersebut terdapat dalam wacana. Ada dua jenis informasi dalam wacana yaitu latar depan dan latar belakang. Latar depan merupakan informasi yang penting, yaitu bagian naratif yang menyajikan hal-hal yang utama yang sesuai dengan tujuan cerita. Latar belakang merupakan bagian naratif yang memperkuat atau mengomentari tujuan cerita. Ciri-ciri lingual yang membedakan latar depan dan latar belakang disebut pelataran. (Baryadi, 2002: 88 dan 96).

1.5.2 Sintaksis

Definisi sintaksis menurut kamus linguistik yaitu pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Satuan terkecil dalam bidang ini ialah kata (Kridalaksana, 1983: 154). Menurut Verhaar, sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan. Tata bahasa terdiri atas morfologi dan sintaksis. Morfologi menyangkut struktur gramatikal di

4 Sajarwa, 2000, Jurnal Humaniora “Status Informasi dalam Kalimat dan Wacana Bahasa Prancis,

(12)

12

dalam kata, sedangkan sintaksis berkaitan dengan tata bahasa di antara kata-kata di dalam tuturan (Verhaar, 2010:161).

Untuk menganalisis suatu kalimat pada tataran sintaksis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu segmentasi dan substitusi. Segmentasi artinya pemotongan atau pemisahan beberapa konstituen dalam suatu kalimat, sementara substitusi atau bisa juga disebut komutasi, merupakan pengujian terhadap terhadap segmen-segmen tersebut, apakah sudah terpisah dengan baik dan bisa digantikan dengan konstituen yang setara. Segmentasi pada suatu kalimat pada dasarnya dilakukan dengan membagi dua konstituen utama, yang pertama disebut sintagma nominal (SN) dan sintagma verbal (SV). Sintagma nominal unsur dasarnya adalah unsur nominal, sedangkan sintagma verbal unsur dasarnya adalah verba. Sebagian besar kalimat terdiri dari dua konstituen utama, tapi pada kalimat tertentu terdiri dari tiga konstituen yaitu SN, SV, dan sintagma preposisional (SP). Akan tetapi, SP merupakan pilihan, tidak harus selalu ada di dalam suatu kalimat, dan posisinya dapat berpindah-pindah, sedangkan SN dan SV harus selalu ada di dalam sebuah kalimat. (Dubois, 1975: 74-90)

1.5.3 Pola Pikir

Perbedaan bahasa dan budaya mempengaruhi perbedaan pemikiran atau persepsi dari masing-masing penutur bahasa tersebut. Mengenai hal ini, Sapir dan Whorf mempunyai sebuah pemikiran yang disebut sebagai Hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori relativitas linguistik dan teori determinisme linguistik. Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap

(13)

13

budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan bahwa perbedaan-perbedaan ini akan terkodekan dalam bahasa. Istilah “relativitas” ini merujuk pada ide bahwa tidak ada cara yang mutlak atau alami secara absolut untuk memberikan label pada isi dari dunia ini. Pemberian label pada isi dunia ini sesuai dengan persepsi masing-masing individu, dan persepsi ini bersifat relatif, dalam artian berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain.

Teori yang selanjutnya adalah teori determinisme linguistik yang menyatakan bahwa bukan hanya persepsi terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa, tapi bahasa yang digunakan juga dapat mempengaruhi cara berpikir secara mendalam. Bahasa dapat dikatakan sebagai kerangka pemikiran, dan menurut teori determinisme linguistik, orang akan sangat sulit untuk bisa berpikir di luar kerangka itu.

Berkaitan dengan relativitas dan determinisme bahasa, ada salah satu uraian dari pemikiran Whorf yang dituangkan dalam makalahnya yang ditulis tahun 1939 berjudul “The Relation of Habitual Though and Behavior to Language”. Whorf memfokuskan pada ciri-ciri tata bahasa, termasuk di dalamnya tenses yang berperan sebagai ‘latar belakang yang tak teramati’ dalam pemikiran penutur bahasa tentang dunia.5

Tenses atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kala merupakan alat kebahasaan yang digunakan untuk menempatkan peristiwa dalam waktu. Dalam bahasa yang memiliki kala, penempatan peristiwa dalam waktu dinyatakan dengan sejumlah proses morfologis, yaitu pada tataran morfo-sintaksis. Bahasa

5 Linda Thomas & Shan Wareing, 2007, Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (Yogyakarta:Pustaka

(14)

14

Prancis termasuk bahasa yang memiliki kala, sedangkan sejumlah bahasa lain tidak memilikinya. Meski demikian, tidak berarti bahasa yang tidak memiliki kala itu tidak dapat menempatkan peristiwa dalam waktu. Bahasa-bahasa tersebut menempatkan peristiwa dalam waktu dengan alat kebahasaan lain, seperti unsur leksikal dan hubungan antar-kalimat atau hubungan dalam rangka wacana. Bahasa yang tidak memiliki kala, salah satunya adalah bahasa Indonesia. Kala sebagai kategori gramatikal dalam bahasa Prancis terkait pada verba. Kala tersebut mengungkapkan waktu, keaspekan, dan modalitas (Hoed, 1992: 33-34).

1.5.4 Terjemahan

Definisi secara umum mengenai terjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Terjemahan juga dapat diartikan sebagai reproduksi pesan dari bahasa sumber (selanjutnya disingkat BSu) ke dalam bahasa sasaran (selanjutnya disingkat BSa) dengan kesepadanan yang sealami mungkin, baik itu pada makna maupun gaya bahasa (Nida dan Taber, 1964: 166). Terjemahan bertujuan agar amanat yang ada di dalam suatu bahasa (bahasa sumber, BSu) dapat disampaikan di dalam bahasa lain (bahasa sasaran, BSa). Menurut Catford, terjemahan merupakan proses pemindahan teks dari satu bahasa (bahasa sumber) ke dalam padanannya pada bahasa lain (bahasa sasaran). Proses pemindahan ini meliputi kosa kata, penyesuaian tata bahasa, dan bentuk tulisan. (Catford, 1965: 20).

Sebuah teks sumber (TSu) dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor penulis, norma yang berlaku dalam BSu, kebudayaan yang melatari TSu,

(15)

15

dan hal yang dibicarakan, sedangkan faktor yang mempengaruhi teks sasaran (TSa) antara lain pembaca, norma yang berlaku dalam BSa, kebudayaan yang melatari BSa, dan penerjemah (Newmark, 1988: 4). Terjemahan telah menjadi alat dalam proses transfer budaya yang terkadang bertanggungjawab untuk terjemahan yang menyimpang dan bias, bahkan sejak awal komunikasi antar bangsa dan bahasa. Terjemahan itu tidak hanya sebagai media transfer budaya, tetapi juga sebagai media transfer mengenai fakta-fakta yang ada pada teks BSu. (Newmark, 1988: 7).

Secara teoretis penerjemahan itu “tidak mungkin dilaksanakan” karena bukan hanya dari segi sistem dan strukturnya saja bahasa-bahasa itu berbeda, akan tetapi juga semantiknya serta kebudayaan yang melatarbelakanginya tidak sama. Kegiatan penerjemahan itu dapat dilakukan dengan cara mencari dan menemukan padanan-padanan di dalam BSa, meskipun pada umumnya tidak dapat secara penuh mengalihkan amanat dan BSu-nya (Mounin, 1963: 213-215). Padanan adalah suatu bentuk dalam BSa yang sepadan dengan suatu bentuk dalam BSu, apabila dilihat dari segi semantiknya (Catford, 1965:27). Jadi, betul tidaknya suatu terjemahan didasarkan pada teralihkan atau tidaknya amanat dari BSu ke BSa. Pengalihan amanat bersangkutan dengan pemahaman bentuk BSa itu. Bila suatu bentuk bahasa dalam BSa dipahami sama dengan bentuk bahasa dalam BSu, maka dikatakan kedua bentuk itu sepadan (Hoed, 1992: 80)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penerjemahan dilakukan untuk mencari dan menemukan padanan-padanan di dalam BSa. Berkaitan dengan kala, menurut Hoed ada dua hal yang menjadi dasar bagi perpadanan fungsi kala dalam novel bahasa Prancis dan bahasa Indonesia, yaitu:

(16)

16

a. Fungsi kala dalam novel bahasa Prancis

Fungsi ini terdiri dari fungsi temporal dan non-temporal. Fungsi temporal kala merupakan fungsi utama, sedangkan fungsi non-temporal merupakan fungsi turunan. Kaitan antara kedua fungsi ini terletak pada (i) oposisi keaspekan (passé simple, passé composé, imparfait) yang menurunkan kontras antara fungsi pelatardepanan (keaspekan perfektif) dan pelatarbelakangan (keaspekan imperfektif) peristiwa; (ii) oposisi distansi temporal yang merupakan oposisi antara peristiwa yang dianggap dekat dengan saat penulisan dan peristiwa yang dianggap jauh dari saat penulisan. Oposisi6 ini menurunkan oposisi pengalaman (passé composé) dengan kisahan (passé simple).

b. Penerjemahan fungsi kala ke dalam bahasa Indonesia

Fungsi kala yang diterjemahkan ke dalam bahasa meliputi fungsi kala yang temporal dan non-temporal. Fungsi kala yang temporal dapat diterjemahkan dengan ungkapan waktu atau dengan hubungan dalam rangka wacana, kecuali fungsi keaspekannya. Fungsi temporal yang menyangkut waktu mempunyai padanan pada tataran leksikosintaksis dan tataran wacana. Hubungan antara unsur-unsur pada tataran di luar kalimat juga dapat berperan sebagai pembentuk padanan. Unsur-unsur tersebut adalah urutan peristiwa (di dalam dan di luar batas kalimat), topografi (unsur ruang yang menurunkan penafsiran waktu), dan ungkapan waktu non-deiktis (tanggal, hari, bulan, tahun atau jam, atau peristiwa yang dijadikan rujukan).

(17)

17

Sementara itu, fungsi kala temporal mendapat padanan yang non-temporal. Dalam bahasa Indonesia, padanan yang non-temporal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kewaktuan. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia tidak ada hubungan antara keaspekan (telah, sudah, sedang, atau maka… pun… lah) dengan pelatardepanan dan pelatarbelakangan. Peristiwa latar depan umumnya diungkapkan dengan pasif, inversi subjek-predikat, dan partikel-lah, sedangkan peristiwa latar belakang diungkapkan dengan non-pasif (Hoed, 1992: 168-169).

1.6 Metode Penelitian

Untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini, terdapat tiga tahap yang dilakukan oleh penulis, yaitu: tahap pengumpulan data, analisis data, dan yang terakhir tahap penyampaian hasil.

Dalam tahap pengumpulan data, penulis menggunakan metode simak yaitu berupa penyimakan terhadap novel Vendredi et la Vie Sauvage, Kehidupan Liar, Le Rocher de Tanios, dan Cadas Tanios sebagai obyek material. Setelah itu dilanjutkan dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik pencatatan langsung dari sumber data. Data-data yang terkumpul kemudian diseleksi dan diklasifikasi (Sudaryanto, 1993: 133).

Tahap selanjutnya adalah analisis data. Dalam tahap ini, data-data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan teknik pilah unsur penentu dan teknik lanjutan berupa (i) teknik hubung banding menyamakan, (ii) teknik hubung banding memperbedakan, (iii) teknik hubung banding menyamakan hal pokok

(18)

18

yang masing-masing alatnya menggunakan daya banding menyamakan, daya banding memperbedakan, dan daya banding menyamakan hal pokok (Sudaryanto, 1993: 21-27). Setelah itu data akan disajikan menggunakan metode penyajian informal yaitu metode penyajian data yang menggunakan perumusan dengan kata-kata biasa.(Sudaryanto, 1993:145).

1.7 Sistematika Penyajian

Hasil dari penelitian ini akan disajikan dalam tiga bab. Bab I yaitu Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berupa pembahasan mengenai penataan informasi kalimat dan wacana bahasa Prancis dan bahasa Indonesia yang meliputi status informasi kalimat tunggal, kalimat majemuk, dan wacana bahasa Prancis dan bahasa Indonesia; dan urgensi informasi dalam kalimat tunggal, kalimat majemuk, dan wacana bahasa Prancis dan bahasa Indonesia. Bab III berisi tentang kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah selesai melaksanakan tugas latihan mengajar, mahasiswa sesegera mungkin mengadakan pertemuan dengan Dosen Luar Biasa PLP atau Dosen Tetap PLP. Pada pertemuan ini

Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai menetas menjadi nimfa instar

Observasi langsung mikrostruktur menggunakan TurboMAP yang melewati sebuah halangan berupa “bukit” di perairan paparan kontinen pesisir pantai Jogashima, Teluk

Data Flow Diagram (DFD) adalah alat pembuatan model yang memungkinkan professional sistem untuk menggambarkan sistem sebagai suatu jaringan proses fungsional yang

Menyusun laporan pemantauan pengelolaan Bahan berbahaya dan beracun serta peralatan keselamatan kerja.

Objektif CMP adalah untuk memanfaatkan sepenuhnya kecekapan dan keberkesanan sumber yang digunakan bagi memaksimumkan pulangan atas ekuiti dan menyediakan tahap modal yang

Disamping itu pola perubahan rata-rata hasil biji kacang tanah dari keempat galur tersebut mengikuti pola perubahan rata- rata semua genotip di setiap lokasi,

97 4.20 Manfaat Hasil Belajar Berkaitan Dengan Sikap Ketelitian Dalam Pembuatan Jewelry Dengan Prinsip Desain Sebagai Kesiapan Menjadi Desainer Jewelry .... 98 4.21