• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Bagelen yang dibangun untuk menghadapi perlawanan Pangeran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. wilayah Bagelen yang dibangun untuk menghadapi perlawanan Pangeran"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Purworejo di masa lalu merupakan pos pertahanan militer Belanda di wilayah Bagelen yang dibangun untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830) dan setelah Perang Jawa usai, Purworejo ditetapkan Belanda sebagai ibukota Karesidenan Bagelen (Musadad, 8-9 ; 2002). Sebagai ibukota Karesidenan Bagelen, Kota Purworejo memiliki banyak tinggalan bersejarah yang bercorak kolonial dan masih berdiri hingga sekarang. Salah satu tinggalan sejarah yang berada di Kota Purworejo ialah kawasan eks Hoogere Kweekschool (HKS) Purworejo.

Dalam sejarahnya, HKS dibangun pada 1915 ditandai dengan inskripsi yang ada di bagian depan kompleks. Namun berdasarkan data harian Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie 18 September 1914, sekolah ini dibuka pada 1 Oktober 1914 dengan J. D. Winnen sebagai kepala sekolah yang pertama. Tujuan pembangunan HKS ini yakni untuk memenuhi kebutuhan guru yang semakin meningkat akibat penerapan politik etis yang berdampak pada munculnya berbagai sekolah di Hindia-Belanda. Lembaga pendidikan sekolah guru termasuk langka karena di Pulau Jawa tercatat hanya ada tiga buah saja, yakni di Bandung, Magelang, dan Purworejo. Akan tetapi HKS Purworejo dibubarkan pada 1928 dan kemudian bangunan digunakan sebagai MULO hingga 1942. Dari 1942 hingga 1945, eks bangunan kompleks HKS Purworejo digunakan sebagai Pendidikan Umum SMP Negeri 1, lalu pada tahun 1950-1961 digunakan sebagai Sekolah Guru. Kemudian sekolah ini digunakan sebagai Sekolah

(2)

Pendidikan Guru (SPG) dari 1961-1991. Setelah pemerintah memutuskan meniadakan SPG pada 1991, maka bangunan sekolah digunakan sebagai SMA N 3 Purworejo hingga 1997, lalu berubah lagi menjadi SMU N 2 hingga 2004 dan dari 2004 hingga sekarang digunakan oleh SMA Negeri 7 Purworejo (Vidi, 2009; 17-20).

Berdasarkan tahun pembangunanya, yakni 1915, kompleks HKS ini sudah memenuhi salah satu kriteria sebagai Cagar Budaya karena sudah berusia lebih dari 50 tahun. Namun krtieria-kriteria lain seperti mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan/atau agama, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa masih belum diketahui sehingga perlu diadakan proses pengkajian terhadap kompleks ini. Meski belum ditetapkan sebagai Cagar Budaya, kompleks ini sudah didaftarkan sebagai Cagar Budaya dengan no register No.11-06 / pwo / TB / 50. Sehingga menurut Pasal 31 ayat 5, kompleks HKS Purworejo harus dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 22, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkanya.

Penelitian ini berfokus pada strategi pelestarian bangunan eks HKS Purworejo. Aspek-aspek pelestarian yang dikaji pada penelitian ini antara lain aspek pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 23, Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara

(3)

Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya. Kemudian, Pengembangan menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada pasal 1 ayat 33, dijelaskan bahwa pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya. Menurut UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 3, pelestarian memiliki lima tujuan, antara lain melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya, memperkuat kepribadian bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Implementasi UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya di eks kompleks HKS Purworejo antara lain diwujudkan dalam bentuk perawatan fisik bangunan setiap tahunnya misal pengecatan dan perbaikan atap yang bocor dengan dana RAPBS tahunan, lalu pembangunan bangunan baru di lahan lain sehingga bangunan asli tidak perlu ada penambahan, lalu salah satu ruangan yang dahulu sempat dipenuhi oleh kelelawar, kini sudah dibersihkan dan dapat dipakai kembali sebagai ruang kelas, kemudian pemanfaatan kompleks sekolah sebagai sarana pendidikan dan sebagian kompleks rumah dinas sebagai tempat tinggal guru dan asrama siswa. Meskipun demikian, karena gedung ini masih dimanfaatkan sebagai sekolah yang terus berkembang, tentu ada beberapa

(4)

penyesuaian untuk mengikuti kebutuhan baru. Misalnya penambahan ruangan dengan AC, dan ventilasi bagian bawah yang ditutup untuk mencegah serangga atau binatang liar lain masuk ke dalam ruangan.

Eks kompleks HKS Purworejo dari awal berdiri sampai sekarang difungsikan sebagai kompleks tempat pendidikan, hanya institusi pengelolanya saja yang berbeda. Dengan kontiniutas yang ada, maka eks kompleks HKS Purworejo dikategorikan sebagai living monument. Living monument adalah monumen yang belum pernah mengalami proses ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya dan terus dimanfaatkan dan difungsikan hingga sekarang. Pelestarian living monument memerlukan strategi yang berbeda dengan pelestarian death monument karena living monument belum pernah mengalami proses ditinggalkan oleh masyarkat pendukungnya.

Gambar 1.1 : Peta lokasi eks kompleks HKS Purworejo (dalam kotak kuning)

Sumber : Citra Satelit Google Map diakses pada tanggal 17 Februari dan Bappeda dengan modifikasi oleh Lengkong Sanggar Ginaris.

(5)

I.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pelestarian terdiri dari tiga aspek, yakni aspek pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Dari aspek pelindungan saat ini, eks kompleks HKS Purworejo sudah didaftarkan sebagai Cagar Budaya. Akan tetapi belum diketahui apakah strategi pelindungan yang selama ini sudah diterapkan di kompleks HKS Purworejo sudah sesuai dengan undang-undang atau belum. Kemudian dari aspek pengembangan, belum diketahui potensi dan nilai apa saja yang bisa diangkat dan dikembangkan. Lalu dari aspek pemanfaatan juga belum diketahui apakah strategi pemanfaatan eks kompleks HKS Purworejo sebagai sekolah sudah sesuai dengan kaidah pelestarian atau belum. Dari uraian di atas menghasilkan sebuah rumusan masalah :

Strategi pelestarian seperti apakah yang dapat diterapkan untuk eks kompleks HKS Purworejo ?

I.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan rekomendasi yang tepat untuk pelestarian eks kompleks HKS Purworejo, sehingga eks kompleks HKS Purworejo dapat dilestarikan dan dimanfaatkan secara tepat serta dapat dikembangkan untuk kepentingan lain.

I.4 Batas Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada kompleks HKS Purworejo. Berdasarkan arsip sekolah tahun 2006, batas-batas spasial kompleks HKS Purworejo sebagai berikut (lihat gambar 1.2) :

(6)

2.Sebelah timur dengan jalan Urip Sumoharjo.

. 3.Sebelah selatan dengan jalan Jenderal Sudirman dan Kompleks SMP N 1 Purworejo.

4.Sebelah barat dengan jalan Mayjen.Sutoyo

Adapun batas kajian penelitian ini sebatas pada proses perencanaan dengan melakukan identifikasi, penetapan nilai penting, dugaan hambatan dan peluang pelesterian, dan merancang kebijakan strategi pelestarian yang sesuai.

Gambar 1.2 : Peta batas kawasan penelitian ( di dalam garis merah) dan wilayah sekitarnya. Keterangan : 1. SMP N 1 Purworejo ; 2. Kampung Ngupasan ; 3.

Kompleks Militer ; 4. Rumah Sakit Milter.

Sumber : Buku Lustrum 2006 dan Satelit Google Map dengan modifikasi oleh Lengkong Sanggar Ginars. Diakses pada 20 September 2016.

(7)

I.5 Tinjauan Pustaka

Skripsi Albertus Agung Vidi S yang berjudul “Dinamika Pola Tata Ruang HKS Sampai SMAN 7 Purworejo” 2009 dapat menjadi rujukan untuk mengetahui seberapa cepatkah dinamika perubahan pola tataruang HKS Purworejo dan apakah dinamika itu mempengaruhi pelestarian kawasan ini. Dari hasil penelitiannya, diketahui bahwa penambahan bangunan baru dilakukan pada 1971 (rumah dinas kayawan di sisi barat), 1976 (kantin, ruang gamelan dan musik), 1981 (ruang kelas, laboratorium dan perpustakaan), 1982 (masjid), 1997 (ruang kelas), 1998 (ruang kelas), 1999 (ruang buku perpustakaan, lab kimia), 2002 (toko), dan 2006 (perpustakaan baru). Penambahan bangunan-bangunan tersebut diletakan pada lahan kosong di sebelah barat dan selatan kompleks. Dengan demikian penambahan bangunan baru tidak merubah bentuk bangunan lama, kecuali pada ruang ruang gymnasium yang dirombak pada 1976. Karena penelitian yang dilakukan Albertus Agung Vidi S ini hanya sampai pada 2009, maka penelitian ini juga menambahkan penambahan bangunan baru di kompleks HKS ini yang terjadi pada 2009 hingga 2016.

Penelitian mengenai pelestarian bangunan cagar budaya dari masa kolonial Belanda yang fungsinya tidak pernah berubah sejak awal berdiri pernah dilakukan oleh Stefanus Saryanto (2011) dengan judul “Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi di Kawasan Misi Boro”. Kawasan Misi Boro memiliki beberapa kesamaan dengan kompleks HKS Purworejo, yakni sama-sama dibangun masa kolonial dan fungsi awalnya belum berubah sampai sekarang. Penelitian Saryanto menghasilkan rekomendasi berupa kebijakan pengelolaan sumberdaya arkeologi

(8)

di Kawasan Misi Boro yang dapat menjadi acuan bagi pemilik atau pengelola bangunan tersebut. Rekomendasi tersebut menyatakan agar pemilik memperhatikan aspek pemeliharaan bangunan yang membutuhkan perawatan khusus dan karenanya butuh pembinaan SDM untuk pemeliharaan, pemanfaatan TI untuk tujuan promosi, dalam pemanfaatan bangunan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan, perbaikan manajenen pengelolaan, dan terkahir sumberdaya arkeologi di Kawasan Misi Boro memiliki prospek sebagai tempat wisata ziarah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stevanus Saryanto ini bisa menjadi acuan tambahan dalam rekomendasi pelestarian kompleks HKS Purworejo.

Literatur pendukung yang digunakan dalam penelitian ini ialah buku yang ditulis oleh Michael Pearson dan Sharon Sullivan (1995) yang berjudul “Looking After Heritage Places”. Di dalam buku tersebut dijelaksan bahwa sumberdaya arkeologi memiliki arti-arti khusus seperti arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan, namun pada undang-undang tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dari arti-arti tersebut sehingga sulit untuk mengetahui seperti apa yang memiliki arti-arti tersebut. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam menggali arti khusus yang terdapat pada kompleks HKS ini, maka literatur ini dipilih karena pada literatur ini ditulis secara jelas apa yang dimaksud dengan arti sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan CRM atau Manajemen Sumberdaya Budaya atau Manajemen Sumberdaya Arkeologi. Manajemen Sumberdaya Arkeologi ( ARM ) pada prinsipnya adalah satu model manajemen

(9)

khusus untuk sumberdaya arkeologi, untuk mencapai tujuan pelestarian dan pemanfaatan ( Atmosudiro, 2004; 1 ) Untuk mengetahui konsep-konsep dasar dan bagaimana pemecahan masalah manajemen sumberdaya arkeologi di lapangan, maka penelitian ini akan merujuk pada literatur yang berjudul “Manajemen Sumberdaya Arkeologi 2” yang ditulis oleh Gunadi Kasnowiharjo (2004).

I.6 Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. Metode penalaran yang digunakan dalam penelitian ini ialah model penalaran induktif, yaitu model penalaran yang diangkat dari gejala-gejala bersifat khusus untuk selanjutnya ditarik kesimpulan atau generalisasi.

Penelitian ini menggunakan UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai landasan pelestarian yang berlaku di Indonesia. Dalam undang-undang dijelaskan berbagai pengertian-pengertian dasar tentang pelestarian yang berlaku di Indonesia. Menurut pasal tersebut, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkanya. Mempertahankan nilai menurut pasal tersebut tidak hanya mempertahankan tinggalan fisiknya saja ( tangible ), namun nilai non-fisik ( intangible ) juga ikut dipertahankan pula. Dalam pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya harus menjamin kelestariannya. Apabila pelestarian dilakukan dengan baik, maka diharapkan kualitas kehidupan masyarakat di sekitarnya dapat ditingkatkan.

(10)

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yakni melalui pendekatan manajemen sumber daya arkeologi ( archaeological resources management ) atau ARM. Prinsip ARM yakni satu model manajemen khusus untuk sumber daya arkelog dengan tujuan pelestarian dan pemanfaatan. Manajemen yang dimaksud terdiri dari inventarisasi bangunan kolonial, penentuan nilai penting, identifikasi tingkat ancaman, sehingga dapat diperoleh strategi pelestarian yang tepat (Pearson & Sullivan, 1995; 191).

Dalam menentukan strategi pelestarian kompleks HKS Purworejo, metode yang digunakan adalah metode yang disebutkan oleh Michael Pearson dan Sharon Sullivan dalam buku “Looking After Heritage Places”. Metode tersebut dimulai dari mengidentifkasi dan mendokumentasikan objek (observasi, wawancara dan studi pustaka), kemudian menentukan arti khusus dan potensi penggembangan dan ancaman dan terakhir menentukan strategi pelestarian (Pearson dan Sullivan,1995;10).

Adapun tahapan penelitian yang dilakukan ialah : a ) Tahap Identifikasi data

Tahapan awal pada penelitian ini yakni mengidentifikasi kompleks HKS Purworejo dan permasalahannya. Adapun data yang akan diidentikasi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, melalui observasi bangunan dan wawancara narasumber. Wawancara dilakukan dengan metode in depth interview. Wawancara in depth interview adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden, dengan atau

(11)

tanpa menggunakan pedoman wawancara. Keunggulan wawancara in depth interview ialah memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah data yang banyak ( Djaelani, 2013; 87 ). Data yang diperoleh dari wawancara antara lain mengenai perubahan ruangan dan pemanfaatan eks kompleks HKS Purworejo pada masa sekarang. Bangunan yang akan diobservasi yakni bangunan lama eks. Kompleks HKS Purworejo. Sementara itu, data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti arsip sejarah, foto-foto / dokumen historis dan penelitian terdahulu.

b ) Tahap Kajian Arti Khusus

Setelah data diidentifikasi, selanjutnya mengkaji arti khusus eks kompleks HKS Purworejo. Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, arti khusus yang harus diungkapkan yakni arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan/atau agama. Untuk penelitian ini, arti khusus yang akan dikaji adalah arti khusus sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

c ) Penentuan Strategi Pelestarian

Setelah arti khususnya diketahui, maka akan dilakukan pengklasifikasian untuk menentukan peringkat cagar budaya dan golongan pelestariannya sehingga dapat diketahui strategi pelestarian yang sesuai dengan tingkatannya.

Selanjutnya, perlu pula diketahui potensi apa saja yang terdapat pada eks kompleks HKS ini. Potensi ini perlu diketahui untuk mengetahui apakah eks kompleks HKS Purworejo dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan lain selain sebagai sekolah. Sementara itu, hal-hal penghambat dalam

(12)

pelestarian perlu diketahui untuk mengetahui apa saja yang dapat menghambat upaya pelestarian sumberdaya arkeologi tersebut, sehingga hambatan pelestarian eks kompleks HKS Purworejo dapat dikurangi.

Berdasarkan hasil pengklasfikasian, potensi dan hambatan pelestarian yang terdapat pada kompleks ini, maka akan ditentukan strategi pelestarian yang tepat. Sesuai dengan pengertian pelestarian pada Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka pada tahap ini akan dibagi menjadi tiga poin, yakni pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Cara menganalisisnya yakni dengan analisis kualitatif, yaitu tidak menerapkan lambang-lambang angka untuk pengukuran fakta atau gejala yang ada, melainkan bedasarkan asumsi mutu data yang digunakan atau dianalisis empiris (Tanudirjo, 1989; 34).

(13)

Gambar 1.3 : Bagan alir penelitian. Dibuat oleh Lengkong Sanggar Ginaris.

Gambar

Gambar 1.1 : Peta lokasi eks kompleks HKS Purworejo (dalam kotak  kuning)
Gambar 1.2 : Peta batas kawasan penelitian ( di dalam garis merah) dan wilayah  sekitarnya
Gambar 1.3 : Bagan alir penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai perbandingan bangunan fasilitas cottage, ada beberapa kawasan wisata dengan fasilitas akomodasinya yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sehingga fasilitas wisata

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam

Konsep manajemen diri sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep manajemen dalam ilmu ekonomi, karena dalam konsep manajemen diri yang dalam penelitian komunikasi

- Pengalaman kerja diutamakan dibidangnya - Familiar dengan bidang pemasaran property - Memiliki kemampuan negosiasi/presentasi - Networking luas, berpenampilan menarik,

kanan: “Hal yang paling mempengaruhi pada dinas kelautan dan perikanan adalah ku- rangnya sumber daya. Hal ini menyebabkan kurangnya pengawasan langsung dilapangan. Baik itu

Keistimewaan ikan glodok ini yaitu hanya dapat dijumpai di kawasan pesisir hutan mangrove serta memiliki kemampuan merangkak naik ke darat atau bertengger ke

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

Adapun hasil wawancara bersama Bapak Indrah Dehimeli pada tanggal 19 juni 2017 mengenai pemahaman dan amalan ibadah kaum muslimin, beliau mengatakan bahwa