• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERADILAN TATA USAHA NEGARA MENUJU SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DUA TINGKAT YANG LEBIH EFISIEN DAN EFEKTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERADILAN TATA USAHA NEGARA MENUJU SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DUA TINGKAT YANG LEBIH EFISIEN DAN EFEKTIF"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

MENUJU SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DUA TINGKAT

YANG LEBIH EFISIEN DAN EFEKTIF

Oleh : UJANG ABDULLAH, SH., MSi.

PENDAHULUAN

Setelah lebih dari 15 Tahun sejak lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara yang secara resmi dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 1991 melalui Keppres Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang dan Surabaya serta Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, masih terasa adanya perdebatan-perdebatan yang berkaitan dengan masalah yuridis, prosedur maupun pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dari berbagai persoalan yang sering muncul dalam penyelenggaraan Peradilan Tata Usaha Negara, diantaranya proses persidangan yang memerlukan waktu relatif cukup panjang dari Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, hingga Mahkamah Agung RI baik pemeriksaan Kasasi maupun Peninjauan Kembali yang tidak jarang baru dapat selesai setelah bertahun-tahun, sementara pada sisi lain roda pemerintahan harus tetap berjalan agar tidak menghambat pelayanan masyarakat dalam pembangunan, sehingga proses yang berkepanjangan tersebut secara otomatis menghambat pelayanan kepada masyarakat.

Persoalan lain yang sangat tidak efektif dari penyelenggaraan Peradilan Tata Usaha Negara adalah dipisahkannya gugatan tentang gugatan " legalitas " dan gugatan " ganti rugi ", sehingga akibat kemenangan Penggugat dalam Perkara tersebut menjadi tidak mempunyai arti lagi.

Terbitnya Ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Pada Pokoknya Berbunyi :

"Perkara Tata Usaha Negara yang obyek gugatannya berupa Keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan termasuk perkara yang dibatasi oleh Undang-Undang ini tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi".

telah membawa perubahan dalam proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga diharapkan penyelesaian sengketa dapat lebih cepat, sederhana dan dan biaya ringan sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan yang lebih penting juga dapat mengurangi beban menumpuknya perkara di Mahkamah Agung RI.

Akan tetapi adanya ketentuan tersebut telah menimbulkan dualisme pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara, karena untuk Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara Pusat dan cakupannya bersifat nasional seperti Keputusan Menteri, Keputusan Direktur Jenderal dan lain-lain belum diadakan perubahan proses penyelesaian sengketanya sehingga penyelesaiannya masih memakan waktu yang lama.

Tulisan ini bertujuan untuk mengajak berfikir secara futuristik dengan harapan Peradilan Tata Usaha Negara dapat berperan secara efisien dan efektif serta bermanfaat dalam penegakan hukum di tanah air.

PERADILAN KHUSUS YANG PROSES PENYELESAIANNYA TELAH MENGGUNAKAN SISTEM DUA TINGKAT

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan Khususnya hanya dapat dibentuk dalam salah satu peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang, sehingga Peradilan Khusus tersebut dapat dibentuk dengan menempel pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, atau Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut telah dibentuk berbagai Pengadilan Khusus antara lain Pengadilan Niaga, Pengadilan Pajak dan Pengadilan Hubungan Industrial. Kesemuanya Pengadilan Khusus tersebut telah menggunakan proses penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) bulan di tingkat pertama dan paling lama 6 (enam) bulan ditingkat Mahkamah Agung, sehingga dalam waktu relatif pendek perkara dapat diselesaikan.

Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur proses penyelesaian sengketa pada Pengadilan-Pengadilan Khusus tersebut :

1. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Sebelum diterbitkan Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial, perselisihan antara buruh dengan pengusaha diselesaikan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4-D), yaitu musyawarah antara unsur serikat pekerja dan perwakilan pengusaha dengan mediator Departemen Tenaga Kerja (unsur Pemerintah). Apabila ada pihak yang tidak puas, mereka dapat membawanya ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4-P).

(2)

Atas Keputusan P4-P tersebut apabila ada pihak yang tidak puas, berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pihak tersebut dapat membawanya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, selanjutnya Kasasi ke Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali.

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial yang seharusnya PHI tersebut mulai berlaku satu tahun sejakl diundangkan, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor : 1 Tahun 2005 baru berlaku efektif pada tahun 2006. Penyelesaian perselisihan antara buruh dan pengusaha langsung dapat dibawa ke PHI dan salah satu semangat pembentukan PHI adalah agar penyelesaian perselisihan perburuhan dapat berlangsung singkat dan biaya murah. Apabila ada pihak yang tidak puas atas putusan PHI, para pihak langsung dapat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (tidak mengenal upaya hukum Banding). Hasil Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI mempunyai kekuatan hukum tetap.

Lahirnya PHI tersebut tentu sangat diharapkan lebih menjamin kepastian hukum yang efisien dan efektif serta menghindari proses hukum yang lama dan berkepanjangan karena hanya dua tingkat saja, yaitu PHI dan Kasasi di Mahkamah Agung RI.

2. Pengadilan Pajak

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 2004 tentang Pengadilan Pajak, sengketa yang timbul karena adanya perbedaan pendapat antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, dan apabila masih ada yang tidak puas lagi, dapat mengajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986) dan seterusnya Kasasi Ke Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali.

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka penyelesaian sengketa pajak yang timbul sebagai akibat pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan diselesaikan melalui Pengadilan Pajak melalui proses yang cepat, murah dan sederhana serta putusannya merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap, namun apabila ada pihak yang tidak puas masih dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung RI.

Proses Penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak dilaksanakan dengan proses yang cepat karena dalam Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 2002 tersebut diatur mengenai pembatasan waktu penyelesaiannya baik ditingkat Pengadilan Pajak maupun ditingkat Mahkamah Agung.

3. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di pusat maupoun di daerah mengenai hasil pemilihan umum tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi peraturan tersebut tidak mengatur secara tegas mengenai Penetapan Keputusan KPU baik di pusat maupun daerah yang berkaitan dengan rangkaian proses pemilihan sebelum hasil penghitungan pemilihan umum seperti Penetapan mengenai Pendaftaran Calon, Penetapan Bakal Calon, Penetapan Calon dan lain sebagainya. Sehingga penyelesaiannya diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara karena Penetapan/Keputusan tersebut bersifat publik, unilateral, Konkrit, individual, final dan menimbulkan akibat hukum yang definitif termasuk pula Keputusan/Penetapan yang berkaitan dengan Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota DPR dan DPRD.

Apabila ada pihak yang tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka para pihak dapat menempuh upaya hukum Banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan selanjutnya Kasasi ke Mahkamah Agung RI

Terdapatnya dua macam Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Keputusan/Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)/Komisi Peradilan Umum Daeerah (KPUD) yaitu mengenai hasil penghitungan suara ke Peradilan Umum dan rangkaian proses persiapannya di Peradilan Tata Usaha Negara dapat menimbulkan inkonsistensi dalam Putusan Pengadilan, sehingga Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor : 8 Tahun 2005 telah mengatur bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menerima, memeriksa dan menyelesaikan sengketa tentang :

1. Penetapan/Keputusan KPU mengenai hasil Pemilihan Umum (Pasal 2 huruf g Undang- Undang Nomor : 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

2. Penetapan/Keputusan KPUD propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota tentang Penetapan Hasil Penghitungan suara.

3. Penetapan/Keputusan KPUD baik dalam rangka persiapan pelaksanaanya maupun hasil pemilihan umum (SEMA Nomor : 8 Tahun 2005 ayat (2) ).

4. Keputusan yang berkaitan dengan ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan (SEMA Nomor : 8 Tahun 2005 ayat (3) ).

Khususnya mengenai penyelesaian sengketa terhadap Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan W akil Kepala Daerah telah diatur pula tatacaranya melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor : 1 Tahun 2005 yaitu oleh Mahkamah Agung RI untuk Penetapan KPUD Propinsi dan oleh Pengadilan Tinggi Umum untuk Penetapan KPUD Kabupaten/Kota, dan harus diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari serta Putusannya bersifat final. Dalam prakteknya Putusan Pengadilan Tinggi Umum tersebut masih dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI (kasus Pemilihan W alikota dan Wakil Walikota Depok)

Proses penyelesaian sengketa tentang Hasil Penetapan KPUD yang menggunakan sistem dua tingkat tersebut tentu diharapkan agar para pencari keadilan dapat memperoleh kepastian hukum dalam waktu yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana asas peradilan yang dituankan dalam Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(3)

Selain penyelesaian sengketa yang bersifat hukum publik tersebut, penyelesaian sengketa yang bersifat perdata juga saat ini sudah ada yang menggunakan proses penyelesaian sengketa yang bersifat perdata juga saat ini sudah ada yang menggunakan proses penyelesaian dua tingkat seperti Pengadilan Niaga, Hak Cipta, Merek dan Patent. Hal tersebut merupakan tanda bahwa di masa mendatang diperlukan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien dan lebih efektif bagi para pencari keadilan.

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara semestinya dimaksudkan untuk merealisasikan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor : 14 Tahun

1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang sekarang sudah digantikan dengan Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga Peradilan Tata Usaha Negara merupakan Sistem Umum Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu suatu Lembaga Peradilan satu-satunya yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa administrasi (Tata Usaha Negara). Akan tetapi apabila kita memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 3 dan 4 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tenyata Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah merupakan Peradilan Khusus karena kewenangannya terbatas pada penyelesaian sengketa administrasi yang memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 3 dan angka 4 tersebut, sedangkan sengketa administrasi lainnya menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 menjadi wewenang Peradilan Umum.

Dalam kurun waktu 15 tahun sejak lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 3 dan 4 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 tersebut telah mengalami penyempitan-penyempitan pula karena satu-persatu membentuk Pengadilan Khusus tersendiri seiring lahirnya Undang-Undang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial dan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Terbentuknya Pengadilan-Pengadilan Khusus di bidang administrasi (tata usaha negara) tersebut tidak terlepas dari proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara yang dianggap kurang efisien dan kurang efektif karena disamping memerlukan waktu yang cukup lama karena harus melalui proses pemeriksaan tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali serta manfaatnya yang belum optimal karena Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menurut memutus dari segi legalitas saja, sedangkan ganti rugi harus digugat lagi melalui Peradilan Umum.

Pada saat ini sistem penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Untuk Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat/Badan Pusat dan keputusannya bersifat nasional, penyelesaiannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Khusus untuk sengketa yang ada upaya administratif melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Tingkat Pertama, selanjutnya Kasasi dan Peninjauan Kembali (Vide pasal 53-132 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 19896).

2. Untuk Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Daerah dan keputusan yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah yang bersangkutan, penyelesaiannya memakai sistem dua tingkat, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Tingkat Terakhir (vide pasal 45 A ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004).

Dualisme yang terjadi dalam proses penyelesaian sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara tersebut, kemungkinan di masa mendatang akan menimbulkan persoalan tersendiri karena setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabt kemanusiaanya di depan hukum, serta setiap orang berhak mendapat bantuan yang adil dari Pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak (Vide pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang Nomor : 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan oran dan Pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga proses penyelesaian sengketa diharapkan tidak membedakan subjek atau objek hukum karena dapat menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap pencari keadilan

Minimnya jumlah perkara yang masuk di beberapa Pengadilan Tata Usaha Negara di wilayah tertentu seperti Palu, Kendari, Palangkaraya, Samarinda, Bengkulu dan sebagainya yang rata-rata setahun tidak lebih dari 10 (sepuluh) perkara, bahkan ada yang hanya 2 atau 5 perkara saja, dapat juga ditafsirkan sebagai bentuk masih kurangnya kepercayaan para pencari keadilan untuk membawa perselisihan Sengketa Tata Usaha Negara yang dialaminya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut mungkin saja diakibatkan karena kurang efisien dan belum efektifnya proses penyelesaia sengketa tersebut yang memakan waktu yang berkepanjangan dan tidak dapat segera dimanfaatkan oleh pencari keadilan. Oeh karena itulah pada acara Temuilmiah dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Peradilan Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara menggunakan sistem dua tingkat saja seperti yang telah dilaksanakan di Negara Prancis dan Nederland, yaitu :

1. Untuk sengketa mengenai Keputusan Badan/Pejabat Daerah dan Keputusan yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah yang bersangkutan, pemeriksaan tingkat pertama dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan pemeriksaan tingkat kedua (terakhir) di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

2. Untuk sengketa mengenai Keputusan Badan/Pejabat Pusat dan Keputusannya berlaku Nasional, pemeriksaan tingakt pertama dilakukan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pemeriksaan tingkat kedua (terakhir) di Mahkamah Agung RI.

Selain hal tersebut diusulkan pula agar Peradilan Tata Usaha Negara diberi kewenangan di samping memutus sengketa tentang legalitas juga dapat memutus tentang ganti ruginya, sehingga diharapkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara akan lebih efisien dan lebih efektif. Usulan tersebut ternyata senada pula dengan Draft Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) yang disiapkan oleh Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Apararut Negara seperti yang disampaikan oleh salah satu tim pembuat RUU-AP tersebut, yaitu DR. SATRI NUGRAHA, SH., LLM., dalam makalahnya yang berjudul RUU-AP Pembaharuan Hukum Menuju Era Good Governance.

(4)

Setiap perubahan biasanya dapat menimbulkan dampak baik yang positif maupun yang bersifat negatif. Dalam proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dengan sistem dua tingkat akan sangat merugikan bagi pencari keadilan yang gugatannya dikalahkan, karena tujuannya menggugat ke Pengadilan supaya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu dibatalkan, sehingga dia kehilangan kesempatan mengajukan Upaya Hukum di Pengadilan yang lebih tinggi, akan tetapi sebagai negara dalam prinsip 'The Modern Welfare State', negara sebagai pelayan masyarakat mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan hukum yang efisien dan efektif terhadap warganya termasuk sengketa antara warga dengan para pejabat pemerintahannya.

Dampak positif yang dapat timbul dengan proses penyelesaian sengketa dua tingkat antara lain :

1. Kepastian hukum terhadap perselisihan Sengketa Tata Usaha Negara dapat diperoleh dalam waktu yang cepat (lebih efisien) karena prosesnya hanya dua tingkat saja dan diharapkan dalam waktu 6 (enam) bulan sudah ada Putusan yang bersifat tetap (inkracht van gewijsde).

2. Baik pihak Penggugat maupaun pihak Tergugat dapat segera merealisasikan isi Putusan Pengadilan (lebih efektif).

3. Roda penyelenggaraan pemerintah dapat berjalan lancar, karena setiap keputusan yang disengketakan dapat segera dilaksanakan atau dibatalkan.

4. Mendukung reformasi bidang pemerintahan, khususnya penyelenggaraan otonomi daerah yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004.

5. Dapat menciptakan Peradilan yang lebih cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

6. Mengurangi beban penumpukan perkara di Mahkamah Agung.

Sedangkan dampak negatifnya antara lain :

1. Melahirkan arogansi Hakim-Hakim tingkat Pengadilan Tinggi yang mempunyai Integritas rendah, karena sebagai Pejabat yang memutus tingakt terakhir.

2. Melukai rasa keadilan, apabila diputus oleh Hakim yang tidak profesional dan kurang pengalaman.

3. Menyalahi kewenangan yang diberikan Undang-Undang, karena Peradilan Tertinggi Negara adalah Mahkamah Agung.

4. Mengurangi kesempatan pihak yang bersengketa untuk mendapatkan upaya hukum yang lebih tinggi.

Dampak negatif tersebut sudah barang tentu harus diatasi dengan pemberian pengertian/sosialisasi tentang tujuan proses penyelesaian sengketa dua tingkat dan lebih khusus lagi kepada Hakim-Hakim harus selalu diberikan kesempatan untuk peningkatan profesionalismenya baik melalui pendidikan penjenjangan atau pelatihan, disamping itu pemberian sanksi yang tegas terhadap Hakim yang mempunyai integritas rendah juga sangat penting agar dapat memutus dengan arif dan penuh rasa keadilan serta yang tidak kalah pentingnya juga adalah peningkatan kesejahteraan Hakim itu sendiri baik melalui gaji maupun fasilitas yang diberikan, oleh karena itu keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menata kembali sistem penggajian di lingkungan Kekuasaan Yudikatif perlu mendapat respon dalam positif karena hal tersebut dapat mendorong Hakim untuk bertindak profesional dalam melaksanakan tugasnya.

PENUTUP

Sebagai negara kesejahteraan modern yang akan selalu menghadapinya perubahan setiap saat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, maka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sudah sepatutnya negara menerapkan iklim layanan hukum yang efisien dan efektif terhadap warganya termasuk dalam penyelesaian sengketa administrasi (Tata Usaha Negara).

Pada masa mendatang diharapkan proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara dapat diputus dalam 2 (dua) tingkat pemeriksaan saja seperti yang telah dilaksanakan oleh Pengadilan Khusus Administrasi lainnya, misalnya Pengadilan Pajak, Pengadilan Hubungan Industrial dan penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), serta seperti yang telah diterapkan pula di Negara Perancis dan Nederland.

Dampak positif pemeriksaan dua tingkat tersebut antara lain dapat mengurangi beban penumpukan perkara di Mahkamah Agung, menciptakan Peradilan yang efisien dan efektifdan memenuhi azas Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan seperti yang dikehendaki Undang-Undang Kekuasaan Kehakikman.

Untuk mengurangi dampak negatifnya, harus segera diterapkan sistem reward and punishman, yaitu pemberian sanksi yang tegas terhadap Hakim-Hakim yang berintegritas rendah serta pemberian kesejahteraan-kesejahteraan baik melalui peningkatan gaji maupun fasilitas serta pemberian kesempatan peningkatan profesionalisme Hakim.

(5)

Buku dan Makalah :

Dr. SATRI NUGRAHA, SH., LLM, 'Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Pembaharuan Hukum Menuju Era Good Governance', Makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah Peringatan Hari Ulang Tahun Peradilan Tata Usaha Negara Ke - XV pada tanggal 14 Januari 2006 di Medan ;

Prof. Dr. M. SOLLY LUBIS, SH., 'Penegakan Hukum Sebagai Layanan Bagi Publik Dengan Pendekatan Paradigmatik', Makalah yang disampaikan dalam Temu Ilmiah Peringatan Hari Ulang Tahun Peradilan Tata Usaha Negara Ke - XV pada tanggal 14 Januari 2006 di Medan ;

Laporan Hasil Temu Ilmiah Dalam Rangka Hari Ulang Tahun Ke - XV Paradilan Tata Usaha Negara Se - Wilayah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Medan, Garuda Plaza Hotel, Medan, 14 Januari 2006 ;

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ;

Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI ;

Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ;

Undang-Undang Nomor : 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Akibatnya Kecamatan tersebut akan sangat mempengarui tingkat daya dukung lahan dan akan berdampak pada swasembada pangan pada daerah tersebut dan tidak dapat memberikan

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: (1) Kemampuan lahan kawasan perkotaan Lewoleba 91.73 % memiliki daya dukung yang baik untuk kegiatan perkotaan,

Isolat dari karang laut memiliki potensi anti MRSA (Kristiana et al. 2017), Olehnya perlu dilakukan penelitian tentang potensi ekstrak tunikata sebagai

Ukuran audience proximity secara geografis yangmenjadi keunggulan (media cetak, radio, tv lokal) selama ini menjadi semakin absurd pada media online. Melalui

(4) Pada dan mulai dari tarikh pemerbadanan yang dinyatakan dalam perakuan pemerbadanan itu, tetapi tertakluk kepada Akta ini, penandatangan kepada memorandum bersama dengan mana-

TJAHJO BASKORO, Ir.,M.Si.. SILALAHI,

”To execute its duties, Greater Jakarta Transport Authority (GJTA) refers to Transportation Grand Design for Greater Jakarta (Presidential Decree)”.. MAIN TASK

Dengan menggunakan pendekatan yang sistematik, terangkan potensi penghasilan tenaga bio daripada biojisim pepejal yang dihasilkan daripada industri kelapa sawit di Malaysia