• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mandiri dalam mengurusi daerahnya sendiri. Pemerintah pusat memberikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mandiri dalam mengurusi daerahnya sendiri. Pemerintah pusat memberikan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem desentralisasi menyebabkan munculnya daerah-daerah otonom yang mandiri dalam mengurusi daerahnya sendiri. Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada daerah untuk membangun daerahnya. Namun, tidak seluruh wewenang/urusan diserahkan pada daerah. Urusan agama, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, dan yustisi merupakan urusan pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah daerah berhak mengurus daerahnya diluar urusan tersebut.

Namun, sistem desentralisasi tidak selamanya menguntungkan bagi daerah. Terdapat kebutuhan yang mendesak dari masing-masing daerah untuk tetap membangun koordinasi lintas spasial dan wilayah administrasi pemerintahan untuk merespon masalah perkotaan yang borderless dan semakin kompleks.1 Kerjasama antar daerah pun dibutuhkan. Meskipun sistem desentralisasi ini menyebabkan munculnya persaingan antar daerah untuk berlomba menampilkan pelayan publik terbaik dan menarik para investor masuk, tetapi terdapat pula suatu “kesadaran” untuk saling bekerjasama demi meningkatkan pemenuhan kebutuhan daerah. Adanya kekurangan dan keunggulan pada masing-masing daerah membuat kerjasama menjadi pilihan yang tepat. Daerah berupaya agar dapat memasok kebutuhan yang tidak dimiliki oleh daerah sendiri dan berbagi       

1

 Pratikno.  2007.  Kerjasama  Antar  Daerah:  Kompleksitas  dan  Tawaran  Format  Kelembagaan.  Yogyakarta: JIP FISIPOL UGM. hal 10. 

(2)

keunggulan dengan daerah lain, misalnya dalam bentuk perdagangan hasil tambang dan pertanian. Dengan demikian, ketimpangan daerah tidak terasa dalam suatu kesatuan nasional.

Pentingnya kerjasama antar daerah setidaknya didukung oleh dua argumen. Pertama, bahwa metode pengaturan dengan cara lama, yang berbasiskan regulasi dan logika formal yang hierarkis sudah tidak lagi memadai, karena semakin kompleksnya logika kepentingan yang bertarung; dan semakin cair serta otonomnya pola-pola hubungan antar aktor. Kedua, dalam konteks di mana peluang dan tantangan tidak hanya hadir dalam batas teritori administratif akan sangat sulit bagi pemerintah daerah, baik untuk memanfaatkan peluang-peluang, maupun untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul, terutama yang terkait dengan suatu kawasan pemerintah daerah. Selain itu, kerjasama antar daerah juga diorientasikan untuk menguatkan kapasitas tawar menawar (bargaining) daerah dan untuk menyediakan arena bagi daerah untuk membangun jaringan (networking) dengan aktor lainnya.2

Kesadaran daerah untuk saling bekerjasama terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Salah satunya, kerjasama DKI Jakarta dengan wilayah sekitarnya. Dalam kasus ini, kerjasama telah terjalin jauh sebelum lahirnya sistem desentralisasi. Sebagai Ibukota Negara, DKI Jakarta semakin mengalami pertumbuhan penduduk tiap tahunnya. Dari pertumbuhan penduduk tersebut, muncul berbagai permasalahan, diantaranya menyangkut masalah kesempatan kerja, penyediaan fasilitas dan pelayanan, degradasi lingkungan hidup, dan

       2

(3)

masalah lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak hanya berimplikasi pada DKI Jakarta, tetapi juga daerah di sekitarnya, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Oleh karena itu, terbitlah Inpres No.13/1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi.

Pada awalnya, kerjasama yang dijalin adalah berupa kerjasama pembangunan fisik dengan tujuan membina pola permukiman penduduk dan penyebaran kesempatan kerja. Pembangunan wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi merupakan sebuah kebutuhan, mengingat wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah strategis bagi Pemerintah DKI Jakarta dan juga sebaliknya. Koordinasi antar-wilayah dalam upaya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pembangunan menjadi kebutuhan bagi wilayah Jabotabek.3

Untuk memayungi pembangunan antar wilayah strategis tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan yang menyangkut kerjasama untuk pengembangan wilayah fungsional Jabotabek, baik dalam tataran pemerintah pusat maupun daerah, sehingga perencanaan sektoral maupun regional dapat diarahkan secara terpadu.4 Maka terbitlah Peraturan Bersama Provinsi Dati I Jawa Barat dengan Pemerintah DKI Jakarta No. (1/DP/040/PD/1976)/(3 tahun 1976) tentang kerjasama dalam rangka pembangunan Jabotabek yang disahkan dengan SK Mendagri No. 10/34/16-282. Agar kerjasama bersifat terorganisir, dibentuklah Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek pada tahun 1976 sesuai Keputusan Bersama Gubernur Kepala DKI Jakarta dan Gubernur Kepala Daerah

       3

 Saat itu (tahun 1974), wilayah yang bekerjasama adalah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.  4

(4)

Tingkat I Jawa Barat No. (D.IV-3201/d/11/1976)/(197/Pem.121/SK/1976) tertanggal 14 Mei 1976.

Tujuan dari dibentuknya BKSP Jabodetabekjur adalah untuk mewujudkan keterpaduan, keselarasan, keserasian dan keseimbangan pelaksanaan pembangunan Jabodetabekjur yang saling terkait, saling mempengaruhi, saling ketergantungan dan saling menguntungkan yang memberi manfaat kepada kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bersama daerah.5 Melihat dari tujuan tersebut, dapat dikatakan bahwa ketiga provinsi berupaya agar pembangunan dan pelayanan dapat seimbang dilaksanakan. Maka, BKSP Jabodetabekjur menjadi “payung” lembaga kerjasama sama antar wilayah Jabodetabekjur sehingga kerjasama yang dilakukan dapat lebih terorganisir. Kerjasama yang dilaksanakan pun tidak lagi hanya di bidang pembangunan fisik, melainkan juga pembangunan non-fisik. Permasalahan sampah, perdagangan, koperasi dan UKM, lingkungan hidup, ketertiban dan keamanan, sosial dan tenaga kerja juga menjadi ruang lingkup kerjasama yang ditangani oleh BKSP Jabodetabekjur.

Dalam melaksanakan tugas operasionalnya, BKSP Jabodetabekjur dibantu oleh Sekretariat BKSP Jabodetabekjur, dimana pihak yang ada di dalamnya merupakan PNS Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Menurut Henry Mintzberg6, sekretariat BKSP Jabodetabekjur dapat dipandang sebagai the

operating core dan the supporting staff dalam organisasi BKSP Jabodetabekjur.

       5

 Pasal  3  Peraturan  Bersama  Gubernur  Provinsi  DKI  Jakarta,  Gubernur  Jawa  Barat,  Gubernur  Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati Tangerang, Walikota Tangerang,  Bupati Bekasi, Walikota Bekasi, dan Bupati Cianjur tentang BKSP Jabodetabekjur. 

6

(5)

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2006, Sekretariat BKSP Jabodetabekjur mempunyai tugas menyiapkan bahan koordinasi, analisa perencanaan, kebijakan pelaksanaan, analisa evaluasi, penyusunan program dan laporan serta memberikan pelayanan administratif kepada Ketua BKSP Jabodetabekjur. Oleh karena itu, Sekretariat BKSP Jabodetabekjur bertanggung jawab kepada ketua.

Dalam rangka melaksanakan tugas pokok tersebut, Sekretariat BKSP Jabodetabekjur mempunyai fungsi:

1. Penyiapan bahan koordinasi penyusunan kebijakan perencanaan kerjasama pembangunan wilayah Jabodetabekjur.

2. Penyiapan bahan koordinasi pelaksanaan kerjasama pembangunan di wilayah Jabodetabekjur.

3. Penyiapan bahan evaluasi kerjasama pembangunan di wilayah Jabodetabekjur.

4. Pelaksanaan penyusunan program kerja Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur.

5. Pelaksanaan urusan keuangan, kepegawaian, perlengkapan, tata usaha dan rumah tangga Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur Di dalam meneliti keberhasilan suatu organisasi, salah satu indikator yang dapat digunakan adalah meneliti pencapaian tujuan organisasi tersebut. Di dalam kasus kerjasama Jabodetabekjur, pencapaian dan program yang disusun oleh BKSP Jabodetabekjur tidak sesuai dengan tujuan dalam Kesepakatan Bersama dan Peraturan Bersama. Sejak tahun 1997 hingga tahun 2000, kerjasama yang

(6)

terjalin semakin terfokus pada pemenuhan berbagai kepentingan DKI Jakarta sebagai poros utama. Hal ini dapat dilihat dari berbagai perjanjian dan program yang disusun selama tahun 2004 yang selalu melibatkan DKI Jakarta.7 Bahkan hingga saat ini, setiap kebijakan dan program yang dilaksanakan selalu memberi manfaat pada Jakarta, namun tidak selalu memberi manfaat pada daerah lain.

Program yang sebagian besar difokuskan pada pemenuhan kebutuhan DKI Jakarta disebabkan oleh besarnya beban hibah yang diberikan oleh DKI Jakarta. Berikut merupakan alokasi hibah Pemprov DKI Jakarta kepada Kabupaten/Kota Bodetabekjur.

Tabel 1.1 Alokasi Hibah Pemprov DKI Jakarta kepada Bodetabekjur

No. KAB/KOTA Alokasi Hibah (dalam milyar rupiah)

2007 2008 2009 2010 2011 1. Kab. Bogor 5,0 5,0 - 3,0 5,0 2. Kota Bogor 5,0 5,0 - 3,0 5,5 3. Kota Depok 5,0 5,0 - 3,0 6,5 4. Kab. Tangerang 5,0 5,0 - 3,0 9,0 5. Kota Tangerang 5,0 5,0 - 3,0 4,0

6. Kota Tangerang Selatan - - - 1,0 2,5

7. Kab. Bekasi 5,0 5,0 - 3,0 4,0

8. Kota Bekasi 5,0 5,0 - 3,0 4,5

9. Kab. Cianjur 5,0 5,0 - 3,0 4,5

Jumlah 40 40 0 25 45

Sumber: LPPD Provinsi DKI Jakarta 2007-2011.

Di dalam Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Provinsi DKI Jakarta, Jakarta telah menyalurkan hibah sebesar Rp 150 milyar sepanjang tahun 2007-2011 dan sebesar Rp 45 milyar pada tahun 2012 untuk Kab/Kota Bodetabekjur. Dana tersebut diprioritaskan untuk mendanai program penanganan       

7

 Urgensi Revitalisasi BKSP Jabodetabekjur. 

(7)

masalah transportasi, sistem tata air dalam rangka pengendalian banjir, ruang terbuka hijau, pelestarian lingkungan, penanganan sampah, dan pembangunan tanggul.8

Jika melihat pada LPPD Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, tidak ditampilkan alokasi hibah dari masing-masing provinsi untuk kegiatan atau proyek kerjasama antar wilayah Jabodetabekjur. Namun, ketiga provinsi tetap mengalokasikan anggaran (APBD) mereka untuk penyelenggaraan kegiatan operasional Sekretariat BKSP Jabodetabekjur. Berikut merupakan alokasi anggaran Sekretariat BKSP Jabodetabekjur tahun 2010-2011.

Tabel 1.2 Alokasi Hibah untuk Operasional Sekretariat BKSP Jabodetabekjur

No Tahun Sumber Anggaran (APBD)

DKI Jakarta Jawa Barat Banten

1. 2010 1.500.000.000,- 4.000.000.000,- 500.000.000,-

2. 2011 1.500.000.000,- 2.000.000.000,- 500.000.000,-

3. 2012 1.500.000.000,-

Sumber: Laporan Akhir Masa Jabatan Ketua BKSP Jabodetabekjur Periode 2006-2011.

Pemerintah Kabupaten/Kota Bodetabekjur menganggap bahwa DKI Jakarta memiliki APBD yang besar. Oleh karena itu, Kab/Kota Bodetabekjur memanfaatkan hal tersebut. Namun, sebagai timbal baliknya, dana tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan DKI Jakarta, seperti pembuatan tanggul, waduk untuk mencegah banjir di Jakarta dan pembuatan TPST di Bantargebang       

8

(8)

untuk menampung sampah dari Jakarta. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang karyawan Sekretariat BKSP, Erick dari Pemprov Banten.

“Kita (BKSP dan Sekretariat) bertugas menghubungkan (pihak yang ingin bekerjasama), tidak boleh melakukan pembangunan fisik. Rata-rata, permasalahan ada di daerah komuter (daerah pinggir Jakarta). Para pekerja banyak di Bogor, Bekasi, Tangerang, sedangkan kelebihan DKI Jakarta adalah Jakarta memiliki anggaran yang berlebihan. Padahal masalah orang sekitar juga merupakan masalah orang DKI juga, seperti kependudukan, kesehatan, dan lainnya. Akhirnya mereka menghibahkan dana ke daerah sekitar agar permasalahan ditangani.” (22 Agustus 2013)

Selain itu, tidak terpenuhinya tujuan kerjasama dapat dilihat dari salah satu kebijakan yang disusun oleh Presiden. Pesatnya tingkat urbanisasi ke Jakarta menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan hidup di Ibu Kota. Dengan latar belakang tersebut, disusunlah Pepres No.54/2008 tentang Rencana Pembangunan Wilayah Jabodetabekjur Sebagai Program Kawasan Strategis Nasional. Hal tersebut disampaikan di dalam Paparan Menteri PU pada Lokakarya Nasional “Roadmap Pengembangan Infrastruktur Bidang PU pada Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur”. Beliau mengatakan:

“Dalam tiga dekade terakhir, kawasan Jabodetabekjur, khususnya Jakarta telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh urbanisasi yang pesat. Setidaknya ada 4 aspek dampak yang dialami. Pertama aspek lingkungan, banjir dan genangan adalah bencana yang rutin terjadi. Daya dukung lingkungan di Jakarta juga sudah berada pada taraf deficit. Kedua, dari aspek infrastruktur Jakarta yang telah mengalami krisis yang cukup serius. Ketiga, dari aspek sosial, walaupun laju pertumbuhan penduduk di pusat kota relatif stabil, terdapat laju yang pesat di kawasan pinggiran Jakarta.”9

       9

 Paparan  Menteri  Pekerjaan  Umum,  Djoko  Kirmanto  pada  Lokakarya  Nasional  tanggal  15  Desember 2010. 

(9)

Penyusunan Perpres tersebut tidak lagi ditimbang karena kesadaran akan pembangunan yang tidak merata di wilayah Jabodetabekjur, tetapi karena keadaan lingkungan DKI Jakarta yang kian hari kian memprihatinkan.

Perhatian yang lebih diberatkan pada pemenuhan kebutuhan DKI Jakarta membuat daerah-daerah sekitar yang termasuk di dalam anggota kerjasama juga beranggarapan hal yang serupa. Bukan merupakan hal yang salah jika masing-masing daerah berkeinginan agar daerahnya mendapat keuntungan dari adanya kerjasama ini. Namun, sayangnya BKSP Jabodetabekjur belum mampu berkumpul bersama dan membuat kesepakatan yang benar-benar unik yang mencerminkan hasil kerja secara bersama-sama. Walikota Tangerang periode 2008-2013, Wahidin Halim berpendapat bahwa BKSP Jabodetabekjur merupakan organisasi yang tidak efektif. Berikut merupakan potongan artikel yang memuatkan kritik Walikota Tangerang terhadap BKSP Jabodetabekjur.

(10)

Sumber: website Sinar Harapan, 2012.

Walikota Tangerang beranggapan bahwa BKSP tidak menghasilkan kerjasama yang benar-benar terlihat dan signifikan menyelesaikan permasalahan Jabodetabekjur. Dapat dilihat bahwa ego daerah masih terlihat dan belum ada upaya untuk saling berintegrasi dalam koordinasi program kerjasama.

Dengan tujuan yang dianggap belum tercapai dan kritik dari salah satu anggota BKSP tersebut, Sekretariat BKSP Jabodetabekjur dipandang belum

(11)

efektif dalam menjalankan tugasnya. Menurut McDonald dan Lawton10 , efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. Di dalam upaya mencapai tujuan bersama, perlu proses yang dilaksanakan secara bersama oleh BKSP dan Sekretariat BKSP Jabodetabekjur sebagai organisasi pendukung. Proses tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban organisasi. Oleh karena itu, efektivitas Sekretariat BKSP Jabodetabekjur dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi-fungsi Sekretariat. Efektivitas pelaksanaan fungsi Sekretariat perlu diteliti untuk melihat seberapa jauh pencapaian tujuan organisasi tersebut sebenarnya.

Melihat fenomena tersebut, penulis merasa perlu meneliti efektivitas lembaga kerjasama antar daerah Jabodetabekjur dengan mengaitkannya dengan pelaksanaan fungsi organisasi. Maka, penulis mengambil judul penelitian: “EFEKTIVITAS PELAKSANAAN FUNGSI SEKRETARIAT BADAN KERJASAMA PEMBANGUNAN JABODETABEKJUR”

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang ingin diteliti adalah:

1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan fungsi Sekretariat Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur?

2. Apa faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan fungsi Sekretariat Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur?

       10

 1977  dalam  Ratminto  dan  A.  S.  Winarsih.  2010.  Manajemen  Pelayanan.  Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar. Hal.174. 

(12)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas pelaksanaan fungsi Sekretariat Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur dan mengetahui faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan fungsi Sekretariat Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah: penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk organisasi kerjasama antar daerah yang melibatkan peran pemerintah sebagai anggota kerjasama.

2. Bagi Sekretariat BKSP Jabodetabekjur: penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk merevitalisasi badan organisasi ini dengan meninjau ulang tujuan dan fungsi organisasi.

3. Bagi Manajemen dan Kebijakan Publik: penelitian ini diharapkan menjadi warna bagi penelitian di Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik dalam bidang kerjasama antar daerah.

4. Bagi pembaca: penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi pembaca yang meneliti masalah yang terkait dan memberikan informasi yang berguna bagi pembacanya.

Gambar

Tabel 1.1 Alokasi Hibah Pemprov DKI Jakarta kepada Bodetabekjur
Tabel 1.2 Alokasi Hibah untuk Operasional   Sekretariat BKSP Jabodetabekjur

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah jumlah MNPCE dari preparat apus sumsum tulang paha mencit jantan. Jumlah MNPCE kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok

ARJUNA DALAM ARSITEKTUR SIMLITABMAS Pengelolaan Program Pengabdian Pengelolaan Program Penelitian Pengelolaan Bantuan/Insentif Pengelolaan Publikasi Hasil Penelitian

Rata-rata kenaikan berat kering biomasa tanaman jagung (tajuk + akar) yang ditanam pada pada media yang sebelumnya diremediasi dengan tiga spesies tanaman tanpa

Disolusi suatu tablet adalah jumlah atau persen zat aktif dari suatu sediaan padat yang larut pada suatu waktu tertentu dalam kondisi baku misal pada suhu,

Pada tegakan hutan yang dibudidayakan oleh petani seperti yang terdapat di areal garapan petani KPPH Talangmulya dengan sendirinya akan terjadi kompetisi antara

Secara sederhana, tugas guru adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar tidak melakukan perilaku menyimpang, untuk mengatasi perilaku menyimpang yang terjadi

Penelitian ini bertujuanuntukmengetahui hubungan antara pengetahuan tentang isu perubahan iklim dengan perilaku bertanggungjawab siswa; hubungan antara self efficacy

Hal ini perlu dimaklumi mengingat Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai dari Negara sehingga sudah dipastikan negara sebagai pemegang hak penguasaan atas tanah yang