144
APLIKASI TEH KOMPOS UNTUK MENEKAN PENYAKIT PUSTUL BAKTERI PADA TANAMAN KEDELAI
Restu Rizkyta Kusuma, Siti Mahfudhoh, Luqman Qurata Aini
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
ABSTRACT
The research was aimed to find out the microbe difference in aerobic compost tea (ACT) and anaerobic compost tea (NCT), and to determine the effect of compost tea on controlling bacterial pustule disease of soybean. This research was conducted at Central Laboratory of Life Science (LSIH) and greenhouse, starts from January to May 2015. Research steps were calculation of microbial populations (Total Plate Count), antibacterial test of compost tea againt Xanthomonas axonopodis pv. glycines in vitro, and the effect of compost tea on pustule disease in vivo in a greenhouse. The results showed microbial population in ACT (bacteria or fungal) is higher than in NCT. ACT has the highest number of bacterial population 8,11 x 106 cfu/ml at 96 hours fermentation and the highest fungal population 4,98 x 104 cfu/ml at 24 hours fermentation, whereas compost tea NCT has the highest number of bacterial population 7,92 x 106 cfu/ml at 144 hours of fermentation and fungi has the highest population of 4,70 x 104 cfu/ml at 24 hours of fermentation. The growth population of microbes in the compost tea is influenced by pH and Electrical Conductivity. The results of the antibacterial test in Petri dish shows that the inhibition zone formed at both the fermentation 48 hours with a diameter of 1,88 cm for compost tea on the ACT and NCT 72 hours fermentation with a diameter of 1,06 cm. Application of compost tea on soybean plants suppressed bacterial pustule disease at 16,44%, significantly different from controls, 36,19%.
Keywords: compost tea, microbial, pustule bacteria ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan mikroba pada teh kompos aerobik (ACT) dan anaerobik (NCT) serta pengaruhnya dalam mengendalikan penyakit pustul bakteri X. axonopodis pv. glycines pada tanaman kedelai. Penelitian dilakukan di Laboratorium Sentral Ilmu Hayati (LSIH) dan rumah kaca Universitas Brawijaya pada Januari sampai Mei 2015. Metode penelitian yang digunakan yaitu perhitungan populasi mikroba, pengujian sifat anti bakteri teh kompos secara in vitro, dan pengaruh teh kompos terhadap intensitas penyakit pustul. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi mikroba di dalam teh kompos ACT baik bakteri atau jamur lebih tinggi daripada teh kompos NCT. Teh kompos ACT mempunyai jumlah populasi bakteri tertinggi yaitu 8,11 x 106 cfu/ml pada fermentasi 96 jam dan populasi jamur tertinggi 4,98 x 104 cfu/ml pada fermentasi 24 jam, sedangkan teh kompos NCT jumlah populasi bakteri tertinggi 7,92 x 106 cfu/ml pada fermentasi 144 jam dan populasi jamur tertinggi 4,70 x 104 cfu/ml pada fermentasi 24 jam. Jumlah populasi mikroba teh kompos dapat dipengaruhi oleh pH dan konduktivitas listrik. Hasil pengujian sifat anti bakteri secara
in vitro dalam cawan menunjukkan bahwa luas zona hambat yang terbentuk paling baik
pada fermentasi teh 48 jam dengan diameter 1,88 cm untuk teh kompos ACT dan NCT pada fermentasi 72 jam dengan diameter 1,06 cm. Aplikasi teh kompos pada tanaman
145
kedelai dapat menekan serangan penyakit pustul bakteri sebesar 16,44%, berbeda nyata dengan kontrol yang serangannya mencapai 36,19%.
Kata kunci: mikroba, pustul bakteri, teh kompos PENDAHULUAN
Kedelai merupakan komoditas kaya protein yang penting bagi masyarakat Indonesia. Penggunaan tempe sangat beragam untuk pangan dan pakan ternak. Konsumsi kedelai di Indonesia makin tahun makin meningkat sesuai dengan pertambahan penduduk. Kenaikan konsumsi ini tidak dapat dikejar oleh produksi dalam negeri, sehingga harus ditutup dengan impor. Tingkat pertumbuhan impor kedelai periode tahun 2001-2004 rata-rata mencapai 16,57% per tahun (Deptan, 2014).
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kehilangan hasil pada produksi kedelai adalah serangan penyakit pustul bakteri. Penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai dapat mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 15,9% (Aini, 1992 ; Rahayu, 2012). Penyakit pustul bakteri disebabkan oleh bakteri Xanthomonas
axonopodis pv. glycines yang secara umum
menyerang tanaman kedelai (Sweets et al., 2008). Penggunaan varietas kedelai resisten merupakan cara pengendalian penyakit pustul yang sering dianjurkan (Semangun, 1991), namun banyak galur yang masing-masing menunjukkan genotip dan virulensi yang berbeda sehingga pengendalian dengan varietas tahan dengan daya tahan vertikal sulit dilakukan (Rukayadi et al., 1999).
Teh kompos adalah cairan ekstrak kompos atau kompos yang telah matang diproses menjadi teh kompos dengan cara memberi air dan nutrisi untuk pertumbuhan mikroba kemudian diaerasi selama waktu tertentu (Nasir, 2007). Teh kompos mengandung keragaman hayati yang tinggi. Teh kompos mempunyai beberapa manfaat antara lain: mampu memberikan kesuburan tanah, membantu pertumbuhan tanaman serta meningkatkan daya tahan tanaman
terhadap penyakit (Ingham, 2005). Dari hasil penelitian sebelumnya, teh kompos mampu menekan perkembangan penyakit hawar daun (Pantoea sp.) dan dapat menurunkan
Ralstonia solanacearum dengan jumlah
presentase mencapai 56% (Sari, 2013; Damanik et al., 2014). Selain itu, teh kompos juga mampu meningkatkan tinggi tanaman (Hendawy, 2008). Tetapi, pemanfaatan teh kompos saat ini masih belum banyak dikembangkan.
Teh kompos mempunyai dua metode dalam pembuatannya yaitu teh kompos aerobik (Aerobic Compost Tea / ACT) dan anaerobik (Non Aerobic Compost Tea / NCT). Di dalam teh kompos ACT dan NCT diduga terdapat kelimpahan populasi mikroba yang beragam dan berbeda. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh aplikasi teh kompos dalam menekan penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Laborato-rium Sentral Ilmu Hayati (LSIH) dan rumah kaca Universitas Brawijaya. Waktu penelitian dimulai bulan Januari sampai Mei 2015.
Isolat X. axonopodis pv. glycines diperoleh dari koleksi laboratorium Penyakit Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Kompos diperoleh dari UPT Kompos Universitas Brawijaya.
Kegiatan penelitian dilakukan dalam tiga tahap dengan rincian sebagai berikut: 1. Perhitungan populasi mikroba dalam
teh kompos. Metode penelitian yang digunakan adalah perhitungan populasi mikroba menggunakan metode Total
146 2. Uji antibakteri teh kompos terhadap X.
axonopodis pv. glycines dalam cawan
Petri (in vitro). Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui lama fermentasi teh kompos (ACT dan NCT) yang mampu menghasilkan senyawa antibakteri dan efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri X.
axonopodis pv. glycines. Metode
yang digunakan adalah metode uji difusi agar (agar diffusion test) dalam cawan Petri.
3. Uji pengaruh teh kompos terhadap perkembangan penyakit pustul pada tanaman kedelai (in vivo) dengan menghitung persentase gejala serangan pustul bakteri pada kedelai. Tujuan percobaan ini untuk mengetahui pengaruh teh kompos dalam mengendalikan penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai.
Pembuatan Teh Kompos
Bahan yang diperlukan untuk membuat teh kompos ACT yaitu aquades steril 500 ml, molase 0,5 ml, dan kompos 50 gram. Metode pembuatan teh kompos ACT yaitu dengan pencampuran antara aquades, kompos dan molase kemudian digojok dengan waktu fermentasi tertentu. Sedangkan untuk pembuatan teh kompos NCT dengan pencampuran aquades, kompos dan molase yang diaduk rata tanpa digojok dan didiamkan selama waktu fermentasi tertentu.
Penghitungan Populasi Mikroba
Perhitungan populasi mikroba dalam teh kompos menggunakan metode hitungan cawan (Total Plate Count). Teh kompos aerobik diambil sebanyak 100 µl pada 0, 24, 48, 72 jam fermentasi untuk dilakukan perhitungan populasi mikroba pada media NA dan PDA+S setelah dilakukan pengenceran. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
Teh kompos anaerobik diambil sebanyak 100 µl pada 0, 24, 48, 72, 96, 120
dan 144 jam fermentasi untuk dilakukan perhitungan populasi mikroba pada media NA dan PDA+S . Perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
Variabel pengamatan yang diamati yaitu kelimpahan populasi mikroba (bakteri dan jamur), pH dan Electrical Conductivity (EC). Uji Antibakteri Teh Kompos Terhadap Pertumbuhan X. axonopodis pv. glycines
Uji antibakteri teh kompos terhadap
X. axonopodis pv. glycines dalam cawan
Petri dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan lubang sumuran. Media yang digunakan adalah media NA sebanyak 20 ml. Pada saat suhu media sudah menurun sebanyak 20 ml media NA dicampur dengan 100 µl suspensi bakteri X. axonopodis pv
glycines dengan kepadatan 108 cfu/ml,
kemudian dituang ke dalam cawan Petri. Setelah media memadat, dibuat lubang sumuran menggunakan cork borer yang memiliki diameter 0,5 cm dan dimasukkan ekstrak kompos sejumlah 80 µl di setiap lubang sumuran tersebut.
Pada uji tersebut digunakan lima macam perlakuan untuk teh kompos ACT yaitu teh kompos dengan waktu fermentasi 0 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 96 jam. Sedangkan untuk teh kompos NCT menggunakan tujuh perlakuan yaitu teh kompos dengan waktu fermentasi 0 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam dan 144 jam. Semua perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Penilaian kemampuan teh kompos dan filtrat teh kompos dalam menekan pertumbuhan penyakit pustul bakteri diukur dengan mengukur zona bening atau zona hambat di sekitar lubang sumuran menggunakan jangka sorong secara vertikal dan horizontal.
Uji Penekanan Penyakit Pustul Bakteri pada Tanaman Kedelai
Teh kompos yang digunakan adalah teh kompos dengan lama fermentesi yang paling efektif dari hasil tahapan penelitian sebelumnya. Aplikasi teh kompos dilakukan
147 dengan penyemprotan pada daun tanaman kedelai yang berumur 13 hst (hari setelah tanam). Sedangkan inokulasi bakteri patogen
X. axonopodis pv. glycines dilakukan ada
tanaman kedelai berumur 14 hst. Jumlah suspensi yang digunakan sebanyak 10 ml/tanaman. Untuk menjaga agar kelembaban tetap tinggi, tanaman yang telah diinokulasi disungkup dengan plastik transparan yang telah dilubangi pada kedua sisinya.
Tabel 1. Perlakuan di rumah kaca
Kode Keterangan
1 Kontrol
2 Bakterisida
3 Teh kompos murni ACT
4 Filtrat ACT
5 Pengenceran 10-1 ACT
6 Teh kompos murni NCT
7 Filtrat NCT
8 Pengenceran 10-1 NCT
Keterangan : ACT : Teh kompos aerobik, NCT : Teh kompos anaerobik Pengamatan dilakukan setiap hari setelah inokulasi hingga munculnya gejala awal pada daun, kemudian dilakukan pengamatan penyakit setiap minggu sekali. Intensitas penyakit dihitung dengan menggunakan rumus intensitas penyakit (Sari, 2013) sebagai berikut:
Keterangan :
I = intensitas serangan
n = Jumlah daun dalam tiap kategori serangan
v = nilai skoring berdasarkan luas seluruh daun tanaman kedelai yang terserang
Z = nilai kategori serangan tertinggi (v=5)
N = Jumlah yang diamati
Tabel 2. Skor Intensitas Penyakit
Skor Keterangan
0 Tidak ada gejala (0%) 1 Gejala penyakit antara 1%- 20% 2 Gejala penyakit antara 21%- 40% 3 Gejala penyakit antara 41%- 60% 4 Gejala penyakit antara 61%- 80% 5 Gejala penyakit antara 81%- 100% Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila dari hasil pada taraf 5% terdapat pengaruh nyata, dilakukan uji lanjutan BNT 5 % dan Duncan 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Bakteri dalam Teh Kompos
Secara umum populasi bakteri pada ACT lebih tinggi dibanding populasi bakteri pada NCT (Gambar 1). Selain itu populasi bakteri baik pada ACT maupun NCT lebih tinggi dari populasi jamur (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri lebih dominan pada fermentasi teh kompos baik pada ACT maupun NCT. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ingham (2005) bahwa di dalam teh kompos bakteri merupakan mikroba yang paling dominan.
pH teh kompos baik ACT maupun NCT mengalami perubahan selama proses fermentasi. pH pada fermentasi teh kompos menurun pada fermentasi 24 jam kemudian pH naik kembali pada 48 jam dan berlanjut pada lama fermentasi berikutnya. Pada saat pH teh kompos dibawah 7 (lebih asam) jumlah koloni bakteri cenderung lebih rendah (Tabel 3). Menurut Yohanes (2007) pH awal pengomposan sekitar 7,2 kemudian terjadi penurunan sampai pH sekitar dibawah 7 dalam kondisi asam pada pH 6,5. Keadaan ini juga sesuai dengan penelitian Sari (2013) yang menyatakan bahwa pada pH asam mampu menurunkan jumlah populasi bakteri.
148 Pertumbuhan populasi mikroba pada fermentasi teh kompos dapat terlihat pada Gambar 1. Teh kompos mengalami penurunan jumlah koloni bakteri pada fermentasi selama 0- 24 jam, hal ini karena pertumbuhan bakteri masih dalam fase lag yaitu fase penyesuaian atau adaptasi dengan lingkungan. Pada 24-48 jam baik pada fermentasi ACT maupun NCT jumlah koloni bakteri mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa bakteri memasuki fase pertumbuhan logaritma atau eksponensial, di dalam fase ini sel membelah dengan cepat. Pertumbuhan bakteri selanjutnya, adalah fase stasioner merupakan pertumbuhan seimbang yang ditandai dengan jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Pada fermentasi ACT fase stasioner terjadi pada 72 jam sedangkan pada fermentasi NCT fase stasioner terjadi pada 96 jam.
Menurut Sucipto (2009) pertumbuhan bakteri dimulai dari fase lamban atau lag. Ciri-ciri fase ini adalah tidak ada pertumbuhan populasi, sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi, bertambah ukurannya, dan substansi intraselulernya bertambah. Kemudian bakteri memasuki fase pertumbuhan
logaritma atau eksponensial, di dalam fase ini sel membelah dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat dengan laju yang sama, dan aktivitas metabolik seimbang, dan pertumbuhan seimbang. Pertumbuhan seimbang ditandai dengan bertambahnya populasi secara teratur. Pertumbuhan bakteri selanjutnya, yaitu fase stasioner, fase ini ditandai nutrisi yang yang berkurang dan produksi senyawa racun yang menyebabkan beberapa sel bakteri mati, sedangkan sel yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel yang hidup menjadi tetap.
Populasi Jamur dalam Teh Kompos Jumlah populasi jamur pada teh kompos ACT pada fermentasi 0-72 jam tidak berbeda nyata, berkisar antar 4,3-4,8 x 104 cfu/ml. Populasi jamur mulai menurun pada fermentasi selama 96 jam
Sedangkan pada teh kompos NCT populasi jamur pada fermentasi 0 jam sebesar 4,20 x 104 cfu/ml dan hasil ini berbeda nyata pada fermentasi 24 jam sebesar 4,70 x 10 4 cfu/ml. Populasi jamur selanjutnya mengalami penurunan pada fermentasi selama 72 jam.
149
Tabel 3. Populasi Mikroba (Bakteri dan Jamur) Pada Teh Kompos ACT dan NCT
Waktu Fermentasi ACT NCT Bakteri (cfu/ml) jamur (cfu/ml) pH Bakteri Jamur pH (cfu/ml) (cfu/ml) 0 jam 7,82 x 106 a 4,73 x 104 b 7,00 7,83 x 106 bc 4,20 x 104 ab 7.00 24 jam 7,79 x 106 a 4,98 x 104 b 6,54 7,61 x 106 a 4,70 x 104 c 6,57 48 jam 8,05 x 106 b 4,56 x 104 ab 7,07 7,76 x 106 b 4,48 x 104 bc 6,83 72 jam 8,10 x 106 b 4,30 x 104 ab 7,23 7,88 x 106 c 4,10 x 104 a 7,10 96 jam 8,11 x 106 b 4,20 x 104 a 7,30 7,91 x 106 c 4,00 x 104 a 7,23
Ket : Angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Populasi jamur pada teh kompos ACT lebih tinggi dari pada teh kompos NCT. Hal ini karena pada kondisi aerobik ketersediaan oksigen dapat mempercepat pertumbuhan mikroba sehingga populasi mikroba pada teh kompos ACT lebih tinggi. Selain itu kenaikan pH teh kompos menyebabkan penurunan populasi jamur. Konduktivitas Listrik(Electrical conductivity)
Electrical concuctivity (EC) atau
daya hantar listrik merupakan pengukuran kadar garam dalam larutan, dimana nilai EC terkait dengan banyaknya unsur hara yang terkandung dalam larutan, semakin banyak unsur hara yang terkandung maka semakin tinggi nilai EC (Suhastyo et al., 2013). Teh kompos ACT dan NCT memiliki nilai EC yang tidak sama yaitu nilai EC pada ACT lebih tinggi dibanding NCT (Tabel 4). Mukhlas
et al. (2012), menyatakan bahwa jika
kompos mengandung sedikit unsur hara makro, maka jumlah ion yang dihasilkan ketika teh kompos dilarutkan akan sedikit. Hal ini karena unsur hara makro merupakan materi dasar untuk pembentukan ion. Kompos mengandung senyawa ionik (K2O) yang tinggi, apabila
kompos dilarutkan dalam suatu pelarut akan membentuk ion-ion dalam jumlah besar. Semakin banyak ion yang terbentuk dari proses ionisasi akan memberikan reaksi pada peningkatan konduktivitas
larutan. Menurut Ridlo dan Suharjono (2013) konduktivitas adalah ukuran dari kemampuan air untuk melakukan arus listrik dan menunjukkan jumlah padatan terlarut dalam air. Semakin banyak kandungan hara terlarut maka akan semakin tinggi kemampuan menghantarkan arus listrik. Menurut Adimihardja et al. (2011) EC memiliki peran penting dalam kualitas larutan nutrisi, sehingga EC digunakan sebagai pengujian kualitas nutrisi dalam teh kompos. Karena nilai EC pada teh kompos ACT lebih tinggi pada teh kompos NCT (Tabel 4) dapat disimpulkan kandungan unsur hara pada ACT lebih tinggi dibanding NCT.
Tabel 4. Konduktivitas Listrik (Electrical
Conductivity) pada Teh Kompos
Teh Kompos Rata- rata EC (mS/cm)
Aerobik (ACT) 0,97
Anaerobik (NCT) 0,78
Nilai EC yang tinggi akan berpengaruh pada ketahanan terhadap serangan penyakit. Namun, EC yang terlalu tinggi melebihi ambang batas akan merusak tanaman. Secara umum ambang batas EC larutan sekitar 4,6 mS/cm. Setiap tanaman memiliki kebutuhan EC yang berbeda. Nilai kebutuhan EC pada tanaman kacang- kacangan yaitu 2,0–4,0 mS/cm (Hendra dan Andoko, 2014).
150 Uji Antibakteri Teh Kompos Terhadap Pertumbuhan X. axonopodis pv. glycines Hasil uji sifat antibakteri teh kompos terhadap X. axonopodis pv. glycines pada cawan Petri diketahui zona hambat yang tertinggi ditunjukkan pada teh kompos ACT dengan lama fermentasi 48 jam. Sedangkan zona hambat tertinggi pada teh kompos NCT ditunjukkan pada lama fermentasi 72 jam (Gambar 2 dan 3). Hal ini sesuai dengan penelitian Sari (2013) dan Damanik et al. (2014) yang menyatakan bahwa kemampuan teh kompos memiliki penghambatan tertinggi pada lama fermentasi 48 jam untuk teh kompos ACT dan 72 jam untuk NCT.
Teh kompos dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena di dalam teh
kompos terdapat mikroba antagonis. Ingham (2005) menyatakan bahwa di dalam teh kompos mengandung mikroba antagonis yang mampu melindungi tanaman dari serangan patogen.
Penghambatan oleh teh kompos ACT pada lama fermentasi lebih dari 48 jam dan teh kompos NCT pada lama fermentasi lebih dari 72 jam menjadi lebih kecil. Hal ini diduga kandungan senyawa antibiotik dalam teh kompos ACT dan NCT mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan penelitian Damanik et al. (2014) yang menyatakan bahwa pada lama fermentasi yang lebih dari optimum produksi senyawa antibiotik yang dimiliki mikroba antagonis cenderung menurun.
Gambar 2. Penghambatan Teh Kompos terhadap X. axonopodis pv. glycines (A) kontrol (aquades), (B) teh kompos ACT dengan lama fermentasi 48 jam, (C) the kompos NCT dengan lama fermentasi 72 jam.
Gambar 3. Penghambatan Mikroba Teh Kompos ACT dan NCT terhadap Pertumbuhan
X. axonopodis pv. glycines. B B
C
C C C A151 Intensitas Serangan Penyakit Pustul Bakteri
Gejala pustul bakteri yang disebabkan oleh bakteri X. axonopodis pv. glycines mulai nampak 7 hari setelah inokulasi. Gejala pustul bakteri berupa bercak-bercak kecil, terpisah satu sama lain, berwarna kuning hingga kecoklatan, bagian tengah berwarna kecoklatan (nekrosis) dengan tepi bercak dikelilingi area berwarna kuning, pustul dapat bergabung satu sama lain menghasilkan pustul yang lebih lebar, daun menguning dan menyebabkan daun gugur lebih awal (Gambar 4). Rahayu (2012), menyatakan bahwa infeksi bakteri X.
axonopodis pv. glycines menimbulkan
bercak-bercak pada daun, bercak pustul berwarna coklat dengan tepi bercak berwarna kuning (klorosis). Bercak pada posisi yang berdekatan selanjutnya dapat
menyatu membentuk bercak berukuran lebih lebar.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan teh kompos ACT dan NCT dapat menekan intensitas penyakit pustul bakteri yang disebabkan oleh
X. axonopodis pv. glycines pada tanaman
kedelai. Pada 56 hst intensitas penyakit pustul bakteri pada kontrol dan perlakuan bakterisida masing-masing mencapai 36,19% dan 24%, sedangkan pada perlakuan teh kompos ACT dan NCT baik teh kompos murni, filtrat dan pengenceran 10-1 intensitas penyakit pustul bakteri terendah yaitu antara 16-17% (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa teh kompos dapat menekan perkembangan penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai dan kemampuan penekanannya lebih tinggi dibandinkan bakterisida.
Gambar 4. Gejala Pustul Bakteri pada daun kedelai (A) Gejala awal (B) Gejala pada
permukaan atas daun (C) Gejala pada permukaan bawah daun.
Tabel 5. Rerata Intensitas Penyakit Pustul Bakteri (X. axonopodis pv. glycines) pada Uji Penekanan Penyakit Pustul Bakteri Kedelai oleh Teh Kompos
Perlakuan Intensitas Penyakit (%) pada Hari Setelah Tanam ke-
21 28 35 42 49 56
Kontrol 14,33c 20,3 c 26,23c 32,00c 35,21c 36,19c Bakterisida 12,09b 15,02b 18,03b 20,58b 23,07b 24,00b Teh kompos murni ACT 0,00 a 6,01 a 10,63a 13,72a 16,11a 16,44a Filtrat ACT 0,00 a 8,43 a 12,14a 15,71a 17,19a 17,44a Pengenceran 10-1 ACT 0,00 a 7,95 a 11,93a 15,23a 16,50a 17,00a Teh kompos murni NCT 0,00 a 6,49 a 10,96a 14,09a 16,36a 16,89a Filtrat NCT 0,00 a 8,80 a 12,78a 15,72a 17,47a 17,78a Pengenceran 10-1 NCT 0,00 a 8,06 a 12,09a 15,68a 16,94a 17,31a Keterangan : Angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
B
152 Perlakuan teh kompos ACT dan NCT berupa teh kompos murni, filtrat dan pengenceran 10-1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba dalam teh kompos yang menghasilkan senyawa yang bersifat antibakteri sehingga mampu menghambat perkembangan patogen tanaman. Hal ini sesuai penelitian Sari (2013) bahwa mikroorganisme dalam teh kompos bermanfaat sebagai mikroba antagonis dan menghambat pertumbuhan patogen, bersaing mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan patogen, mensekresi metabolit (antimikroba) menjadi parasit bagi patogen secara langsung dan merangsang ketahanan alami tanaman.
KESIMPULAN
Jumlah populasi mikroba pada teh kompos aerobik (ACT) lebih tinggi dari pada teh kompos anaerobik (NCT). Teh kompos dapat menghambat pertumbuhan bakteri X. axonopodis pv. glycines dan menekan serangan penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, S. A., Setyono, Nurkhotimah. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Tiga Varietas Tanaman Pak Choy (Brassica
chinensis L.) Pada Berbagai Nilai
Electrical Conducivity Larutan
Hidroponik. Universitas Djuanda. 2 (1): 70- 86.
Aini, M. H. 1992. Penyakit Bakteri Pada Kedelai Di Kalimantan Selatan : Identifikasi Kehilangan Hasil, Dan Kelangsungan Hidup Patogen. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Damanik, Y., Hidayat, N., dan Anggarini, S. 2014. Pengaruh Penambahan Molase dan Lama Waktu Fermentasi Pada Kualitas Teh Kompos Sebagai
Biobakterisida Terhadap Pengendalian Bakteri Ralstonia Solanacearum.
Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Deptan. 2014. Statistik Ekspor Impor
Komoditas Pertanian 2001- 2013. Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran hasil Pertanian Kementrian Pertanian RI.
Hendawy, S. F. 2008. Comparative Study of Organic and Mineral Fertilization on Plantago Arenaria Plant. J Appl Sci Res 4 (5): 500-506.
Hendra, H. A. dan Andoko, A. 2014. Bertanam Sayuran Hidroponik Ala Paktani Hydrofram. Agromedia Pustaka. Jakarta selatan.
Ingham, E. R. 2005. The Compost Tea Brewing Manual. Edisi ke-5. Soil Foodweb Incorporated. Oregon.
Mukhlas, M., dan Yushardi. 2012. Uji Kualitas Pupuk Organik Berdasarkan Daya Hantar Listrik pada Campuran Kompos dan Jerami Padi. Jurnal Pembelajaran Fisika Universitas Jember. 1 (1) : 131- 137.
Nasir. 2007. Pengaruh Penggunaan Pupuk Bokasi Pada Pertumbuhan dan Produksi Padi Palawija dan Sayuran. Diakses pada 7 Februari 2014. <http://dispertanak.Pandeglang. go. id/artikel-14.htm.
Rahayu, M. 2012. Keefektifan agens hayati
Pseudomonas fuorescens dan ekstrak
daun sirih terhadap penyakit bakteri pustul Xanthomonas axonopodis pada kedelai. Di dalam: Prosiding Seminar
Nasional, Balitkabi; 2011 Nov 15;
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 360- 370.
Ridlo, A. dan Suharjono. 2013. Dinamika Kumunitas Dan Potensi Bakteri Pendegradasi Linear Alkilbenzen Sulfonat Pembentuk Biofilm Di Ekosistem Sungai Sunter. Universitas Brawijaya. Malang. 196 - 200.
153 Rukayadi, Y., Suwanto, A., Tjahjono, B. dan
Harling, R. 1999. Survival and epiphytic ftness of a non pathogenic mutant of Xanthomonas campestris pv. glycines. J App Environ Microbiol. 66(3):1183-1189.
Sari, S. 2013. Pengaruh Penggunaan Teh
Kompos Untuk Menekan
Perkembangan Penyakit Hawar Daun (Pantoea sp.) pada Tanaman Jagung (Zea mays L.). Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sucipto, I. 2009. Biogas Hasil Fermentasi
Hidrolisat Bagas Menggunakan Konsorium Bakteri Termofilik
Kotoran Sapi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Suhastyo, A. A., Anas, I., Santosa, D. A., dan Lestari, Y. 2013. Studi Mikrobiologi Dan Sifat Kimia Mikroorganisme Lokal (MOL) Yang Digunakan Pada Budidaya Padi Metode Sri (System of Rice Intensification). Institut Pertanian Bogor. 9(2).
Sweets, L. E; Wrather, A., dan Wright S. 2008. Soybean Diseases. University of Missouri Extension.
Yohanes, S. 2007. Kajian Tingkat Pencemaran Udara Oleh Gas dan H2S
Pada Proses Pengomposan Secara Aerob. Universitas Udayana. 13(1) : 25- 28.