• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

MENINGIOMA

2.1.1. Sejarah dan Definisi Meningioma

Meningioma adalah sebuah penamaan yang diberikan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922 untuk mendeskripsikan suatu tumor jinak pada selaput otak susunan saraf pusat (Al-Rodhan dan Laws, 1991).Pada awalnya, tumor ini dinamakan tumor fungoid, sarcoma, cylindroma, endothelioma, fibroma, meningoethelioma, arachnothelioma, meningocytoma, mesothelioma, leptomeningioma, dural exothelioma, arachnoidal fibroblastoma, dan pada akhirnya dinamakan meningioma (Chou dan Miles, 1991).

2.1.2. Epidemiologi Meningioma

Pada penelitian di Rochester, Minnesota, Amerika Serikat, yang dilakukan pada tahun 1935 hingga 1977, meningioma terdistribusi sebanyak 40%, tetapi penelitian epidemiologi tahun 1985 di negara yang sama melaporkan 20% dari tumor intrakranial adalah meningioma dengan insiden kejadian meningioma yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia, sebesar 4,4 per 100.000 orang pertahun. Meningioma terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin et al, 2010) dengan predominasi perempuan terhadap laki-laki dengan rasio sebesar 2 : 1. Pada anak-anak, meningioma kerap terjadi 1% hingga 4% dari semua tumor otak. Umur rata-rata pada saat terdiagnosis adalah 11,6 tahun, dibandingkan dengan umur 6,3 tahun untuk tumor-tumor intrakranial lainnya pada anak (Otsukaet al, 2004; Al-Mefty et al, 2011).

2.1.3. Patologi

Meningioma biasanya berbentuk globular dan berkapsul.Tumor ini melekat pada dura dan dapat menekan jaringan otak yang berdekatan tanpa menginvasinya.Walaupun invasi dura dan sinus biasa terjadi, meningioma biasanya mudah dipisahkan dari pia mater (Al-Mefty et al, 2011). Meningioma

(2)

berasal dari lapisan neuroektodermal yang membentuk arachnoid cap cells, yang membentuk lapisan luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Seiring dengan pertambahan umur, kelompok-kelompok arachnoid cap cell akan menjadi lebih jelas, membentuk whorls dan psammoma bodiesyang identik dengan meningioma.Meningioma memiliki tampilan mesenkimal (sel berbentuk spindle dan produksi stroma kolagen) dan epitelial (sitologi bulat atau poligonal, adanya sejumlah intracellular junctions, ekspresi epithelial membrane antigen (EMA) dan fungsi-fungsi sekresi seperti kelenjar, yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis membedakan meningioma dengan arachnoid cap cells matur (Marwin

et al, 2010).

2.1.4. Klasifikasi Meningioma

Pada tahun 2000, WHO mengklasifikasikan meningioma pada bagian tumor-tumor dari susunan saraf pusat (Tumors of the nervous system) di bawah bagian tumor dari meninges dan sub-bagian tumor dari sel-sel meningothelial.WHO mengenal tiga derajat berdasarkan kriteria patologinya dan risiko rekurensi serta pola pertumbuhannya (Al-Mefty et al, 2011).

Menurut klasifikasi WHO, meningioma dibagi menjadi 3 grade, yaitu Jinak (Benign :Grade I), Atipikal (Atypical : Grade II), dan Ganas (Malignant :

Grade III). Meningioma meningothelial, meningioma fibrous (fibroblastik),

meningioma transisional, meningioma psammomatous, meningioma angiomatosa, meningioma mikrokistik, meningioma sekretorik, meningioma

lymphoplasmacyte-rich, meningioma metaplastik diklasifikasikan sebagai grade I.

Meningioma chordoid, meningioma clear-cell, meningioma atypical diklasifikasikan sebagai grade II. Meningioma papillary, meningioma rhabdoid, meningioma anaplastik diklasifikasikan sebagai grade III (Otsuka, 2004; Marwin

et al, 2010).

Lokasi umum meningioma primer dari urutan paling sering adalah parasagital, cavernous, tubercullum sellae, lamina cribrosa, foramen magnum, zona torcular, tentorium cerebelli, sudut serebelopontin, dan sinus sigmoid. Meningioma dengan frekuensi lebih rendah dapat terjadi di medula spinalis,

(3)

intraventricular, orbita (optic nerve sheath dan foramina opticum), intraoseus (tulang temporal petrosa), pineal, ekstrakalvaria, dan ektopik (cavum nasi, sinus paranasal, glandula parotis, paru-paru, glandula adrenal, dan mediastinum(Chou dan Miles, 1991;Otsuka, 2010).

Selain yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Bitzer et al, lokasi meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya pada konveksitas, falx,

sphenoid wing, frontobasal, temporobasal, supraselar, tentorial, infratentorial, dan

lainnya (1998).

Berdasarkan pola pertumbuhannya, meningioma dapat tumbuh sebagai suatu masa (en masse) atau tumbuh memanjang seperti karpet (en plaque). Varian

en plaque pada awalnya dideskripsikan oleh Cushing sebagai suatu karakteristik

tipikal meningioma sphenoid ridge, yang dapat juga disebut sebagai “hyperostosing en plaque meningiomas”. Deskripsi ini kemudian direvisi oleh Bonnal pada tahun 1980, dengan tipe-tipe dari meningioma sphenoid ridgeadalah :en masse, invading en plaque, dan invading en masse.En masse adalah meningioma globular klasik, meningiomainvading en plaque didefinisikan sebagai tumor berbentuk seperti karpet dengan adanya abnormalitas tulang, sedangkan meningioma en massedidefinisikan sebagai bentuk antara darien masse klasik dan meningioma invading en plaque dengan perlekatan dura yang luas tetapi tanpa tampilan seperti karpet (Talacchi et al, 2011).

2.1.5. Karakteristik dan Diagnosis Meningioma

Secara umum, penampilan karakteristik dan diagnosis meningioma adalah batas yang tegas dan perlekatan fokal pada dura. Tumor ini biasanya berbentuk globular, berkapsul, dan memiliki proyeksi pertumbuhan ke arah dalam, memiliki efek menekan tetapi tidak menginvasi parenkim kecuali dalam bentuk maligna, dan terkadang menginvasi dura dan sinus. Jika meningioma segar dipotong akan tampak pucat dan semi-transparan atau homogen dan berwana coklat kemerahan tergantung dari derajat vaskularisasinya. Pola kumparan (whorl) biasanya akan tampak pada permukaan potongan setelah dilakukan fiksasi. Konsistensi berpasir adalah tampilan umum yang dihubungkan dengan adanya badan psammoma.

(4)

Jaringan pembuluh darah yang kasar dapat tampak pada varian meningioma angiomatosa (Chou dan Miles, 1991).

2.1.6. Prognosis

Meningioma memiliki prognosis yang berbeda pada setiap klasifikasi atau derajatnya. Invasi parenkim otak dan lokasi anatomi akan memengaruhi prognosis serta laju rekurensi. Tumor yang berada pada dasar tengkorak seperti pada ala sphenoidalis atau invasi struktur yang penting seperti sinus venosus akan menimbulkan kesulitan dalam total removal dari tumor sehingga menimbulkan angka rekurensi yang tinggi. Walaupun meningioma yang berbatas tegas dapat diangkat secara keseluruhan, meningioma yang memiliki ekstensi ke ruang subdural (10% kasus) akan sulit untuk direseksi seluruhnya, seperti pada meningioma en plaque. Selain dari invasi parenkim dan lokasi anatomi, rekurensi juga kerap terjadi pada meningioma yang memiliki profil ganas, seperti pada pola hemangiopericytic atau papiler. Kriteria selular keganasan adalah adanya mitosis, peningkatan selularitas, polimorfisme inti sel, dan nekrosis fokal. Indeks mitosis yang tinggi juga salah satu aspek yang mengarah pada keganasan (Al-Mefty et al, 2011).

Hubungan kejadian rekurensi telah ditelaah dengan seksama. Hal-hal yang berhubungan dengan kejadian rekurensi tersebut adalah : umur, jenis kelamin, volume tumor, bentuk tumor, perubahan tulang, edema otak, perdarahan, subtipe histologis, indeks label MIB-1, dan VEGF. Tingkat ekspresi VEGF berhubungan dengan prediktor tertinggi terjadinya rekurensi, diikuti dengan indeks label MIB-1 yang tinggi (Al-Mefty et al, 2011). Ekspresi VEGF yang tinggi berhubungan dengan kejadian rekurensi meningioma secara signifikan dan residual sekresi VEGF yang tersisa setelah pembedahan dapat menyebabkan neovaskularisasi yang dapat mendorong terjadinya rekurensi tumor (Yamasaki et al, 2000).

2.2.

EDEMA OTAK

Edema otak didefinisikan sebagai peningkatan volume otak akibat akumulasi cairan abnormal terlokalisasi atau difus di dalam parenkim otak (Weil

(5)

& Oldfield, 2011).Definisi ini tidak mengikutsertakan pembesaran volume akibat penumpukan darah akibat vasodilatasi (akibat hiperkapnia) atau gangguan aliran vena akibat obstruksi vena serebri dan sinus venosus (Nag et al, 2009).

Sesuai dengan Hukum Monroe-Kellie, pada awalnya perubahan volume otak dikompensasi dengan penurunan kadar LCS dan volume darah. Pada lesi hemisfer yang besar, pembengkakkan yang progresif akan melebihi kemampuan mekanisme kompensasi sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, yang dapat menyebabkan herniasi jaringan otak, yang mengarah kepada kematian. Besarnya edema yang terjadi dapat juga menyebabkan defisit neurologis progresif dan dapat membatasi pandanganlapangan operasi (Lindley et al, 1991). Permasalahan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan terhadap edema menjadi suatu hal yang penting dan sering dibahas pada literatur.

Sebagian besar klasifikasi edema serebri mendeskripsikan empat kategori edema, yaitu : sitotoksik, vasogenik, interstisial, osmotik. Usaha untuk menentukan kategori edema yang terjadi dalam suatu kasus adalah hal yang sulit karena dalam masing-masing kasus dapat terjadi lebih dari satu tipe edema yang terjadi secara bersamaan sebagai akibat dari keadaan penyebab yang terjadi (Weil & Oldfield, 2011).

2.2.1. Edema Vasogenik

Edema vasogenik dapat memiliki mekanisme yang sama dengan edema sitotoksik dan bentuk edema lainnya. Penyebab utama dari pembentukan edema vasogenik adalah adanya kelainan sawar darah otak.Hal yang paling umum terjadi adalah pada tumor otak primer atau sekunder, dimana pembuluh darah mikro yang baru terbentuk memiliki defisiensi tight junctions, menyebabkan gangguan sawar darah otak sehingga terjadikebocoran plasma ke ruang ekstraselular. Selain proses yang telah dijelaskan sebelum ini, edema dapat juga terjadi akibat adanya invasi dan migrasi sel. Sebagai tambahan, banyak tumor memiliki mekanisme aktif yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan pembentukan vaskularisasi baru. Hal yang paling luas dipelajari adalah agen yang dapat meningkatkan permeabilitas, proliferasi endothelial, dan migrasi serta organisasi kapiler baru, yaitu VEGF.

(6)

Agen-agen lain yang telah teridentifikasi adalah angiopoietin-1, angiopeietin-2, fibroblast growth factor, hepatocyte growth factor / scatter factor, platelet-derived growth factor, interleukin-3 (IL3), IL4, IL8, transforming growth factor-α (TGFα), TGFß, sejumlah molekul adhesi dan protease seperti urokinase

plasminogen activator, multiple matrix proteinase, integrin, bahkan onkogen(Weil

& Oldfield, 2011).

2.2.2. Edema Sitotoksik

Edema sitotoksik dapat terjadi setelah adanya infark serebri atau meningitis, iskemik, sindroma Reye, trauma, kejang, dan intoksikasi air.Mekanisme umum terjadinya edema sitotoksik yang berhubungan dengan iskemia serebri adalah peran dari glutamat yang berlebihan.Pembengkakkan sel glia yang berhubungan dengan glutamat adalah adanya influx natrium ke dalam astrosit oleh hiperaktivitas glutamate transporter, menyebabkan influx klorida dan air secara pasif. Mekanisme lain dari edema sitotoksik adalah berkurangnya ATP intraseluler yang menyebabkan influx kalsium (Weil& Oldfield, 2011). Karena edema sitotoksik kurang berperan dalam pembentukan peritumoral edema, maka tidak dibahas secara mendalam pada pembahasan ini.

(7)

2.3.

EDEMA PERITUMORAL DAN MENINGIOMA

Edema peritumoral adalah suatu edema yang terjadi pada jaringan di sekitar tumor, berhubungan dengan suatu edema vasogenik. Edema vasogenik peritumoral secara fisiologi berarti adanya peningkatan kandungan air per gram jaringan yang menyebabkan pembesaran berlebihan dari ruang ekstraselular. Oleh karena itu, temuan VEGF pada ruang ekstraselular dan ekspresinya menggarisbawahi peran VEGF pada pembentukan edema peritumoral (Plate et al, 1997).

Meningioma seperti pada tumor susunan saraf pusat lainnya juga memiliki kemampuan untuk menyebabkan edema peritumoral. Pemeriksaan CT Scan dan MRI telah menunjukkan insiden edema serebri di sekeliling tumor sebesar 46% hingga 92% (Lindley et al, 1991; Paeket al, 2002; Otsuka,2004 ; Bitzer et al, 1998).

Edema yang terjadi telah dihubungkan dengan umur, jenis kelamin, ukuran tumor, lokasi, histologi, laju pertumbuhan, produk sekresi dan reseptor hormon. Akan tetapi, tidak ada hubungan absolut telah ditegakkan antara jumlah edema dan faktor-faktor yang telah disebutkan (Lindley et al, 1991; Osawa, 2013).

Edema yang terjadi pada white matter lebih rentan mengalami edema dibandingkan dengan grey matter. Hal ini disebabkan karena white matter memiliki densitas sel yang lebih tinggi dengan koneksi antar sel yang lebih banyak, sehingga ruang ekstraseluler grey matter kurang terpengaruh terhadap terjadinya edema(Nag et al, 2009).

Pada edema vasogenik, terjadi kerusakan komponen sawar darah-otak (BBB). Komponen seluler dari BBB adalah sel endotel, perisit, dan prosesus astrositik perivaskular, dan neuron yang terlibat membentuk unit neurovaskular.Tipe sel yang telah banyak dipelajari adalah sel endotel serebri yang memiliki dua penampilan struktural berbeda, yang membatasi permeabilitasnya terhadap protein plasma.Sel-sel tersebut memiliki caveolae lebih sedikit atau vesikel plasmalemmal dibandingkan dengan pembuluh darah non-neuronal dan tight junction sirkumferensial tampak sepanjang ruang antar

(8)

endotel.Penelitian ultrastruktural telah mendemonstrasikan peningkatan jumlah caveolae endotelial.Temuan ini mengarahkan pemikiran bahwa peningkatan jumlah caveolae endotelial adalah jalur utama lewatnya protein plasma melewati endotel melalui transitosis fase cair dan kanal transendotelial (Nag et al, 2009).

Beberapa konsep mengenai patogenesis terjadinya edema peritumoral telah dijelaskan, seperti: ukuran tumor, lokasi, histologi, derajat selular atau vaskularisasi, kemungkinan terjadinya iskemia, obstruksi aliran balik vena akibat kompresi oleh tumor atau aktivitas sekresi, reseptor hormon seks, juga adanya perdarahan dari peredaran darah serebral, tetapi semua itu belum dapat dipastikan (Bitzer et al, 1998; Vaz et al, 1998).

2.3.1. Mengukur Peritumoral Edema

Dari hasil pemeriksaan radiologis, volume dari tumor dan edema dapat diukur dan indeks edema dapat dihitung (Bitzer et al, 1998; Otsuka et al, 2004). Volume dari tumor dapat diperhitungkan dengan formula hitung volume elliptical

sphere :

Hubungan antara edema peritumoral dengan volume tumor didefinisikan sebagai indeks edema:

OeI =1, mengindikasikan tidak ditemukannya edema.

Derajat dari beratnya edema peritumoral telah ditentukan oleh Paek SH et

al pada penelitiannya tahun 2002 sebagai : Grade 0, tidak terjadi edema atau

edema yang dapat dihiraukan (PTEI <0,1); Grade 1, edema ringan (0,1<PTEI<1,0); Grade 2, edema sedang (1,0<PTEI<2,0); Grade 3, edema berat (PTEI >2).

abc

v

=

π

×

3

4

Tumor Edema

v

v

v

OeI

=

+

Tumor

(9)

2.4.

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR(VEGF)

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) adalah suatu protein yang identik dengan Vascular Permeability Factor (VPF), terdiri dari A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, Placental Growth Factor (PIGF), Vammin atau VEGF-F. Sebelum ditemukan isoformlain, VEGF-A dikenal hanya dengan VEGF.VEGF adalah sebuah protein terglikosilasi berbentuk homodimer dengan ikatan disulfida, berukuran 34 - 46 kD (Plate et al, 1997; Bitzer et al, 1998; Machein dan Plate, 2000), dengan terminal N dan domain ikatan heparin. Memiliki homologi sebesar 20% terhadap platelet-derived-growth-factor(PDGF).

VEGF-A yang juga disebut identik denganVascular Permeability Factor (VPF)(Sakuma et al, 2008; Bitzer et al, 1998), adalah sebuah Growth Factor dengan aktivitas mitogenik spesifik terhadap endotel. VEGF telah dimurnikan dari sel-sel folikulostelata hipofisis, sel-sel AtT-20 hipofisis dan sel-sel GS-9L glioma dalam medium terkondisi. Selain itu, dari sel-sel tumor guinea pigdan sel-sel limfoma histiositik manusia U-937 dalam medium terkondisi, sebuah protein yang memiliki kemampuan untuk menginduksi permeabilitas vaskular telah dimurnikan dan dinamakan VPF(Machein dan Plate, 2000).

Kloning molekuler dari complement DNA (cDNA) menunjukkan terdapat empat macam VGEF pada manusia sampai sejauh ini. Hal ini terjadi akibat dari

alternative splicing dari mRNA (Bitzer et al, 1998). Keempat isoform berbeda

tersebut telah dinamakan berdasarkan jumlah asam aminonya, yaitu VEGF121,

VEGF165, VEGF189, dan VEGF206. Isoform terkecil VEGF121 tidak berikatan

dengan haparin dan secara efisien disekresikan oleh sel-sel kedalam medium terkondisi. VEGF189 berikatan dengan heparin dan disekresikan, tetapi tetap

berikatan dengan matriks ekstraselular dari permukaan sel. VEGF165 yang

terkarakterisasi terbaik, paling dikenal dan paling banyak jumlahnya pada sebagian besar jaringan dan tumor, berikatan dengan heparin dan tersekresi tetapi tampak berikatan dengan matriks ekstraselular sampai keadaan tertentu. Signifikansi biologis dari isoform terbesar VEGF206 masih belum jelas (Plate et

(10)

basal sedangkan ekspresi mRNA dan protein VEGF tinggi terdapat pada sel-sel epitelial pleksus koroid normal dan sel-sel ependimal (Nag et al, 2009).

VEGF-B adalah anggota dari keluarga VEGF yang menunjukkan homologi kuat terhadap VEGF-A. VEGF B memiliki dua isoform, yang mengikat VEGFR-1 dan neuropilin. VEGF-B adalah satu-satunya anggota dari keluarga VEGF yang terekspresi dalam kadar yang dapat terdeteksi pada susunan saraf pusat orang dewasa. VEGF-B memiliki peran dalam pemeliharaan BBB dalam keadaan stabil dan dapat bersifat protektif dalam kerusakan BBB dan pembentukan edema (Nag et al, 2009).

Sifat-sifat VEGF yang dapat menginduksi permeabilitas (Bitzer et al, 1998) telah didemonstrasikan pada jaringan otak.Publikasi oleh Nassehi (2013) telah menyatakan bahwa VEGF berperan dalam pembentukan edema pada meningioma dengan menginduksi pembentukan kapiler yang memiliki permeabilitas tinggi (leaky) sehingga menyebabkan sekresi VEGF dan plasma ke dalam jaringan peritumoral.Suntikan intrakortikal dari VEGF-A menghasilkan kerusakan BBB pada lokasi suntikan (Nag et al, 2009).

Sebuah hubungan yang kuat ditemukan antara ekspresi VEGF dan luasnya neovaskularisasi pada tumor otak (Bitzer et al, 1998). Walaupun beberapa jaringan normal memproduksi mRNA VEGF/VPF, jika dibandingkan, sel-sel tumor memiliki overekspresi mRNA dan protein VEGF/VPF (Otsukaet al, 2004).

VEGF adalah sebuah mitogen spesifik dari sel endotelial, in vitro, yang menginduksi angiogenesis dan permeabilitas vaskular secara in vivo (Plate et al, 1997; Otsuka, 2004),dengan potensi 1000 kali dibandingkan dengan histamin, VEGF juga merupakan suatu faktor angiogenesis penting selama perkembangan embrionik, pembentukan stroma tumor (Otsukaet al, 2004).Selain itu, defisiensi glukosa juga dapat menginduksi ekspresi VGEF. Dalam pertumbuhan tumor, VEGF penting untuk angiogenesis dan dapat menginduksi edema peritumoral (Paeket al, 2002).

Suatu penelitian oleh Bitzer et al(1998) menunjukkan bahwa glioma dengan VEGF negatif jarang sekali berhubungan dengan edema, dimana glioma VEGF positif seringkali tampil dengan edema atau kista tumoral. Dari penelitian

(11)

tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa VEGF merupakan hubungan yang penting antara terjadinya edematogenesis yang berinteraksi dengan faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas seperti histamin, serotonin, bradikinin, leukokin dan prostaglandin.

Selain itu, VEGF dapat terinduksi oleh hipoksia sebagai penginduksi mayor) dan terekspresi dalam jumlah tinggi pada sel-sel perinekrotik palisade dari glioblastoma manusia sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular. Secara in vitro, hipoksia menyebabkan peningkatan ekspresi VEGF sekitar sepuluh kali lipat dan juga suatu pendorong ekspresi gen (over expression) VEGF pada sel-sel glioblastoma secara in vivo. Hal ini mencerminkan pemicu paling penting dari angiogenesis dan edema. Adanya mRNA VEGF dalam jumlah besar pada sel-sel hipoksik adalah akibat peningkatan transkripsi gen VEGF dan peningkatan stabilitas messenger RNA (mRNA). Induksi hipoksik dari ekspresi VEGF juga dapat dimediasi oleh aktivasi c-src. Pada sel dengan c-src negatif kegagalan induksi VEGF oleh hipoksia telah terobservasi. Secara in situ, sel-sel yang mengekspresikan mRNA VGEF ditemukan dalam jumlah banyak di sekitar daerah nekrosis. Sel-sel ini kemungkinan dekat dengan kematian sel hipoksik dan menghasilkan sejumlah besar VEGF dalam rangka untuk menyelamatkan diri (Plate et al, 1997).

Beberapa penelitian lainnya menyimpulkan bahwa ekspresi VEGF berhubungan dengan vaskularisasi meningioma sedangkan ada beberapa penelitian yang menentangnya, hal ini dapat disebabkan karena adanya keterlibatan meningioma angiomatosa dan meningioma dengan grade yang lebih tinggi, seperti meningioma atipikal dan anaplastik. Meningioma angiomatosa menunjukkan densitas mikrovaskular terpadat, tetapi kadar VEGF-A tidak selalu tertinggi. Grade meningioma yang lebih tinggi akan memiliki kadar VEGF-A lebih tinggi tanpa peningkatan densitas mikrovaskular. Walaupun VEGF-A terlibat dalam angiogenesis pada meningioma, peningkatan ekspresi VEGF-A tidak menyebabkan peningkatan jumlah pembuluh darah (Sakuma et al, 2008).

VEGF-A juga telah dilaporkan sebagai regulator kunci terjadinya neovaskularisasi dan pembentukan edema peritumoral pada meningioma (Sakuma

(12)

et al, 2008). Dibandingkan dengan meningioma dengan ekspresi VGEF negatif,

tumor dengan pewarnaan VGEF positif menunjukan indeks edema rata-rata lebih tinggi secara signifikan (4,2 vs. 1,5; p<0,018) (Bitzer et al, 1998). Pada penelitian klinis, konsep VEGF adalah suatu mediator utama dari edema peritumoral telah dikonfirmasi dengan berkurangnya penyangatan kontras, yang berhubungan dengan permeabilitas vaskuler, dan edema di sekitarnya pada pencitraan setelah pasien dengan glioblastoma diterapi dengan anti-VEGF, bevacizumab (Weil & Oldfield, 2011).

Beberapa penelitian telah melaporkan pentingnya ekspresi VEGF terhadap terjadinya edema peritumoral pada tumor otak. Telah dilaporkan hubungan antara VEGF terhadap edema peritumoral pada tingkat protein dan mRNA pada meningioma dan adanya hubungan yang kuat antara edema peritumoral dengan ekspresi VEGF. Sampai saat ini hubungan dari reseptor VEGF terhadap edema peritumoral dan peran reseptor VEGF pada edema peritumoral dan ekspresi reseptor-reseptor VEGF yang berhubungan dengan edema peritumoralmasih dalam penyelidikan. Telah diusulkan bahwa induksi terjadinya fenestrasi endotelialjaringan tumor mungkin menjadi mekanisme terjadinya edema yang dimediasi VEGF pada tumor otak. Penelitian oleh Otsuka et al menunjukkan ekspresi dari Flt-1 dan Flk-1 berhubungan dengan ekspresi VEGF dan ukuran dari edema peritumoral (2004).

VEGF ditemukan terekspresi secara heterogen dan secara eksklusif pada meningioma (Schmid, 2010), mengindikasikan bahwa faktor pertumbuhan lain dari VEGF mungkin memiliki peran dalam vaskularisasi meningioma. Placental

growth factor (PIGF) yang berikatan dengan 1 tetapi tidak pada

VEGFR-2 terdeteksi dalam beberapa meningioma. Signifikansi dari temuan ini sampai saat ini belum jelas(Plate et al, 1997), akan tetapi, VEGF diketahui menginduksi angiogenesis, meningkatkan permeabilitas vaskular, dan memegang peran dalam neovaskularisasi dan pembentukan stroma tumor. Akumulasi VEGF yang berikatan dengan Flt-1 pada sel-sel meningioma berhubungan dengan terbentuknya kista mikro, yang menyebabkan terjadinya meningioma mikrokistik pada tampilan histologis, sehingga ekspresi dari VEGF dan reseptor VEGF

(13)

berhubungan secara positif dan berhubungan dengan terjadinya edema peritumoral pada meningioma (Otsukaet al 2004).

Meningioma dengan perdarahan tambahan dari pembuluh darah cerebral berhubungan dengan rata-rata indeks edema yang lebih tinggi secara signifikan (4,1 vs. 1,2; p<0,01) dan insiden edema (94,7% vs. 20,0%; p<0,0023) dibandingkan meningioma dengan perdarahan eksklusif dari arteri dura. Semua meningioma dengan ekspresi VGEF yang tinggi berhubungan dengan vaskularisasi yang berasal dari arteri cerebral (Bitzer et al, 1998).

Penelitian yang dilakukan oleh Bitzer et almenunjukkan adanya hubungan antara ekspresi VEGF, suplai arterial tumor dan edema peritumoral. Perkembangan dari suplai perdarahan dari arteri serebral dapat menjadi suatu hal yang penting dalam pembentukan edema yang berhubungan dengan meningioma. VGEF dapat mencerminkan suatu mediator yang berpotensi dalam evolusi vaskularisasi pada meningioma (1998).

Sebuah hubungan erat antara insiden edema dengan perdarahan arterial dari arteri serebral pada meningioma telah ditemukan. Perdarahan yang berasal dari pia mencerminkan sebuah hubungan erat antara tumor dan jaringan otak yang berhubungan. Membran araknoid ditembus oleh pembuluh darah serebral yang dapat dianggap tidak terdapat lagi pembatas fisiologis, suatu hal yang dapat mengindikasikan suatu infiltrasi tumor atau terjadinya disintegrasi pembatas araknoid. Sebuah hubungan yang kuat telah dibuktikan secara histologis akan adanya perlekatan tumor pada jaringan otak berdekatan dan keberadaan suatu edema (Bitzer et al, 1998).

Perkembangan dari perfusi pial terhadap tumor yang dialirkan oleh arteri serebral mencerminkan suatu tahap penting dalam proses angiogenesis suatu meningioma. Pada tumor dengan ukuran yang lebih kecil, perdarahan dura dapat menyokong nutrisi yang dibutuhkan, oleh karena itu perdarahan pial belum dibutuhkan. Dengan ukuran yang semakin membesar keberadaan perdarahan dari pial juga meningkat dan dapat ditemukan pembuluh-pembuluh serebral yang menembus tepi tumor. Pada umumnya perkembangan kapiler dibutuhkan jika ukuran tumor melebihi beberapa milimeter. Sebagai suatu mediator dari

(14)

angiogenesis keberadaan dari suatu faktor angiogenik telah dipostulasikan (Bitzer

et al, 1998).

Edema peritumoral pada meningioma dapat memunculkan gejala klinis juga efek yang tidak diinginkan sebagai akibat dari adanya distorsi atau berkurangnya aliran darah cerebral sehinggaterjadi peningkatan tekanan intrakranial. (Bitzer et al, 1998). Edema peritumoral tersebut dipertimbangkan sebagai sebuah contoh dari edema vasogenik (Wang et al, 2011) akibat terganggunya sawar darah otak yang menyebabkan peningkatan permeabilitas, walaupun hal ini sulit untuk dijelaskan dan mekanisme patofisiologinya belum jelas dimengerti. Peran dari pembuluh darah baru (neovessel) dan kapiler jaringan peritumoral meningioma dalam pembentukkan edema telah dipertimbangkan tetapi belum dapat diklarifikasi(Vaz et al, 1998).

Beberapa penelitian menekankan pentingnya VGEF dalam perkembangan angiogenesis tumor (Bitzer et al, 1998). Meningioma timbul secara ekstra-serebral sehingga terpisah dari white matter oleh leptomeninges dan korteks, selain itu, pertumbuhan tumor dapat merusak leptomeninges dan korteks sehingga mempersatukan jarak antara tumor dan white matter sehingga dapat terjadi transmisi langsung cairan edema (Vaz et al, 1998). Akan tetapi, faktor mekanik yang disebabkan oleh penekanan tumor terhadap jaringan sekitar tidak cukup menjelaskan terjadinya edema pada banyak kasus, khususnya meningioma yang berukuran kecil (Vaz et al, 1998).Penelitian oleh Constantini et al (1993) telah mendemonstrasikan tidak ada hubungan antara peritumoral edema dan kandungan air pada tumor. Pembuluh darah mikro dapat memberikan kontribusi dalam terbentuknya edema serebri di sekitar meningioma. Keberadaan perubahan morfologi sel-sel kapiler yang tidak berhubungan langsung dengan sel tumor dapat disebabkan oleh aksi dari satu atau beberapa faktor yang dapat berdifusi dengan jarak tertentu dari masa tumor (Vaz et al, 1998). Oleh sebab itu, dapat diambil kesimpulan bahwa sel-sel meningioma dapat melepaskan mediator kimiawi yang dapat menyebabkan edema, salah satu mediator kimawi tersebut adalah VEGF. VEGF dapat menembus jaringan pertumoral dan menyebabkan edema (Wang et al, 2011). VEGF dan VEGF mRNA secara simultan terekspresi

(15)

dengan korelasi positif terhadap terjadinya edema pada meningioma, tetapi hanya VEGF yang terdapat pada jaringan peritumoral tanpa adanya VEGF mRNA. Seiring dengan menjauhnya jarak dari tumor, ekspresi protein VEGF telah ditemukan menurun secara gradual (Wang et al, 2011).

VEGF berperan penting dalam mekanisme edema vasogenik pada meningioma. Meningioma dengan VEGF positif akan memiliki edema lebih luas, yang berhubungan erat dengan intensitas pewarnaan VEGF secara imunohistokimia. Beberapa peneliti juga telah menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA VEGF pada meningioma berhubungan dengan edema dan peningkatan peredaran darah dari arteri serebral melalui induksi proliferasi arteri dan perkembangan kapiler (Bitzer et al, 1998). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekspresi VEGF berhubungan positif dengan ekspresi HuR protein (Sakuma et al, 2008). Hipoksia akan menginduksi upregulation ekspresi VEGF dan translokasi sitoplasmik protein HuR pada sel-sel meningioma, dan jika terjadi inhibisi translokasi protein HuR akan mengurangi upregulation ekspresi VEGF. Temuan ini mengagas pemikiran bahwa ekspresi VEGF berhubungan dengan terjadinya edema peritumoral pada meningioma dan HuR terlibat dalam

upregulationekspresi VEGF.

Dua jalur alternatif dari upregulasi VEGF adalah melalui :

1. Epidermal growth factor (EGF), platelet derived growth factor-B (PDGF-B) dan basic fibroblast growth factor (bFGF) mampu menginduksi VEGF dalam sel-sel glioma secara in vitro tetapi masih belum jelas apakah dapat menginduksi VEGF secara in vivo.

2. Sel-sel yang terpengaruh oleh p53 mutan mengekspresikan kadar VEGF lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel yang mengekspresikan p53 wild type. Tetapi, sampai saat ini belum ada bukti mencukupi untuk untuk menentukan peran overekspresi reseptor EGF atau hilangnya fungsi p53 dari upregulasi VEGF pada glioma secara in vivo (Plate et al, 1997).

(16)

Pemberian steroid mempengaruhi edema vasogenik yang menyebabkan berkurangnya ruang ekstraselular. Mekanisme ini belum jelas diketahui, tetapi telah ditunjukkan bahwa dexamethasone mampu menginhibisi produksi VEGF pada sel-sel glioma yang bergantung dengan dosis (Plate et al, 1997). Pemberian dexametahasone seperti yang telah dideskripsikan penggunaannya pertama kali pada tahun 1961 oleh Galicich, French, dan Melby (McClelland, 2008) telah terbukti dapat menurunkan sekresi VEGF sebesar 32% dari garis dasar (Tsai et al, 1999). Akan tetapi pemberian steroid dapat menjadi pisau bermata dua. Pemberian steroid untuk terapi tumor otak preoperatif dapat menyebabkan penurunan fungsi imunitas, hiperglikemia, dan gangguan penyembuhan luka (Bebawy, 2012).

Dasar struktural dari induksi permeabilitas vaskuler dari VEGF belum dimengerti dengan baik, namun beberapa mekanisme yang telah dipaparkan. Setelah VEGF berikatan dengan reseptornya, terjadi perubahan sitoskeletal yang menyebabkan kontraksi sel dan peningkatan permeabilitas vaskuler (interseluler). Mekanisme lain yang diajukan adalah peningkatan aktivitas organel vesiculer-vacuolar yang berfungsi sebagai transpor transendotelial secara in vivo dan oleh karena itu mengubah endotelium dari fenotipe tidak berfenestrasi menjadi terfenestrasi (seperti pada gromelorus) (Plate et al, 1997).

Sebuah penelitian menunjukkan suatu regulasi parakrin dari proses angiogenesis. VEGF dapat meningkatkan permeabilitas dari pembuluh-pembuluh darah serebral dan dapat menginduksi edematogenesis jaringan otak sekitar (Bitzer et al, 1998).

2.5.

RESEPTOR VEGF

VEGF dan reseptornya adalah regulator mayor dari angiogenesis pertumbuhan dan perkembangan. Telah ditemukan dua reseptor tirosine kinase dengan afinitas tinggi terhadap VGEF, yaitu VEGFR-1 (flt-1) dan VEGFR-2 (flk-1/KDR). Reseptor VEGF bersama dengan reseptor PDGF-α dan –β dan flt-4, membentuk subklas III dari reseptor tirosine kinase. Tirosine kinase seperti fms mununjukkan hubungan struktural dengan reseptor Fms/Kit/PDGF. Flt-1 terdiri

(17)

dari tujuh ulangan seperti imunoglobulin pada domain ikatan ligan, sebuah domain transmembran dan sebuah kinase (Plate et al, 1997).

Terdapat sedikitnya dua reseptor transmembran VEGF: fms-like tyrosine kinase (flt) dan fetal liver kinase (flk). Flt dan flk memiliki afinitas ikatan VEGF dan aktivitas tirosine kinase yang berbeda. Flt-1 dan Flk-1 adalah reseptor yang paling sering diteliti. Ekspresi dari Flk-1 dibutuhkan untuk efek mitogenitas dari VEGF, sedangkan Flt-1 mungkin berfungsi sebagai regulator negatif dari fungsi VEGF dengan memodulasi ketersediaan VEGF. Telah diketahui bahwa VEGF-A berikatan secara spesifik terhadap Flt-1 dan Flk-1, VEGF-B terhadap Flt-1, VEGF-C dan VEGF-D terhadap Flt-4 dan Flk-1, dan VEGF-E terhadap Flk-1.

Sel-sel endotelial akan terstimulasi oleh sel-sel tumor secara parakrin. (Bitzer et al, 1998; Otsukaet al, 2004) karena VEGF terdeteksi dalam jumlah besar pada pembuluh darahdi sekitar sel-sel yang memproduksi mRNA VEGF.VEGF yang disekresikan oleh sel tumor, berikatan dengan sel-sel endotelial yang mengekspresikan reseptor VEGF. Namun, pertumbuhan suatu keganasan intraparenkimal pada otak tidak perlu bergantung terhadap kemampuan sel-sel tumor untuk memproduksi VEGF (Plate et al, 1997).

Selain reseptor VEGF trans-membran, terdapat dua bentuk reseptor VEGF yang larut dalam plasma yang disebabkan oleh mekanisme alternative

splicing(Saito et al, 2013), yaitu sVEGFR-1 dan sVEGFR-2 (Lorquet et al, 2010).

Reseptor ini secara fisiologis terbentuk dan terjadi produksi berlebihan pada beberapa keadaan patologis. Reseptor ini juga dapat dianggap sebagai agen anti-VEGF. sVEGFR-1 memiliki peran penting dalam pembentukkan tunas dan migrasi pembuluh darah. Mekanisme peran sVEGFR-1 dan sVEGFR-2 dalam maturasi vaskular merupakan suatu hal yang kompleks akan tetapi terdapat beberapa bukti selama proses angiogénesis reseptor tersebut terlibat dalam komunikasi antara sel endotelium dan sel mural menyebabkan migrasi sel mural dan maturasi vaskular, selain itu upregulation sVEGFR-1 oleh VEGF-A dapat menjadi sistem umpan balik negatif (Saito et al, 2013).

(18)

2.6.

PERAN VEGF DAN TERAPI ANTI ANGIOGENIK

Sebuah terapi anti-angiogenik adalah metode baru yang potensial untuk menterapi tumor-tumor dengan proses angiogenik tinggi dengan prognosis buruk dan agresif (Preusser et al, 2012). Dalam rangka menemukan strategi terapi alternatif, efek transfer genetik secara in vivo dari mutan dengan mutan VEGFR-2 negatif banyak diteliti.

Penelitian yang melakukan injeksi antibodi monoklonal anti-VEGF netralisasi ke dalam tumor menunjukkan inhibisi signifikan pertumbuhan tumor karena efek inhibisi angiogénesis tumor.Hal ini menyebabkan VEGF dapat dianggap sebagai suatu faktor penting dalam proses angiogenesis suatu tumor.Inhibisi dari angiogenesis juga dapat menyediakan suatu konsep terapi terhadap meningioma yang tidak dapat dioperasi.Selain itu, terapi genetik anti-angiogenik dapat dilakukan pada tumor-tumor yang tidak dapat dioperasi (Plate et

al, 1997;Bitzer et al, 1998).

Publikasi oleh Akerman (2013) menyatakan bahwa ekspresi isoform VEGF dapat berguna dalam prediksi respon terapi antiangiogenik dan terapi perusak neovaskularisasi. Terhadap tikus dengan tumor yang diberikan SU5416, sebuah inhibitor indolinone receptor tyrosine kinase (RTK) dengan aktifitas anti VEGFR-2, terjadi normalisasi vaskularisasi. Pemberian SU5416 pre-terapi dapat menyebabkan resistensi terhadap terapi agen perusak tubulin-binding vaskuler (VDA) yaitu combrestatin A4 3-O-phosphate (CA4P). Normalisasi vaskular yang disebabkan oleh terapi anti-angiogenik dapat mengurangi efektifitas terapi VDA.

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat Berbasis Lingkungan Hidup Di Desa Margalaksana Kabupaten Bandung Barat, Jurnal Kawistara VOLUME 8 No. Selain itu perusahaan juga melakukan pemantauan secara berkala

(b) Apabila mata uang asing tersebut adalah mata uang dari negara apapun atau negara dari suatu serikat keuangan, apabila segala sesuatu yang berhubungan dengan serikat

J : Data yang perlu dicantumkan dalam laporan kredit antara lain nomor rekening, nama, bunga, tanggal mulai, tanggal jatuh tempo, kolektibilitas, angsuran, plafond, baki

Berdasarkan hal tersebut di atas, rnaka dalarn skripsi ini akan dibahas 3 (tiga) perrnasalahan, yaitu apakah yang rnenjadi sebab Kurator Swasta hams didaftarkan pada

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, komite audit, kepemilikan manajerial terhadap kinerja perusahaan

Penelitian ini berjudul “Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai Informasi Akuntansi ”. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kualitas informasi akuntansi pada

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Keperawatan Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi A : masalah Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan.. ketidaknyamanan nyeri

Faktor yang berhubungan dengan kejadian Ketuban pecah dini yaitu Infeksi, kehamilan kembar, hidramnion, serviks inkompeten, letak janin, fisiologis selaput