• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II WIRAUSAHA AKSESORIS. Aksesoris sering kali dikaitkan dengan fashion, karena benda-benda yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II WIRAUSAHA AKSESORIS. Aksesoris sering kali dikaitkan dengan fashion, karena benda-benda yang"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

WIRAUSAHA AKSESORIS 2.1. Aksesoris

Aksesoris sering kali dikaitkan dengan fashion, karena benda-benda yang dikenakan dianggap dapat mendukung penampilan seseorang. Studi aksesoris sebagai bagian dari fashion tidak hanya berbicara tentang bentuk materialnya saja, tetapi juga peran dan makna aksesoris dalam tindakan sosial. Istilah fashion itu sendiri sering digunakan dalam arti positif sebagai sinonim untuk glamour, keindahan, gaya atau

style yang terus mengalami perubahan dari generasi ke generasi atau dari satu periode

ke periode berikutnya.

Perkembangan aksesoris dari masa ke masa menggambarkan karakter dan budaya yang berbeda dari tiap-tiap jamannya. Aksesoris merupakan blueprint yang dalam perkembangannya selalu mengalami pengulangan mode atau bentuk. Dikatakan sebagai blueprint, karena aksesoris itu sendiri sebenarnya sudah ada dibuat oleh orang lain jauh sebelumnya, kemudian orang lain tinggal meniru dan memodifikasinya.

Proses pembuatan dan memodifikasi aksesoris, biasanya disesuaikan dengan fenomena yang tengah berlaku di masyarakat. Aksesoris yang menjadi ciri khas dari suatu fenomena tertentu, kemudian bisa menjadi popular dan dianggap sebagai sebuah tren di masyarakat. Tren mode dari suatu aksesoris mempunyai masanya tersendiri. Jika fenomena yang ada di masyarakat sudah tidak popular lagi, maka mode dari aksesoris tersebut bisa tidak diminati lagi dan digantikan dengan mode aksesoris baru yang menjadi tren saat itu. Oleh karena itu, sejarah dari aksesoris adalah tentang tren mode yang pernah terjadi sebelumnya. Meskipun asal-usul pertama sekali aksesoris

(2)

itu muncul tidak bisa dipastikan, akan tetapi tiap jenis aksesoris memiliki sejarahnya masing-masing. Jenis perhiasan aksesoris yang sering dikenakan oleh banyak orang sampai sekarang adalah berupa gelang, kalung, cincin, dan anting-anting. seperti berikut ini:

1. Gelang

Aksesoris seperti gelang dalam bahasa asing disebut bracelet berasal dari kata

brachile (bahasa latin) yang berarti ‘terletak di lengan'. Bagi penduduk Amerika

Latin, gelang dipercaya dapat melindungi bayi mereka dari setan, untuk itu setiap bayi akan mengenakan gelang di bagian lengannya. Sedangkan penduduk di Asia dan Eropa lebih percaya bahwa gelang melindungi seseorang dari kesialan, di mana orang yang mengenakan gelang dipercaya akan jauh lebih beruntung daripada mereka yang tidak mengenakan apa-apa di lengannya.

Sumber:

Winda Ragil Puspita, “Asal aksesoris gelang”,

http://windaragilpuspitamautau.blogspot.com/2011/07/asal-aksesoris-gelang.html (diakses pada tanggal 6 Februari 2013)

2. Kalung

Kalung adalah sebuah perhiasan berlingkar yang dikaitkan pada leher seseorang. Biasanya sebuah kalung berbentuk rantai dan kadang-kadang ditambahkan liontin sebagai pemanis. Kalung telah menjadi bagian integral dari perhiasan sejak peradaban kuno. Konon kalung dipercaya sudah digunakan sejak jaman batu, yaitu berkisar 40,000 tahun lalu. Pada masa itu, orang menggunakan kalung untuk menghiasi diri mereka, yang mana terbuat dari kerang-kerangan. Di kemudian hari, kalung terbuat dari batu, tulang, kulit kerang dan gigi binatang.

Setelah penemuan besi, emas, dan perak, bahan yang beragam mulai digunakan sebagai penarik perhatian bagi pria ataupun wanita. Kalung telah

(3)

digunakan sepanjang sejarah oleh laki-laki dan perempuan. Digunakan untuk menandai berbagai perbedaan di banyak kebudayaan.

Pada beberapa kebudayaan, kalung dapat menandakan kelas sosial penggunanya. Kalung juga digunakan sebagai identitas penggunanya, seperti kalung yang digunakan oleh tentara Amerika Serikat disebut sebagai dog tags. Kalung ini mulai digunakan sejak perang dunia ke dua. Indentitas pemakai diletakkan pada liontin yang terbuat dari lempengan aluminium. Identitas yang dituliskan adalah nama, jabatan, resimen atau korps dari si pemakai.

Sumber:

“Sejarah Kalung”,

http://alyamalika.multiply.com/journal/item/3?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem (diakses pada tanggal 6 Februari 2013)

3. Cincin

Cincin merupakan sebuah perhiasan yang melingkar di jari. Sejarah cincin dimulai di Mesir Kuno sebagai simbol lingkaran, digunakan untuk melambangkan siklus tidak pernah berakhir. Cincin Pasangan digunakan selama zaman Romawi. Pria Romawi memberikan cincin pada wanita yang merupakan simbolis untuk melindungi dan menghargai pasangannya. Cincin ditempatkan di jari manis di tangan kiri, kebiasaan ini berakar dari orang Mesir kuno yang percaya bahwa jari manis tangan kiri berhubungan dengan pembuluh darah yang langsung mengarah ke jantung (vena amoris). Oleh karena itu, orang yang memakai cincin di jari manis tangan kiri menunjukkan bahwa sang pemakai sedang berada dalam sebuah hubungan.

Penduduk Roma percaya cincin sebagai simbol untuk kepemilikan bukan cinta. Ini berarti bahwa suami akan mengklaim istrinya. Pada abad kedua SM (sebelum masehi), pengantin Romawi diberikan dua cincin, satu emas yang dia kenakan di depan umum, dan satu terbuat dari besi, yang bisa ia dipakai di rumah

(4)

sambil melakukan pekerjaan rumah. Secara Historis, penggunaan cincin tidak selalu menandakan sebuah pernikahan, namun juga sebagai tanda sayang maupun persahabatan.

Sejarah cincin pertunangan pertama berasal dari 1215, ketika Pobe Innocent III mengisyaratkan cincin menjadi syarat dari masa tunggu antara janji pernikahan dan upacara pernikahan yang sebenarnya. Cincin itu kemudian ditandai dengan pengabdian pasangan satu sama lain. Selama periode waktu dari masa ke masa, cincin juga di representasikan sebagai tingkatan sosial seseorang, semakin mahal cincinnya berarti memiliki tingkatan sosial yang tinggi pula.

Pada abad ke-21, di banyak kebudayaan, cincin sudah dikenal sebagai alat pengikat satu pasangan dengan yang lain. Cincin dikenakan secara terus menerus yang merupakan simbol dari mereka untuk mempertahankan komitmen yang mereka pegang.

Sumber:

“Sejarah Cincin”,

http://gallerysilver.blogspot.com/2012/08/sejarah-cincin.html (diakses pada tanggal 6 Februari 2013) 4. Anting-anting

Anting-anting merupakan jenis aksesoris yang digunakan sebagai penghias telinga. Cara memakai anting itu sendiri adalah dengan menusuk tulang rawan telinga atau yang lebih dikenal dengan istilah tindik. Penemuan Arkeologis mengenai anting terdapat di kota kuno Perspolis, Persia pada sebuah ukiran dinding istana yang menggambarkan tentara kekaisaran yang memakai anting. Anting yang dikenakan oleh kaum pria merupakan sebagai simbol kasta dan menunjukan bahwa mereka pejuang. Sedangkan anting tertua yang pernah ditemukan di kota Ur, Mesopotamia yang diperkirakan berasal dari 3500 SM. Bentuk antingnya berupa cincin besar berpinggiran tipis.

(5)

Kemudian pada 2500-1600 SM di Yunani ditemukan anting dengan bentuk bulan sabit. Melimpahnya persediaan emas di masa jayanya, membuat Yunani (600-475 SM) menghasilkan anting-anting emas dengan bentuk yang lebih bervariasi, seperti anting-anting yang berbentuk perahu lengkap dengan manusia sebagai penumpangnya. Meskipun anting-anting gantung dengan panjang mencapai bahu populer pada akhir masa klasik (475-330 SM), tetap saja bentuk cincin lebih banyak dipilih.

India, misalnya, membuat model serupa namun berukuran lebih besar menjelang berakhirnya abad I SM. Tidak hanya itu, sebuah lukisan di Cina dari abad VII pun menggambarkan beberapa wanita mengenakan anting-anting cincin. Akan tetapi anting-anting sempat tenggelam dari sejarah peradaban manusia, terutama di Eropa, kira-kira abad XVII, XVIII, dan XIX. Hal tersebut disebabkan dengan munculnya gaya rambut, rambut palsu, dan hiasan kepala yang menutupi telinga. Namun ketika ditemukan anting jepit, juga dengan cara melubangi daun telinga yang tidak sakit, di abad XX anting-anting berjaya kembali.

Sebagai aksesoris, anting memang sering dipandang sebagai perhiasan eksklusif kaum wanita, seperti pada masyarakat di Asia bagian barat, termasuk Israel dan Mesir Kuno. Namun kenyataannya di Yunani dan Roma Kuno misalnya, pria beranting dapat segera dikenali sebagai pria dari Timur, misalnya Timur Tengah. Bahkan kaum pria Eropa pada masa Renaissance (1400-1600) dan Barok (1500-1750) pernah mengenakan anting sebelah. Pada abad XVII dan XVIII, mereka menambahinya dengan mutiara. Pemicunya karena Pangeran Inggris Charles I yang selamat dari tiang gantungan dengan menggunakan anting seseperti itu. Selain mutiara berbagai batu permata pun digunakan untuk model anting-anting, seperti: kecubung, pirus, akik, dan jasper yang diikat emas dan perak pada anting-anting kaum wanita Mesir.

(6)

Lain lagi dengan masyarakat India yang memasukkan perunggu dan emas, serta memadatinya dengan mutiara dan batu-batuan. Setelah platina diperkenalkan untuk pengikat batu permata, pada tahun 1920-an ditemukan cara budidaya mutiara. Terlebih saat produksi plastik semakin berkembang, setelah PD II, produksi anting-anting semakin banyak dan bervariasi dengan warna-warni yang tidak kalah kilauannya dengan batu permata asli.

Sumber:

“Cerita unik dibalik anting-anting”, http://laman-info.blogspot.com/2012/03/cerita-unik-dibalik-anting-anting.html (diakses pada tanggal 6 Februari 2013)

2.2. Industri Kreatif Aksesoris di Kota Medan

Aksesoris selain sebagai perlengkapan yang dipercaya penting dan sakral juga dapat menunjukkan identitas sosial, politik, agama/ religi, maupun emosi dari si pemakainya. Seiring dengan perkembangan jaman bentuk-bentuk aksesoris perhiasan kemudian terus berkembang yang dikemas sesuai dengan tren masa kini. Hal tersebut berlaku secara universal termasuk di Kota Medan.

Meski tidak seperti Kota Bandung yang terkenal sebagai sentranya industri kreatif, yang didukung dengan adanya slogan Bandung Creative City, dan terpilih sebagai pilot project kota kreatif se-Asia Timur di Yokohama tahun 200720

1. Mewujudkan percepatan pembangunan wilayah lingkar luar, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan usaha kecil,

, namun perlahan anak-anak muda di Kota Medan mulai bermunculan meramaikan bursa persaingan industri kreatif salah satunya di bidang aksesoris.

Kegiatan tersebut sesuai dengan visi dan misi dari pemerintahan Kota Medan, yaitu :

20

“Bandung Jadi Kota Kreatif Se-Asia Timur”, http://bandungcreativecityblog.wordpress.com/ (Diakses tanggal 20 November 2012).

(7)

menengah dan koperasi (UKMK), untuk kemajuan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat kota.

2. Mewujudkan tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi yang lebih efisien, efektif, kreatif, inovatif dan responsive.

3. Penataan kota yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip keadilan sosial ekonomi, membangun dan mengembangkan pendidikan, kesehatan serta budaya daerah.

4. Meningkatkan suasana religitus yang harmonis dalam kehidupan berbangsa serta bermasyarakat.21

Visi dan misi ini merupakan salah satu strategi dari pemerintah Kota Medan untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat agar ikut serta dalam mengembangkan wirausaha. Hal ini dilakukan karena sangat membantu pemerintah daerah dalam hal penciptaan lapangan kerja baru. Melalui UKM (Usaha Kecil Menengah) juga banyak tercipta unit-unit kerja baru yang menggunakan tenaga-tenaga baru yang dapat mendukung pendapatan rumah tangga khususnya masyarakat Kota Medan. Selain itu kegiatan tersebut juga berperan penting dalam segi sosial budaya, yaitu sebagai salah satu sarana untuk memperkenalkan produk karya anak Medan, industri budaya pariwisata, dan potensi daerah kepada dunia luar.

Salah satu tempat jual-beli benda-benda aksesoris yang cukup terkenal di Kota Medan berada di Pasar UD Pajus Baru, yang beralamat di Jl. Letjend Drs. Djamin Ginting No. 340-A Sumber Padang Bulan. Hal ini juga dikatakan oleh Evi (20), salah seorang pembeli yang datang berkunjung ke Pasar UD Pajus Baru, beliau mengatakan bahwa:

21

“Seputar Wirausaha”, http://arifh.blogdetik.com/ekonomi-kreatif/sentra-kreatif/medan/ (Diakses tanggal 6 Agustus 2012).

(8)

“Dibandingkan tempat lain, Pajus Baru di sini terkenal lebih lengkap dalam hal menjual pernak-pernik aksesoris. Selain lengkap, harganya juga bisa ditawar jadi lebih murah dan cukup terjangkaulah menurut saya buat anak kuliahan. Kalau ditempat lain belum tentu bisa semurah ini”.

Berdasarkan observasi di Pasar UD Pajus Baru Medan, saya menemukan banyak orang yang berminat untuk melihat dan membeli aksesoris tersebut mulai dari kalangan anak-anak, remaja, sampai orang dewasa. Bahkan ada di antara mereka yang dengan sengaja memesan beberapa benda-benda aksesoris tersebut. Motif pesanan bisa dibuat sesuai dengan permintaan si pembeli atau sesuai dengan fenomena yang ada dalam masyarakat atau yang sedang laku dipasaran. Kondisi seperti ini menurut Pak Ojie yang berprofesi sebagai seorang pengrajin sekaligus pedagang benda-benda aksesoris di Pasar UD Pajus Baru Medan adalah sebuah peluang usaha yang harus dimanfaatkan, permintaan dari pembeli menjadi masukan untuk mengembangkan bentuk-bentuk atau motif dari aksesoris yang beliau buat.

2.2.1. Sejarah Pajus

Pajak USU atau PU atau yang lebih dikenal dengan nama Pajus pada awalnya berlokasi di dalam kampus USU, yang letaknya berada di sebelah kiri Jl. Abdul Hakim dari arah pintu masuk Sumber Padang Bulan Medan. Pajus lama yang berada di dalam kampus USU berdekatan dengan beberapa fakutas. Di sebelah kiri Pajus adalah Fakultas Hukum, di sebelah kanan adalah Fakultas Ekonomi, di arah belakang adalah Fakultas FISIP, dan di arah depan adalah Fakultas Sastra yang kini berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya.

Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Ibu Sumi (40, bukan nama sebenarnya), seorang pedagang jajanan kuliner yang sudah lama berjualan di USU bahkan sebelum nama Pajus mulai dikenal, menjelaskan bahwa Pajus mulai terbentuk

(9)

pada tahun 2003. Beliau mengatakan bahwa lokasi Pajus lama, dulunya adalah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh beberapa pohon kelapa sawit. Saat itu Ibu Sumi beserta beberapa pedagang gerobak keliling lainnya masih berjualan disekitar pinggir jalan kampus USU. Munculnya para pedagang kecil ini adalah imbas dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 yang menyebabkan terjadinya PHK secara besar-besaran termasuk di Kota Medan.

Ditengah kesulitan mencari kerja, orang-orang akhirnya mulai mencari cara untuk meningkatkan pendapatannya dengan membuka usaha disekitar kampus USU. Mereka beranggapan bahwa kampus adalah lahan potensial untuk berjualan karena banyak calon pembeli terutama dari kalangan mahasiswa. Semakin lama jumlah pedagang yang berjualan di lokasi tersebut semakin banyak dengan jenis barang dagangan yang beraneka macam dan tempat mereka berjualan semakin tidak beraturan.

Melihat kondisi ini ada pihak bagian birek USU yang merasa prihatin, hingga akhirnya mengajak para pedagang tersebut untuk berkumpul dan bermusyawarah tentang lokasi mereka berjualan. Musyawarah tersebut dilakukan dengan harapan agar para pedagang tidak “sembrawutan” berjualan di lokasi kampus. Setelah beberapa kali melakukan musyawarah, akhirnya pihak birek USU mengizinkan sebuah lahan kosong yang lokasinya berada di sebelah kiri Jl. Abdul Hakim dari arah pintu masuk Sumber Padang Bulan Medan sebagai tempat para pedagang keliling tersebut untuk berjualan.

Para pedagang keliling yang tadinya berjualan disekitar kampus USU, akhirnya mulai berjualan dan memasang tenda-tenda biru di lokasi yang sudah ditentukan itu. Namun karena kondisi tempat yang masih rawa-rawa, maka saat hujan

(10)

turun tempat tersebut menjadi genangan air. Melihat kondisi ini muncullah ide dari sekumpulan pedagang untuk menimbun tanah di lokasi tersebut. Mereka akhirnya mengumpulkan dana sebesar satu juta rupiah dari para pedagang sebagai sewa tempat, yang kemudian digunakan untuk menimbun tanah di lokasi tersebut. Setelah tanah tersebut ditimbun, para pedagang pun mulai mengambil tempat masing-masing untuk berjualan.

Awalnya jumlah para pedagang masih sekitar lima puluhan, namun lama kelamaan pedagang dari berbagai tempat mulai berdatangan dan turut meramaikan tempat tersebut sampai akhirnya mencapai kurang lebih 140 pedagang. Barang-barang yang diperjual-belikan di tempat ini beraneka macam. Mulai dari jajanan kuliner, alat-alat perlengkapan sekolah/kuliah, buku-buku, pakaian, aksesoris, sepatu, tas, servis elektronik, hingga cetak foto digital juga ada di tempat ini.

Awalnya nama Pajus (Pajak USU) itu muncul karena mahasiswa sendiri yang sering menyebutnya, bukan para pedagang yang membuat nama tersebut. Dikatakan pajak karena tempat tersebut ramai oleh pembeli dan pedagang; barang-barang yang diperjual belikan juga beraneka macam; selain itu di tempat tersebut juga sering terjadi tawar-menawar harga barang. Situasi seperti itu dianggap sangat mirip saat sedang berbelanja di pajak. Lokasi tempat berjualan yang letaknya berada di dalam kampus USU, membuat namanya semakin dikenal dengan sebutan Pajak USU yang kemudian disingkat menjadi Pajus atau PU.

Saat itu yang menjadi pelanggan kebanyakan datang dari kalangan mahasiswa USU sendiri. Namun karena barang-barang yang dijual di tempat tersebut cukup lengkap, termasuk jenis-jenis aksesoris akhirnya berita tersebut pun mulai menyebar dari orang yang satu ke orang lainnya, sehingga pengunjung mulai berdatangan dari

(11)

masyarakat umum. Sebagian ada yang sekedar datang untuk melihat-lihat saja, ada yang datang karena memang berniat untuk membeli sesuatu, ada juga yang datang dengan niat awalnya untuk melihat-lihat saja tapi setelah melihat-lihat akhirnya tertarik untuk membeli suatu barang.

Munculnya pajak di dalam kampus tidak jarang memunculkan berbagai spekulasi dalam masyarakat. Pro dan kontra merupakan hal yang wajar terjadi mengingat pola pikir, dalam konteks budaya setiap manusia yang berbeda-beda. Seperti pendapat yang disampaikan Robi (22), seorang mahasiswa FISIP terkait adanya Pajus, beliau mengatakan:

“Pajus lama adalah tempat yang strategis karena letaknya

cukup dekat buat saya saat ingin membeli perlengkapan kuliah seperti buku, pulpen, makanan, dan lain sebagainya. Barang-barang yang dijual di Pajus juga lebih lengkap daripada yang ada dijual di kantin fakultas. Selain itu Pajus juga bisa menjadi tempat refresing saat saya sedang jenuh dengan tugas-tugas kuliah.Tapi semenjak Pajus pindah tempat saya ada perasaan sedikit kehilangan”.

Berbeda halnya dengan pendapat Razakiko (21), seorang mahasiswa FISIP, menurut beliau:

“Pajus itu rada gak cocok juga di tengah kampus. Kampus kan buat study, lebih cocok tempat Pajus yang udah dipindahkan sekarang. Tempatnya di luar area kampus karna terbuka untuk umum”.

Ibu Sumi (40), sebagai salah satu pedagang di Pajus menyadari adanya pro dan kontra yang timbul di masyarakat, tanggapan beliau adalah:

“Ya saya sendiri sebenarnya tahu kalau kampus itu memang tempat orang belajar bukan sebagai pajak. Tapi yang namanya orang hidup kan butuh biaya dek. Anak saya ada tiga orang dan udah pada sekolah semua. Ya lantas kan saya perlu biaya buat bayar uang sekolahnya, buat ngasih mereka makan juga. Mata pencaharian saya sama suami, ya dari jualan makanan ini saja. Di sini ramai pembelinya, kebanyakan langganan kami ya mahasiswa. Kami sebagai pedagang juga punya perasaan, makanya

(12)

harganya ya disesuaikan dengan kantong mahasiswa aja. Jadi kalau pendapat orang di luar sana ada yang kurang setuju kami jualan di sini, ya itu terserah mereka sajalah, yang penting kami emang niatnya cuma mau nyari nafkah aja dengan halal.”

Meski pro dan kontra bermunculan, namun kegiatan di Pajus tetap berlangsung. Para pedagang tetap beraktivitas dan melayani para pelanggan yang datang. Hingga pada tanggal 18 September 2010, Pajus mengalami kebakaran. Berdasarkan artikel Waspada Online22

Jika dibandingkan dengan kedua Pajus yang berada di Jl. Dr. Mansur, Pasar UD Pajus Baru memiliki lokasi yang paling luas dan lebih banyak ditempati oleh para tanggal 19 September 2010, yang memuat berita tentang hal tersebut menjelaskan, bahwa:

“..penyebab kebakaran bursa kampus USU sendiri diakibatkan ledakan genset di salah satu toko sepatu yang terletak di bagian tengah. Api cepat merambat ke kios lainnya hingga menghanguskan sedikitnya 120 lapak dari 140 kios yang ada di pusat bursa kampus USU. Akibat kebakaran ini kerugian diprakirakan mencapai miliaran rupiah..”.

Akibat kebakaran tersebut para pedagang terpaksa harus mencari lokasi yang baru. Hal ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat bagi mereka karena selain mengalami kerugian material, mereka juga harus kehilangan tempat yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian sehari-hari. Pasca terjadinya kebakaran Pajus akhirnya berpindah lokasi ke beberapa tempat, yaitu yang pertama lokasinya berada di Jl. Letjend Drs. Djamin Ginting No. 340-A Padang Bulan Medan yang disebut dengan Pasar UD Pajus Baru. Pajus kedua berada di Jalan Dr. Mansyur, samping Raz Plaza Medan. Pajus ketiga resmi dibuka di Jalan Dr Mansyur nomor 118, tepatnya di depan kolam renang Selayang yang diberi nama Pajus Bursa Kampus.

22

Waspada online, “Pajak USU terbakar, 9 orang diperiksa”,

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=144017:-pajak-usu-terbakar-9-orang-diperiksa&catid=14:medan&Itemid=27 (diakses tanggal 24 Februari 2013)

(13)

pedagang. Di lokasi baru ini kurang lebih 60% ditempati oleh para pedagang dari pajak USU lama, selebihnya ditempati oleh pedagang yang baru. Pasar UD Pajus Baru, disahkan pada tanggal 16 November tahun 2010 oleh Walikota Medan yaitu Drs. H. Rahudman Harahap, MM.

Pasar UD Pajus Baru memiliki perbedaan dengan Pajus lama baik dari segi kenyamanan, bangunan, luas tempat, maupun kelengkapan fasilitasnya. Saat di Pajus lama kios-kios tempat para pedagang berjualan dibangun dengan semi beton, dimana kios yang satu dengan yang lainnya kebanyakan dipisahkan dengan dinding papan atau triplek, dan atapnya dari tenda-tenda biru dan seng. Lokasi yang tidak begitu luas, sebagian harus dibagi sebagai tempat parkir kendaraan pedagang dan pengunjung yang datang. Banyaknya jumlah pedagang di tempat tersebut membuat orang yang datang berkunjung ke Pajus lama harus rela berdesak-desakan terutama pada jam makan siang. Hal ini tentu mengurangi kenyamanan saat melakukan ransaksi jual beli.

Berbeda halnya dengan Pasar UD Pajus Baru yang sekarang. Lokasi Pasar UD memiliki luas 4.000 meter persegi. Di atas lahan ini kios-kios tempat berjualan terbuat dari beton, dimana satu kios dibagun dengan ukuran rata-rata 5x3 meter. Selain itu untuk memperlancar transaksi jual beli pedagang dengan pembeli tempat ini juga didukung dengan berbagai macam fasilitas, seperti: dua unit mesin ATM, yaitu ATM Mandiri dan ATM BRI, toilet, musholla, dan tempat parkiran. Kelengkapan fasilitas tersebut juga menjadi salah satu hal yang menarik minat pengunjung untuk datang ke Pasar UD Pajus Baru.

Pasar UD Pajus Baru memiliki kurang lebih 150 kios dan 22 stand di atas lahan 4.000 meter persegi. Barang-barang yang dijual di tempat ini beraneka macam,

(14)

seperti: peralatan sekolah/kuliah, buku, majalah, pernak-pernik ponsel, laptop, kacamata, kalung, cincin, gelang, bros, jepit/ pita/ ikat rambut, anting-anting, pakaian, sepatu, tas, VCD/DVD, dan jajanan kuliner. Hanya ikan dan sayur mayur saja yang tidak ada dijual di sini. Hampir segala jenis benda-benda aksesoris yang biasanya dicari oleh pembeli ada dijual di tempat ini. Selain barang-barang yang cukup lengkap, harga yang ditawarkan untuk setiap jenis aksesoris juga relatif terjangkau bagi kalangan mahasiswa atau anak sekolahan.

Diantara 150 kios, terdapat tiga puluh enam kios yang menjual benda-benda aksesoris seperti kalung, gelang, anting-anting, cincin dan hiasan lainnya. Masing-masing dari pemilik tiga puluh satu kios menerangkan bahwa semua benda-benda aksesoris yang mereka jual itu bukan hasil buatan tangan mereka sendiri, melainkan mereka beli dari luar kota, grosir di pusat pasar, bahkan ada yang membeli dari sesama pedagang aksesoris yang juga berlokasi di Pasar UD Pajus Baru. Empat kios lagi pemiliknya mengatakan bahwa sebagian besar mereka membeli aksesoris siap pakai dari luar kota atau pusat pasar, namun ada juga beberapa kalung dan anting-anting yang mereka modifikasi dari bahan aksesoris yang sudah lama tidak laku dijual, seperti yang dilakukan oleh Pak Muslim. Sedangkan satu kios lagi, pemiliknya yang bernama Pak ojie menerangkan bahwa sebagian besar beliau memproduksi sendiri benda-benda aksesoris yang dijual di Pasar UD Pajus Baru.

Hal tersebut menjadi fakta yang menarik. Sekian banyak toko aksesoris, namun usaha OAM Aksesoris yang dijalankan oleh Pak Ojie menjadi satu-satunya industri kreatif aksesoris yang sebagian besar memproduksi sendiri benda-benda aksesorisnya di Pasar UD Pajus Baru. Hal ini terbukti dari hasil observasi dan wawancara di lapangan.

(15)

Sesuai dengan judul skripsi saya yang membahas tentang Wirausaha Aksesoris (Studi Etnografi Strategi Ekonomi Kreatif di Pasar UD Pajus Baru Medan), maka yang menjadi fokus informan saya adalah wirausaha aksesoris yang berkreatifitas. Dikatakan kreatif adalah ketika seseorang membuat aksesoris dari bahan mentah menjadi barang jadi/ barang siap pakai, mengubah bahan bekas (limbah) menjadi barang jadi/ siap pakai, memodifikasi barang jadi menjadi barang baru/ barang siap pakai yang berbeda dari yang awalnya.

Mengingat banyaknya jumlah pedagang aksesoris dengan berbagai latar belakang yang berbeda, maka persaingan diantara sesama pedagang aksesoris tentu tidak bisa dihindarkan. Para pedagang aksesoris tentu mempunyai pengetahuan dan strategi masing-masing dalam menjalankan usaha aksesorisnya agar bisa tetap bertahan.

Oleh karena itu dalam hal ini, informan kreatif saya yang ada membuat sendiri aksesoris yang dijual adalah Pak Ojie, dan yang menjadi informan kreatif saya yang melakukan modifikasi adalah Pak Muslim. Saya memilih Pak Muslim sebagai informan untuk bagian modifikasi, karena sebagian besar beliau melakukan modifikasi terhadap benda-benda aksesoris dijual. Beliau mempunyai aturan tersendiri terhadap benda-benda aksesoris yang beliau jual. Jika dalam jangka tiga bulan aksesoris yang dijual tidak ada yang membeli, maka beliau akan segera melakukan modifikasi terhadap aksesoris tersebut sehingga akan terlihat berbeda dengan aksesoris sebelumnya.

Berbeda halnya dengan ketiga orang wirausaha lainnya yang juga melakukan modifikasi terhadap aksesoris yang dijual. Mereka melakukan modifikasi dengan skala yang lebih kecil dan hanya sebagai selingan di saat senggang, sehingga

(16)

memodifikasi aksesoris tidak mereka anggap sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Mereka tetap lebih mengutamakan menjual aksesoris siap pakai yang mereka beli. 2.3. Sejarah Berdirinya OAM Aksesoris

OAM (Ojie Anak Manis) Aksesoris mulai didirikan pada awal tahun 2006 oleh Pak Ojie (27) yang saat itu datang dari Jakarta merantau ke Medan, yang juga merupakan daerah tempat tinggal kakeknya. Awalnya Pak Ojie yang berdarah asli Minang merasa terkejut dan agak takut dengan kebudayaan orang Medan, yang terkenal dengan stereotipe yang mengatakan bahwa orang Medan, khususnya suku Batak sangat galak, sangar, menakutkan, dan berkemauan keras yang mengakibatkan selama beberapa minggu beliau tidak berani untuk keluar rumah. Kakek beliau yang melihat hal tersebut akhirnya mulai menasehati dan menyuruhnya untuk berani bergaul dengan orang disekitarnya, dan mengatakan bahwa stereotipe tentang orang Medan tidaklah sepenuhnya benar seperti apa yang beliau pikirkan. Setelah itu sang kakek memberinya uang sebesar Rp 50.000,- sebagai uang saku.

Setelah merasa yakin, Pak Ojie mulai memberanikan diri untuk menyapa dan mencoba untuk berbaur dengan orang disekitarnya, hingga menjadi terbiasa dan berteman dengan mereka. Setelah lama-kelamaan berbaur dan berteman dengan orang Medan, beliau akhirnya mulai memahami karakteristik orang Medan. Stereotipe tentang orang Medan yang tadinya dianggap sangar, galak, keras kepala, dan menakutkan perlahan-lahan mulai memudar. Beliau mengatakan bahwa meski orang Medan dari luar terlihat tegas dan sangar, namun sebenarnya mereka bersahabat, ramah, dan yang terpenting adalah hatinya baik.

Setelah kurang lebih satu bulan tinggal di rumah kakeknya, sedikit banyaknya beliau mulai mengetahui situasi dan keadaan Kota Medan. Pak Ojie yang memiliki

(17)

sifat aktif merasa jenuh karena setiap hari hanya tinggal dirumah bersama kakeknya. Beliau mulai mencari cara dan memikirkan sebuah ide untuk mengusir rasa jenuh itu. Ide yang terfikirkan saat itu adalah membuat kreatifitas aksesoris dari bahan-bahan seadanya untuk dirinya sendiri.

Membuat seni kerajinan tangan memang merupakan sebuah hobi yang sangat disenangi beliau sejak duduk di bangku kelas 4 (empat) SD. Saat sedang jenuh atau ada waktu luang, daripada hanya berdiam diri di rumah beliau lebih suka melakukan hal-hal baru dengan menggambar desain dan membuat benda-benda aksesoris seperti kalung, gelang, cincin atau mainan anak-anak. Bahkan setelah lulus dari SMP beliau memilih untuk melanjutkan pendidikan di BPS & KA I JAKARTA TIMUR atau yang dikenal dengan kepanjangan Badan Pendidikan Sekolah dan Kursus I Jakarta Timur untuk memperdalam serta mengasah keterampilannya dalam membuat kerajinan tangan dan seni rupa.

Bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh Pak Ojie ini ternyata menarik minat dari pihak sekolah dan mendukung untuk memperdalam ilmunya ke jenjang tingkat pendidikan yang lebih tinggi, beliau akhirnya mendapat tawaran beasiswa di Fakultas Seni Rupa Yogyakarta dan di Institude Kesenian Jakarta. Namun tawaran tersebut beliau tolak, karena beliau mempunyai prinsip setelah lulus SMK langsung bekerja agar bisa membantu orang tua. Pak Ojie menganggap keahlian (skill), kerja keras, dan doa restu orang tua adalah modal terpenting dalam mencapai kesuksesan.

Oleh karena itu, bermodalkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama sekolah dan sekaligus keterampilannya dalam membuat kerajinan tangan, Pak Ojie mulai berpikir untuk membelanjakan uang yang dimilikinya. Bermodalkan uang Rp50.000,- beliau membeli lem, gunting, dan tang. Setelah itu dengan

(18)

memanfaatkan bahan-bahan seadanya seperti kayu, nilon, almunium, batok kelapa, tulang sapi, dan lain sebagainya beliau membuat benda-benda aksesoris seperti kalung dan gelang yang tujuannya masih membuat untuk diri sendiri.

Hingga suatu hari salah seorang temannya melihat kalung hasil dari karyanya itu dan tertarik ingin membelinya. Kemudian informasi berita tersebut mulai menyebar dari teman yang satu ke teman yang lainnya. Orang lain yang memesan aksesoris mulai banyak dan biasanya aksesoris yang dibuat sesuai dengan permintaan mereka dan pesanan pun tidak hanya sebatas kalung dan gelang saja tetapi juga gantungan kunci, cincin, dan hiasan lainnya.

Melihat aksesoris buatan tangannya banyak diminati oleh banyak pembeli, beliau akhirnya berniat untuk berjualan di tempat terbuka dan yang ramai didatangi oleh orang-orang. Lokasi kampus ITM (Institut Tehnologi Medan) yang berada di Jalan Arca Medan, menjadi tempat pertama sekali beliau berjualan. Lokasi tersebut dilipih karena selain ramai oleh anak kuliahan, letaknya juga cukup dekat dengan tempat tinggalnya. Beliau meletakkan sebuah meja kecil di dekat pagar pintu masuk kampus ITM yang sengaja di bawa dari rumah. Di atas meja kecil inilah aksesoris tersebut di letakkan dan disusun sedemikian rupa agar dapat terlihat oleh orang yang melewati jalan tersebut.

Pada awalnya orang-orang hanya sekilas melihat aksesoris yang diletakkan di atas meja kecil itu saja. Namun lama-kelamaan orang-orang mulai berhenti untuk sekedar melihat-lihat, lalu mulai menyentuh benda aksesoris tersebut dan memperhatikannya saja. Kemudian mereka mulai menanyakan harganya. Berhubung tempat tersebut kebanyakan didatangi dari kalangan mahasiswa, maka harga yang tawarkan juga disesuaikan dengan kemampuan daya beli mahasiswa.

(19)

Usaha beliau ternyata tidak sia-sia, banyak aksesoris yang laku terjual. Jumlah permintaan terhadap aksesoris semakin meningkat, bahkan dipesan dalam jumlah yang banyak. Orang yang datang memesanpun mulai berdatangan dari luar lokasi beliau berjualan. Hal tersebut otomatis membuat beliau harus bekerja sampai lembur. Melihat situasi tersebut beliau akhirnya memutuskan untuk mencari orang yang dapat membantunya dalam membuat benda-benda aksesoris. Beliau akhirnya mempekerjakan 27 orang, yang kebanyakan adalah teman-temannya sendiri.

Seiring dengan berjalannya waktu, beliau mendapat informasi tentang lokasi pedagangan benda-benda aksesoris yang cukup terkenal di Kota Medan. Lokasi tersebut berada di Jalan Jamin Ginting Medan, karena lokasinya berada tepat di dalam kampus USU (Universitas Sumatera Utara), maka tempat tersebut lebih di kenal dengan sebutan PAJUS (Pajak USU). Berdasarkan informasi yang didapatkan dari teman-temannya dan juga dari pembeli yang datang, mereka mengatakan bahwa PAJUS adalah tempat yang strategis dan ramai dikunjungi oleh pembeli. Orang-orang yang datang berkunjung ke tempat tersebut juga tidak hanya dari kalangan mahasiswa USU saja, tetapi juga datang dari berbagai kalangan masyarakat luas di Kota Medan. Hal inilah yang mendasari beliau tertarik untuk ikut membuka usaha di PAJUS pada tahun 2008.

Pada saat di Pajus lama aksesoris yang beliau jual ditempatkan pada sebuah lemari kayu terbuka yang berukuran 60cm x 100cm. Tempat yang tidak terlalu luas membuat sebagian aksesoris yang sudah siap pakai di susun dan dipajang pada lemari tersebut agar dapat dilihat oleh pengunjung. Sebagian lagi di simpan pada sebuah kardus sebagai persediaan. Bahan dan peralatan untuk membuat aksesoris, seperti mengukir kalung, gelang, atau cincin dibuat sesederhana mungkin, dalam artian

(20)

alat-alat yang dipakai dapat dengan mudah dibawa-bawa. Pada saat di tempat tersebut yang membuat aksesoris sendiri dan mengukir nama hanya beliau saja. Hal inilah yang menjadi salah satu penarik minat para pembeli, karena mereka dapat melihat langsung proses pengukiran nama atau bentuk seperti yang mereka minta.

Namun karena Pajus mengalami kebakaran, maka Pajak USU berpindah lokasi ke beberapa tempat dan salah satunya di Jl. Letjend Drs. Djamin Ginting No. 340-A Padang Bulan Medan dan berubah nama menjadi Pasar UD Pajus Baru, yang disahkan pada tanggal 16 November tahun 2010 oleh Walikota Medan yaitu Drs. H. Rahudman Harahap, MM. Mengingat usaha yang beliau jalankan di Pajus lama cukup berjalan dengan lancar, dan sudah saling mengenal dengan beberapa wirausaha disana, dan juga dikenal oleh beberapa orang pelanggannya, maka beliau berniat untuk tetap meneruskan usaha di Pajus yang baru, yang berubah nama menjadi Pasar UD Pajus Baru Medan.

Seiring dengan pembangunan kios-kios baru di tempat tersebut yang jumlahnya semakin banyak, beliau menyadari bahwa persaingan di tempat tersebut akan semakin ketat. Pembangunan kios-kios di Pasar UD Pajus Baru tempat orang berusaha, menarik minat banyak pedagang. Harga sewa kios per kaplingnya sekitar empat puluh juta per tahun.

Bagi Pak Ojie tempat untuk membuka usaha itu tidak harus luas, yang penting tempatnya strategis di lihat pengunjung. Pada awal tahun 2012 memutuskan untuk membuka usaha aksesorisnya di Pasar UD Pajus Baru Medan. Beliau menyewa tempat pada sebuah toko jam, tepatnya di teras depan sebuah toko jam. Di teras itulah beliau menempatkan lemari berukuran 60cm x 100cm, yang dulu pernah digunakan sebagai tempat usaha saat masih di Pajus lama.

(21)

Ide untuk menempatkan aksesoris pada lemari berukuran 60cm x 100cm terinspirasi dari Pak Muslim salah seorang teman beliau yang juga sama-sama menekuni usaha aksesoris di Pajus lama. Biaya sewa tempat yang beliau bayar ke pada pemilik toko jam tersebut sebesar 800 ribu per bulan. Menurut beliau itu sudah menjadi harga yang pantas, mengingat tempat tersebut sangat strategis karena berada di bagian depan pintu masuk umum sehingga banyak dilalui pengunjung yang datang.

Namun menurut beliau jika hanya mengandalkan tempat yang strategis saja itu masih tidak cukup, harus juga dibarengi dengan strategi-strategi lain yang dapat mendukung kelancaran usaha. Oleh karena itu, beliau mencoba menyusun strategi baru salah satunya dengan membuat nama usaha yang bisa di kenal oleh orang banyak, karena sebelumnya beliau belum mempunyai nama usaha. Dalam membuat nama usaha ini beliau mencoba memikirkan sebuah nama yang mudah untuk di ingat oleh orang lain. Nama yang terpikirkan saat itu adalah OAM AKSESORIS, yang merupakan singkatan dari Ojie Anak Manis. Menurut beliau nama tersebut akan mudah di ingat oleh orang yang melihatnya.

2.3.1 Struktur Organisasi OAM Aksesoris Gambar 2.

Keterangan:

Ojie (pemilik) : Pemodal, memberikan arahan, ide, desain, memotong bahan baku dan finishing.

Pak Boy : Memotong bahan baku. Pak Iwan : Memotong bahan baku. Pak Heru : Memotong bahan baku. Pak Ai : Memotong bahan baku.

Ojie

(22)

Pak Joni : Crof/ membentuk/mengukir bahan baku.

Ibu Tuti : Meronce/ menjalin benang menjadi rantai kalung atau gelang. Sari : Meronce/ menjalin benang menjadi rantai kalung atau gelang. Lia : Meronce/ menjalin benang menjadi rantai kalung atau gelang. 2.4. Sejarah Berdirinya IMEJI

IMEJI merupakan nama sebuah toko di Pasar UD Pajus Baru Medan yang menjual berbagai macam benda aksesoris seperti: kalender, lampu hias, poster, jam, boneka, kertas kado, kotak musik, dan bingkai foto. Pemilik toko IMEJI bernama Ibu Awi (40). Ibu Awi adalah kakak kandung dari Pak Muslim (37) yang tinggal bersama suami dan anak-anaknya di kota Medan. Sebelum menjadi seorang pengusaha aksesoris, Ibu Awi hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Namun Pak Muslim yang sudah lama (kurang lebih dua belas tahun) menekuni bidang usaha aksesoris akhirnya mengusulkan Ibu Awi untuk membuka sebuah usaha.

Berita tentang dibangunnya Pajus Baru sebagai ganti Pajus Lama sangat ramai dibicarakan oleh khalayak ramai, bahkan Ibu Awi sempat membaca berita tersebut di salah satu media cetak di Kota Medan. Setelah mendapat informasi tentang dibukanya Pasar UD Pajus Baru Medan, beliau pun mulai mendiskusikannya dengan suami beliau. Ternyata suami dan anak-anaknya mendukung keinginan beliau untuk berwirausaha. Kemudian beliau pun menyewa sebuah toko di Pasar UD Pajus Baru Medan dengan membayar uang sewa 40 juta per tahun.

Toko tersebut kemudian diberikan nama IMEJI oleh Ibu Alwi. Imeji sendiri sebenarnya tidak memiliki arti khusus. Kata IMEJI terbersit dalam pikiran Ibu Awi karena menurut beliau kata tersebut menarik dan mudah untuk diingat. Pada saat melakukan observasi pertama sekali ke Pajus, beliau terlebih dahulu memperhatikan pangsa pasar. Pangsa pasar menurut beliau adalah situasi pasar yang ada kaitannya

(23)

dengan jalannya suatu usaha. Adapun pangsa pasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

- Lokasi tempat yang strategis. Transportasi ke lokasi usaha harus lancar, agar mudah untuk dijangkau oleh masyarakat luas. Jika tempatnya tidak strategis dan jauh dari pemukiman, maka orang lain akan malas untuk datang berkunjung ketempat tersebut.

- Melihat tipe pengunjung yang datang. Sebelum memutuskan untuk menjual aksesoris, beliau terlebih dahulu mengobservasi siapa saja yang menjadi pengunjung Pajus. Setelah melakukan observasi tersebut, beliau akhirnya dapat mengetahui bahwa orang yang datang ke Pajus kebanyakan datang datang dari kalangan anak-anak muda seperti anak sekolah, mahasiswa, dan pekerja. Sedangkan dari kalangan orang tua, jumlahnya hanya sedikit.

- Melakukan observasi terhadap usaha di Pajus. Beliau melakukan obervasi atau pengamatan terhadap usaha apa saja yang dijalankan di Pajus. Hal ini dilakukan untuk menambah informasi bagi beliau dalam membuat pertimbangan tentang barang apa yang akan dijual.

Bedasarkan observasi pangsa pasar tersebut Ibu Awi memperoleh pemikiran bahwa dengan lokasi yang strategis, pengunjung yang didominasi oleh kalangan anak anak muda, dan usaha aksesoris yang belum banyak dijalankan oleh sesama pedagang merupakan sebuah peluang yang sangat bagus untuk mengembangkan usaha aksesoris yang pada umumnya disenangi oleh kalangan muda. Oleh karena itu beliau berpikiran bahwa aksesoris sebagai usaha yang cocok untuk dijual di tokonya.

Anak-anak muda mempunyai tingkat emosi yang meletup-letup, dalam artian mudah terpengaruh dengan hal-hal baru yang berkaitan dengan tren yang sedang

(24)

berlaku saat ini. Biasanya untuk mengekspresikan perasaannya, mereka suka mengoleksi benda-benda yang berkaitan dengan idola mereka itu. Beliau berpendapat demikian karena beliau juga pernah muda dan merasakan semangat muda pada eranya. Sehingga sedikit banyaknya pasti ada suatu kesamaan hobi atau kesenangan bagi anak-anak muda yang cenderung dipengaruhi oleh tren yang sedang berlaku sekarang ini.

Sebagai orang yang baru menjalankan bisnis aksesoris, Ibu Awi merasa perlu belajar lebih banyak bagaimana cara menjalankan usaha dan cara menghadapi pelanggan dengan baik dari orang yang sudah berpengalaman sebelumnya. Pak Muslim sebagai adik sekaligus sebagai orang yang sudah lama berpengalaman di bidang aksesoris turut membantu dan memberikan beberapa masukan. Menurut pendapat Pak Muslim karena sasaran pasarnya adalah dari kalangan anak muda, maka sebagai pedagang aksesoris mereka penting untuk mengetahui apa saja yang menjadi hobi atau kesenangan dari pelanggannya.

Hal tersebut menjadi penting karena saat seorang pelanggan datang dan menanyakan benda yang sedang dicarinya maka si pedagang tentu harus mengetahui benda apa yang dimaksud. Jika si pedagang sudah mempunyai gambaran tentang benda apa yang dimaksud oleh si pelanggan, maka si pedagang akan dapat lebih mudah untuk mencarinya dan memberikan penjelasan tentang benda tersebut. Hal tersebut dapat diketahui dari sejumlah referensi dari internet, koran, majalah, maupun dari hasil wawancara dan pembagian pertanyaan kuisioner yang diberikan kepada sejumlah orang. Pertanyaan yang dituliskan dalam kuisioner tersebut berisi tentang seputar hobi, idola, dan benda-benda aksesoris apa saja yang menjadi kesukaan dan yang mereka inginkan.

(25)

Berdasarkan jawaban-jawaban yang mereka berikan, Ibu Awi akhirnya tahu apa yang menjadi kesukaan dan yang di cari oleh anak-anak muda. Beliau pun akhirnya memutuskan untuk menjual pernak-pernik aksesoris seperti: kalender, lampu hias, poster, jam hias, boneka, kertas kado, kotak musik, dan bingkai foto. Awal berjualan Ibu Awi yang belum terbiasa berbisnis terkadang masih malu-malu untuk menyapa pelanggan. Melihat hal tersebut akhirnya Pak Muslim ikut turun tangan untuk membantu beliau berjualan. Pak Muslim yang juga mempunyai banyak teman relasi dalam usaha aksesoris dari berbagai daerah, mempermudah beliau dalam melakukan pemesanan pernak-pernik aksesoris yang akan dijual.

Usaha Ibu Awi yang menjual pernak-pernik aksesoris, namun tidak ada menjual perhiasan aksesoris seperti kalung, gelang, cincin, dan anting membuat Pak Muslim berpikir untuk membuka usaha aksesoris yang berbeda dengan kakaknya. Beliau akhirnya memutuskan untuk fokus menjual aksesoris perhiasan seperti kalung, gelang, cincin, dan anting. Menurut beliau usaha aksesoris perhiasan cukup menjanjikan, karena aksesoris perhiasan tidak pernah ada kata kedaluarsa. Jika barangnya tidak laku dapat dimodifikasi kembali menjadi lebih menarik. Hal tersebut juga didukung dengan adanya keahlian sekaligus hobi beliau dalam memodifikasi aksesoris.

Oleh karena itu, setelah meminta izin terlebih dahulu kepada Ibu Awi, beliau akhirnya menempatkan sebuah lemari berukuran 60cm x 100cm di depan teras toko IMEJI untuk menghemat biaya sewa tempat yang dirasa cukup mahal. Di lemari terbuka tersebut yang merupakan hasil modifikasi beliau sendiri, beliau memajang benda-benda aksesoris yang tidak ada dijual oleh Ibu Awi seperti cincin, gelang, anting, kalung, gantungan kunci, slayer, dan stiker.

(26)

Alasan beliau memajang barang dagangannya di dalam sebuah lemari terbuka adalah, karena aksesoris akan terlihat lebih menarik jika dalam keadaan berkumpul, sehingga memberikan efek banyak. Aksesoris yang dipajang pada lemari terbuka akan menarik pandangan banyak orang yang melewatinya, selain itu pandangan mereka juga akan menjadi lebih terfokus pada benda-benda di dalamnya.

Foto 1.

Aksesoris Dipajang Dalam Sebuah Lemari Terbuka yang Berukuran 60cm x 100cm

Sumber: Toko IMEJI, Pasar UD Pajus Baru Medan

Pak Muslim juga menjelaskan bahwa, ada anggapan bagi sebagian masyarakat, dimana aksesoris yang dijual di pinggir jalan atau tempat terbuka itu terkesan harganya lebih murah dibandingkan dengan aksesoris yang ada dijual di dalam toko. Anggapan itu muncul karena aksesoris yang dijual ditempat terbuka

(27)

harga dapat ditawar sedangkan aksesoris yang dijual di toko harganya sudah ditentukan dan tidak bisa ditawar lagi. Sehingga dengan adanya perspektif tersebut, orang-orang tidak merasa khawatir atau segan untuk sekedar mampir dan melihat pajangan aksesoris tersebut.

Kebanyakan orang tujuan awalnya mungkin tidak ada niat untuk membeli aksesoris. Namun setelah melihat ada aksesoris yang dipajang ditempat terbuka, orang tersebut akan tertarik dan berhenti sebentar untuk melihatnya. Kemudian mereka akan mulai memperhatikan satu-persatu benda yang dipajang. Setelah itu jika tertarik pada satu benda orang tersebut akan mencoba memakai dan mengira-ngira apa benda itu cocok untuk dia pakai.

Pak Muslim sendiri tidak melarang pengunjung untuk mencoba aksesoris yang dipajang, karena itu adalah salah satu trik untuk memberikan pelayanan bagi si pelanggan. Saat orang tersebut merasa cocok dengan benda yang dipakainya, dia akan mulai menanyakan berapa harganya. Biasanya orang tersebut akan menawar harga lebih rendah dari harga awal yang ditawarkan oleh si pedagang. Pak Muslim menyadari bahwa lokasi tempat beliau berjualan memang memungkinkan orang untuk melakukan tawar-menawar harga.

Oleh karena itu, beliau tidak akan marah atau merasa kecewa saat ada orang yang menawar aksesorisnya dengan harga yang jauh lebih murah dari penawaran awal. Beliau akan mencoba menyesuaikan harga dengan permintaan si pembeli. Bagi beliau bisnis aksesoris bukan hanya tentang keuntungan material saja, tapi juga menjalin silaturahmi yang baik antara pedagang dan pembeli. Kesan yang baik akan membuat si pembeli merasa dihargai dan tidak jera untuk kembali ke tempat itu lagi.

(28)

Beliau tidak perlu membayar biaya sewa tempat kepada Ibu Awi, karena beliau masih ada ikatan saudara kandung. Bagi mereka saudara itu harus saling membantu. Bahkan Pak Muslim juga tidak membuat nama usaha sendiri di tempatnya menjual aksesoris perhiasan. Jika ada orang yang bertanya apa nama usahanya, beliau akan mengatakan IMEJI karena tempat usahanya berada persis di depan teras toko IMEJI itu sendiri. Beliau merasa tidak perlu membuat nama lain karena tempat usahanya adalah milik kakaknya juga. Penghasilan dari usaha masing-masing adalah milik masing-masing, namun mereka juga tidak jarang saling membagi hasil jika sedang ramai dan memperoleh keuntungan lebih.

Selain itu Pak Muslim dan istrinya kadang ikut membantu Ibu Awi melayani pembeli jika sedang ramai oleh pengunjung, karena Ibu Awi sendiri juga tidak mempunyai karyawan. Ibu Awi kadang dibantu oleh anaknya saat sedang ada waktu luang saja, karena anak-anaknya masih ada yang sekolah dan kuliah. Anak-anaknya kadang datang bersama teman-temannya ke toko tersebut. Sambil mengobrol mereka juga sambil melayani pembeli yang datang ke tempat tersebut.

Pak Muslim yang lebih banyak mengetahui pasar sumber tempat memperoleh benda-benda aksesoris, sering diminta untuk memesan barang aksesoris dari teman-teman relasinya. Beliau mempunyai banyak relasi dalam bidang aksesoris, karena sebelumnya beliau pernah merantau dan tinggal di Jakarta selama dua belas tahun. Beliau mengatakan pendidikan formalnya yang terakhir hanya lulusan SMP. Beliau tidak menyelesaikan pendidikan SMA karena beliau sering bermain-main dan tidak serius belajar waktu sekolah sehingga beliau memutuskan untuk berhenti dan tidak melanjutkan sekolah lagi. Berbekal ijazah SMP beliau akhirnya merantau dari Medan ke Jakarta.

(29)

Pak Muslim yang berdarah campuran ayah Melayu, dan ibu Jawa tidak mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan orang-orang yang beliau temui disana, karena kenalan beliau adalah mayoritas suku Jawa dan Sunda. Disana beliau mencari pekerjaan dan sekalian menambah wawasan. Namun mencari di Kota Jakarta tidak semudah yang beliau pikirkan selama ini. Akhirnya beliau mengikuti ajakan temannya untuk ikut bergabung dalam kegiatan komunitas mereka. Kegiatan komunitas teman-temannya saat di Jakarta menurut beliau berbeda dengan yang ada di Kota Medan. Komunitas di Kota Medan menurut beliau kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat dan masyarakat, sehingga kegiatan mereka kurang terarah untuk kemajuan pembangunan Kota Medan itu sendiri.

Komunitas yang terbentuk di Jakarta menurut beliau kebanyakan lebih terarah dan kreatifitas mereka lebih dihargai disana. Pemerintah setempat kadang mau melakukan sosialisasi bagi komunitas yang ada disana. Mereka diajak untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan pembangunan Kota Jakarta melalui bakat yang mereka miliki. Salah satu contohnya adalah komunitas graffiti yang pernah beliau ikuti. Mereka pernah diminta oleh pemerintah setempat untuk melukis dinding tembok sebuah bangunan, melukis wajah lima orang Presiden Indonesia, dan memperbaiki dinding bangunan tua dengan sebuah lukisan hasil kreatifitas mereka.

Selain itu dalam komunitas lain yang juga pernah diikuti oleh beliau, disana mereka saling bertukar informasi dan belajar mengkreasikan benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi. Mereka memodifikasinya menjadi sebuah aksesoris yang menarik. Komunitas mempunyai ikatan persaudaraan yang sangat solid. Mereka mempunyai prinsip “One for all, all for one”, yaitu satu untuk semua, semua untuk satu. Sehingga dengan adanya prinsip yang tertanam dalam pribadi setiap anggota, mereka akan

(30)

saling bantu-membantu antara sesama anggota dan itu adalah menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.

Memang ada juga komunitas yang hanya untuk kepentingan bersenang-senang saja, namun menurut beliau baik-buruknya sesuatu itu tergantung bagaimana kita menyikapinya saja. Meski sering ikut bergabung dengan berbagai kegiatan, namun beliau tidak terikat dengan salah satu komunitas yang diikutinya itu. Beliau lebih senang berteman dengan semua orang tanpa harus terikat, dalam artian beliau bebas bergaul tanpa perlu merasa ada halangan.

Pada tahun 2000 Pak Muslim menikah dengan Ibu Iroh (32). Saat itu mereka tinggal di Jakarta dengan menjual berbagai macam aksesoris, mulai aksesoris gantungan kunci, poster, bingkai foto, stiker, kalung, gelang, cincin, dan anting-anting. Namun usaha mereka disana kurang berjalan dengan lancar, penghasilan tidak sesuai dengan pengeluaran mereka. Beliau mengatakan bahwa biaya hidup di Jakarta sangat tinggi, seperti sewa rumah yang mahal, serta bahan dan peralatan yang juga serba mahal. Melihat kondisi tersebut mereka akhirnya memutuskan untuk pindah ke Kota Medan tahun 2004. Alasan mereka pindah ke Medan adalah karena keluarga Pak Muslim kebanyakan tinggal di Medan, dan menurut beliau biaya hidup di Medan lebih rendah dibandingkan saat di Jakarta.

Tahun 2004 beliau mulai merintis usahanya kembali. Beliau membeli sebuah beca barang, yaitu beca barang yang dibantu dengan menggunakan sepeda dayung yang dibeli dengan harga yang murah. Awalnya beca itu dibeli untuk digunakan sebagai alat mata pencahariannya untuk mengangkut barang. Namun penghasilan dari bekerja sebagai tukang beca yang mengangkut barang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga intinya, yaitu istri dan anaknya.

(31)

Kemudian beliau mengingat usaha aksesoris yang dulu pernah dikerjakannya. Setelah itu muncullah ide dalam pikiran beliau untuk kembali menjual aksesoris, namun karena modal tidak cukup untuk menyewa tempat maka beliau memutuskan untuk memanfaatkan beca barangnya. Beliau memodifikasi lemari kayu yang tidak terpakai lagi sebagai tempat untuk memajang benda-benda aksesorisnya. Kemudian lemari tersebut diletakkan dan diikat di atas beca barang tersebut. Saat itu aksesoris yang dijual di atas becanya adalah seperti: kalung, cincin, gelang, anting-anting, gantungan kunci, pita dan ikat rambut, kalender, poster, dan striker. Setelah itu beliau berkeliling menjajakan aksesorisnya dari satu tempat ke tempat lainnya sambil mengayuh sepedanya. Beliau menamakannya “SERBU” kepanjangan dari Serba Seribu. Jadi aksesoris yang dijual rata-rata harganya di mulai dari seribu rupiah.

Trik tersebut ternyata cukup mengundang minat dan perhatian banyak orang. Harga yang terjangkau dan cara berjualan yang unik, membuat anak-anak hingga orang dewasa ramai untuk membelinya. Aksesoris yang paling laris dijual adalah aksesoris perhiasan seperti kalung, gelang, anting, dan cincin. Beliau mengatakan orang kebanyakan lebih tertarik menggunakan aksesoris perhiasan, karena aksesoris perhiasan bisa menambah daya tarik dari si pemakainya.

Saat itu menurut beliau di tempat tersebut belum ada yang menjual aksesoris dengan cara dibawa berkeliling dengan menggunakan beca barang. Setiap hari mulai dari jam 12.00 sampai jam 18.00 WIB beliau menjual aksesoris keliling dari satu gang ke gang lainnya, dan setiap hari pula orang ramai datang untuk membelinya. Sehingga keuntungan yang beliau dapatkan saat itu sangat lumayan banyak, karena menggunakan sepeda dayung sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya lebih.

(32)

Hal inilah yang membuat beliau ingin mengembangkan usahanya tersebut. Beliau akhirnya membeli sebanyak 100 beca barang, kemudian beliau mempekerjakan orang-orang yang kebanyakan adalah pemuda setempat yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka bekerja mulai jam 12.00 sampai jam 18.00 WIB. Seiring berjalannya waktu persaingan pun semakin ketat. Para pedagang mulai banyak yang menjual aksesoris dan perlengkapan rumah tangga lainnya dengan cara membawa berkeliling dengan menggunakan sepeda barang dan juga sepeda motor.

Pembeli juga tidak ramai seperti dulu lagi. Hal tersebut membuat beliau memutuskan untuk berhenti berjualan keliling. Beca dayungnya kemudian dijual dan uang hasil pedagangan beca ditambah dengan hasil dari selama beliau berjualan keliling digunakan menjadi modal untuk menambah barang dagangannya di tempat yang baru. Beliau mulai mencari sebuah tempat untuk menjual aksesorisnya.

Namun karena terkendala dengan biaya sewa toko yang mahal, akhirnya beliau memutuskan untuk berjualan di pinggir jalan yang tempatnya berada di depan Museum SUMUT. Di tempat tersebut beliau menaruh sebagian benda-benda aksesorisnya diatas sebuah meja kecil dan sebagian lagi disimpan dalam kardus untuk menghemat tempat. Alasan beliau berjualan di tempat tersebut adalah karena Museum SUMUT merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Sehingga aksesoris-aksesoris yang beliau jual bisa dijadikan sebagai kenang-kenangan bagi orang yang datang berkunjung ke tempat tersebut.

Namun perkiraan beliau ternyata tidak tepat. Pedagangan benda aksesoris di tempat tersebut tidak begitu laris terjual. Penyebabnya karena benda aksesoris yang biasa beliau jual, seperti: kalung, cincin, gelang, anting-anting, gantungan kunci, pita

(33)

dan ikat rambut, kalender, poster, dan striker dapat dengan mudah ditemui dipasaran, atau dengan kata lain tidak memiliki keunikan sehingga kurang diminati oleh pembeli. Sementara orang yang datang berkunjung ke museum tentu menginginkan benda aksesoris yang dapat dijadikan sebagai cendera mata yang menjadi ciri khas dari Kota Medan itu sendiri.

Pada tahun 2006 beliau kemudian harus berpindah tempat lagi, karena ditempat tersebut akan dilakukan penertiban jalan termasuk terhadap pedagang kaki lima. Pedagang-pedagang kaki lima termasuk pak Muslim, dilarang untuk berjualan ditempat tersebut. Pak Muslim hanya bisa pasrah dan mencoba untuk tetap bersabar saat mendengar berita adanya penertiban bagi pedagang kaki lima di tempat tersebut. Beliau sadar tidak mempunyai surat izin usaha di tempat itu. Oleh karena itu, meski sedikit kecewa namun beliau tetap mentaati peraturan pemerintah tersebut.

Meski demikian beliau tidak patah semangat untuk kembali melanjutkan usahanya berjualan aksesoris, karena beliau merasa punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya. Beliau pun kembali mencari tempat untuk berjualan. Berkat informasi yang beliau peroleh dari teman-temannya, akhirnya beliau tertarik untuk menjalankan usahanya di Pajak USU (pajus lama) yang berada di Jln. Jamin Ginting yang berlokasi di dalam kampus USU. Ketertarikan beliau untuk berjualan di tempat tersebut karena letaknya yang strategis, ramai dikunjungi oleh orang banyak, dan peminat aksesoris pada umumnya adalah kaum muda seperti mahasiswa.

Pengalaman yang diperoleh selama berjualan aksesoris, beliau jadikan sebagai sebuah proses pembelajaran. Berdasarkan pengalaman itulah beliau mencoba memperbaiki strateginya untuk berjualan. Mulai dari penyusunan letak aksesoris yang

(34)

akan dijual. Menurut beliau aksesoris yang diletakkan di atas sebuah meja, terutama pada jenis aksesoris perhiasan itu tidak tepat dilakukan, karena membuatnya tidak terlihat menarik dan terkesan sedikit. Hal ini terbukti dengan sedikitnya pengunjung yang tertarik untuk membeli aksesoris yang beliau jual saat di lokasi Museum.

Berbeda halnya dengan aksesoris yang diletakkan dalam sebuah lemari terbuka. Aksesoris menjadi terlihat lebih banyak dan lebih menarik karena terlihat beranekamacam, sehingga akan menimbulkan rasa ingin tahu orang yang melihatnya. Selain itu perhatian orang tersebut juga akan lebih terfokus melihat ke dalam isi lemari yang hanya terbuka pada bagian depan dan samping kiri-kanan. Berdasarkan pertimbangan dua hal tersebut, beliau akhirnya memutuskan untuk mencoba kembali cara lama yang sebelumnya pernah dilakukan, yaitu menyusun benda-benda aksesoris dalam sebuah lemari terbuaka yang berukuran 60cm x 100cm.

Tidak hanya itu saja, jika proses berjualan yang dilakukan sebelumnya adalah membeli barang dari grosir, kemudian langsung menjualnya pada konsumen. Kini beliau mencoba berinovasi dengan melakukan modifikasi bentuk, warna, maupun memperbaharui benda-benda aksesoris yang beliau jual. Hasil dari modifikasi yang beliau lakukan ternyata tidak sia-sia. Benda aksesoris yang sebelumnya tidak menarik perhatian orang lain, setelah dilakukan modifikasi ternyata mendapat perhatian dari sebagian orang karena dianggap cukup unik dan berbeda dengan yang lainnya.

Saat itu di tempat tersebut saingan untuk berjualan aksesoris belum banyak, usaha yang dijalankan lebih didominasi oleh pedagang makanan. Namun lama-kelamaan pedagang aksesoris semakin bertambah. Kemudian beliau pun berkenalan dengan Pak Ojie, seorang pengrajin aksesoris yang juga berjualan di Pajak USU. Mereka akhirnya berteman dan saling sharing tentang usaha aksesoris yang mereka

(35)

tekuni. Berdasarkan cerita dan pengalaman Pak Muslim, Pak Ojie pun akhirnya ikut mencoba merubah tempat berjualannya. Beliau memajang benda-benda aksesorisnya pada sebuah lemari terbuka berukuran 60cm x 100cm.

Pak Muslim sendiri tidak merasa keberatan saat Pak Ojie mencoba melakukan cara yang sama dengan beliau. Beliau senang jika karyanya bisa memberikan ispirasi yang bermanfaat bagi orang lain. Beliau juga mengatakan sebagian hasil modifikasinya terinspirasi dari hasil aksesoris yang dibuat oleh pak Ojie. Menurut beliau Pak Ojie sangat berbakat dan sangat piawai dalam membuat aksessoris. Hal tersebut membuat beliau menjadi tambah bersemangat dan terpacu untuk melakukan inovasi dengan cara melakukan modifikasi pada aksesoris yang beliau jual.

Beliau menyadari bahwa untuk membuat sebuah aksesoris, mulai dari pemilihan bahan baku sampai menjadi aksesoris siap pakai dalam prosesnya dibutuhkan sebuah skill dan waktu yang relatif lama. Pak Muslim sendiri beranggapan bahwa dengan usianya yang sudah tidak muda lagi, tentu akan memakan waktu lama jika ingin mempelajari skill atau teknik membuatnya. Sementara mata pencaharian utama beliau tergantung dari hasil pedagangan aksesoris tersebut.

Oleh karena itu, beliau memilih untuk melakukan modifikasi aksesoris daripada membuatnya karena dianggap lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu memodifikasi aksesoris adalah sebuah hobi yang menyenangkan bagi beliau. Beliau bisa melakukannya dimana saja, baik di toko tempatnya berjualan atau di rumah sambil bermain bersama kedua puterinya.

(36)

2.4.1. Struktur Organisasi IMEJI Gambar 3. Keterangan : : Laki-laki : : Perempuan Ego : Pak Muslim A : Ibu Awi B : Ibu Iroh

C dan D: Anak-anak dari Pak Muslim dan Ibu Iroh

Pak Muslim dan Ibu Awi mempunyai hubungan saudara. Pak Muslim dan Ibu Iroh adalah pasangan suami istri dan mempunyai dua orang anak perempuan. Anak pertama berumur 12 tahun dan anak ke dua berumur 6 tahun. Pak Muslim dan Ibu Iroh menjalankan usaha aksesoris dengan pembagian kerja yang sudah disepakati bersama.

Ibu Iroh selain ikut membantu usaha suami juga mempunyai peran sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke Pasar UD Pajus Baru Medan Ibu Iroh terlebih dahulu menyiapkan sarapan dan mengantar anak-anak berangkat ke sekolah. Meski sangat sibuk dengan pekerjaan, tapi untuk urusan anak tetap harus

B A ego D C

(37)

menjadi perhatian yang utama. Beliau berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik bagi keluarganya. Sehingga meski orang tua jarang di rumah, akan tetapi anak-anak tetap mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Sedangkan untuk urusan memberekan rumah tangga, Ibu Iroh tidak merasa khawatir karena beliau dibantu oleh seorang pekerja rumah tangga.

Biasanya Ibu Iroh baru datang ke Pajak UD Pajus Baru Medan setelah mengantar anak ke sekolah. Pak Muslim, suaminya tidak merasa keberatan jika istrinya datang agak siang untuk membantunya menjaga toko serta melayani pembeli di Pasar UD Pajus Baru Medan. Pada pagi hari Pajus memang masih terlihat sangat sepi, baik dari pedagang maupun pengunjung. Pajus baru ramai didatangi pembeli saat siang dan sore hari. Menurut beliau hal ini disebabkan karena pengunjung Pajus kebanyakan datang dari kalangan anak sekolah, kuliah dan pekerja. Sehingga Pajus menjadi ramai pada saat jam-jam pulang sekolah atau jam makan siang.

Pak Muslim sendiri bertugas menjadi kepala keluarga yang fokus utamanya adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dan istrinya. Saat senggang beliau juga menyempatkan diri bermain dengan anak dan jika ada urusan sekolah yang mengharuskan kehadiran orang tua, maka beliaulah yang mewakili untuk menghadirinya. Sedangkan dalam usaha beliau mengontrol serta mengurus kelengkapan benda-benda aksesoris yang mereka jual, mulai dari memodifikasi aksesoris, hingga membeli aksesoris dari pusat pasar maupun tempat lainnya. Selain itu beliau juga membantu istrinya untuk menjual dan melayani pembeli.

Sedangkan kedua anak mereka karena masih duduk di bangku sekolah, maka mereka tidak diikut sertakan dalam menjalankan usaha tersebut. Kedua anaknya hanya diperbolehkan ikut ke toko pada hari minggu atau saat sedang libur sekolah

(38)

saja. Hal tersebut dilakukan karena menurut Pak Muslim, beliau sebagai orang tualah yang berkewajiban untuk bekerja dan mencari nafkah bagi keluarganya. Sedangkan bagi anak-anaknya, pendidikan menjadi kewajiban utama yang harus dilakukan saat ini.

Memodifikasi aksesoris biasanya dilakukan Pak Muslim saat sedang di rumah. Tidak ada ruangan khusus tempat beliau bekerja, beliau mengerjakannya di dalam atau di teras rumah. Sehingga tidak jarang anak-anaknya juga ikut melihat dan memperhatikan pekerjaan yang dilakukannya. Saat sedang membongkar pasang aksesoris, anak-anaknya kadang ikut memperhatikan dan meminta untuk diajari bagaimana cara kerjanya. Secara pribadi, beliau sangat senang karena ada keinginan sendiri dari anak-anaknya untuk ikut belajar. Menurut beliau ilmu yang diajarkan kepada anak-anaknya suatu saat pasti akan sangat berguna bagi mereka sendiri.

Oleh karena itu, keingintahuan anak harus didukung kearah yang positif. Namun meski demikian beliau tidak mau terlalu memaksa anak-anaknya untuk mempelajari cara membuat atau memodifikasi aksesoris. Beliau tetap memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk melakukan apa yang mereka sukai tanpa ada unsur paksaan dari pihak mana pun.

Menjadi seorang wirausaha aksesoris menurut beliau tidak mudah. Orang yang menjalankan usaha aksesoris harus memiliki jiwa seni, karena kalau tidak maka orang tersebut akan cepat bosan dan hanya memikirkan keuntungan material saja. Namun jika jiwa seni itu ada pada diri seseorang, maka menjalankan usaha aksesoris akan dirasa seperti sedang melakukan sebuah hobi. Melakukan sebuah hobi yang disukai tentu akan memberikan kesenangan tersendiri, sehingga pekerjaan tersebut tidak dianggap menjadi beban.

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan biaya standar bahan baku, biaya standar tenaga kerja langsung, dan biaya standar overhead pabrik sebagai alat perencanaan dapat digunakan untuk

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu proses evaluasi saat ini pada Kota Cimahi masih dilakukan dengan metode penyebaran formulir kuesioner, akibatnya

Hal ini yang membuat kami mengemukakan ide inovatif baru untuk melestarikan kebudayaan batik dengan gaya busana di era globalisasi sehingga mampu

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

(2) Masyarakat high trust, seperti halnya masyarakat Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, adalah masyarakat yang memiliki solidaritas komunal yang sangat tinggi, sehingga

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan skripsi ini

Dan pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan, kalus yang terbentuk dari benih kedelai yang digunakan tidak dapat berkembang dengan baik karena sudah terinvestasi

Pada penderita yang berusia 14 tahun (termasuk dalam usia anak-anak), benda asing didapatkan pada bronkus kiri yang masuk saat menggigit jarum pentul sambil berbicara