• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA YANG KONTEKSTUAL MENGENAI SIKAP ORANG KRISTEN DI GKS NGAMBA DETA TERHADAP EKSISTENSI PENGANUT MARAPU DAN AJARAN MANAWARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA YANG KONTEKSTUAL MENGENAI SIKAP ORANG KRISTEN DI GKS NGAMBA DETA TERHADAP EKSISTENSI PENGANUT MARAPU DAN AJARAN MANAWARA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol)

Program Studi Ilmu Teologi

KAJIAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA YANG KONTEKSTUAL MENGENAI SIKAP ORANG KRISTEN DI GKS NGAMBA DETA TERHADAP EKSISTENSI PENGANUT MARAPU DAN AJARAN

MANAWARA

Oleh,

Krisharyanto Umbu Deta 712015118

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Kata Pengantar

Terpujilah Amawolo Amarawi Yang Maha Esa!

Dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, penulis telah mengakhiri langkahnya sebagai mahasiswa dalam menggumuli nisbah Iman dan Ilmu Pengetahuan (Fides

et Ratio) di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana (lih. misi

UKSW). Bagi penulis, pergumulan tersebut berlaku sepanjang masa dan asa sehingga pergumulan singkat di Satya Wacana ini mesti dilanjutkan. Menandai pergumulan yang singkat itu, penulis telah menyelesaikan sebuah “Kajian Teologi Agama-Agama yang Kontekstual mengenai Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Eksistensi Penganut Marapu dan Ajaran Manawara.” Beriringan dengan itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada;

1. Bapa Drs. Yosep Umbu Ngedo, Mama Nelly Lewerissa, Opa Yunus Lewerissa, S.H., Adik Reynaldo P. Umbu Ngedo, Raymond C. B. Umbu Ngedo, Revalin Lero Kaka U. N. dan Revina Koni Walu U. N. yang dalam keberadaannya telah memotivasi penulis dalam setiap langkah pergumulan di Salatiga.

2. Pdt. Izak Y. M. Lattu, Ph.D dan Pdt. Cindy Q. Koan, MA sebagi dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam penulisan tugas akhir ini.

3. Keluarga besar Desa Weelimbu dan GKS Ngamba Deta yang telah mendukung penulis dalam pelaksanaan penelitian. Secara khusus Bapa Junius Umbu Pakereng, Bapa Wolla Gole, dan para penganut Marapu. 4. Keluarga besar Fakultas Teologi dan Universtas Kristen Satya Wacana

yang telah menjadi Garba Ilmiah penulis di Salatiga.

5. Keluarga besar Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Teologi dan Lembaga Kemahasiswaan Universitas UKSW yang telah menjadi wadah kekeluargaan bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan keilmuwan serta minat dan bakat penulis.

6. Keluarga besar Teologi Angkatan 2015 yang telah memberikan penulis banyak pelajaran dan perenungan baru tentang kehidupan.

7. GKJ Salatiga Timur yang telah menjadi tempat belajar dan berpelayanan. Secara khusus Pdt. Sri Bangun Wismono yang telah menjadi mentor bagi penulis dalam belajar berpelayanan.

(7)

vii

Salatiga, 29 Agustus 2019

Penulis 8. Keluarga OmaKos-Kemiri II dan The Se7en Bijis-Cemara I yang telah

menjadi tempat perteduhan penulis di Salatiga. 9. Key

10. Semua orang-orang terkasih yang telah berperan bagi penulis dalam kehidupan bermahasiswa maupun bermasyarakat.

Kiranya karya ini dapat bermanfaat dalam pengembangan Ilmu dan perenungan iman kita semua. Tuhan memberkati.

(8)

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT. ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR. ... vi

DAFTAR ISI ... viii

MOTO ... ix

ABSTRAK ... x

1. Pendahuluan ... 1

2. Landasan Teori. ... 7

2. 1 Teologi Agama-Agama menurut Paul F. Knitter ... 7

2. 2 Teologi Kontekstual menurut Stephen B. Bevans. ... 11

3. Hasil Penelitian. ... 17

3.1 Kristen dan Marapu di Desa Weelimbu. ... 17

3.2 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Eksistensi Penganut Marapu. ... 20

3.3 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Ajaran Manawara ... 25

4. Analisis dan Pembahasan. ... 27

4.1 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Eksistensi Penganut Marapu dilihat dari Teori Teologi Agama-Agama menurut Paul F. Knitter ... 27

4.2 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Ajaran Manawara dilihat dari Teori Teologi Kontekstual menurut Stephen B. Bevans. ... 32

5. Penutup. ... 35

(9)

ix

MOTO

“ TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama- Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah, Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah

TUHAN sepanjang masa.” Mazmur 23:1 – 6

“Karena Tuhan itu memang cuma satu. Tidak mungkin ada banyak Tuhan. Jalannya saja yang berbeda, tetapi Tuhan yang dituju itu satu. Amawolo Amarawi dalam Marapu sama dengan Tuhan Allah dalam agama Kristen.”

(10)

KAJIAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA YANG KONTEKSTUAL MENGENAI SIKAP ORANG KRISTEN DI GKS NGAMBA DETA TERHADAP EKSISTENSI PENGANUT MARAPU DAN AJARAN

MANAWARA

Krisharyanto Umbu Deta (712015118)

Dosen pembimbing: Pdt. Izak. Y. M. Lattu, Ph.D

Pdt. Cindy Q. Koan, MA

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Abstrak

Teologi Agama-Agama sebagai sebuah studi mengenai cara kekristenan merespons agama-agama lain sepatutnya perlu dilakukan secara kontekstual. Dalam konteks Indonesia studi Teologi Agama-Agama tidak bisa lepas dari eksistensi agama suku sehingga penelitian ini berusaha mengangkat sebuah studi Teologi Agama-Agama yang kontekstual di Sumba mengenai perjumpaan kekristenan dan Marapu sebagai agama suku setempat. Penelitian ini secara spesifik ingin mendeskripsikan sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap eksistensi penganut Marapu dan ajaran Manawara (kasih) dilihat dari teori Teologi Agama-Agama menurut Paul F. Knitter dan teori Teologi Kontekstual menurut Stephen B. Bevans. Penelitian dilakukan secara kualitatif deskriptif melalui observasi serta wawancara dengan orang Kristen dan penganut Marapu. Hasil penelitian menunjukan bahwa orang Kristen mengapresiasi kehadiran penganut Marapu tetapi menolak hal-hal yang dianggap bertentangan dengan iman Kristen (secara teologi) dan memiliki kelemahan secara sosiologis. Sikap orang Kristen terhadap eksistensi penganut Marapu merefleksikan Model Penggantian Parsial dan Model Pemenuhan, sementara sikap mereka terhadap ajaran Manawara merefleksikan Model Terjemahan dan Model Budaya Tandingan.

Kata Kunci: Teologi Agama-Agama Paul Knitter, Teologi Kontekstual Stephen

(11)

1. Pendahuluan

GKS Ngamba Deta adalah sebuah gereja yang berada di Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya. Gedung Gereja ini berada di tengah-tengah masyarakat Sumba baik penganut Kristen maupun penganut Marapu. Jemaat Gereja ini hidup berdampingan dengan penganut Marapu yang masih terus menghayati ajaran kepercayaan Marapu tersebut. Marapu sendiri adalah kepercayaan asli orang Sumba yang masih bertahan hingga saat ini. Dalam perjumpaan antara jemaat dan penganut Marapu, orang Kristen secara terang- terangan berusaha menekan jumlah penganut Marapu dengan melakukan penginjilan. Sementara penganut Marapu berusaha untuk mempertahankan keberadaan mereka. Dapat dikatakan penganut Marapu mengambil posisi defensif terhadap orang Kristen yang sangat ofensif.

Kenyataannya jumlah penganut kepercayaan Marapu terus berkurang sejak masuknya agama Kristen dan agama-agama lain di Sumba. Penginjilan kepada orang Sumba tidak dapat dikatakan mudah. Sejarah mencatat bahwa hasil pekabaran Injil di Sumba datang lebih lambat dibanding daerah-daerah lain yang penduduknya beragama suku.1 Catatan ini menunjukan bahwa Injil tidak diterima begitu saja oleh orang Sumba. Namun, berbagai faktor seperti tidak adanya ajaran tertulis pada kepercayaan Marapu2 dan rendahnya tingkat pendidikan para penganut Marapu membuatnya sulit dipertahankan ketika berhadapan dengan agama Kristen yang memiliki Alkitab sebagai ajaran tertulis dan dibawa serta dianut oleh orang-orang yang cukup berpendidikan.

Realitas semacam ini terjadi di Sumba secara umum dan di Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya. Sampai dengan tahun 1960an mayoritas penduduk Kecamatan Wewewa Timur adalah pemeluk agama Marapu, meskipun agama Kristen sudah hadir di kecamatan ini sejak awal 1900‟an. Namun, pada tahun 1970an jumlah pemeluk Marapu berkurang secara drastis, akibat campur tangan pemerintah yang menganjurkan penduduk setempat agar menganut salah satu dari „agama dunia‟ (Budha, Hindu, Islam atau Kristen)

1

Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an -

Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 267.

2

F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di

(12)

karena agama Marapu tidak dianggap sebagai agama oleh pemerintah.3 Data terakhir yang penulis dapatkan pada tahun 2017 Kecamatan Wewewa Timur ditempati oleh 20 orang agama Islam, 19.849 orang agama Kristen, 9.012 orang agama Katolik, dan 916 orang sisanya adalah penganut Marapu/lainnya (Sumber: Departemen Agama Sumba Barat Daya).4 Dari data ini dapat dilihat bagaimana kepercayaan Marapu yang dahulu dianut oleh semua orang Sumba kini di Kecamatan Wewewa Timur hanya dianut oleh 3% penduduknya.

Pengertian Marapu didefinisikan secara beragam oleh beberapa penulis. L. Onvlee mendefinisikan Marapu sebagai „yang dihormati‟ atau „yang disembah.‟ Sementara itu A. A. Yewangoe mendefinisikan Marapu sebagai „yang tersembunyi.‟ Oleh F. D. Wellem, kepercayaan Marapu dimaknai sebagai kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertingi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi berkat, perlindungan, pertolongan yang baik jika disembah, bila tidak, mereka akan memberikan malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan itu terangkum dalam kata Marapu.5

Sementara itu menurut orang Sumba yang penulis temui Marapu adalah kepercayaan kepada ilah tertinggi yang tidak dapat disebutkan namanya dengan sembarangan. Jadi Marapu adalah istilah yang digunakan untuk menyebut dia yang tidak dapat disebutkan namanya itu. Hal ini karena orang Sumba sangat menghormati Marapu. Ada rasa takut yang sangat besar pada Marapu. Hal ini tentu berkaitan dengan pengertian Marapu yang dirumuskan Wellem di atas. Marapu dapat memberikan berkat atau malapetaka kepada orang Sumba.6 Hal inilah yang membuat orang Marapu sangat hormat dan takut kepada Marapu hingga tidak berani menyebutkan namanya. Haram menyebutkan Marapu secara sembarangan (Marapu pamomowi pamake mata). Ada beberapa istilah yang digunakan orang Sumba untuk menyebut Marapu yaitu; Amawolo Amarawi: yang jadi dengan sendirinya, dan yang menciptakan. Aboto, Abia, Amadi: yang

3

John R. Lahade, Perempuan, Kuda dan Tenun: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di

Masyarakat Wewewa, Sumba, (Salatiga: Widya Sari Press, 2011), 74.

4

Kecamatan Wewewa Timur Dalam Angka 2018, (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat

Daya), 23. 5

F. D. Wellem, Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan

Masyarakat Sumba pada periode 1876-1990, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 42.

6

(13)

tertinggi, yang benar, dan yang kekal. Kangalimma Kangawai: yang menciptakan manusia. Kazaipa guga leleta limbu: yang memelihara dan merawat manusia.

Apadadi ge langita, apatimbu ge tana: yang menciptakan langit dan bumi. Dapa nunga ngara, dapa teki tamu: yang tidak disebutkan namanya dengan

sembarangan.

Dalam ajaran Marapu ada ajaran tentang menyayangi atau mengasihi yaitu

manawaradi ole atamu dan manawaradi pawaimu yang berarti sayangilah atau

kasihilah sesamamu dan sayangilah atau kasihilah harta bendamu. Manawaradi

ole atamu artinya dalam kehidupan dengan sesama manusia harus saling melayani

dalam hal kebutuhan hidup, menolong yang lemah, membantu yang kekurangan, memberikan bimbingan atau sumbangan pemikiran bagi yang kesulitan berpikir dalam menghadapi permasalahan. Hal ini biasanya terlihat dalam kegiatan membangun rumah baik rumah suku maupun rumah pribadi secara gotong royong. Selain itu hal ini juga dapat dilihat dalam prosesi tarik batu kubur yang dilakukan secara gotong royong.7 Gotong royong dan kehidupan yang harmonis pada orang Sumba menjadi tanda yang paling jelas dari perwujudan ajaran

manawaradi ole atamu.

Sementara itu manawaradi pawaimu berarti sayangilah harta bendamu. Harta benda itu meliputi hewan peliharaan, baik milik sendiri maupun milik orang lain. Menurut ajaran ini orang Sumba juga harus memelihara alam. Memelihara tanaman makanan ataupun tanaman liar yang berguna untuk kebutuhan hidup, memelihara mata air dan kebersihannya dan tidak memotong pohon-pohon besar di pinggir mata air. Orang Sumba juga tidak boleh memotong pohon sembarangan dan membunuh binatang sembarangan. Dalam sebuah penelitian dikatakan kepercayaan Marapu mendorong orang Sumba untuk hidup selaras alam.8

Seperti ajaran-ajaran lainnya, ajaran Manawara ini juga betul-betul dihidupi oleh orang Marapu karena rasa takut mereka terhadap sang Marapu. Dalam perjumpaannya dengan orang Kristen, penganut Marapu juga menunjukan penghayatan akan ajaran Manawara tersebut. Mereka tidak menolak atau

7

Wawancara Pra-penelitian dengan Junius Umbu Pakereng di Desa Weelimbu, Kecamatan Wewewa Timur pada 10 Januari 2019 pukul 11.33 WITA

8

Dharmaputra T. Palekahelu, Marapu: Kekuatan di Balik Kekeringan, (Salatiga: Program Doktor Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, 2010) , 248.

(14)

membenci orang Kristen. Mereka menerima dan mengasihi orang Kristen sebagai sesama mereka, karena ternyata bahwa ajaran Manawara ini juga menembus dinding-dinding agama dan golongan. Demikian juga orang Kristen dalam perjumpaannya dengan penganut Marapu, mereka menghidupi ajaran hukum kasih yang diajarkan dalam kekristenan. Mereka tidak membenci orang Marapu dan hidup rukun bersama-sama dengan mereka.

Sekalipun orang Kristen tidak membenci dan bersedia untuk hidup bersama-sama dengan penganut Marapu, tidak dipungkiri bahwa usaha penginjilan tetap dilakukan kepada penganut Marapu. Menurut orang Kristen di Sumba, penganut Marapu sebenarnya tidak mengajarkan atau melakukan sesuatu yang jahat, bahkan orang Kristen mengakui bahwa Ilah tertinggi yang dipercaya penganut Marapu adalah Allah yang sama, Allah yang Esa, yang sama juga dipercaya oleh orang Kristen. Tetapi sekalipun demikian, penganut Marapu harus menerima Yesus Kristus agar dapat memperoleh keselamatan. Dalam hal ajaran- ajaran, orang Kristen juga melihat bahwa ajaran Marapu sebenarnya sudah mengarah kepada ajaran kekristenan. Ajaran Manawara misalnya dilihat sangat dekat dengan hukum kasih dalam kekristenan. Oleh karena itu, ajaran-ajaran Marapu termasuk ajaran Manawara perlu disempurnakan melalui Yesus Kristus.9

Inilah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih dalam tentang sikap orang Kristen di Sumba terhadap penganut Marapu dan ajarannya terutama ajaran

Manawara. Dimana dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori tentang

Model-model Teologi Agama-Agama menurut Paul F. Knitter untuk melihat sikap orang Kristen terhadap penganut Marapu. Penulis juga akan menggunakan teori Model-model Teologi Kontekstual menurut Stephen B. Bevans untuk melihat sikap orang Kristen terhadap ajaran Manawara.

Dari gambaran yang penulis paparkan di bagian sebelumnya, terlihat bahwa sikap orang Kristen di Sumba terhadap penganut Marapu sangat dekat dengan Model Penggantian Parsial.10 Hal ini dilihat pada pandangan orang Kristen yang menganggap bahwa kepercayaan Marapu sebenarnya telah mengarah kepada Allah, tetapi perlu disempurnakan melalui Yesus Kristus agar memperoleh keselamatan. Sementara itu sikap orang Kristen terhadap Ajaran

9

Wawancara Pra-penelitian dengan Junius Umbu 10

(15)

Manawara sangat dekat dengan Model Terjemahan.11 Hal ini dilihat dari bagaimana orang Kristen memandang bahwa ajaran Manawara pada dasarnya baik dan berharga, tetapi ajaran tersebut tetap harus disempurnakan dengan Injil.

Apa yang penulis tawarkan dalam tulisan ini adalah sebuah studi tentang perjumpaan agama Kristen dengan agama lokal. Studi ini masih jarang dibicarakan, kebanyakan teologi agama-agama membicarakan perjumpaan agama Kristen dengan agama-agama seperti Islam, Hindu, Budha dsb. Sementara itu studi tentang Marapu dan ajaran-ajarannya juga memang sudah sering dilakukan terutama dalam penulisan tugas akhir atau skripsi dan tesis, tetapi penulis masih sangat sulit menemukan studi tentang Marapu di Sumba Barat Daya, terutama tentang ajaran Manawara ini. Sejauh yang penulis ketahui, ajaran Manawara ini belum pernah diangkat dalam sebuah studi sebelumnya.

Sebelumnya memang sudah ada studi-studi tentang kepercayaan Marapu di Sumba. Salah satunya yang juga penulis gunakan sebagai referensi adalah desertasi milik F. D. Wellem yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 2004 dengan judul Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis tentang

Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada periode 1876-1990. Namun,

studi ini berbicara tentang Marapu dengan sangat luas dan umum di seluruh Sumba. Sementara penulis melihat ada kecenderungan bahwa Marapu yang dijabarkan oleh Wellem adalah Marapu menurut sistem kepercayaan penganut Marapu di Sumba Timur. Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa daerah yang digunakan yaitu bahasa daerah Sumba Timur. Sementara budaya, bahasa dan kepercayaan Marapu di Sumba tidak dapat digeneralisir begitu saja. Ada berbagai budaya dan bahasa di Sumba. Termasuk juga dalam hal kepercayaan kepada Marapu, penulis menemukan ada perbedaan antara di Sumba Timur dan di Sumba Barat Daya tempat penulis melakukan penelitian. Kepercayaan asli masyarakat Sumba memang digeneralisir dalam kategori kepercayaan kepada Marapu. Secara umum orang Sumba mempercayai Marapu, tetapi Marapu tersebut dipahami secara berbeda-beda antara suku yang satu dengan yang lainnya.12

11

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 63. 12

Fredrik Umbu Rengga Baga, Tesis: “Tuhan dalam Religiositas Manusia – Suatu Studi Sosio-

Historis Terhadap Konsep Tuhan, Mori Langita Mori Tana, bagi Masyarakat Wewewa Sumba Barat Daya” (Salatiga: Program Pasca Sarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya

(16)

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap eksistensi penganut Marapu? Selanjutnya, bagaimana sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap ajaran Manawara? Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap eksistensi penganut Marapu ajaran Manawara. Secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi studi-studi selanjutnya tentang hubungan kekristenan dan agama lokal terutama Marapu di wilayah Sumba Barat Daya yang pada saat ini masih sangat sulit ditemukan. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi kehidupan bersama masyarakat Sumba baik penganut Marapu maupun orang Kristen dalam menghidupi dan menghayati ajaran Manawara dan hukum kasih.

Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.13 Penelitian kualitatif ini efektif untuk mengkaji nuansa sikap dan perilaku (yang samar-samar) serta proses sosial. Perilaku yang samar-samar dapat dipahami sebagai perilaku yang masih membutuhkan pemahaman khusus baik melalui tafsir atau simbol.14

Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif yaitu dengan memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan dan menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang memadai.15 Penulis kemudian akan melakukan analisa dengan pendekatan etnografi untuk memahami budaya dari sudut pandang pelakunya. Pengambilan data dilakukan

13

Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 6.

14 David Samiyono, “Penelitian Kualitatif,” dalam Jacob Daan Engel dan Izak Lattu, Penelitian

dan Penulisan Karya Ilmiah Teologi (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 4.

15

Prof. Dr. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2015), 68.

(17)

melalui wawancara dan observasi.16 Dalam pendekatan etnografi, penulis mencari berbagai pola (juga dideskripsikan sebagai ritual, perilaku sosial adat, atau kebiasaan) dari aktivitas mental kelompok tersebut, misalnya ide dan keyakinan yang diekspresikan melalui bahasa, atau aktivitas material, misalnya bagaimana mereka berperilaku dalam kelompok yang diekspresikan melalui tindakan mereka (Fetterman, 2010).17

Teknik sampling yang akan digunakan adalah snowball sampling yaitu pengambilan sampel secara berantai, mulai dari ukuran sampel yang kecil, makin lama menjadi semakin besar. Dalam pelaksanaannya, pertama-tama dilakukan interview terhadap seorang responden yang relevan, dan untuk selanjutnya yang bersangkutan diminta untuk menunjuk calon responden yang berikutnya yang memiliki spesifikasi/spesialisasi yang sama.18

Tulisan ini penulis jabarkan dalam lima bagian. Bagian pertama, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian. Bagian kedua, berisi landasan teori yang digunakan yaitu teori tentang model-model Teologi Agama-Agama oleh Paul F. Knitter dan model-model Teologi Kontekstual oleh Stephen B. Bevans. Bagian ketiga, berisi pemaparan hasil penelitian. Bagian keempat, berisi analisis dan pembahasan mengenai sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap eksistenasi penganut Marapu serta sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap ajaran

Manawara. Bagian kelima, penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulis. 2. Landasan Teori

2. 1 Teologi Agama-Agama menurut Paul F. Knitter

Secara sederhana Teologi Agama-Agama dapat didefinisikan sebagai sebuah studi yang membahas tentang bagaimana kekristenan memberi respons terhadap agama-agama lain.19 Respons itu meliputi cara pandang dan penilaian serta bagaimana hubungan yang dibangun oleh orang Kristen dengan agama-

16

David, Penelitian Kualitatif, 5-6. 17

John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset – Memilih di antara Lima Pendekatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 127.

18

Sugiharto et al., Teknik Sampling, 44. 19

Th. Sumartana, "Theologia Religionum" dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi

(18)

agama lain. Model Teologi Agama-Agama menurut Knitter dibagi dalam empat bagian yaitu;

a. Model Penggantian

Model penggantian merupakan model sikap yang memandang hanya Kristen agama yang benar yang diciptakan untuk mengganti semua agama. Model ini berpandangan bahwa; 1) Alkitab merupakan petunjuk utama bagi perilaku dan anggapan yang dibuat oleh seorang pengikut Kristus, 2) kehidupan Kristen harus berakar dan terinspirasi oleh Roh dan kuasa penyelamatan Kristus yang hidup, 3) Yesus adalah juruselamat dan pembeda dalam kehidupan mereka, 4) mereka memiliki komitmen untuk berbagi rahmat yang telah mereka terima.20

Model Penggantian dibagi menjadi dua yaitu Penggantian Total dan Penggantian Parsial. Menurut Penggantian Total, tidak ada kebenaran dalam agama lain. Hal ini didasarkan pada pengakuan bahwa penyelamatan terjadi hanya oleh rahmat, iman, Kristus, dan firman Tuhan.21 Model Penggantian Total ingin menunjukan sebuah „kompetisi suci‟ di antara banyak agama untuk mencari seorang pemenang.22 Sementara Penggantian Parsial mengkritik model penggantian total yang dianggap gagal melihat kehadiran Allah dalam agama lain. Mengenai keselamatan, model ini mengatakan bahwa dalam agama-agama lain ada wahyu yang juga bekerja, yang mengarahkan mereka kepada keselamatan, tetapi keselamatan itu sendiri tidak ada dalam agama lain. Keselamatan ini memerlukan Yesus Kristus.23 Allah memang berbicara juga dalam agama lain. Namun, mereka diarahkan untuk datang kepada Yesus untuk diselamatkan. Penggantian parsial membuka ruang untuk berdialog dengan agama lain24 walaupun dialog tersebut berakar pada usaha penginjilan untuk „menyelamatkan‟ orang beragama lain dengan menjadikannya Kristen.

b. Model Pemenuhan

Model Pemenuhan memberi penekanan pada „satu‟ yang benar menyempurnakan yang banyak. Model ini percaya bahwa agama lain memiliki nilai, Tuhan ada di sana, dan umat Kristen perlu untuk berdialog dengan mereka,

20

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 24. 21

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 26-27. 22

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 35. 23

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 37. 24

(19)

9

bukan sekedar pemberitaan Injil. Model ini mencoba untuk menyeimbangkan dua keyakinan bahwa kasih Allah adalah universal sehingga berlaku bagi semua agama, tetapi juga bersifat partikular (khusus) yaitu diberikan secara nyata melalui Yesus Kristus.25 Tokoh model ini adalah Karl Rahner dengan konsep Kristen Anonimnya. Bagi Rahner, Allah adalah kasih dan kasih Allah diberikan kepada semua orang sehingga semuanya berhak mendapatkan keselamatan. Keselamatan tidak hanya diperoleh dengan baptisan iman, melainkan juga baptisan keinginan. Artinya orang yang tidak dibaptis menjadi Kristen bisa saja mendapatkan keselamatan jika hidupnya mengarah pada nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan iman Kristen. Dalam model ini Yesus dipahami sebagai Juruselamat yang absolut atau alasan final bagi keselamatan.26 Sementara agama lain dianalogikan Knitter sebagai Yohanes Pembaptis yang menyiapkan jalan untuk sampai kepada Yesus. Jadi orang non-Kristen bisa saja selamat tanpa harus menjadi Kristen, asal hidupnya bersesuaian dengan ajaran Kristus. Penganut agama lain bisa mendapatkan keselamatan, tetapi keselamatan yang didapatkannya itu adalah dengan pemenuhan Yesus Kristus, sekalipun ia tidak mengenal Kristus. Mengenai dialog, Knitter mengaitkannya dengan hukum yang sangat fundamental dalam kekristenan yaitu kasihilah sesamamu. Kasih mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik di mana ada saling memberi dan menerima, mengajar dan belajar, berbicara dan mendengarkan. Itulah dialog menurut Knitter. Mengasihi sesama berarti berdialog dengan sesama.27

c. Model Mutualitas

Menurut model mutualitas, model penggantian tidak sesuai dengan nilai agama-agama termasuk nilai kekristenan itu sendiri. Model mutualitas menghindarkan pemahaman Yesus atau Kristen yang absolut.28 Dalam model ini dialog menjadi kewajiban etis. Jadi pluralitas yang ada tidak diterima begitu saja dan hanya diam melainkan harus saling berdialog. Dialog dilakukan atas dasar titik berangkat yang sama rata, tidak ada agama yang lebih superior dalam dialog

25

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 73. 26

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 84. 27

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 121. 28

(20)

itu. Semua agama memiliki kemungkinan kebenaran yang sama dan kemungkinan untuk memperbaharui pemahaman agamanya dari agama lain.

d. Model Penerimaan

Model penerimaan ini merasa bahwa dua model pertama terlalu menekankan partikularitas satu agama sehingga menghancurkan validitas agama lain, sementara model yang ketiga terlalu menekankan universalitas sehingga menutupi perbedaan partikularitas yang ada. Model Penerimaan tidak akan menjunjung tinggi superioritas semua agama, tidak juga dengan mencari sesuatu yang sama dari agama-agama, melainkan dengan cara menerima diversitas nyata dari semua agama.29 Jadi eskatologi tiap agama berbeda-beda. Bahkan sangat dimungkinkan wujud Ilahi itu lebih dari satu. Justru dengan mempertahankan keabsolutannya masing-masing, tiap agama dapat saling berdialog dan belajar (Pluralisme orientasional).30

Pemaparan model Teologi Agama-Agama oleh Knitter ini tentu dilatarbelakangi oleh sebuah konteks. Dalam bukunya Knitter merumuskan model- model sikap orang Kristen terhadap agama-agama lain yang diangkatnya dari realita kekristenan di mana kekristenan hidup dalam keberagaman agama dan keberagaman pemikiran dalam kekristenan itu sendiri. Dalam konteks kekristenan yang beragam itu, muncul pula sikap-sikap yang beragam terhadap agama-agama lain yang kemudian dibahas oleh Knitter dalam bukunya.

Knitter melihat ada berbagai masalah yang perlu dihadapi bersama-sama oleh agama-agama, baik masalah teologis maupun sosiologis. Knitter misalnya menyebutkan bahwa banyak orang Kristen maupun agama-agama lain yang terkungkung dalam dogma yang menyesatkan. Ada persoalan kemiskinan yang memprihatinkan dan penggunaan agama secara politis.31 Persoalan ini menurut Knitter perlu disikapi bersama-sama oleh agama-agama. Untuk itulah mereka harus berdialog. Namun, yang menjadi inti persoalan dan pokok pembicaraan studi teologi agama-agama adalah dalam konteks masyarakat pluralistis saat ini kita

29

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 205. 30

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 234. 31

(21)

11

kehilangan pemahaman tentang berbagai anggapan agamis menyangkut kebenaran yang sebenarnya dapat dipakai secara global untuk bisa saling menerima.32

2. 2 Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans

Teologi Kontekstual dapat didefinisikan sebagai suatu cara melakukan teologi yang mengindahkan pengalaman masa lalu yakni pengalaman iman sebagaimana tercatat dalam Alkitab dan tradisi doktrinal, dan pengalaman masa kini yakni konteks di mana orang-orang Kristen dari satu waktu dan tempat konkret menemukan dirinya. Konteks ini bisa berupa satu pengalaman orang atau sekelompok orang tertentu, budaya, dan lokasi sosial. Jika dahulu teologi dimengerti sebagai refleksi dalam iman atas dua sumber teologis atau loci

theologici: Alkitab dan Tradisi, kini teologi juga mempertimbangkan pengalaman

manusia sekarang sebagai sumber teologis atau locus theologicus. Jadi dalam teologi kontekstual, teologi dipahami sebagai sebuah dialog. Pengalaman masa kini dapat diukur, dinilai, ditafsir dan dikritik oleh kearifan yang ditemukan dalam sumber-sumber klasik dari tradisi kekristenan. Demikian juga pengalaman masa lalu atau yang “klasik” itu dapat diukur, dinilai, ditafsir dan dikritik oleh pengalaman manusia sekarang dan nilai-nilai budayanya serta situasi dan perubahan sosial yang ada. 33

Dalam dilaog kritis timbal balik itu diperlukan model-model tertentu untuk memberikan posisi pada sebuah konteks. Sebagai sebuah sumber berteologi, apakah konteks menjadi setara dengan sumber lainnya yaitu Alkitab dan Tradisi, atau bahkan terlalu banyak perhatian pada konteks tersebut membuat iman itu sendiri dikhianati.34 Ada banyak model-model teologi kontekstual yang telah dirumuskan oleh teolog-teolog. Stephen B. Bevans sendiri menawarkan enam model teologi kontekstual yang cenderung dipahami sebagai model-model komplementer atau inklusif.35

32

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi, 5. 33

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global: Sebuah Pengantar, (Maumere: Ledalero, 2010), 229-230.

34

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 232. 35

(22)

a. Model Terjemahan

Model terjemahan adalah upaya kontekstualisasi dengan cara memindahkan paham atau nilai iman dari konteks semula dengan semua elemen formalnya ke konteks baru sambil mencari padanan kata atau konsep dalam konteks baru yang relatif sejiwa dalam konteks aslinya. Pengandaian utama model ini adalah bahwa dalam kekristenan ada satu kandungan yang perlu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa atau istilah-istilah budaya lain.36 Dalam model ini Injil dipahami sebagai yang memiliki satu pesan atau nilai yang perlu dibawa masuk ke dalam alam kebudayaan yang baru tanpa merusak atau mengubah pesan tersebut.

Model terjemahan memandang budaya atau konteks sebagai yang baik dan patut dihargai, sambil tetap mempertahankan komitmen pada daya kuasa Injil yang sanggup membarui atau menyempurnakan.37 Model ini menganggap Alkitab dan Tradisi doktrinal sebagai yang adikontekstual dan lengkap. Proses atau metode kontekstualisasi dari model ini adalah seperti yang dirumuskan oleh Bruce Fleming yaitu “menaruh Injil ke dalam.” Proses tersebut digambarkan seperti bernas dalam sekam. Sekam itu perlu dikupas terlebih dahulu untuk menemukan bernas, setelah itu barulah bernas itu dapat mengenakan sekam yang baru yang akan membawa maknanya dalam konteks yang baru. 38 Dengan demikian dalam model ini penguasaan terhadap konteks sangat diperlukan, sehingga Injil dapat dimasukan ke dalam konteks tersebut.

b. Model Antropologis

Model antropologis bersifat antropologis dalam dua arti. Pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan pribadi manusia (anthropos). Dalam setiap pribadi, kelompok, lokasi sosial dan setiap budaya, Allah menyatakan kehadiran ilahi-Nya. Dalam model ini, kontekstualisasi merupakan sebuah proses mendengarkan dan memperhatikan konteks untuk menyatakan kehadiran Allah yang tersembunyi di dalamnya. Kedua, model ini menggunakan wawasan ilmu- ilmu sosial dan antropologi dalam upaya memahami relasi manusia serta nilai- nilai yang membentuk kebudayaan manusia, yang di dalamnya Allah hadir.

36

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 237. 37

Stephen B. Bevans, Model-Model, 74. 38

(23)

13

Dengan tanpa mengingkari pentingnya kitab suci dan tradisi, model ini memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai tempat pewahyuan Yang Ilahi dan sebagai sumber (locus) berteologi, yang sepadan dengan sumber lain yakni kitab suci dan tradisi.39

Model ini tidak memandang wahyu sebagai seperangkat proposisi yang harus dilestarikan dan dikawal, melainkan sebagai kehadiran pribadi Allah dalam sejarah dan kehidupan manusia. Jadi bukan terutama soal menerjemahkan konteks, melainkan soal mendengarkan konteks dengan hati-hati dalam iman untuk melihat kehadiran Allah dan mengungkapkan relasi tersebut secara memadai. Alkitab dan Tradisi memang dianggap sebagai norma, tetapi tidak lengkap karena keduanya perlu dikondisikan secara kultural.

c. Model Praksis

Wawasan utama dari model praksis adalah komitmen terhadap tindakan Kristen. Pemenuhan teologi bukan sekedar pada “pemikiran yang benar” (ortho-

doxy), melainkan terutama dalam “tindakan yang benar” (ortho-praxy).40 Model ini dicirikan dengan sebuah proses refleksi atas aksi dan aksi atas refleksi. Keduanya menjadi spiral berkelanjutan yang tidak pernah berhenti. Berteologi adalah seluruh proses refleksi kritis atas praksis itu. Dalam model ini aspek budaya dari suatu konteks pada dasarnya bersifat baik dan berperan penting dalam mengembangkan sebuah pemahaman atas iman. Namun, konteks itu dapat dinodai, dan membutuhkan pembebasan serta penyembuhan. Wahyu dalam bingkai model praksis dipahami sebagai kehadiran Allah dalam dunia yang mengundang orang-orang percaya (credere in Deum!) untuk menjadi mitra Allah dalam karya pembebasan dan penyelamatan-Nya.41

d. Model Sintesis

Model ini dapat disebut sebagai perpaduan dari model terjemahan, antropologi dan praksis. Model ini adalah sebuah model jalan tengah antara penekanan pada pengalaman masa lalu dan pengalaman masa kini. Model ini mencoba mempertahankan pentingnya pewartaan Injil dan khazanah warisan

39

Stephen B. Bevans, Model-Model, 97-99. 40

Stephen B. Bevans, Model-Model, 131. 41

(24)

rumusan-rumusan doktrinal tradisional, seraya pada saat yang sama mengakui peran penting yang harus dimainkan konteks dalam teologi. Di sisi lain, model sintesis mencakup peran penting aksi berdasarkan refleksi dan kebenaran demi pengembangan teologi. Model ini juga menjangkau sumber-sumber dari konteks lain serta ungkapan-ungkapan teologi yang lain. Jadi sintesis dibangun dari sudut pandang budaya kita sendiri dan sudut pandang budaya yang lain, dengan mengembangkan secara dialektis-kreatif sesuatu yang dapat diterima oleh semua sudut pandang.42

Model sintesis sangat menekankan kemenduaan konteks. Beberapa segi dalam kebudayaan bisa bersifat netral, jelas-jelas baik atau jelas-jelas buruk.43 Konteks juga tidak lengkap dan perlu ditebus, disembuhkan dan dimurnikan oleh Injil dan oleh komitmen kepada keadilan serta „tindakan benar‟ yang dihasilkan oleh evaluasi dan refleksi secara berkesinambungan. Metode dasar model ini adalah dialog dengan semua mitra teologis yakni tradisi, konteks dan keniscayaan praksis. Ibaratnya adalah seperti penyerbukan silang. Tidak cukup hanya merawat tanaman, seseorang akan mendapatkan hasil yang terbaik dengan menggabungkan mutu terbaik dari beberapa tanaman.44

e. Model Transendental

Pengandaian mendasar dari model transendental yakni dimulai dengan pengalaman religius kita sendiri yang juga tidak bisa terlepas dari konteks kita. Dalam model ini teologi dipahami sebagai upaya menyingkapkan diri dari berbagai segi, baik historis, geografis, sosial dan kultural. Titik tolak ini barangkali kelihatan sempit, tetapi sebenarnya dapat mengungkapkan pengalaman-pengalaman orang lain yang memiliki konteks serupa.45 Menurut model ini pewahyuan tidak berlangsung “di luar sana”, atau dalam kata-kata Alkitab, doktrin-doktrin tradisi, atau bahkan tersembunyi dalam jaringan kebudayaan manusia. Pewahyuan Allah justru hanya berlangsung secara benar dan berguna dalam pengalaman manusia. Pewahyuan dipahami sebagai sebuah peristiwa, bukan muatan atau isi. Pewahyuan akan terjadi pada pribadi-pribadi

42

Stephen B. Bevans, Model-Model, 164. 43

Stephen B. Bevans, Model-Model, 166. 44

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 250-251. 45

(25)

15

yang membuka diri kepada Yang Ilahi.46 Sementara itu model transendental memahami konteks sebagai tempat di mana seseorang menjumpai Allah, sehingga konteks itu pada dasarnya baik dan terandalkan. Subjektivitas autentik seseorang akan secara alami menghasilkan objektivitas teologi yang baik.47 Model transendental berlangsung dengan metode simpati dan antipati. Melalui pengalaman pribadi yang dibagikan seseorang, orang lain bisa saja bersimpati sehingga kemudian mencoba untuk mengembangkan pemahaman iman berdasarkan jati dirinya sendiri. Jika tidak demikian, antipati dapat menyentakan sejumlah pertanyaan dalam benak mereka untuk menemukan pemahaman iman mereka sendiri.48

f. Model Budaya Tandingan

Model budaya tandingan menganggap konteks sebagai penghalang bagi Injil. Tetapi perlu diingat bahwa model ini tidak anti budaya, melainkan hanya memainkan fungsi kritisnya ketika berhadapan dengan konteks. Konteks atau budaya tidak harus digantikan dengan konteks yang murni berciri religius. Yang perlu dilakukan adalah menganalisis konteks dengan tetap menghargai konteks itu, tetapi membiarkan Injil menuntun seluruh proses, sehingga konteks itu ditata dan dibentuk oleh realitas Injil. 49

Dalam model ini wahyu dipahami sebagai proposisi, atau lebih tepat dipahami dalam bentuk narasi atau kisah di mana orang menemukan dirinya diperhadapkan dengan fakta Yesus Kristus. Alkitab dan tradisi memberi manusia berbagai petunjuk tentang makna sejarah, dan dalam arti itulah ia dianggap lengkap dan sudah selesai. Sementara konteks harus dilihat dengan penuh kecurigaan. Konteks secara radikal dapat mendua dan biasanya berlawanan dengan Injil. Metode dari model budaya tandingan dimulai dengan pengakuan terhadap keabsahan kisah Kristen, yang diejawantahkan dalam pengalaman masa lalu dalam Alkitab dan Tradisi. Kisah ini kemudian digunakan sebagai lensa untuk menafsir dan membuka kedok dan menantang pengalaman masa kini. Proses ini

46

Stephen B. Bevans, Model-Model, 195. 47

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 254. 48

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 255. 49

(26)

mesti dilakukan untuk menjaga agar kaum beriman tidak dikooptasi oleh konteks sekitarnya. 50

Demikianlah model-model Teologi Kontekstual menurut Bevans. Dapat dikatakan keenam model ini dirumuskan Bevans dengan berangkat dari kenyataan bahwa ada beragam cara atau skema yang digunakan oleh para teolog -atau sebut saja kekeristenan- untuk berteologi secara kontekstual. Bagi Bevans, melakukan teologi dari perspektif global ialah melihat ke yang lokal. Kita harus melakukan teologi di dalam situasi konkret kita saat ini.51 Ini juga tentunya berangkat dari pemahaman bahwa teologi tidak hanya muncul dari tradisi-tradisi dan dogma- dogma tertentu. Keterjebakan dalam tradisi dan dogma justru menghalangi kita untuk melihat realitas di sekitar kita. Teologi-teologi lokal perlu diangkat demi mendapatkan pemahaman iman yang baru dan lebih kontekstual.

Dalam keseluruhan pembahasan kita dapat melihat bahwa baik Knitter maupun Bevans mencoba memetakan cara pandang Kekristenan terhadap suatu konteks tertentu dan bagaimana pewahyuan Allah hadir di situ. Keduanya menjadikan pewahyuan sebagai salah satu unsur penting dalam cara pandang Kekristenan tersebut. Kedua-duanya juga berangkat dari kesadaran bahwa kebanyakan teologi kita saat ini masih terjebak dalam tradisi dan doktrin tertentu yang menghalangi pandangan kita terhadap dunia. Padahal menurut Knitter, ada anggapan agamis menyangkut kebenaran yang sebenarnya dapat dipakai secara global untuk bisa saling menerima.52 Jika anggapan agamis yang dimaksud Knitter ini dapat dipahami dengan baik oleh Kekristenan, maka tentu itu akan membuka jalan bagi apa yang dimaksudkan Bevans dengan berteologi secara kontekstual atau melakukan teologi dari perspektif global. Dengan merobohkan dinding tradisi dan doktrin, Kekristenan dapat membuka diri untuk memulai teologinya dari sumber-sumber yang lain.

Kedua landasan teori inilah yang penulis gunakan dalam penelitian ini. Penulis akan menggunakan pandangan Knitter ini untuk menjawab bagaimana sikap orang Kristen terhadap eksistensi penganut Marapu. Bagaimana pandangan

50

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 258. 51

Stephen B. Bevans, Teologi Dalam, 259-260. 52

(27)

17

mereka terhadap penganut Marapu dan sejauh mana mereka membuka diri atau menerima penganut Marapu. Kemudian penulis akan menggunakan pandangan Bevans untuk menjawab bagaimana sikap orang Kristen terhadap ajaran

Manawara dalam Marapu. Sejauh mana keberhargaan Manawara bagi mereka

dan dapatkah ia dijadikan sebagai sumber berteologi yang baru. Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi suatu upaya untuk menemukan suatu bentuk respons Kekristenan terhadap agama lokal serta mengangkat sumber lokal sebagai locus

theologicus yang baru. 3. Hasil Penelitian

3.1 Kristen dan Marapu di Desa Weelimbu

Lokus penelitian ini terletak di Desa Weelimbu, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya. Subjek dari penelitian ini adalah orang Kristen di GKS Ngamba Deta dan para penganut Marapu di Desa Weelimbu. GKS Ngamba Deta merupakan gereja yang berpusat di Desa Weelimbu. Selain jemaat pusat, gereja ini sebenarnya juga memiliki lima cabang lain dan satu pos pekabaran Injil yang tersebar di sembilan desa.53 Namun, yang menjadi fokus penelitian ini adalah jemaat pusat dari GKS Ngamba Deta karena letaknya yang berada di Desa Weelimbu.

Penduduk di Desa Weelimbu berjumlah 814 Kepala Keluarga atau 3.346 Jiwa yang terdiri dari 1.469 laki-laki dan 1.877 perempuan.54 Jemaat GKS Ngamba Deta di jemaat pusat yang terletak di Desa Weelimbu berjumlah 304 Kepala Keluarga atau 2.001 Jiwa yang tediri dari 860 laki-laki dan 1.141 perempuan.55 Penduduk yang masih menganut Marapu berjumlah ± 100 Kepala Keluarga atau 300 Jiwa. Sisanya beragama Katolik dan satu orang beragama Islam. Belum ada perhitungan terbaru yang akurat sehingga jumlah tersebut adalah hasil penaksiran.56 Pendataan penduduk berdasarkan agama/kepercayaan juga menjadi sulit dilakukan karena semua penganut Marapu mencantumkan

53

Laporan BPMJ GKS Ngamba Deta Pada Persidangan Majelis Jemaat GKS Jemaat Ngamba Deta di Cabang Maida Ole, Jumat 26 April 2019.

54

Wawancara dengan Sekretaris Desa Weelimbu di Desa Weelimbu pada 8 Mei 2019, pukul 16.15 WITA.

55

Laporan BPMJ GKS Ngamba Deta. 56

(28)

agama Kristen Protestan di KTP nya sebab mereka tidak dapat mencantumkan Marapu. KTP ini berlaku seumur hidup sehingga tidak dapat diubah sekalipun sudah ada keputusan MK berkaitan dengan pengakuan terhadap penghayat kepercayaan.57

Pembahasan perihal Marapu sebagai kepercayaan asli masyarakat Sumba, tak pelak menuntun pada tradisi awal mula kemunculan kepercayaan Marapu. Bermula ketika manusia pertama di Sumba yaitu Umbu Bobo-Umbu Kamou menyampaikan tentang adanya Marapu untuk menyebutkan yang tidak terlihat karena Marapu itu sendiri sebenarnya tidak dapat dilihat.58 Umbu Bobo-Umbu Kamou ada sejak langit dan bumi diciptakan. Yang menciptakan itu bukan Marapu, melainkan Tuhan Allah yang dalam kepercayaan Marapu disebut

Amawolo Amarawi. Dialah yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini.59

Kisah Umbu Bobo-Umbu Kamou dimulai dengan cerita dimana mereka membangun rumah dalam waktu satu hari saja. Setelah itu mereka melakukan penyembahan dengan membawa persembahan-persembahan berupa hewan karena mereka menyadari bahwa Tuhanlah yang memberi mereka tempat.60 Pada saat itulah mereka kemudian mulai mengajarkan bahwa segala yang ada ini adalah karena Amawolo Amarawi Kangalima Kangawai yang artinya pencipta. Jikalau seseorang ingin melakukan sesuatu maka harus menyampaikannya kepada

Amawolo Amarawi melalui roh-roh arwah orang tua yang sudah meninggal.61

Penganut Marapu meminta berkat kepada Tuhan melalui nenek moyang. Nenek moyang itu sangat dihargai karena dipercaya bahwa dari merekalah kita bisa ada hingga sekarang ini. Akan tetapi yang memberi berkat itu bukan nenek moyang, melainkan Tuhan. Nenek moyang itu dalam bahasa Sumba disebut sebagai baku kaliwola, ulli kalilata yaitu dia yang tumbuh bunga-bunganya menjadi banyak dan ubi keladi yang tumbuh. Artinya dari merekalah orang

57

Wawancara dengan Sekretaris Desa Weelimbu. 58

Wawancara dengan Malo Lede di Wanno Jango pada 7 Mei 2019, pukul 13.02 WITA. 59

Wawancara dengan Ngongo Bali di Purita pada 7 Mei 2019, pukul 11.00 WITA. 60

Wawancara dengan Agustinus Umbu Lado di Desa Weelimbu pada 7 Mei 2019, pukul 20.09 WITA.

61

(29)

19

Sumba kemudian berkembang biak (menjalar) hingga sekarang ini.62 Semua hal yang disampaikan oleh Umbu Bobo-Umbu Kamou dipegang oleh penganut Marapu hingga saat ini.63 Ajaran-ajaran tersebut diteruskan secara lisan dan tetap dilakukan oleh orang-orang yang masih mempertahankan kepercayaan Marapu.

Saat ini jumlah penganut Marapu terus berkurang. Menurut laporan BPMJ GKS Ngamba Deta ada 155 penganut Marapu yang telah menjadi simpatisan di jemaat pusat.64 Artinya mereka tersebut sedang dalam proses untuk menjadi Kristen. Kebanyakan anak-anak penganut Marapu juga telah menjadi Kristen, salah satu faktornya adalah sekolah-sekolah meminta surat tanda baptis atau sebagainya yang tidak dimiliki penganut Marapu. Jadi kebanyakan penganut Marapu yang ada saat ini adalah para orang tua. Para orang tua ini pun mempersilahkan anak-anak mereka untuk menjadi Kristen. Dengan demikian kelihatannya jumlah penganut Marapu akan berkurang bahkan habis karena tidak ada yang meneruskan.65

Namun demikian, hingga saat ini baik penganut Marapu maupun orang Kristen hidup berdampingan di Desa Weelimbu tanpa mengalami suatu konflik yang serius. Di beberapa wanno atau kampung, penganut Marapu dan orang Kristen hidup bersebelahan rumah dalam satu lingkaran rumah-rumah di wanno tersebut. Misalnya di sebuah kampung yang penulis temui yaitu Purita, penganut Marapu hidup berdampingan dengan orang Kristen. Model kampung tersebut sama seperti model kampung-kampung pada umumnya di desa itu dimana lima atau enam rumah dibangun dengan posisi membentuk lingkaran dan di tengah- tengahnya terdapat beberapa kubur batu.

Dalam kehidupan sehari-hari juga keduanya hidup damai dengan tidak saling memusuhi atau menutup diri. Penganut Marapu sangat terbuka dengan orang Kristen. Penulis dapat merasakan hal tersebut ketika datang dan berbincang dengan beberapa penganut Marapu. Di Purita tepatnya di rumah seorang Rato

62

Wawancara dengan Agustinus Umbu Lado di Desa Weelimbu pada 7 Mei 2019, pukul 20.09 WITA.

63

Wawancara dengan Ngongo Kaka. 64

Laporan BPMJ GKS Ngamba Deta. 65

(30)

yaitu Ngongo Kaka Mesa, penulis dipersilahkan masuk ke dalam rumah tersebut. Padahal rumah itu disebut rumah Marapu karena di dalamnya ada ruang khusus yang hanya boleh dimasuki ketika ritual tertentu. Di dalam rumah tersebut, penulis dijamu dengan makan siang dan bahkan penulis diminta untuk memimpin doa makan.

3.2 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Eksistensi Penganut Marapu

Hubungan orang Kristen dan penganut Marapu di Desa Weelimbu selama ini berjalan baik dan harmonis. Orang Kristen dan penganut Marapu sebenarnya memang memiliki hubungan kekeluargaan karena memang dulunya semua orang Sumba adalah penganut Marapu.66 Dalam berbagai aspek kehidupan keduanya hidup berdampingan sebagai sesama saudara. Bahkan dalam beberapa rumah tangga, terdapat orang Kristen dan penganut Marapu yang hidup bersama-sama di dalamnya. Hampir tidak ada pemisahan antara orang Kristen dan penganut Marapu.67 Hanya pada saat penganut Marapu melakukan ritual saja, orang Kristen akan membatasi diri dan tidak ikut ambil bagian di dalamnya karena ritual tersebut dipandang bertentangan dengan iman Kristen. Orang Kristen hanya akan mengikuti acara syukuran yang dilakukan setelah ritual itu karena dianggap sebagai sebuah acara kekeluargaan yang tidak memiliki unsur ritual lagi.68

Dalam pandangan orang Kristen, penganut Marapu sebenarnya tidak dilihat sebagai lawan, mereka justru adalah rekan.69 Mereka adalah keluaga dan bukan musuh, sekalipun berbeda kepercayaan mereka tetaplah sesama saudara.70 Mereka juga adalah ciptaan Tuhan dan bagian dari masyarakat yang adalah teman sekaligus menjadi objek penginjilan,71 artinya mereka adalah orang-orang yang diharapkan untuk menjadi pengikut Kristus.72 Hal ini dilihat sebagai panggilan

66

Wawancara dengan Matius Ngongo Malo di Desa Weelimbu pada 9 Mei 2019, pukul 10.39 WITA.

67

Wawancara dengan Junius Umbu Pakereng di Desa Weelimbu pada 9 Mei 2019, pukul 12.53 WITA.

68

Wawancara dengan Yohana Umbu Lado di Wiwu Wawo pada 7 Mei 2019, pukul 18.44 WITA. 69

Wawancara dengan Vic. Marinus Mardi Ishak di Desa Weelimbu pada 8 Mei 2019, pukul 17.33 WITA.

70

Wawancara dengan Samuel Umbu Lado di Desa Weelimbu pada 8 Mei 2019, pukul 20.23 WITA.

71

Wawancara dengan Nimrot Umbu Pati di Desa Weelimbu padu 9 Mei 2019, pukul 09.36 WITA. 72

(31)

21

pelayanan oleh orang Kristen yaitu melakukan perintah Tuhan untuk menjadikan segala bangsa murid Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam Injil.

Dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak terlihat perbedaan antara penganut Marapu dan orang Kristen. Perbedaan itu hanya akan terlihat ketika penganut Marapu melakukan ritualnya.73 Dilihat dari segi kepercayaan memang banyak perbedaan-perbedaan diantara keduanya. Misalnya untuk mengetahui kehendak Tuhan, orang Kristen membaca Alkitab sementara penganut Marapu membaca hati hewan seperti hati ayam atau hati babi untuk dilihat sebagai simbol yang mengandung pesan dari Tuhan. Perbedaan lainnya adalah orang Kristen memiliki gereja sebagai tempat persekutuan dan menyembah Tuhan sementara penganut Marapu memiliki Kambo74 sebagai tempat penyembahan mereka.75

Selain itu perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah soal perantaraan untuk sampai kepada Allah dan jalan keselamatan. Dalam kepercayaan Marapu, yang dipercaya sebagai perantara untuk sampai kepada Allah adalah arwah atau roh-roh nenek moyang. Sementara orang Kristen mengimani bahwa jembatan kita untuk sampai kepada Allah Bapa adalah Yesus Kristus,76dan bagi orang Kristen Yesus adalah Allah yang hidup bukan orang mati.77 Mengenai jalan keselamatan, yang membedakan penganut Marapu dengan orang Kristen adalah mereka tidak mengenal dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Bagi sebagian orang Kristen ketika penganut Marapu masih mempercayai arwah nenek moyang sebagai perantara mereka dan belum percaya Yesus Kristus, itu tidak dilihat sebagai kelemahan mereka. Itu semata-mata dilihat sebagai perbedaan.78 Walaupun secara iman Kristen hal itu memang dianggap sebagai

73

Wawancara dengan Yohanis Apiladu di Desa Weelimbu pada 8 Mei 2019, pukul 16.25 WITA. 74

Di setiap rumah orang Sumba selalu didirikan sebuah batu di depan rumahnya yang disebut

kambo atau kambo wano sebagai tempat untuk bertemu dengan Marapu ketika orang Sumba

hendak keluar maupun masuk melakukan pekerjaan yang sakral seperti hendak memungut hasil ataupun ketika membawa pulang hasil. Kambo disebut sebagai “penerima yang masuk keluar baik siang maupun malam, baik manusia maupun hewan” (Kambo rookawona mawo roro bina, Wudi

papamula watu papadede).

75

Wawancara dengan Yohana Umbu. 76

Wawancara dengan Samuel Umbu. 77

Wawancara dengan Pdt. Mardiani Loni Radjah, S.Si-Teol pada 8 Mei2019, pukul 10.21 WITA. 78

(32)

kelemahan mereka. Namun, yang lebih jelas terlihat sebagai kelemahan penganut Marapu adalah ritual mereka. Ritual Marapu membutuhkan alokasi dana yang sangat banyak, terlihat dari banyaknya hewan yang dibutuhkan ketika melakukan ritual. Hal ini dianggap sebagai sebuah pemborosan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga, karena ritual Marapu biasanya dilakukan dalam durasi waktu yang cukup panjang.79

Tingkat pendidikan yang rendah juga dilihat sebagai kelemahan dari penganut Marapu. Hal ini membuat pola pikir mereka juga menjadi berbeda dengan orang Kristen. Penganut Marapu hanya memikirkan yang saat ini saja dan tidak berpikir jauh ke depan seperti orang Kristen.80 Pernyataan ini didukung dengan kenyataan bahwa kepercayaan Marapu tidak memiliki sumber tertulis seperti Alkitab. Mereka membaca hati hewan untuk mengetahui kehendak Tuhan. Kepercayaan Marapu tidak terprogram atau terorganisir dengan baik seperti agama Kristen. Dalam kepercayaan mereka juga tidak ada keharusan bagi anak- anak untuk meneruskan kepercayaan tersebut. Artinya anak-anak penganut Marapu tidak harus menjadi Marapu.81

Bagi orang Kristen, kelebihan penganut Marapu adalah mereka masih sangat menjaga dan menghargai adat istiadat yang ada. Merekalah yang menjaga berbagai tradisi adat dan budaya termasuk rumah-rumah adat/suku.82 Rumah adat/suku biasanya ditinggali oleh penganut Marapu karena dianggap rumah Marapu. Selain itu kelebihan dari penganut Marapu terletak pada ketaatan dan kebersamaan mereka dalam menjalankan kepercayaan mereka. Dalam menjalankan ritual yang begitu panjang, mereka tidak saling meninggalkan.83 Kesetiaan mereka juga sangat besar kepada Marapu. Setiap ingin melakukan sesuatu mereka selalu meminta ijin atau restu dari Marapu. Sementara orang Kristen sendiri terkadang tidak setia dalam menjalankan ibadahnya. Dalam pergaulan sehari-hari juga penganut Marapu tidak membeda-bedakan orang, mereka lebih mampu untuk menghargai dan menerima sesama termasuk orang

79

Wawancara dengan Nimrot Umbu. 80

Wawancara dengan Matius Ngongo. 81

Wawancara dengan Junius Umbu. 82

Wawancara dengan Yohana Umbu. 83

(33)

23

Kristen.84 Mereka dapat ikut dalam setiap ibadah orang Kristen sementara orang Kristen tidak dapat hadir dalam acara-acara mereka apalagi yang berbau ritual.

Sejauh orang Kristen tidak terpengaruh untuk mengikuti atau melakukan ritual Marapu, maka sebenarnya tidak ada dampak negatif dari kehadiran penganut Marapu. Sejauh ini yang dikuatirkan dan betul-betul dijaga oleh orang Kristen adalah ketika mereka melakukan sebuah acara, dalam pemotongan hewan jangan sampai penganut Marapu melakukan ritualnya yaitu membaca hati hewan tersebut. Hal ini dianggap rawan karena dalam setiap keluarga, pasti ada yang masih menganut Marapu.85 Selain itu, kehadiran penganut Marapu sama sekali tidak mengganggu atau berdampak negatif dalam kehidupan orang Kristen. Justru yang lebih dirasakan oleh orang Kristen adalah dampak positif dari kehadiran mereka, karena mereka hadir sebagai sesama saudara. Tidak pernah terjadi perselisihan antara orang Kristen dan penganut Marapu. Justru bekerjasama menjadi hal yang wajib di antara mereka. Kerjasama itu dilakukan hampir di setiap sisi kehidupan.86 Misalnya dalam acara kematian, pernikahan, kegiatan membangun rumah, membangun gedung gereja, panen dan lain-lain.87

Orang Kristen berharap jumlah penganut Marapu bisa terus menurun hingga semuanya menjadi Kristen. Untuk mewujudkan harapan itu, orang Kristen berupaya melakukan penginjilan dan pendekatan-pendekatan secara pribadi.88 Hal ini dilihat sebagai tanggungjawab oleh orang Kristen. Selain melakukan penginjilan secara langsung, orang Kristen juga melakukan pelayanan diakonia dan membantu penganut Marapu dalam hal kebutuhan ekonomi. Dan yang paling penting bagi orang Kristen adalah bagaimana mereka membangun pola karakter hidup yang baik agar diteladani oleh penganut Marapu.89 Hal-hal inilah yang dilakukan oleh orang Kristen dalam rangka menekan jumlah penganut Marapu. Selama ini yang menjadi hambatan dalam upaya tersebut adalah banyak penganut Marapu yang masih terikat dengan janji/hutang adat. Selain itu ada juga yang

84

Wawancara dengan Vic. Marinus. 85

Wawancara dengan Junius Umbu. 86

Wawancara dengan Yohanis Apiladu. 87

Wawancara dengan Matius Ngongo. 88

Wawancara dengan Yohana Umbu. 89

(34)

memang dari hatinya benar-benar tidak dapat meninggalkan kepercayaan Marapu karena telah dibesarkan dalam kepercayaan tersebut.90

Saat ini hampir semua anak-anak penganut Marapu sudah menjadi Kristen sehingga jumlah penganut Marapu akan terus berkurang bahkan habis karena tidak ada yang meneruskan. Namun, bagi orang Kristen habisnya jumlah penganut Marapu tidak dimaknai sebagai hilangnya „orang,‟ melainkan hilangnya ajaran- ajaran yang bertentangan dengan kekristenan.91 Itu adalah tanda kemenangan bahwa orang Kristen telah melakukan tugasnya yaitu menjadikan semua bangsa murid Tuhan.92 Tetapi adat istiadat orang Sumba akan tetap dipertahankan karena perlu adat istiadat berbeda dengan ritual. Ketika semua penganut Marapu menjadi Kristen juga diharapkan terjadi peningkatan dibidang pendidikan dan ekonomi.93 Namun demikian, orang Kristen tetap menyadari bahwa sebagai orang Sumba, ingatan tentang Marapu itu akan tetap ada.94

Mengenai kehadiran Allah bagi penganut Marapu, sebagian besar orang Kristen mengatakan bahwa Allah juga hadir bagi penganut Marapu karena mereka adalah ciptaan milik Allah,95 Allah Yang Maha adil, yang tidak hanya memberikan matahari kepada orang Kristen saja tetapi juga kepada penganut Marapu.96 Yang berbeda adalah perantara untuk sampai kepada Allah itu. Perantaraan orang Kristen adalah Yesus Kristus sementara perantaraan Marapu untuk sampai kepada Amawolo Amarawi adalah arwah nenek moyang. Sementara yang disebut Allah oleh orang Kristen dan yang disebut Amawolo Amarawi oleh penganut Marapu itu sebenarnya merujuk pada satu Allah yang sama, yaitu Allah yang tidak dapat dilihat dengan mata tidak dapat didengar dengan telinga tetapi ia hadir melalui roh. Orang Kristen pun dalam bahasa Sumba menyebut Allah sebagai Amawolo Amarawi.97 Namun, ada juga yang mengatakan Allah tidak

90

Wawancara dengan Yohanis Apiladu. 91

Wawancara dengan Pdt. Mardiani. 92

Wawancara dengan Nimrot Umbu. 93

Wawancara dengan Matius Ngongo. 94

Wawancara dengan Yohanis Apiladu. 95

Wawancara dengan Pdt. Mardiani. 96

Wawancara dengan Samuel Umbu. 97

(35)

25

dapat dikatakan hadir bagi penganut Marapu, karena mereka belum mengenal Allah sehingga Allah juga belum mengenal mereka.98

Sementara mengenai keselamatan bagi penganut Marapu, beberapa orang Kristen secara tegas mengatakan bahwa penganut Marapu tidak dapat diselamatkan sebab keselamatan hanya diperoleh oleh mereka yang percaya dan mengakui Yesus sebagai Juruselamat, lewat cara hidupnya yang berkenan dengan kehendak Tuhan.99 Ada juga yang mengatakan bahwa walaupun mereka belum menerima Yesus sebagai Tuhan, Allah akan melihat sejauh mana perbuatan mereka selama hidup, apakah mereka melakukan yang sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak. Jadi mungkin saja ada penyelamatan dari Tuhan bagi mereka.100 Selain itu, orang Kristen juga mengatakan bahwa mengenai keselamatan, itu adalah otoritas Allah dan yang kita kerjakan adalah bagian kita.

3.3 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Ajaran Manawara Manawara merupakan ajaran yang diturunkan sejak Umbu Bobo-Umbu

Kamou hingga saat ini. Manawara itu melekat pada setiap hal yang dilakukan oleh penganut Marapu, mulai dari hal-hal yang paling kecil hingga yang besar. Sesama manusia dan segala sesuatu yang ada harus dikasihi. Bagi penganut Marapu ajaran ini sama dengan ajaran kasih dalam Kristen atau agama-agama lainnya karena asalnya hanya satu yaitu dari Tuhan.101 Adanya kedamaian dalam kehidupan bersama saat ini adalah tanda atau bukti dari kasih dan Manawara itu. Orang Kristen tetap datang mengunjungi (bergaul/membaur) dengan penganut Marapu dan demikian juga sebaliknya. Mai mbara yame, kako mbara ne, artinya mereka datang kepada kami di sini, kami juga pergi kepada mereka di sana.102

Bagi orang Kristen ajaran Manawara adalah satu hal yang sangat positif karena mengajarkan hal yang baik seperti hukum kasih dalam kekristenan. Dalam kehidupan sehari-hari penganut Marapu memang menunjukan kasih mereka itu. Mereka mau hidup terbuka dan saling membantu bahkan dengan orang Kristen.103

98

Wawancara dengan Yohana Umbu. 99

Wawancara dengan Pdt. Mardiani. 100

Wawancara dengan Samuel Umbu. 101

Wawancara dengan Ngongo Kaka. 102

Wawancara dengan Bili Dewa. 103

(36)

Misalnya dalam pembangunan gedung gereja, mereka menunjukan keterlibatan mereka. Jadi jika dilihat dalam praktek kehidupan sehari-hari, tidak dapat dibedakan antara orang Kristen yang melakukan kasih dengan penganut Marapu yang melakukan Manawara.

Ajaran Manawara dilihat sebagai ajaran yang searah dengan ajaran Kasih dalam kekristenan karena keduanya sama-sama mengajarkan tentang bagaimana membangun hubungan dengan Allah melalui hubungan dengan alam dan sesama.

Manawara dapat dikatakan sudah cukup bagi penganut Marapu dalam hal praktek

kehidupan tetapi dalam hal iman dan keselamatan, penganut Marapu harus menerima dan belajar hukum kasih dalam Kristen.104 Dalam kaitannya dengan iman dan keselamatan, penganut Marapu menempatkan arwah nenek moyang sebagai yang sangat beperan dalam menghubungkan Allah dengan manusia. Perlakuan mereka terhadap orang mati kemudian dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan iman Kristen.105

Dalam beberapa hal tertentu Manawara dianggap memiliki kelemahan dibanding kasih dalam Kristen. Misalnya dalam hal mengasihi musuh dan mengasihi tanpa syarat. Ketika terjadi permusuhan, dalam kepercayaan Marapu perdamaian harus diusahakan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini dianggap berbeda dengan kasih dalam Kristen yang harus mengampuni tanpa syarat. Selain itu, pendalaman pemahaman dan penerapan Manawara juga dianggap kurang karena tidak ada ajaran tertulisnya. Penganut Marapu hanya melakukan Manawara itu sebagai kebiasaan mereka sebagaimana yang ditunjukan oleh orang tua mereka sebelumnya.106

Dalam melihat sejauh mana Manawara itu dapat dikatakan baik dibanding dengan hukum kasih, orang Kristen tidak dapat menyimpulkannya secara pasti dan tepat karena bagaimanapun juga yang menghidupi Manawara itu adalah penganut Marapu dan orang Kristen menghidupi Hukum Kasih. Dalam melakukan Manawara itu juga penganut Marapu tidak menampakan label Marapu

104

Wawancara dengan Vic. Marinus. 105

Wawancara dengan Pdt. Mardiani. 106

(37)

27

mereka.107 Jadi bagi orang Kristen, ajaran Manawara itu sudah mengarah pada ajaran kasih. Penganut Marapu sudah melakukan kasih itu dalam bahasa mereka. Namun, hal itu belum cukup karena Manawara dianggap belum sesempurna hukum kasih. Tetapi adanya ajaran Manawara dalam kehidupan penganut Marapu dianggap sebagai peluang bagi orang Kristen untuk melakukan penginjilan.108

4. Analisis dan Pembahasan

4.1 Sikap Orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap Eksistensi Penganut Marapu dilihat dari Teori Teologi Agama-Agama menurut Paul F. Knitter

Untuk melihat bagaimana sikap orang Kristen di GKS Ngamba Deta terhadap eksistensi penganut Marapu maka perlu diperhatikan berbagai fakta yang dapat mempengaruhi sikap tersebut. Pertama, perlu diingat bahwa Marapu merupakan kepercayaan asli masyarakat Sumba yang artinya sebelum kedatangan kekristenan semua orang Sumba adalah penganut Marapu. Fakta ini tentu mempengaruhi sikap orang Kristen terhadap penganut Marapu. Sikap orang Kristen terhadap penganut Marapu mungkin saja berbeda dengan sikapnya terhadap penganut agama lain karena Marapu itu sendiri erat hubungannya dengan Sumba. Kedua, dengan demikian tidak dapat disangkali bahwa orang Kristen dan penganut Marapu memiliki hubungan kekeluargaan.109 Hubungan yang dimakud bukan hanya merujuk pada silsilah keluarga besar, melainkan pada keluarga inti pun terdapat perbedaan kepercayaan tersebut.110 Hal ini juga tentunya akan mempengaruhi sikap orang Kristen terhadap penganut Marapu karena adanya hubungan kekeluargaan antara keduanya.

Sikap orang Kristen terhadap eksistensi penganut Marapu didasari pada dua hal utama yaitu dasar teologis dan sosiologis. Secara teologis yang disebut Allah oleh orang Kristen dan yang disebut Amawolo Amarawi oleh penganut Marapu sebenarnya merujuk pada satu Allah yang sama.111 Namun, terdapat berbagai perbedaan teologis antara kekristenan dan kepercayaan Marapu. Dalam ritual misalnya, penganut Marapu membaca hati hewan untuk mengetahui kehendak

107

Wawancara dengan Yosep Bili. 108

Wawancara dengan Yohana Umbu. 109

Wawncara dengan Matius Ngongo. 110

Wawancara dengan Junius Umbu. 111

Referensi

Dokumen terkait