• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memisahkan Sejarah dari Iman sebagai Cara untuk Menemukan Kebenaran di dalam Alkitab: Presuposisi di Balik Metodologi William G.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Memisahkan Sejarah dari Iman sebagai Cara untuk Menemukan Kebenaran di dalam Alkitab: Presuposisi di Balik Metodologi William G."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

https://e-journal.stt-star.ac.id/index.php/asteros

Volume 7, No 1, Juli 2019 (01 – 15)

Memisahkan Sejarah dari Iman sebagai Cara untuk Menemukan “Kebenaran” di dalam Alkitab: Presuposisi di Balik Metodologi William G. Dever

Sumito

Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Riau

Abstrak: William G. Dever adalah seorang arkeolog yang terkenal saat ini. Ia menyatakan bahwa

beberapa kejadian seperti yang ditulis di dalam Alkitab, khususnya PL, adalah historis (sungguh-sungguh pernah terjadi), namun selebihnya tidak pernah terjadi. Ia mengusulkan sebuah metodologi untuk membaca Alkitab supaya orang-orang zaman ini dapat memahami isi Alkitab. Cara untuk memahami Alkitab adalah dengan melakukan penelitian ilmiah secara objektif. Pengetahuan yang objektif dan ilmiah didapatkan di dalam arkeologi. Menurut Dever, iman tidak dapat menjelaskan sesuatu yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu, seseorang perlu memisahkan sejarah dari iman agar dapat menemukan kebenaran di dalam Alkitab. Apakah cara Dever dapat diterima oleh gereja? Apa presuposisi Dever di balik metodologinya? Tulisan ini menyimpulkan bahwa metodologi Dever bertentangan dengan iman Kristen dan merupakan sejenis humanisme sekular. Meskipun ada hal-hal tertentu dari pemikiran Dever yang bertentangan dengan iman Kristen, namun usahanya telah memperlihatkan kepada gereja bahwa arkeologi sampai taraf tertentu dapat memberikan sumbangsi positif kepada gereja agar lebih memahami firman Tuhan dan membuktikan keakuratan firman Allah.

Kata kunci: Alkitab; Dever; iman; metodologi; presuposisi

PENDAHULUAN

Pada tahun 1990-an1 muncul suatu kelompok yang terdiri dari para pakar studi

Perjanjian Lama2 yang dinamakan dengan Biblical Revisionist.3 Kelompok ini menyatakan

bahwa Alkitab PL sama sekali tidak memiliki kebenaran sejarah tentang Israel. Pandangan ini kemudian menerima banyak kritikan dari William G. Dever, salah seorang arkeolog terkenal saat ini. Dever adalah putra dari seorang pengkhotbah fundamentalis. Dever belajar teologi kemudian menekuni biblical archaeology. Doktor di bidang arkeologi diperoleh Dever dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Dengan keahlian dan kepintarannya, diharapkan Dever dapat memberikan sumbangsih besar bagi studi biblika agar orang Kristen dapat lebih memahami kebenaran yang dinyatakan Allah di dalam Alkitab. Usaha Dever juga diharapkan dapat menunjukkan reliable-nya Alkitab di zaman

1Philip R. Davies, In Search of “Ancient Israel” (1992). Keith W. Whitelam, The Invention of Ancient Israel: The Silencing of Palestinian History (1996). Niels Peter Lemche, The Israelites in History and Tradition (1998). Thomas L. Thompson, The Myhtic Past: Biblical Archaeology and the Myth of Israel (1999).

2Tokoh-tokoh Revisionist yang terkenal adalah Philip R. Davies, Thomas L. Thompson, Niels Peter Lemche, dan Keith Whitelam.

(2)

postmodern sekarang ini.4 Sayang, ilmu pengetahuan yang didapatkannya tersebut menghancurkan imannya untuk tetap memegang teguh doktrin inerrancy dan infallibility Alkitab. Dari hasil ekskavasinya di Israel dan Palestina, Dever menyimpulkan bahwa beberapa kejadian di dalam Alkitab, khususnya PL, sungguh-sungguh terjadi dan selebihnya tidak pernah terjadi.5 Dever menjadi skeptis terhadap Alkitab bahkan menyatakan dirinya ateis.6

Dever jelas sekali bukan seorang Revisionist karena ia menentangnya. Dever tidak otomatis menjadi seorang Maximalist karena ia menentang Revisionist. Beberapa orang menganggap Dever seorang Maximalist, salah satunya adalah Philip Davies. Davies menggolongkan Dever ke dalam kelompok Maximalist di dalam artikelnya yang berjudul “What Seperates a Minimalist from a Maximalist? Not Much.”7 Tiga tahun kemudian,

Dever menulis sebuah artikel yang berjudul “Contra Davies” untuk menyatakan dirinya bukan seorang Maximalist, karena, menurut Dever, Alkitab penuh dengan propaganda dan sebagian isinya adalah kisah fiksi.8 Meskipun Davies menganggap Dever tidak berbeda jauh dengan Minimalist atau Revisionist, Dever tetap tidak mau dianggap Minimalist. Jadi, Dever ada di posisi mana? Ia berada di tengah-tengah antara Minimalist dan Maximalist. Ia menyebut dirinya berada di posisi middle ground. Ia mengusulkan sebuah metodologi untuk membiarkan Alkitab menjadi benar bagi pembaca modern. Makalah ini berusaha menjelaskan presuposisi di balik metodologi Dever dalam mendekati teks Alkitab. Ada tiga isu yang sangat penting untuk diketahui guna memahami presuposisi di balik metodologinya, yaitu pandangan dia mengenai Alkitab, arkeologi, dan sejarah Israel.

Pandangan William G. Dever tentang Alkitab, Arkeologi, dan Sejarah Israel

Keinginan Dever adalah supaya Alkitab dapat menjadi benar bagi semua orang. Oleh karena itu, ia membangun sebuah metodologi untuk menemukan kebenaran di dalam Alkitab. Dalam metodologinya, Dever mendapatkan pengetahuan (knowledge) melalui penelitian ilmiah yang objektif. Berikut ini adalah pandangan Dever tentang Alkitab, arkeologi, dan sejarah Israel.

4Untuk kritik postmodernisme terhadap Alkitab, lihat John J. Collins, The Bible after Babel: Historical Criticism in a Postmodern Age (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2005). Lihat juga William G. Dever, “Save Us from Postmodern Malarkey,” Biblical Archaeology Review 26, no. 2 (March – April 2000): 28-35, 68-69.

5“The Western Cultural Tradition Is at Risk,” Biblical Archaeology Review 32, no. 2 (March – April 2006): 26-27.

6“Contra Davies,” diakses 7 Oktober 2014,

http://www.bibleinterp.com/articles/Contra_Davies.shtml. Di “Contra Davies” ia menyatakan dirinya seorang ateis (“Contra Davies” ditulis pada 2003). Pada waktu Dever diwawancarai oleh Biblical Archaeology Review, ia menyatakan dirinya seorang agnostik. Ia pindah ke agama Yudaisme. Lihat “Losing Faith: 2 Who Did and 2 Who Didn’t,” Biblical Archaeology Review 33, no. 2 (March - April 2007): 50-57.

7Lihat “What Seperates a Minimalist from a Maximalist? Not Much,” Biblical Archaeological Review 26/2 (March – April 2000) 24-27, 72-73. “Kelompok ‘maksimalis’ adalah kelompok yang menggunakan tradisi Perjanjian Lama secara maksimal dalam pemahamannya tentang sejarah Israel, sedangkan kelompok ‘minimalis’ adalah kelompok yang menggunakan tradisi Perjanjian Lama

secara ̳minimal dan lebih menekankan data arkeologis dalam pemahamannya tentang sejarah Israel.” (Sia Kok Sin, “Keberadaan Israel di Kanaan,” JURNAL THEOLOGIA ALETHEIA 9/17 [September 2007] 69).

(3)

Alkitab sebagai “Theological Ideal”

Mengapa Dever menilai Alkitab sebagai sebuah produk ide teologis? Karena Alkitab tidak didukung oleh banyak bukti arkeologi. Dever menganggap sebagian isi Alkitab adalah ide-ide teologis yang dikarang oleh kalangan atas sehingga tidak memiliki sejarah kehidupan yang nyata. Kaum kalangan atas ini adalah para raja dan para imam.9 Karena sebagai sebuah produk dari kalangan atas, maka Alkitab berisi ideologi rohani yang tinggi. Alkitab mengajarkan kepada orang-orang tentang apa yang harus mereka percayai dan lakukan di dalam nama Yahweh.10 Berikut ini adalah beberapa ide teologis yang diyakini oleh Dever ada di dalam Alkitab:

(1) Wahyu Allah (“El”) kepada Abraham di Mesopotamia, panggilan-Nya kepada para bapa leluhur untuk melakukan perjalanan ke Kanaan di dalam iman, dan janji-Nya untuk membuat keturunan mereka menjadi banyak.

(2) Janji tentang Tanah Perjanjian diulangi kepada para Patriakh dan Matriakh oleh Allah (sekarang dinamakan “Yahweh”), yang telah memilih Israel menjadi umat-Nya yang istimewa.

(3) Pembebasan dari perbudakan bangsa Mesir sebagai sebuah tanda anugerah dan kuasa Yahweh.

(4) Pemberian hukum Taurat di Sinai dan perjanjian umat dengan Yahweh; ketaatan sebagai “kekudusan” (ritual penyucian) dan kurban.

(5) Penaklukan dan pendudukan Tanah Kanaan adalah penggenapan janji Allah dan simbol takdir bangsa Israel di antara bangsa-bangsa lain.

(6) Yerusalem (“Sion”) adalah sebagai tempat tinggal yang kekal dari Yahweh, sebagai tempat takhta kerajaan Daud turun-temurun, dan sebagai tempat otoritas keimaman Lewi.

(7) Keutamaan iman dan kesetiaan kepada Yahweh saja, diabadikan dengan melakukan “Taurat” dan ajaran para nabi.11

Menurut Dever, Alkitab memiliki keterbatasan sebagai sebuah dokumen sejarah. Misalnya, segala peristiwa yang ada di Kejadian 1-11 hanyalah sebuah mitos.12 Penciptaan

alam semesta, peristiwa air bah pada zaman Nuh, dan tersebarnya manusia ke segala penjuru dunia, harus dibaca sebagai sebuah literatur yang memiliki implikasi moral tetapi bukan peristiwa sejarah.13 Mengapa Dever tidak menganggap peristiwa-peristiwa ini sebagai sebuah sejarah? Karena arkeologi sulit membuktikan semua peristiwa ini. Menurut Dever, arkeologi yang sungguh-sungguh masuk di akal tidak akan berusaha menentukan tanggal penciptaan alam semesta, atau menentukan lokasi tepatnya Taman Eden dan mencari tulang-tulang Adam dan Hawa, atau berusaha menemukan bangkai bahtera Nuh. Semua peristiwa ini hanya bumbu-bumbu teologi yang dimasukkan ke dalam Alkitab dan

9“Archaeology and The Bible: Understanding Their Special Relationship,” Biblical Archaeology Review 16, no. 3 (May – June 1990): 53.

10Ibid., 54.

11Did God Have a Wife?: Archaeology and Folk Religion in Ancient Israel (Grand Rapids: Eerdmans 2005): 91.

12“Archaeology and The Bible,” 52. 13Ibid.

(4)

tidak sungguh-sungguh peristiwa faktual.14 Kejadian 1-11 adalah sebuah cerita untuk melengkapi “kisah penyelamatan oleh Allah” kepada umat pilihan-Nya, yaitu kaum Israel.15

Sebagian isi Alkitab tidak memiliki nilai sejarah yang nyata bagi pengertian modern. Bahkan, menurut Dever, dalam Alkitab PL tidak ada muncul kata “sejarah.”16 Para penulis Alkitab jarang sekali mengklaim tulisan mereka didasarkan pada kejadian faktual. Jadi, bagi Dever, jangan bertanya kepada teks Alkitab, “Apa yang sesungguhnya telah terjadi?” tetapi “Apa artinya?”17 Alkitab adalah “his story,” daripada “history.” Untuk

menafsirkan kejadian tertentu harus dilihat dari mata iman. Lalu, bagaimana seseorang bisa membedakan peristiwa mana di dalam Alkitab yang benar-benar merupakan peristiwa sejarah dan mitos? Dever menjawab, “Alkitab disebut sejarah jika berisi penjelasan tentang masyarakat tertentu dan kejadian di tempat-tempat tertentu dan waktu tertentu, dan dalam hal ini berlawanan dengan beberapa literatur mitologi agama-agama kuno lainnya.”18 Sebuah peristiwa di dalam Alkitab disebut sejarah jika peristiwa tersebut memiliki bukti arkeologi.

Dever sulit menerima kejadian supranatural di dalam sejarah karena tidak dapat dibuktikan oleh arkeologi, misalnya Allah membelah laut Teberau agar orang Israel dapat melewatinya. Peristiwa-peristiwa yang lebih mudah dibuktikan oleh arkeologi adalah peristiwa-peristiwa yang menjelaskan kehidupan sosial dan budaya manusia, misalnya melalui penemuan perkakas rumah tangga, perkakas pertanian, bangunan, dan sebagainya. Menurut Dever, Alkitab tidak banyak memberikan informasi yang ingin diketahui oleh orang-orang “modern” tentang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi dari orang-orang Israel dan orang-orang Yehuda. Pada abad ke-8 SM, para penulis Alkitab menggambarkan perbuatan-perbuatan dramatis dari raja-raja yang agung, para imam, para nabi dan para reformis, tetapi mereka tidak memberitahu apa-apa mengenai kehidupan sehari-hari dari orang-orang Israel dan orang-orang Yehuda.19 Alkitab lebih banyak menaruh perhatian pada sejarah politik daripada sejarah sosial atau ekonomi. Dever berkata demikian:

Tidak ditemukan di dalam Alkitab petunjuk mengenai seperti apa rupa mereka, apa yang mereka pakai atau makan, seperti apa rumah dan perabot rumah mereka, apa saja yang terjadi di jalan-jalan dan plaza-plaza di tiap kota, bagaimana pertanian dan perdagangan mereka dilakukan, bagaimana cara mereka menulis dan menyimpan catatan mereka, bagaimana mereka mengerjakan tugas sehari-hari dan bagaimana cara mereka

14Ibid.

15Ibid. Alkitab memiliki banyak genre. Dever mengatakan: “It is a composite of diverse genres – myths, folktales, epics, prose and poetic narratives, court annals, nationalist propaganda, historical novellas, genealogies, cult legends, liturgical formulas, songs and psalms, private prayers, legal corpora, oracles and prophecy, homily and didactic material, belles lettres, erotic poetry, apocalyptic and on and on” (ibid).

16Ibid., 53. 17Ibid. 18Ibid. 19Ibid.

(5)

menghibur diri, berapa lama mereka hidup dan bagaimana cara mereka meninggal atau bagaimana cara mereka dikuburkan.20

Dever memberikan perbedaan antara Alkitab dan arkeologi mengenai apa yang dapat mereka berikan kepada orang-orang modern. Alkitab memberikan informasi mengenai kehidupan orang-orang Israel secara umum dan “dunia rohani.” Arkeologi memberikan informasi mengenai kehidupan orang-orang Israel tentang kehidupan sehari-hari secara khusus dan kebudayaan mereka. Informasi di dalam Alkitab dan informasi di dalam arkeologi dibutuhkan untuk memahami Israel kuno dengan lebih baik. Arkeologi melengkapi apa yang kurang di dalam Alkitab. Begitu juga sebaliknya, Alkitab melengkapi apa yang kurang di dalam arkeologi. Tetapi bagaimana pun, arkeologi lebih superior dibandingkan dengan Alkitab. Bagaimana bisa? Bagian selanjutnya akan menjelaskannya.

Arkeologi sebagai “Sumber Utama” untuk mempelajari Sejarah dan Agama

Biblical Minimalist menilai Alkitab PL dan gambarannya tentang Israel21 kuno

adalah produk dari imajinasi.22 Kelompok ini “menyangkal atau mendiskreditkan arkeologi dan mengkarakteristikkan mereka sebagai ‘bisu.’”23 Apa yang membuat Minimalist

berpendapat demikian? Dever mengatakan, karena Minimalist telah merekonstruksi ulang semua data arkeologi dan teks Alkitab PL. Minimalist telah membaca teks Alkitab dan arkeologi dengan paradigma postmodern.24 Dever mengatakan:

Revisionism’s minimalist portrait of ancient Israel rest on skeptical, negative and indeed hostile assessment of the meaning and value of the Hebrew Bible and of the religious and cultural traditions stemming from it. The Bible is the “grand meta-narrative” that must be rejected in the postmodern world. Now, I recognize that the Bible has often been mis-interpreted and abused to support about every form of evil and cultural imperialism imaginable, from slavery to genocide. But revisionism typically caricatures the Bible and modern critical Biblical scholarship. At its most extreme, revisionism is little more than pseudosophisticated Bible bashing: The

20Ibid.

21Menurut Minimalist, istilah “Israel” adalah suatu subjek yang bermasalah. Dever mengatakan bahwa Davies membedakan tiga jenis “Israel,” antara lain: (1) Biblical Israel, (2) Ancient Israel, dan (3) Historical Israel. Poin (1) dan (2) adalah hasil konstruksi orang Yahudi dan Kristen untuk kepentingan teologis mereka, sedangkan poin (3) benar-benar kejadian faktual pada zaman Besi di Palestina. Lihat Davies, “What Seperates a Minimalist from a Maximalist? Not Much,”: 24-27, 72-73; Philip R. Davies, The Origins of Biblical Israel (New York: T&T Clark, 2007); dan Philip R. Davies, In Search of “Ancient Israel” (London: Continuum, 2006). In Search of “Ancient Israel” diterbitkan pertama kali oleh Sheffield Academic Press pada 1992.

22William G. Dever, “Save Us from Postmodern Malarkey,” Biblical Archaeology Review 26, no. 2 (March – April 2000): 28.

23Ibid.

24Ibid., 30. Untuk kritik Dever atas beberapa tokoh Minimalist yang dinilai punya pandangan postmodernisme, lihat William G. Dever, What did the Biblical Writers Know and When did They Know it?: What Archaeology Can tell Us about the Reality of Ancient Israel (Grand Rapids: Eerdmans, 2001). John J. Collins mengatakan bahwa tidak semua Minimalist punya pandangan postmodernisme. Davies, Thompson, dan Keith Whitelam tidak persis sepandangan dalam segala hal. Bagi Collins, Lemche dan Thompson tidak punya agenda postmodern. Lihat penjelasan Collins di bukunya yang berjudul The Bible after Babel: Historical Criticism in a Postmodern Age (Grand Rapids: Eerdmans, 2005), 27-51.

(6)

Biblical texts describing ancient Israel are all social constructs; all ideological

cant; all to be resisted; all ultimately stripped of historical or even religious truth.25

Menurut Dever, Revisionist melihat sejarah Israel secara skeptis dan negatif. Alkitab sering disalahtafsirkan untuk mendukung agenda postmodernisme.

Dever menanggapi Minimalist ini dengan berkata, “In fact, the archaeology record

is not at all silent. It’s only that some historians are deaf.”26 Dever mengatakan bahwa

arkeologi dapat membuktikan keabsahan sejarah Israel kuno dan teks Alkitab PL. Salah satu contoh di mana arkeologi telah memberikan sumbangsihnya adalah membuktikan bahwa orang Israel berbeda dengan orang Kanaan. Dever memberikan contoh dari sistem makanan (food systems) orang-orang Israel pada Zaman Besi I. 27 Para arkeolog sama

sekali tidak menemukan tulang babi di daerah penduduk Israel pada waktu mereka melakukan ekskavasi. Padahal, menurut Dever, daging babi sudah umum dikonsumsi oleh orang-orang di berbagai daerah sejak Zaman Perunggu. Ia mengatakan, “In this case, it

would be one consistent with later Biblical data regarding the prohibiton of pork in Israelite society, probably to be understood as a criterion distinguishing ‘Israelites’ from

‘Canaanites.’”28 Ia menyimpulkan, “The presence or absence of pig bones may thus be our

best archaeological indicator of the much-debated ethnic boundaries and their physical extent. I suspect, however, that many other valid indicators will eventually be

discovered.”29 Menurut Dever, masih banyak lagi bukti-bukti arkeologi yang kelak akan

ditemukan untuk mendukung historisitas Alkitab PL.

Dever sungguh-sungguh mencintai pekerjaannya sebagai seorang arkeolog. Ia telah menulis banyak buku yang berhubungan dengan arkeologi. Bagi Dever, arkeologi adalah sumber utama yang menyediakan “kebenaran” untuk mempelajari sejarah dan Alkitab. Dever memberikan beberapa alasan mengapa arkeologi adalah sumber utama untuk mempelajari sejarah dan agama daripada Alkitab:30

(1) Arkeologi mempunyai potensi yang tidak terbatas, selalu menemukan hal-hal baru setiap hari.

(2) Arkeologi lebih obyektif dan benar-benar historis.

(3) Arkeologi dapat melakukan dengan lebih baik dan pasti dalam menentukan kronologi.

(4) Arkeologi lebih populis daripada elitis. (5) Arkeologi berbicara sesuai dengan fakta.

25“Save Us,” 30. 26Ibid., 32.

27Berikut adalah kronologi periode arkeologi di Kanaan (Sebelum Masehi): Middle Bronze I (2100-1900), Middle Bronze II (1900-1550), Late Bronze I (1550-1400), Late Bronze II ( 1400-1200), Iron I (1200-1000), Iron II (1000-586), Iron III (586-332). Iain Provan, V. Philips Long, Tremper Longman III, A Biblical History of Israel (Louisville: Westminster John Knox, 2003), xi.

28“Save Us,” 33. 29Ibid., 33-34.

30Lihat Did God Have a Wife?, 74-76. Lihat juga William G. Dever, “What Archaeology Can Contribute to an Understanding of the Bible,” Biblical Archaeology Review 7, no. 5 (September – October 1981): 40-41.

(7)

(6) Arkeologi menghasilkan “secular history” yang menjadikan temuannya lebih realistis, lebih komprehensif, lebih seimbang, dan lebih memuaskan.

Sejarah Israel

Para arkeolog telah menemukan Prasasti Kemenangan (Victory Stele) yang terkenal dari dinasti ke-19 Firaun Merneptah. Prasasti ini didirikan di Thebes sekitar 1210 SM untuk merayakan kemenangan Mesir atas sejumlah musuh di Kanaan.31 Kata “Israel” ditemukan di dalam prasasti ini.32 Dever percaya bahwa “Israel” yang disebutkan di dalam prasasti tersebut bukan menunjukkan suatu kerajaan atau negara tetapi suatu kaum.33 Dever percaya berdasarkan peta yang terdapat di Prasasti Kemenangan, kaum Israel tinggal di tengah (central) dataran tinggi.34 Tempat ini adalah sebuah permukiman baru yang luas

dan menjadi jantung Israel pada abad ke-13 SM.35 Dever tegaskan, orang Israel adalah

pribumi Kanaan yang mengungsi dari dataran rendah ke dataran tinggi.36 Ia menyebut “Israel” dengan istilah “proto-Israel” yang artinya adalah suatu suku di Kanaan yang waktu itu belum menjadi suatu bangsa dan di kemudian hari akan menjadi suatu bangsa. Akibat penemuan ini, Dever tidak percaya bahwa orang Israel pernah tinggal di Mesir. Ia juga tidak percaya ada peristiwa eksodus orang Israel dari Mesir ke Kanaan. Dever berkata:

Perhaps the books of Exodus and Numbers do, because as we seen their accounts of escape from Egypt, of wandering in the wilderness, and of massive conquest in Transjordan are overwhelmingly contradicted by the archaeological evidence. That may make many uncomfortable, but it is a fact, one from which no open minded

person can escape.37

Menurut Dever, kejadian pelarian diri orang Israel dari bangsa Mesir, pengembaraan di padang gurun, dan penaklukan besar-besaran di seberang Sungai Yordan sangat bertentangan dengan bukti arkeologi. Banyak orang pasti merasa tidak nyaman dengan pernyataan ini, tetapi ini adalah fakta. Dever juga berpendapat, penaklukan tanah di sebelah Barat Sungai Yordan oleh orang Israel tidak dilakukan dari luar Kanaan tetapi dari dalam Kanaan sendiri.38 Jadi, peristiwa eksodus adalah sebuah mitos. Dever

menyimpulkan demikian:

Rather than attempt to defend the factual historicity of the Exodus traditions, I suggest that we must understand the Exodus story precisely as a myth, specifically

31“Save Us,” 35.

32Firaun Merneptah (sekitar 1224-1211) memimpin serangan ke dalam wilayah Kanaan sebelum konfrontasi Ramses III dengan orang Filistin. Setelah ia kembali, Merneptah menyombongkan diri bahwa “Israel diporak-porandakan, sedangkan benihnya tidak.” (J. I. Packer, Merril C. Tenney, William White, Jr., Ensiklopedi Fakta Alkitab Jilid 1 [Malang: Penerbit Gandum Mas, 2009], 166).

33“Merenptah’s ‘Israel,’ diakses 7 Oktober 2014, The Bible’s, and Ours,” http://www.bibleinterp.com/PDFs/Meren.pdf.

34“Save Us,” 35. Gary M. Burge, seorang guru besar Perjanjian Baru di Wheaton College & Graduate School, setuju bahwa orang Israel tinggal di pegunungan yang berada di bagian tengah negeri Kanaan. (Palestina Milik Siapa?: Fakta yang tidak Diungkapkan kepada Orang Kristen tentang Tanah Perjanjian [Jakarta: Gunung Mulia, 2010], 40).

35William G. Dever, Who were the Early Israelites and Where did They Come From? (Grand Rapids: Eerdmans, 2003), 218.

36Ibid., 153-154, 206. 37Ibid., 227.

(8)

as a ‘metaphor for liberation.’ Instead of demanding to know ‘what really happened’ that might have given rise to the story..., we need to ask what the story

meant in ancient times, and what it can mean today.39

Menurut Dever, daripada mencoba untuk membela historisitas faktual tradisi Keluaran, ia menyarankan agar pembaca Alkitab memahami cerita Keluaran sebagai mitos, khususnya sebagai “metafora untuk pembebasan.” Alih-alih menuntut untuk mengetahui “apa yang sebenarnya terjadi,” pembaca Alkitab perlu bertanya apa yang dimaksud cerita itu di zaman kuno, dan apa arti cerita itu pada hari ini.

Presuposisi Di Balik Metodologi William G. Dever

Dari penjelasan Dever mengenai Alkitab, arkeologi, dan sejarah Israel, ada beberapa presuposisi di balik metodologinya. Pertama, bidang agama dan bidang non-agama tidak dapat disatukan. Metodologi Dever adalah sejenis humanisme sekular yang mengharuskan pemisahan sejarah dari iman untuk menemukan “kebenaran” di dalam Alkitab. Humanisme sekular adalah “buah” dari filsafat positivisme.40 Positivisme adalah

paham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai ilmu pengetahuan.41 Positivisme menyatakan bahwa

semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian, dan dapat dibuktikan secara empiris.42 Ritzer dan Goodman menyatakan bahwa positivisme menumbuhkan sekularisme yang mengharuskan adanya pemisahan bidang agama dengan bidang lainnya.43 Mereka menyatakan lebih lanjut:

Positivisme menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya.44

Selain penjelasan di atas mengenai positivisme, Donny Gahral Adian juga menyatakan ciri-ciri positivisme sebagai berikut:

1. Bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral.

39Ibid., 233.

40Dever pernah mengkritik Thomas Thompson, seorang Minimalist, sebagai seorang posmodernis. Tetapi John J. Collins tidak setuju dengan Dever. Di dalam bukunya yang berjudul The Bible after Babel, Collins mengatakan bahwa Thompson lebih tepat disebut seorang positivis. Dever pernah menyebutkan di dalam bukunya Who were the Early Israelites and Where did They Come From? bahwa dia setuju dengan Thompson dalam beberapa hal.

41K. J. Veeger, Realitas Sosial (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), 17.

42George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik hingga Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post Modern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 17.

43Ibid. Pernyataan Ritzer dan Goodman sangat benar. Perhatikan pernyataan Dever berikut ini: “Again, I suggest that we may separate history from theology, theology from religion, religion from morality, and perhaps even morality from culture” (What did the Biblical Writers Know and When did They Know it?, 282).

(9)

2. Fenomenalisme. Semesta fenomena yang kita persepsi. Pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah.

3. Nominalisme. Positivisme berfokus pada yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata penamaan dan bukan kenyataan itu sendiri.

4. Reduksioanisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. 5. Naturalisme. Paham tentang keteraturan pristiwa-pristiwa[?] di alam semesta yang menisbikan penjelasan adikodrati.

6. Mekanisme. Paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-deteminis seperti layaknya mesin.45

Enam ciri positivisme di atas dapat dihubungkan dengan pikiran Dever sebagai berikut: (1) Bebas nilai atau berusaha menjadi seobjektif mungkin. Dever tidak mau dipengaruhi oleh konfesi-konfesi iman gereja. (2) Mementingkan hal-hal yang tampak atau disebut fenomenalisme. Dever sulit menerima kesaksian Alkitab mengenai kejadian-kejadian supranatural yang telah Allah lakukan di dalam sejarah karena sulit dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan tidak ada bukti arkeologinya. (3) Menganut nominalisme, yaitu hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Dever sangat mementingkan fakta daripada spekulasi. (4) Menerima reduksionisme, yaitu realitas direduksi menjadi fakta yang dapat diamati. Bagi Dever, fakta historis adalah kebenaran dan arkeologi berada di atas Alkitab. (5) Menganut naturalisme, yaitu meniadakan penjelasan supranatural. Dever tidak menerima mukjizat Allah. (6) Menganut mekanisme, yaitu semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin. Bagi Dever, iman tidak dapat menjelaskan sesuatu yang ilmiah.

Kedua, Alkitab bukanlah firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Dever mengatakan, “The Bible is not the ‘word of God.’ The Bible as an artifact (although not simply that) presents problems of interpretation that are remarkably similar to those of archaeological artifacts.”46 Dever menyamakan Alkitab dengan artifak-artifak arkeologi,

atau dengan kata lain, Alkitab adalah tulisan-tulisan kuno. Ketiga, teks Alkitab memiliki banyak arti. Dever membaca Alkitab dengan sangat subyektif dengan mencocokkan situasi dan kondisi zaman PL dengan situasi dan kondisi saat ini. Dever menganjurkan agar jangan membaca Alkitab terlalu literal karena akan kehilangan makna yang sebenarnya.47 Cara terbaik untuk membaca Alkitab adalah dengan penuh empati, intuisi, dan imajinasi, karena teks Alkitab punya makna simbolis. Selain itu, orang harus membaca Alkitab bukan saja dengan pikiran tetapi juga dengan hati. Ia berkata demikian:

In reading the Bible, as with all great literature, one must see beyond the words, which are, after all, merely imperfect symbols, to the deeper reality of the author’s vision of life. That is the level at which the real “meaning” of the text begins to

45Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Khun (Jakarta: Teraju, 2002), 68.

46“Archaeology and the Bible,” 54.

(10)

appear. And to grasp it, one must read with empathy, intuition, imagination – and,

may I say, with the spirit as well as with the mind.48

Dever mengingatkan kepada pembaca Alkitab bahwa teks Alkitab punya banyak arti. Ia berkata demikian, “The second notion that may help us to read the Bible intelligently – critically yet sympathetically – is that of ‘the multiple meanings of Scripture.’”49 Lebih lanjut Dever katakan, “Thus the Bible can be ‘true’ on many levels, some not so much ahistorical as supra-historical.”50 Dever menyimpulkan:

We must grasp what the text did mean in its own time and place, before we venture to say what it can and does mean for us today. And the juxtaposition of the two interpretations must not be so forced as to strain one’s credulity. The Exodus story, for example, may be about “liberation from spiritual bondage,” and a re-reading of it may help to sensitize us to the plight of oppressed peoples today. But that is not primarily what the biblical story “means,” since it cannot have been what it meant to those who experienced the original events, whatever they were. Yet, because the text is not static but dynamic, it can come to mean that. Here is an illustraton of

how we must separate history and proper historical interpretation from theology.51

Pendekatan sekular Dever dapat digambarkan seperti berikut:

Theological Secular

Confessional Nonconfessional

Canonical Noncanonical

Faith community Academic community

Fideism Historicism

Absolutism Relativism

Particular General

Static Dynamic

Theism Humanim52

Sekali lagi, di dalam pembelaan Dever atas secular humanism-nya, ia menegaskan:

In many ways, what I am advocating here is a kind of “secular humanis,” which, however: (1) takes the Bible seriously, as both a historical and a cultural tradition: and (2) does not deny the transcendent and its role in human life, but rather

celebrates it.53

Pandangan Dever mengenai Alkitab, arkeologi, dan sejarah Israel, memang jauh dari iman Protestan ortodoks. Iman Protestan ortodoks percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah yang berotoritas dan benar (inerrancy dan infallibility). Alkitab tidak di bawah Arkeologi. Arkeologi berguna untuk membantu umat Tuhan agar lebih mengerti Alkitab. Packer, Tenney, dan White, Jr. mengatakan:

48What did the Biblical Writers Know and When did They Know it?, 282. 49Ibid., 285.

50Ibid. 51Ibid., 286. 52Ibid. 53Ibid., 293.

(11)

Oleh karena iman Kristen didasarkan pada fakta-fakta sejarah, orang Kristen menyambut bukti apa pun yang dapat diberikan oleh arkeologi – tetapi iman mereka tidak tertambat pada bukti-bukti tersebut. Ketiadaan bukti atau pun skeptisisme yang kritis tidak dapat menyanggah Firman Allah. Adalah lebih baik untuk menekankan bahwa arkeologi membantu kita untuk mengerti Alkitab daripada bersikeras bahwa arkeologi membuktikan Alkitab itu benar.54

Mereka juga mengatakan demikian:

Arkeologi telah meningkatkan keyakinan kita pada garis besar yang luas dari narasi Alkitab. Temuan-temuan arkeologis telah mendukung banyak sekali pernyataan yang rinci dalam naskah Alkitab. Seringkali arkeologi berguna dalam membuktikan salahnya serangan-serangan orang yang tidak percaya. Akan tetapi, sebagian besar isi Alkitab adalah mengenai perkara-perkara perorangan yang relatif pribadi dan yang tidak dapat dibuktikan oleh arkeologi. Dan semakin jauh kita ke zaman purba, semakin sedikit bukti yang kita miliki.55

Dever dapat mempertimbangkan ucapan Packer, Tenney, dan White, Jr., yaitu: (1) Iman Kristen tidak tertambat pada bukti-bukti belaka. (2) Arkeologi membantu orang Kristen untuk mengerti Alkitab daripada membuktikan Alkitab itu benar. (3) Ada hal-hal tertentu di dalam sejarah Israel yang tidak dapat dibuktikan oleh arkeologi tetapi harus diterima dengan iman. (4) Semakin jauh jarak zaman sekarang ke zaman purba maka semakin sedikit bukti yang bisa didapatkan oleh arkeolog. Dever perlu juga mempertimbangkan ucapan Packer, Tenney, dan White, Jr. tentang nilai sebuah arkeologi:

Arkeologi dapat memberikan informasi latar belakang beribu-ribu tahun setelah Alkitab ditulis. Walaupun arkeologi terutama berurusan dengan benda-benda material yang konkret, arkeologi dapat menolong kita untuk memahami pesan rohani dari penulis-penulis Alkitab – terutama ilustrasi dan kiasan mereka. Di antara teks Alkitab dan temuan-temuan arkeologis harus terdapat “dialog”, karena masing-masing dapat membantu kita untuk mengerti dan menafsirkan yang lain. Alkitab membantu kita untuk mengerti temuan-temuan baru para arkeolog, sedangkan arkeologi membantu kita untuk “membaca hal-hal yang tersirat” dalam teks Alkitab. Misalnya, catatan-catatan sejarah Babilonia purba tidak menyebut Belsyazar, meskipun Alkitab mengatakan bahwa ia mengganti Nebukadnezar sebagai raja (Dan. 4-5). Selama beberapa waktu, beberapa sarjana Alkitab meragukan Alkitab dalam hal ini. Tetapi pada tahun 1853 para arkeolog menemukan sebuah inskripsi di Ur, yang menunjukkan bahwa Belsyazar memerintah bersama ayahnya, Nabonidus.56

Jika Dever mengatakan bahwa arkeologi adalah ilmu yang lebih objektif dibandingkan dengan Alkitab, maka Packer, Tenney, dan White, Jr. bertanya, “Sampai tingkat manakah metode arkeologi itu bersifat obyektif atau benar-benar ilmiah, dan sampai sejauh manakah hasil-hasilnya dapat dipercayai?”57 Packer, Tenney, dan White, Jr. menggolongkan ilmu-ilmu eksakta (ilmu fisika, kimia, dan lain-lain) ke dalam ilmu yang benar-benar objektif, sedangkan ilmu-ilmu sosial (sejarah, sosiologi, psikologi) ke dalam

54Ensiklopedi Fakta Alkitab Jilid 1, 134. 55Ibid.

56Ibid., 134-135. 57Ibid., 135.

(12)

ilmu yang kurang objektif atau lebih subjektif.58 Ilmu arkeologi masuk ke dalam golongan mana? Menurut Packer, Tenney, dan White, Jr., ilmu arkeologi berada di antara ilmu eksakta dan ilmu sosial. Mereka mengatakan, para arkeolog lebih objektif ketika menggali fakta-fakta daripada ketika menafsirkannya.59 Di manakah letak kemungkinan seorang

arkeolog untuk jatuh ke dalam subjektifisme? Yaitu pada saat mereka menafsirkan hasil temuan mereka. Packer, Tenney, dan White, Jr. berkata:

Kita tahu bahwa sikap dan pikiran para ilmuwan tentang kebenaran dapat mempengaruhi cara mereka menafsirkan fakta-fakta...keasyikan manusiawi mereka juga akan mempengaruhi cara-cara yang mereka gunakan dalam “penggalian” itu. Mau tak mau mereka membinasakan bukti-bukti waktu mereka menggali tembus lapisan-lapisan tanah sehingga mereka tak pernah dapat menguji “eksperimen” mereka dengan cara mengulangnya.60

Packer, Tenney, dan White, Jr. menghimbau agar seorang arkeolog perlu bekerja sama dengan seorang ahli sejarah, ahli biologi, ahli geologi, ahli antropologi, untuk menggali dan menganalisis hasil temuan sejarah.61 Seorang arkeolog perlu juga bekerja sama dengan seorang sarjana Alkitab. Dever telah melakukan himbauan tersebut. Di dalam makalahnya yang berjudul Archaeology, History-Writing, and Ancient Israel, Dever mengundang para sarjana Alkitab dan siapa saja yang tertarik pada sejarah untuk bergabung ke dalam apa yang disebutnya sebagai “revolusi arkeologi.”62 Usaha Dever

tersebut adalah usaha yang baik dan sudah tepat. Meskipun demikian, jika Dever tetap memisahkan sejarah dari iman untuk menemukan kebenaran di dalam Alkitab, ia tidak membuat perubahan apa-apa.

Provan, Long, dan Longman III mengatakan bahwa orang-orang modern cenderung merendahkan nilai “kesaksian” (testimony) dan lebih meninggikan penelitian empiris untuk mendapatkan pengetahuan (knowledge).63 Menurut Provan dan rekan-rekannya, kesaksian di dalam Alkitab juga perlu dihargai. Kesaksian di dalam Alkitab juga menyediakan informasi mengenai sejarah. Orang-orang yang hidup pada zaman PL juga memberikan kesaksian mengenai keadaan mereka pada waktu itu. Akhirnya, Provan dan rekan-rekannya mengatakan, “We can not avoid testimony,” dan “We also can not avoid faith.”64

John M. Frame mengatakan, setiap gereja Tuhan seharusnya mengharapkan adanya kecocokan data arkeologi dengan kesaksian Alkitab.65 Bagaimana jika terdapat

ketidakcocokan data arkeologi dengan kesaksian Alkitab? Frame berkata:

And when there is apparent contradiction, we should try to relieve that appearance, either by rethinking the archaeological claims or by reconsidering our interpretations of Scripture. But archaeology is not infallible, and to believers it

58Ibid. 59Ibid.

60Ibid., 135-136. 61Ibid., 136.

62“Archaeology, History-Writing, and Ancient Israel,” diakses 7 Juni 2018, http://prophetess.lstc.edu/~rklein/Doctwo/dever.pdf.

63A Biblical History of Israel, 36. 64Ibid., 37.

(13)

does not speak the final word. If we cannot find any plausible reconciliation between the biblical text and some data or theory of archaeology, then we should

say honestly, “I don’t know,” and trust God for the final validation of his Word.66

Menurut Frame, ketika terjadi kontradiksi antara data arkeologi dan kesaksian Alkitab, orang percaya harus memikirkan ulang klaim data arkeologi tersebut atau mempertimbangkan kembali hasil penafsiran Alkitab. Arkeologi bukan tidak dapat salah dan bukanlah kata akhir.

KESIMPULAN

Ada beberapa presuposisi di balik metodologi Dever dalam mencari kebenaran di dalam Alkitab, antara lain: (1) Bidang agama dan bidang non-agama tidak dapat disatukan. (2) Alkitab bukanlah firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. (3) Teks Alkitab memiliki banyak arti. Dengan presuposisi ini, Dever menilai keakuratan Alkitab. Menurut penulis, untuk menilai keakuratan Alkitab, kita harus melandaskannya pada kesaksian Alkitab itu sendiri. Siapa saja yang mencari kebenaran di dalam firman Tuhan, ia harus percaya kepada Allah dan kepada firman-Nya yang tertulis. Secara prinsip, tidak ada jalan atau sumber yang lebih baik daripada yang dapat diberikan oleh Alkitab bagi seseorang untuk mengetahui sejarah Israel. Penulis setuju dengan Provan, Long, dan Longman III, bahwa orang yang menolak kesaksian Alkitab punya sedikit sumber untuk membicarakan sejarah Israel. Semakin sedikit yang bisa mereka bicarakan, semakin banyak mereka memaksakan agenda atau world view mereka yang akan bertentangan dengan klaim Alkitab.67

Di balik ketidaksetujuan penulis dengan presuposisi Dever, penulis menaruh simpati kepada Dever, sebab ia ingin membela Alkitab dan menunjukkan kegunaan arkeologi bagi studi biblika. Dever juga mau mengajak para ahli biblika dan siapa saja yang tertarik dengan sejarah untuk bergabung dengannya dalam “revolusi arkeologi.”68

Dever adalah seorang ilmuwan yang rendah hati. Ia memberikan pujian positif buat buku Provan, Long, dan Longman III yang bejudul A Biblical History of Israel.69 Meskipun ia berseberangan pandangan dengan Provan dan rekan-rekannya, Dever menghargai tulisan mereka dengan tulus. Dever juga adalah seorang penulis yang produktif. Namun lunturnya iman Dever patut disayangkan. Hershel Sanks, editor Biblical Archaeology Review, mewawancarai Dever. Wawancara tersebut kemudian diringkas oleh Andrew Calder sebagai berikut:

His father was a ‘fire-breathing fundamentalist’ preacher. Dever was ordained a minister at age 17, attended various universities including Harvard, obtaining two theological degrees, and pastored a congregation for 13 years. Starting with the

66Ibid.

67Provan, Long, Longman III, A Biblical History of Israel, 98-99. 68Dever, “Archaeology, History-Writing, and Ancient Israel,” 7.

69“Although not everyone will agree with this ‘maximalist’ history of ancient Israel, I cannot imagine a more honest, more comprehensive, better documented effort from a conservative perspective. For more than a decade now, radical revisionists have claimed that a history of ancient or biblical Israel can no longer be written and that historians can be either critical or confessional, but not both. A Biblical History proves the revisionists wrong on both counts” (bagian sampul belakang).

(14)

idea that ‘In Biblical faith, everything depends upon whether the original events actually happened’, and believing they had happened, he went to Harvard to study Old Testament theology. ‘I got disabused of that in the first semester, so I shifted to archaeology. The rest is history.’ After working as an archaeologist in Israel for 12 years, he ‘more or less forgot his Christian background.’ Eventually he decided that archaeology threw biblical history into doubt: the call of Abraham, the Promise of the Land, the migration to Canaan, the descent into Egypt, the Exodus, Moses and monotheism, the Law at Sinai, divine kingship. ‘My long experience in Israel and my growing uncertainty about the historicity of the Bible meant that was the end for me.’ Such ‘scholarship’ destroyed his faith. ‘And I realized I was never really a believer, but it just took me 40 years to figure out that it was no longer meaningful.’ He converted to Judaism, ‘precisely because you don’t have to be

religious to be a Jew.’70

DAFTAR PUSTAKA

Burge, Gary M. Palestina Milik Siapa?: Fakta yang Tidak Diungkapkan kepada Orang Kristen tentang Tanah Perjanjian. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

Collins, John J. The Bible after Babel: Historical Criticism in a Postmodern Age. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.

Davies, Philip R. In Search of “Ancient Israel.” London: Continuum, 2006. _____. The Origins of Biblical israel. New York: T&T Clark, 2007.

_____. “What Seperates a Minimalist from a Maximalist? Not Much.” Biblical Archaeological Review 26, no. 2 (March – April 2000): 24-27, 72-73. Dever, William G. “Archaeology and The Bible: Understanding Their Special

Relationship.” Biblical Archaeology Review 16, no. 3 (May – June 1990): 52-58, 62.

_____. “Archaeology, History-Writing, and Ancient Israel.” Diakses 7 Juni 2018. http://prophetess.lstc.edu/~rklein/Doctwo/dever.pdf.

_____. “Contra Davies.” Diakses 7 Oktober 2014.

http://www.bibleinterp.com/articles/Contra_Davies.shtml.

_____. Did God Have a Wife?: Archaeology and Folk Religion in Ancient Israel. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.

_____. “Losing Faith: 2 Who Did and 2 Who Didn’t.” Biblical Archaeology Review 33, no. 2 (March - April 2007): 50-57.

_____. “Merenptah’s ‘Israel,’ The Bible’s, and Ours.” Diakses 7 Oktober 2014. http://www.bibleinterp.com/PDFs/Meren.pdf.

_____. “Save Us from Postmodern Malarkey.” Biblical Archaeology Review 26, no. 2 (March – April 2000): 28-35, 68-69.

_____. “What Archaeology Can Contribute to an Understanding of the Bible.” Biblical Archaeology Review 7, no. 5 (September – October 1981): 40-41.

_____. What did the Biblical Writers Know and When did They Know it?: What Archaeology Can tell Us about the Reality of Ancient Israel. Grand Rapids: Eerdmans, 2001.

_____. Who were the Early Israelites and Where did They Come From? Grand Rapids: Eerdmans, 2003.

70“Losing Faith: How Scholarship Affects Scholars,” diakses 9 Oktober 2014,

http://creation.com/losing-faith-how-secular-scholarship-affects-scholars. Percakapan wawancara ini secara lengkap dapat dilihat di “Losing Faith: 2 Who Did and 2 Who Didn’t,” Biblical Archaeology Review 33, no.2 (March - April 2007): 50-57.

(15)

Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Khun. Jakarta: Teraju, 2002.

Frame, John M. The Doctrine of the Word of God. Philipsburg: P&R, 2010.

Packer, J.I., Merril C. Tenney, William White, Jr., Ensiklopedi Fakta Alkitab Jilid 1. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2009.

Provan, Ian, V. Philips Long, Tremper Longman III. A Biblical History of Israel. Louisville: Westminster John Knox, 2003.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik hingga Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011.

Sin, Sia Kok. “Keberadaan Israel di Kanaan.” JURNAL THEOLOGIA ALETHEIA 9, no. 17 (September 2007): 29-78.

Referensi

Dokumen terkait

Tampilan ini berfungsi untuk mem-filter laporan penerimaan penghasilan parkir per bulan sesuai dengan bulan, jam masuk kendaraan dan operator yang diinginkan.. Gambar

Pandangan Kritis Hubungan Gereja (Iman Kristen) dengan Adat Istiadat Batak Toba Harus diakui bahwa firman Allah yang dituliskan dalam Alkitab merupakan suatu tulisan yang tidak

Diskursus antara iman dan nalar sebagai suatu hal terpisah, yang dipahami sebagai suatu hal yang bertentangan di antara keduanya, pada awalnya muncul sebagai permasalahan

Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan Tempat Tinggal” adalah Surat Keterangan Kependudukan yang diberikan kepada Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagai bukti

Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Akidah Akhlak di MI adalah “Mengenal dan meyakini rukun Iman dari iman kepada Allah sampai iman kepada qada dan qadar melalui

Kasus tersebut terdiri dari kesalahan mengisi tanggal lahir, kesalahan mengisi kode mata kuliah, kesalahan menulis nomor induk mahasiswa (NIM), dan kesalahan administrasi

Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumuhan! tingkat tinggi yang er"ungsi mengirimkan #at #at yang diutuhkan %leh tuuh %rganisme

Resolusi konflik yang terjadi di Srilanka adalah pengentian konflik dari berbagai pihak yang bertikai yaitu Pemerintah Srilanka dan pihak pemberontak Tamil, dimana dalam