• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOCAL SOLUTIONS TO POVERTY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LOCAL SOLUTIONS TO POVERTY"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

LOCAL SOLUTIONS TO POVERTY

CERITA DARI LAPANGAN

KNOWLEDGE MANAGEMENT & COMMUNICATIONS - 2019

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

(2)

© 2020 The World Bank

1818 H Street NW, Washington DC 20433
Telephone: 202-473-1000; Internet: www.worldbank.org Some rights reserved.

This work is a product of the staff of The World Bank. The findings, interpretations, and conclusions expressed in this work do not necessarily reflect the views of the Executive Directors of The World
Bank or the governments they represent. The World Bank does not guarantee the accuracy of the data included in this work. The

boundaries, colors, denominations, and other information shown on any map in this work do not imply any judgment on the part of The World Bank concerning the legal status of any territory or the endorsement or acceptance of such boundaries.

Rights and Permissions

The material in this work is subject to copyright. Because The World Bank encourages dissemination of its knowledge, this work may be reproduced, in whole or in part, for noncommercial purposes as long as full attribution to this work is given.

Attribution—"World Bank. 2020. Local Solutions to Poverty: Cerita dari Lapangan. © World Bank.”

All queries on rights and licenses, including subsidiary rights, should be addressed to World Bank Publications, The World Bank Group, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA; fax: 202-522-2625; e-mail:

pubrights@worldbank.org.

LSP KNOWLEDGE SHARING SERIES

(3)

Daftar Isi

Local Solutions to Poverty ... 1

Analytics | View Point ... 3

Analytics | Undang-Undang Desa | Studi Sentinel Villages ... 7

U P D A T E S . . . 7

PJS Tumbangkan Petahana dalam Pilkades Jembatan Rajo ... 7

BUMDes Prioritas Utama Pembangunan Desa di Jambi ... 9

Nasib RPJMDes Kalikromo Terkatung-katung ... 11

Kenaikan Gaji, Tunjangan Daya Tarik Utama Bagi Kandidat Perangkat Desa di Jawa Tengah ... 14

Perempuan Aktif Terlibat Membangun Balai Pelatihan di Desa di NTT ... 16

C E R I T A F I T U R . . . 1 8 Pelimpahan Kewenangan Setengah Hati dari Bupati ke Camat di Kabupaten Merangin ... 18

Transformasi Badan Kredit Desa Deling menjadi BUMDes ... 21

K N O W L E D G E S H A R I N G . . . 2 4 Proses Perencanaan dan Penganggaran di Desa ... 24

Peran Pemerintah Supra-desa dalam Implementasi Undang-Undang Desa ... 26

Menilai Pilihan Pendampingan Teknis dalam Pelaksanaan Undang-Undang Desa: Potensi dan Tantangan .... 27

Tata Kelola Desa dalam Undang-Undang Desa: Temuan dari Studi Awalan Sentinel Villages ... 29

Pemanfaatan Dana Desa: Studi Kasus Sentinel Villages ... 31

Early Childhood Education and Development (ECED) ... 32

C E R I T A . . . 3 2 Kabupaten Sukabumi Tingkatkan Kualitas Pendidikan Anak Usia Dini Lewat Diklat Berjenjang ... 32

Warga Desa Berjuang Sediakan Layanan untuk Anak Usia Dini ... 36

Membangun Potensi UU Desa Indonesia untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Anak Usia Dini .. 40

Membangun Kapasitas Guru PAUD untuk Memenuhi Kebutuhan Anak-anak ... 43

Generasi ... 44

C E R I T A . . . 4 4 Kebun Gizi Berkelanjutan Tingkatkan Gizi, Pendapatan Warga Desa NTT ... 44

(4)

ii

Dari Masyarakat untuk Masyarakat ... 47

Kader Pembangunan Manusia Pimpin Upaya Pengurangan Stunting ... 48

Tikar Pertumbuhan: Inovasi Cegah ‘Stunting’ di Indonesia ... 51

'Rembuk Stunting' untuk Indonesia Bebas Malnutrisi ... 54

KIAT GURU ... 57

C E R I T A . . . 5 7 Program Rintisan KIAT Guru Berhasil Meningkatkan Hasil Belajar Murid ... 57

Pemberdayaan Masyarakat Tingkatkan Hasil Pendidikan di Daerah Sangat Tertinggal ... 60

Kabupaten Sintang Berkomitmen Lanjutkan dan Perluas Program KIAT Guru ... 63

Festival Forum KTI 2018: Belajar dari KIAT Guru tentang “Masyarakat Terlibat, Hasil Belajar Murid Meningkat” ... 66

Menjalin Asa di Ujung Barat Kabupaten Landak ... 70

Kepala Sekolah di Desa NTT Memimpin dengan Teladan ... 73

Medan Berat Menuju Sekolah di NTT Tak Halangi Murid Belajar ... 76

Aplikasi Kamera : Katalis Peningkatan Kinerja Layanan Guru di Nusa Tenggara Timur ... 84

Guru Laki-laki di Desa Terpencil di NTT Ajarkan Kesetaraan Gender ... 88

Akuntabilitas Sosial: Meningkatkan Kehadiran dan Kualitas Layanan Guru ... 91

Anak-anak Jadi Aktor Utama Program KIAT Guru ... 95

KIAT Guru Jadi Jembatan antara Sekolah dan Masyarakat ... 99

Secercah Harapan dari Desa Sebadak ... 104

Kartini Muda dari Desa Compang Necak untuk Pendidikan Anak yang Lebih Baik ... 105

Memupuk Semangat Kebangsaan Sejak Dini di Sungai Seria ... 107

Melayani ... 108

C E R I T A . . . 1 0 8 Membuat 'Masalah Masyarakat' menjadi 'Masalah Pemerintah': Refleksi seorang Mantan Bupati di Indonesia ... 108

MELAYANI — Bersama Pemerintah Daerah Atasi Masalah Berulang Pemberian Layanan ... 111

Village Law PASA (Programmatic Advisory Services and Analytics) ... 114

C E R I T A . . . 1 1 4 Memperkuat Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) ... 114

Rumah untuk Masyarakat Adat ... 116

(5)

iii

Dana Desa untuk Infrastruktur ... 119

Menjembatani Kegiatan Ekonomi ... 120

Program Inovasi Desa ... 121

C E R I T A . . . 1 2 1 Menampilkan Program Inovasi Desa ke Masyarakat Global ... 121

Inovasi dari Masyarakat Desa untuk Percepatan Pembangunan Desa ... 123

Festival Desa Inovatif Tampilkan Ide-ide Segar Penggunaan Dana Desa ... 124

Air Bersih untuk Semua ... 126

Merawat Orang Tua Kita ... 127

(6)

Profil

Local Solutions to Poverty (LSP) adalah sebuah Dana Perwalian Multidonor yang

membantu pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan

rentan. Melalui sebuah proses pembangunan yang bertumpu pada masyarakat, LSP

memberdayakan warga untuk mengembangkan solusi-solusi mandiri untuk

mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Dokumen ini ditujukan untuk menampilkan berbagai cerita dari program-program LSP.

Artikel mencakup cerita dari lapangan, kabar dari daerah dan kegiatan berbagi

pengetahuan yang dikumpulkan sejak 2017 sampai 2019.

ANALYTICS

Melalui studi atau evaluasi, pemantauan lapangan

berkelanjutan serta dialog kebijakan, kami menyajikan data dan informasi berbasis real-time terkait implementasi Undang-Undang Desa, terutama mengenai partisipasi, transparansi informasi dan akuntabilitas kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Kami

juga menghadirkan dukungan untuk meningkatkan ketersediaan data di tingkat desa yang berkualitas untuk dapat menangkap efisiensi dan efektivitas hasil implementasi Undang-Undang Desa di lapangan.

EARLY CHILDHOOD EDUCATION AND DEVELOPMENT (ECED)

Proyek ECED memperkuat sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) di desa-desa di Indonesia dengan mengatasi permasalahan rendahnya kapasitas guru di daerah miskin dan terpencil dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Program rintisan ini fokus pada peningkatan akses terhadap layanan pengembangan profesional yang berkualitas dengan memanfaatkan dan meningkatkan program pelatihan guru, memperkuat kapasitas lokal untuk memberikan pelatihan di tingkat kabupaten, serta memperkenalkan konsep partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan.

GENERASI

Kegiatan Generasi ditujukan untuk memberdayakan masyarakat lokal di kecamatan dan desa miskin dan terpencil di sejumlah wilayah untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan dan pendidikan masyarakat. Proyek ini sistem hibah lewat skema insentif dan partisipatif untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan perempuan dan anak-anak di desa-desa terpencil dan miskin, serta pembiayaan kegiatan pengembangan kapasitas di tingkat desa.

(7)

2 INVESTING IN NUTRITION AND EARLY YEARS (INEY)

Investasi dalam Program Nutrition and Early Years (INEY) bertujuan untuk meningkatkan intervensi-intervensi gizi bagi rumah tangga dalam 1.000 hari pertama kehidupan di kabupaten-kabupaten prioritas. Inti dari program INEY ini adalah konvergensi layanan-layanan dasar. Strategi ini dijalankan oleh 10 badan nasional karena layanan-layanan di lima sektor harus digabungkan untuk mencegah stunting. Kelima sektor tersebut adalah kesehatan, air dan sanitasi, jaminan sosial, layanan gizi, serta pendidikan anak usia dini (PAUD).

KIAT GURU

KIAT Guru is helping to improve education service delivery in remote villages by empowering communities to report on teachers’

attendance and performance. Teachers’ allowances are tied to their service quality. The pilot started in July 2016, with implementation in 203 schools and impact evaluation in 270 primary schools in five underdeveloped districts. Communities verify teacher presence using mobile phone-based applications and evaluate teacher service performance using community scorecards.

MELAYANI

MELAYANI (Menguraikan Permasalahan Perbaikan Layanan Dasar di Indonesia) supports district governments in Indonesia to use a problem-driven approach to tackle challenges in delivering services, taking into account their own conditions and capacities. MELAYANI is being piloted in three districts, starting mid-2017.The program provides support in the form of an iterative approach to help district governments identify service delivery problems, test solutions, monitor implementation, learn by doing and modify solutions based on these lessons.

VILLAGE LAW PROGRAMMATIC ADVISORY SERVICES AND ANALYTICS (PASA)

Institutionalizing good governance principles of participatory and inclusive practices in village government system, the overall objective of the Village Law PASA is to support government efforts to ensure accountable village governance and participatory village development.

VILLAGE INNOVATION PROGRAM

This program focuses on helping villages use their fiscal transfers to make sound village development investments. The program seeks to enable and incentivize villages to improve their capacity to plan (and ultimately use) their fiscal transfers for village development investments with a focus on village entrepreneurship, human capital formation, and village infrastructure.

(8)

3

ANALYTICS

V I E W P O I N T

Participation in Ngada

Jumat, 19 Mei 2017 Penulis: Lily Hoo (Hanya tersedia dalam Bahasa Inggris

Why residents in Ngada district are exceptionally eager to take part in village meetings

Participation is one of the key principles in the 2014 Village Law. The underlying assumption for participatory development is that when a wide range of actors participate in

decision-making, the process will lead to more broadly shared and sustainable development outcomes. Particularly in contexts where non-elites have been previously excluded, the community voice is expected to improve a government’s performance.

Measuring participation

Participation in decision-making has increasingly been recognised as an important aspect in development programs in Indonesia, especially after years of experience implementing community-based programs. The latest was the National Community Empowerment Program (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, PNPM). Surveys about experiences in PNPM have shown mixed results in participation. On the one hand, participation rates of women and the poor in decision-making were relatively high at around45–50 per cent1. Poor villagers were

also heavily involved in PNPM construction activities, with more than 70 per cent of workers coming from the poorest segments of the village. This high participation rate is not surprising since PNPM guidelines included minimum requirements for women and poor people’s participation. On the other hand, there are reports2 indicating that the poor and women, despite coming to meetings, rarely participated in decision-making3, which continued to be dominated by elites4. Nonetheless, PNPM surveys in 2012 and 2015 indicated that 90 per cent of PNPM beneficiaries – regardless of gender and poverty level – agreed that they had benefited from PNMP investments.

These experiences make us wonder how participation will change under the current and coming implementation of the Village Law. The new village development planning process is largely

1 Paket Informasi PNPM Mandiri 2014

2Research Report : a Qualitative Study : The Impact of PNPM Rural East Java, West Sumatra, Southeast Sulawesi 3 Marginalized Group in PNPM Rural (2010)

(9)

4 based on PNPM experience. That means it includes a village meeting that is open to all

community members as a deliberative forum to make decisions on priorities for development funding. Will the new situation attract more of the poor and more women to participate in village decision-making? How can that be measured adequately? It is also interesting to see how participation is played out in villages across Indonesia and to assess whether participation principles can bring about more equitable and sustainable development outcomes, as expected. The World Bank Social Development Unit in Indonesia commissioned the ‘Sentinal Villages study’ (2015–2017) in five districts in three provinces across Indonesia (Jambi, Central Java and East Nusa Tenggara) to observe various elements in Village Law implementation, including participation.

Initial findings from the study showed that on average, participation rates in village meetings in all five districts were around 24 per cent. Participation is measured by percentage of

respondents who reported attendance at village level meetings in the past year. This rate was lower than in the PNPM era, but given that participation was mandatory in PNPM, this could well be a more natural rate of participation in villages. There was wide variation, though.

Ngada: an outlier

The villages in Ngada, a district in Flores, East Nusa Tenggara, were a distinct outlier with a participation rate of 64 per cent, while the other four districts had a participation rate of around 18 per cent. Women’s’ participation rate in Ngada was also high, at 60 per cent. In terms of participation in implementing village projects, Ngada also had the highest rate at around 85 per cent, compared to 60 per cent in the other cases. Seventy-four per cent of respondents in Ngada were positive about the usefulness of development programs, compared to only 49 per cent in other areas.

The research team also compared development outputs in two villages in Ngada between October 2015 and November 2016. Around 50 per cent of village funds were used for

infrastructure such as roads and irrigation facilities. With increasing budgets due to village funds (dana desa), the research team observed improvements in the two villages for infrastructure, especially roads, clean water and electricity. In fact, electricity was introduced to one of the villages for the first time since Indonesia’s independence. When asked whether things are different now compared to the past, villagers in the two villages generally thought that the situation had improved because they enjoy more development programs, from infrastructure to economic support to health subsidies and scholarships.

The World Bank’s research team conducted a deeper dive into participation experience in Ngada. They conducted in-depth interviews and focus group discussions, while one field

(10)

5

Explaining Ngada’s high participation rate

Several factors emerged as key ingredients for Ngada’s high participation rate. First, the long history of institutionalising participatory development in the local government system. Since the PNPM era, the district government, especially the community empowerment agency (BPMD), had worked on integrating participatory development approaches into Ngada’s development system. The district government had seen that involving villagers in planning and implementing development activities often resulted in higher satisfaction towards the outputs as well as better value for money – outputs often have higher value compared to those using typical government contractors.

Hence, the district government developed various local regulations and operational manuals to guide participatory development planning, implementation, and monitoring evaluation at village, sub-district and district levels. The government adhered strictly to these regulations, emulating the PNPM era when violation of these regulations could be brought to court. Villages continued their PNPM-style accountability meetings every year. In addition, the district

government promoted participatory development among the village communities, in the sense of involving villagers in building the basic infrastructure for their own villages.

Ngada villagers discussing village development plans - Source: Lily Hoo

A second reason for high participation is a supportive district government with strong leadership at the highest level. When the current district head, Marianus Sae, was elected in 2010, the BPMD team informed him about how participatory development approach had been

successfully practiced in the district. Marianus Sae concluded that involving villagers in building activities was the best way forward to fulfill his promise to “build Ngada from the villages”. The district government then developed their own participatory development projects using the district budget (Pelangi Desa and Pelangi Kawasan) in 2012, using PNPM principles and implementation rules and manuals. To date the district government continues to maintain similar principles and rules in implementing the Village Law.

(11)

6 A third ingredient is an engaged community that understands what participation means for their daily lives. Over the past two decades, villagers themselves have witnessed that when they participate in the development processes (from planning, implementation, to monitoring and evaluation), they receive the infrastructure that they want and need. Villagers said that they have made suggestions in village meetings on what the priority development needs are for their villages. They have also joined in voting on priority needs included in the annual village

development plan. Villagers in Ngada think that in order to get what they need, they must continue to participate in the process from planning to implementing and monitoring the results.

Fourth, villagers feel motivated to participate when they trust the local government, in

particular the village head. In Ngada, 77 per cent of villagers said that village heads are reliable in village development planning, of which 27 per cent went as far to say ‘very reliable’,

compared to 65 per cent in other districts, where only 6.4 per cent of people described their village heads as ‘very reliable’. Both the community and the local government stressed the importance of transparency, openness and accountability to build and maintain trust between community and government. When there is no trust, the community is less inclined to

participate – or they participate to ensure that they are not being cheated.

Finally, we found that a strong social network or kinship structure within a village stimulates participation. Typically, a village in Ngada consists of households that are closely related. Almost all villagers share the same religion. Such homogeneity and strong kinship ties allow for easy mobilisation of the community by local figures. It also allows villagers to come up with agreements on representation and reciprocity in case some villagers cannot participate in meetings or implementation of activities. In addition, the weekly religious gatherings function as a natural forum for the village government to share news and information on village

development.

Although there are many factors that influence village development processes and outcomes, the experience in Ngada provides an example of what could happen when participatory development works well. With increasing resources going to villages in the coming years, it is important for other districts and villages to be able to learn from Ngada’s experience to improve the development process and outcomes in their own areas.

Lily Hoo is a Monitoring and Evaluation Specialist with the World Bank Social Development Unit in Indonesia. She leads analytic work related to the Village Law.

(12)

7

Analytics |

Undang-Undang Desa |

Studi Sentinel Villages

U P D A T E S

PJS Tumbangkan Petahana dalam Pilkades Jembatan Rajo

Selasa, 27 Feb 2018 Penulis: Nuzul Iskandar

Warga menyaksikan penghitungan suara di TPS pada tanggal 7 Oktober 2017 (Foto: Nuzul Iskandar). Merangin. Warga Jembatan Rajo telah memutuskan siapa pemimpin mereka enam tahun ke depan. Pilkades pada Sabtu, 7 Oktober 2017, dimenangkan oleh Hijazi, penjabat Kepala Desa Jembatan Rajo sejak pertengahan Mei 2017. Ia mengalahkan empat calon kepala desa (cakades) lainnya, termasuk petahana, Azwan, dengan selisih suara cukup jauh.

Hijazi meraih 286 suara, disusul cakades Muhammadin (tokoh pemuda) dengan 193 suara, Azwan (petahana) dengan 137 suara, Samsudin (ketua adat) 123 suara, dan Ikhsan (tokoh masyarakat) yang hanya memperoleh 16 suara.

Pemungutan suara dilakukan di dua tempat pemungutan suara (TPS). TPS 1 belokasi di Gedung Posyandu yang berada persis di samping kantor desa, di Dusun 1. TPS ini diperuntukkan bagi pemilih dari Dusun 1 dan Dusun 4 yang berjumlah 527 mata pilih. TPS 2 ada di halaman rumah

(13)

8

salah satu warga Dusun 2, untuk para pemilih dari Dusun 2 dan Dusun 3 yang berjumlah 301 orang.

Pemungutan suara dimulai hampir bersamaan di kedua TPS, sekitar pukul 08.00. Sebelum pemilihan dimulai, puluhan orang sudah berkumpul di lokasi menunggu kesempatan memilih. Hingga sekitar pukul 10.30, suara yang terkumpul di masing-masing TPS sudah mencapai 90 persen dari total DPT. Sekitar pukul 11.00, sebagian panitia berbagi tugas untuk mendatangi warga yang tidak dapat datang ke TPS, seperti karena sedang sakit atau sudah tua.

Proses Pilkades kali ini mendapat pengamanan yang cukup ketat, selaras dengan arahan dari Kepala Kepolisian Jambi (Kapolda) yang beranggapan kedekatan emosional warga pada cakades lebih tinggi sehingga lebih rawan konflik, apalagi di era Undang-Undang Desa ini. Satu TPS dijaga oleh empat orang polisi, ditambah satu petugas Brimob, satu dari TNI (Babinsa), serta satu anggota Satpol PP. Pihak kecamatan juga ikut mengawal dari awal sampai selesai. Tampak di lokasi Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Renah Pembarap bersama Kepala Sub-Bagian Umum-Trantib serta seorang staf kecamatan. Tidak ketinggalan pula Camat Renah Pembarap, Marjohan, memantau ke kedua TPS, masing-masing selama 30 menit, lalu bertolak ke desa tetangga yang juga sedang menggelar Pilkades.

Pemungutan suara resmi ditutup pukul 13.00. Sekitar sejam kemudian, penghitungan suara mulai dilakukan di TPS 1. Kotak suara TPS 2 diangkut ke TPS 1 agar lebih memudahkan penghitungan dan rekapitulasi. Proses penghitungan disaksikan ratusan warga yang sangat antusias dari awal sampai selesai. Mereka berdesakan menghampiri titik penghitungan suara, meskipun cuaca sedang terik. Beberapa kali terdengar sahutan keras diiringi sorak-sorai dan gelak tawa para pendukung cakades.

Proses penghitungan selesai sekitar pukul 15.30. Berita acara pun ditandatangani oleh seluruh saksi dan panitia terkait. Nama kades terpilih sudah terpampang di depan mata, dan warga pun bergegas membubarkan diri. Kebetulan langit sudah kelam pertanda akan turun hujan. Selama proses penghitungan ini, tidak terlihat seorang pun cakades di lokasi.

Tingkat partisipasi pemilih Jembatan Rajo dalam Pilkades ini lebih tinggi dari sebelumnya, mencapai 92,63 persen. Zulpaini, Sekdes Jembatan Rajo, menyebutkan bahwa prosentase ini cukup berbeda dibandingkan Pilkades sebelumnya di tahun 2011, dimana hanya sekitar 80% warga yang turut memilih. Tingginya partisipasi ini menunjukkan antusiasme warga yang lebih tinggi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, selain juga dikarenakan jumlah kandidat yang lebih banyak (biasanya hanya tiga orang) sehingga masing-masing tim pemenangan mendorong warga untuk memilih kandidatnya. Kondisi ini diduga karena meningkatnya jumlah dana desa yang dikelola oleh pemerintah desa.

(14)

9 U P D A T E S

BUMDes Prioritas Utama Pembangunan Desa di Jambi

Senin, 5 Feb 2018 Penulis: Asmorowati

Warga Desa Tiang Berajo berembuk menentukan prioritas pembangunan desa 2018 pada 20 Juli 2017 (Foto: Asmorowati).

Batanghari. Sejalan dengan prioritas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) dalam penggunaan Dana Desa, Kabupaten Batanghari,

Jambi dengan penuh semangat mengembangkan perekonomian desa melalui pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Saat ini sudah ada 40 BUMDes di kabupaten tersebut, yang diharapkan sudah dapat aktif pada 2018.

“Target kami pada tahun ini adalah pendirian BUMDes di semua desa (110 desa) dan tahun depan ada penyertaan modal,” ujar Fadhil Erief, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Batanghari.

Pendirian BUMDes ini menjadi prioritas di banyak desa, termasuk Desa Tiang Berajo di Kecamatan Mersam. Resmi berdiri pada September 2017, BUMDes Tiang Berajo akan

mendapatkan modal dari Dana Desa pada 2018sebagaimana disepakati dalam musyawarah desa penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa 2018 yang diselenggarakan Juli 2017 lalu. Bahkan kesepakatan penyertaan modal tersebut menduduki peringkat pertama dalam penentuan prioritas pembangunan desa, mengalahkan prioritas pembangunan jembatan dan jalan.

Namun demikian, pendirian BUMDes di Desa Tiang Berajo baru pada tahap pendirian dan belum disertai penentuan jenis usahanya, sebagaimana sebagian

besar BUMDEs di Kabupaten Batanghari. Sebagai kelanjutannya, Pemerintah Desa Tiang Berajo telah memulai proses perekrutan pengurus BUMDes dan setelahnya membahas jenis dan rencana pengembangan usaha.

(15)

10

Menurut M. Haramen, Tenaga Ahli Provinsi Jambi bidang Pengelolaan Keuangan Desa dan Pengembangan Ekonomi Lokal, adanya pembagian tahapan pembentukan BUMDes ditujukan untuk mempermudah desa. Beliau mengakui adanya kesulitan desa dalam menentukan jenis pengembangan usaha ataupun merekrut pengurus yang

kompeten sehingga pendampingan yang rutin untuk mengembangkan BUMDes sangat dibutuhkan.

(16)

11 U P D A T E S

Nasib RPJMDes Kalikromo Terkatung-katung

Kamis, 1 Feb 2018 Penulis: Ridwan Muzir

Musyawarah Dusun mengenai RPJMDes Kalikromo periode 2017-2022 di Dusun BL, Kabupaten Wonogiri pada tanggal 14 Januari 2017 (Foto: Ridwan Muzir)

Wonogiri. Kepala Desa Kalikromo di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah telah menjabat sejak 31 Desember 2016, namun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) belum juga ditetapkan. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa RPJMDes sudah harus ditetapkan paling lambat tiga bulan sejak kades dilantik.

Menurut Kades Kalikromo, Sulino, pemerintah desa telah fokus pada administrasi pemerintahan dan kegiatan pembangunan desa sebagai upaya implementasi Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) 2017 yang telah disusun oleh pendahulunya.

“Saya dan para perangkat disibukkan oleh urusan administrasi pembangunan desa seperti pengajuan pencairan Dana Desa dan ADD (Alokasi Dana Desa), pelaksanaan pembangunan, dan pelaporannya. Dengan kesibukan tersebut, kami tidak bisa fokus menyusun RPJMDes,” ujar Sulino, dengan menambahkan bahwa di antara semuanya, pelaksanaan kegiatan pembangunan adalah yang paling menyita waktu.

Sebenarnya upaya untuk penyusunan RPJMDes bukannya tidak ada. Penggalian gagasan untuk RPJMDes telah dilakukan melalui rangkaian musyawarah dusun (musdus) pada awal 2017. Dalam setiap musdus, Sulino meminta masyarakat untuk membentuk tim perumusan usulan tingkat dusun yang akan dimasukkan ke dalam RPJMDes. Usulan-usulan ini kemudian direkapitulasi di tingkat desa dan dilampirkan dalam RPJMDes.

(17)

12

Selain itu, proses penjaringan usulan juga dilakukan dengan mengadakan diskusi kelompok terarah mengenai pemetaan sosial. Proses ini difasilitasi oleh Agus Saloko, pendamping desa dari Kecamatan Eromoko pada April 2017. Menurut Saloko, diskusi tersebut dilaksanakan atas inisiatif Kades untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perencanaan partisipatif.

“Sebagai pendamping desa saya berusaha memfasilitasi keinginan Kades tersebut, dengan memakai metode FGD peta potensi desa. Tujuannya agar warga tahu persis potensi dan masalah yang ada di sekitarnya sebagai bahan untuk merencanakan pembangunan,” ujarnya.

Pemetaan potensi desa untuk penyusunan RPJMDes Kalikromo 2017-2022, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri pada 13 April 2017 (Foto: Ridwan Muzir).

Hasil dari dua kegiatan tersebutlah yang akan menjadi dasar untuk rancangan RPJMDes, sebelum kemudian dibahas untuk ditetapkan dalam musyawarah desa sebagai Peraturan Desa RPJMDes Kalikromo 2017-2022.

Namun demikian, keterbatasan sumber daya manusia masih menjadi persoalan dalam proses penyusunan tersebut. Di antara 13 perangkat desa, hanya kepala desa dan penjabat sekretaris desa yang bisa mengoperasikan komputer, sehingga proses penyusunan hanya dikerjakan oleh mereka. Akibatnya, proses penulisan dan penyusunan RPJMDes dilakukan di sela-sela kesibukan mereka dalam tata kelola pemerintahan desa. Bendahara desa, meski mampu mengoperasikan komputer, tidak dapat membantu proses ini karena disibukkan dengan rangkaian proses pencairan dan pertanggungjawaban Dana Desa.

Kades Sulino menyebutkan bahwa proses yang paling menyita waktu adalah pengalokasian usulan-usulan per tahun. Apalagi ternyata usulan yang disampaikan masih saja soal kegiatan infrastruktur, yang jika dialokasikan akan tuntas dibangun pada 2020. Kegiatan untuk periode 2021-2022 menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk kepala desa, termasuk untuk

(18)

13

mengikutsertakan kegiatan yang dapat mengoptimalkan potensi desa melalui kegiatan non-fisik seperti upaya pemberdayaan masyarakat.

“Makanya saya pusing memikirkan apa lagi program yang dapat didanai untuk 2021 dan seterusnya, karena dari dusun tidak ada usulan lagi. Ditambah lagi, usulan tentang pemberdayaan sangat minim,” jelasnya.

Terlepas dari semua tantangan yang ada, dia menargetkan proses penetapan RPJMDes ini selesai dalam waktu dekat. “Ya secepatnya akan kita tetapkan. Satu dua bulan ini kita akan usahakan selesai,” katanya.

(19)

14 U P D A T E S

Kenaikan Gaji, Tunjangan Daya Tarik Utama Bagi Kandidat

Perangkat Desa di Jawa Tengah

Senin, 27 November 2017 Penulis: Akhmad Fadli

Pelaksanaan Tes Tertulis untuk Calon Perangkat Desa di Ruangan PKK Kantor Desa Deling (Foto: Akhmad Fadli).

Banyumas. Safitri, warga Desa Pasir Wetan, Kabupaten Banyumas, mengatakan ia telah mengikuti seleksi perangkat desa di lima desa termasuk di Desa Deling, yang baru saja selesai melaksanakan perekrutan kepala seksi pemerintahan.

Berlangsung dari Juli sampai September 2017, perekrutan di Desa Deling diikuti oleh 12 orang, tujuh di antaranya perempuan. Latar belakang pendidikannya beragam, mulai SLTA (enam orang) dan D3 (satu orang), sampai S1 (empat orang) dan S2 (satu orang).

Hanya Safitri peserta yang berasal dari luar desa itu. Ia mengakui alasan utama mendaftar adalah karena besarnya gaji dan tunjangan untuk posisi tersebut.

“Jabatan perangkat desa sekarang setara pegawai negeri sipil, kariernya lebih lama. Ada masa depannya dibandingkan kerja di perusahaan,” ujar sarjana S1 tersebut.

Peserta lain, Siti, lulusan Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, mengamini Safitri. Ia juga mengakui bahwa selain ingin menerapkan ilmunya di desa, ada alasan realistis soal kebutuhan finansial sehingga ia mendaftar menjadi calon perangkat desa.

(20)

15

Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban di kecamatan setempat, Sugeng Riyanto

mengatakan, minat masyarakat menjadi perangkat desa sekarang memang cukup tinggi, dengan jumlah rata-rata pendaftar selalu lebih dari 10 orang.

“Kemungkinan besar karena tingkat kesejahteraan perangkat desa yang sudah cukup terjamin, sehingga banyak yang berminat,” ujar Sugeng.

Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Deling 2017, alokasi untuk jabatan Kasi Pemerintahan ini memang cukup menarik, dengan gaji tetap Rp 1,7 juta, pembagian hasil penyewaan tanah desa (tanah bengkok) Rp 500.000, belum lagi tunjangan jabatan, tunjangan suami/istri, tunjangan anak, tunjangan kesehatan dan tunjangan purnatugas. Meskipun tetap mendorong obyektivitas dari proses rekrutmen yang terbuka tersebut, tetap ada harapan dari masyarakat agar warga desa setempat yang terpilih untuk mendorong kelompok muda turut membangun desanya. Kepala Desa Deling, Sutikno, mengatakan ia khawatir jika yang terpilih kandidat dari luar desa, akan menjadi “bahan omongan” yang tidak enak, seperti yang terjadi di desa tetangga.

“Sebagai putra asli desa, saya juga berharap, perangkat desa yang baru dapat berasal dari Desa Deling untuk memberdayakan warga setempat,” ujarnya.

Harapan Sutikno terkabul. Setelah melalui proses seleksi yang transparan, Siti, 39 tahun, terpilih menjadi Kasi Pemerintahan Deling dengan nilai 127 poin. Ia dilantik dan resmi menduduki jabatan tersebut 1 Oktober lalu.

(21)

16 U P D A T E S

Perempuan Aktif Terlibat Membangun Balai Pelatihan di Desa di

NTT

Senin, 27 November 2017 Penulis: Edelbertus Witu

Perempuan ikut mengangkat pasir dan batu dalam pembangunan Balai Pelatihan Desa Lekosoro (Foto: Edelbertus Witu)

Ngada. Keterlibatan perempuan dalam pembangunan di pedesaan biasanya terbatas pada urusan logistik dan dapur, seperti mempersiapkan kebutuhan makanan dan minuman, akan tetapi Desa Lekosoro, Kabupaten Ngada di Nusa Tenggara Timur memiliki kebiasaan yang berbeda.

Perempuan warga desa ini tidak hanya aktif di dapur umum, tapi banyak dari mereka turut terlibat dalam pekerjaan fisik seperti mencampur semen, mengangkut batu, serta memindahkan air kerja dari tampungan terpal ke mesin pencampur pasir dan semen, seperti terlihat dalam pembangunan balai pelatihan desa pada 18 Agustus lalu.

“Di sini gotong royong masih kuat dan perempuan terlibat aktif bekerja,” ujar Siska, salah satu perempuan yang ikut bekerja di lokasi pembangunan di Dusun KI.

Menurut Ignasius, Kepala Dusun KI sekaligus anggota Tim Pengelola Kegiatan, pengerjaan fondasi bangunan dilakukan secara bersama-sama oleh 76 warga, 31 di antaranya adalah perempuan.

(22)

17

Ia menambahkan bahwa perempuan tidak saja hadir dalam kegiatan fisik tetapi juga datang ke pertemuan dusun yang dilaksanakan beberapa hari sebelumnya.

“Perempuan mau aktif dalam pertemuan dusun dan mau terlibat kerja fisik karena mereka turut merasa memiliki atas usulan kegiatan yang sudah disepakati bersama,” ujarnya.

Balai Pelatihan Desa Lekosoro itu sendiri terletak di samping Kantor Desa Persiapan KMO, di Dusun KI, Desa Lekosoro, yang rencananya akan digabungkan dengan sebagian wilayah Desa MLA untuk pemekaran. Pembangunan balai pelatihan tersebut menelan biaya Rp 164 juta yang berasal dari Dana Desa Tahun Anggaran 2017.

Beberapa tokoh masyarakat, termasuk Penjabat Kepala Desa Lekosoro, Roni Dogho, dan Kepala Desa Persiapan KMO, Kosmas, turut hadir dalam kegiatan tersebut.

(23)

18 C E R I T A F I T U R

Pelimpahan Kewenangan Setengah Hati dari Bupati ke Camat di

Kabupaten Merangin

Selasa, 13 Feb 2018 Penulis: Nuzul Iskandar

Pemeriksaan Laporan Pertanggungjawaban Desa Sipahit Lidah oleh aparat pemerintah kecamatan pada 6 September 2016 (Foto: Nuzul Iskandar)

Merangin. Pemerintah Kabupaten Merangin menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati pada Camat (Perbup Pelimpahan Kewenangan), menggantikan Perbup Nomor 29 Tahun 2012 untuk menyertakan evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Ranperdes) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sebagai tambahan pendelegasian wewenang kepada camat.

Hal ini dapat dinilai sebagai inisiatif baik dari Pemerintah Kabupaten Merangin terkait tanggung jawab Bupati/Walikota sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), bahwa Bupati/Walikota harus mengevaluasi Peraturan Desa tentang APBDes (Pasal 69) dan memiliki wewenang untuk mendelegasikan pembinaan dan pengawasan ke perangkat daerah (Pasal 112).

Perbup tersebut sebenarnya merinci kewenangan yang dilimpahkan kepada camat ke dalam tiga bidang. Pertama, penyelenggaraan tugas umum pemerintahan yang mencakup 25 kegiatan, termasuk diantaranya evaluasi terhadap rancangan Perdes tentang APBDes dan Perdes tentang Laporan Realisasi APBDes. Kedua, bidang ekonomi dan pembangunan yang merinci 15 kegiatan,

(24)

19

dan terakhir adalah bidang kemasyarakatan dan ketertiban umum yang dirinci dalam 12 kegiatan.

Kehadiran Perbup Pelimpahan Kewenangan ini menjawab kebingungan aparat kecamatan ketika UU Desa mulai dijalankan pada 2015, mengenai peran yang diharapkan dalam implementasi UU Desa. Perbup Pelimpahan Kewenangan ini menjadi legal standing dalam menjalankan

perannya.

Namun penerapan Perbup ini masih terkendala hingga saat ini. Tidak semua desa melalui proses evaluasi Ranperdes APBDes di tingkat kecamatan. Masih ada sebagian desa yang memilih langsung ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) di tingkat kabupaten. Sayangnya, pihak DPMD juga tidak melakukan verifikasi ada/tidaknya evaluasi kecamatan terhadap Ranperdes APBDes tersebut kepada pihak desa dan langsung memrosesnya. Pihak Kecamatan 1 mencontohkan, pada 2016 lalu sebenarnya ditemukan beberapa desa dengan pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Lalu Kecamatan meminta desa tersebut untuk memperbaikinya, selaras dengan skala prioritas penggunaan dana desa tahun itu. Namun, bukannya memperbaiki Ranperdes APBDes sesuai saran Kecamatan, desa-desa tersebut langsung ke DPMD Kabupaten yang lantas tidak

mengoreksi kembali. Didasarkan pada pengalaman ini, maka pada tahun berikutnya, beberapa desa mulai melangkahi proses evaluasi kecamatan, langsung ke DPMD karena menilai proses di DPMD lebih mudah.

Pengalaman serupa juga dikemukakan pihak Kecamatan 2. Pada 2017, ada salah satu desa yang terindikasi menyalin Ranperdes APBDes desa di kabupaten lain, sehingga pihak Kecamatan meminta mereka memperbaikinya dan menyesuaikan dengan data, kebutuhan, dan kondisi di desanya sendiri. Lagi-lagi, alih-alih menuruti saran tersebut, pihak desa langsung ke DPMD yang juga kembali meloloskan dokumen tersebut. Sekretaris di Kecamatan 2 menambahkan, akibat kasus seperti itu, pihak kecamatan sering dinilai mempersulit desa.

“Kami ini ibarat ayam yang di hadapannya ditabur makanan, tapi kakinya diikat, sehingga tidak dapat menjangkau makanan,” ujarnya.

Di sisi lain, menurut pihak DPMD kabupaten, peran kecamatan masih sering tidak maksimal dalam menjalankan kewenangan dalam membina, mengawasi dan mengevaluasi APBDes. Kecamatan, misalnya, masih kurang memahami regulasi yang ada sehingga desa merasa tidak puas saat konsultasi. Atau kurang tegas sehingga desa mengabaikan.

Namun demikian, pihak DPMD juga mengakui masih kurangnya koordinasi dengan pihak kecamatan. Selama ini, koordinasi lebih banyak dilakukan dengan camat tanpa melibatkan kepala seksi PMD (pemberdayaan masyarakat dan desa), baik untuk membicarakan hal teknis ataupun menyamakan pemahaman tentang regulasi yang berkaitan dengan desa. Padahal Kasi PMD inilah yang paling sering berhubungan dengan desa.

Kondisi ini tidak menihilkan inisiatif baik yang telah dilakukan Pemkab Merangin. Namun menegaskan masih perlunya koordinasi untuk mempersiapkan pihak-pihak terkait dalam memahami dan menjawab pelimpahan kewenangan tersebut. Harus ada upaya untuk menyatukan pemahaman antara kecamatan dan DPMD mengenai kegiatan yang dapat dimasukkan dalam APBDes, menegaskan pada desa bahwa dokumen APBDes harus dievaluasi kecamatan terlebih dahulu, serta menekankan pada DPMD untuk hanya memproses APBDes yang telah lolos evaluasi kecamatan. Pengembangan dokumen untuk menyepakati aspek-aspek

(25)

20

yang perlu dievaluasi dan pernyataan bahwa dokumen telah mendapat rekomendasi dari kecamatan juga perlu dilakukan. Hal ini terutama agar evaluasi APBDes dapat mengoptimalisasi pemanfaatan anggaran desa sesuai dengan kebutuhan dan konteks setempat, tanpa harus menghambat proses pencairannya. Intinya, penegasan terhadap pendelegasian kewenangan kepada kecamatan perlu ditindaklanjuti, disepakati dan dikoordinasikan.

(26)

21 C E R I T A F I T U R

Transformasi Badan Kredit Desa Deling menjadi BUMDes

Rabu, 17 Jan 2018 Penulis: : Akhmad Fadli

Narasumber dalam FGD tentang Transformasi BKD di Banyumas (11 Oktober 2016, Banyumas, AF)

Banyumas. Selasa malam itu, 8 November 2016, 22 orang berkumpul di aula kantor Desa Deling, di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dalam musyawarah desa mengenai penyerahan aset Badan Kredit Desa (BKD). Musyawarah itu diinisiasi pemerintah desa, setelah Kepala Desa Sutikno menghadiri pertemuan di Purwokerto soal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai transformasi BKD menjadi badan hukum.

Beberapa dari peserta musyawarah desa tersebut – yang terdiri dari unsur pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), dan pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) – cukup tersentak ketika Sutikno menjelaskan bahwa BKD adalah lembaga keuangan yang tidak bertuan, belum jelas status kepemilikan asetnya.

Mukromudin yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun I ketika BKD Deling dibentuk pada tahun 1994, mengira BKD adalah milik Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan desa hanya bekerja sama menyalurkan uang BRI untuk pembiayaan usaha dan keperluan lainnya.

Syaikhu, pengelola BKD Deling saat awal berdiri, mengatakan waktu itu BKD layaknya teras BRI, yang bekerja sama untuk memberikan pinjaman dengan pembagian keuntungan sesuai

kesepakatan.

“Semua dana dari BRI. Tidak ada penyertaan modal dari desa maupun perorangan. Kita hanya mengelola, mencari orang yang akan meminjam. Setelah itu diajukan ke BRI,” ungkap Syaikhu.

(27)

22

Setelah sekian lama berjalan, BKD sekarang sudah mempunyai aset dan modal dari akumulasi keuntungan. Hal inilah yang menimbulkan polemik mengenai kepemilikan aset dan modal BKD. Selama ini, Badan Kredit Desa memang merupakan lembaga keuangan yang cukup mendapat keistimewaan. Meskipun belum berbadan hukum, BKD bisa beroperasi melaksanakan usaha keuangan dengan status setara Bank Perkreditan Rakyat jika memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, seperti termaktub dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan. Selama ini BKD cukup mendapat ijin dari kementrian keuangan, bahkan ada banyak BKD di Banyumas yang hanya mendapat ijin dari bupati.

Akhirnya pada 2016, Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2016 dan Surat Edaran OJK Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat diterbitkan. Peraturan tersebut menetapkan agar BKD melakukan penataan kelembagaan sesuai ketentuan BPR, salah satunya harus berbadan hukum. Masing-masing BKD boleh memilih bentuk badan hukum BPR, bisa perseroan terbatas, koperasi, perusahaan umum daerah, dan perusahaan perseroan daerah. Bagi BKD yang tidak bisa memenuhi ketentuan BPR bisa memilih untuk bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) maupun BUMDes. Dalam POJK tersebut, BKD diberi tenggat 31 Desember 2016 untuk menyerahkan rencana aksi kepada OJK, dan revisi rencana paling lambat 31 Desember 2017.

Dalam peraturan tersebut, OJK juga menyebutkan pemenuhan persyaratan badan hukum BPR oleh BKD juga mengikuti mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan ketentuan pelaksanaan lainnya.

Turunnya tingkat kredit macet

BKD di Deling termasuk muda, berdiri sekitar 1994 dalam rangka memperkaya inovasi untuk mengikuti lomba desa tingkat nasional.

Menurut Afif Juremi, mantan sekretaris desa Deling yang sekarang menjadi pengawas BUMDes Deling, selain sebagai tujuan mengikuti lomba desa, BKD juga didirikan untuk mengurangi praktik rente di desa.

Buka setiap Jumat, BKD Deling berperan cukup besar dalam menyediakan akses keuangan warga, terutama untuk pembayaran uang sekolah dan pelaksanaan hajat, kata Kades Sutikno. Ia sangat paham karena setiap kali pencairan, kepala desa ikut menandatangani dokumen

pencairannya.

“Saya paham siapa-siapa yang hutang di desa. Praktik rente oleh bank ucek-ucek (lintah darat) maupun perorangan masih berlangsung sampai hari ini, akan tetapi sudah banyak berkurang,” ujar Sutikno.

Pada musyawarah bulan November 2016, aset BKD kemudian diserahkan kepada desa dan memutuskan BKD Deling akan bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Forum musyawarah juga menugaskan Subur, pengurus BUMDes, dan Afif Juremi untuk melakukan konfirmasi aset dan audit sederhana terhadap operasi BKD selama ini.

Pada 24 Januari 2017, pemerintah desa, BPD, dan Pengelola BUMDes Deling kembali berkumpul untuk menyerahkan aset BKD dari pemerintah desa ke pengelola BUMDes Deling Jaya.

(28)

23

BUMDes Deling Jaya. Sebelumnya, Subur melaporkan hasil audit BKD hasil pengelola sebelumnya.

Nilai kemacetan BKD ternyata cukup tinggi, mencapai Rp 60 juta (37 persen). Subur kemudian berjanji akan berusaha menyelesaikan pinjaman yang macet dan menata ulang BKD. Bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di kecamatan, Subur melakukan penagihan ke nasabah yang macet pada malam hari. Selain itu, Subur juga menerapkan aplikasi keuangan, standar prosedur operasi baru dan juga membuat produk pinjaman baru berupa “pinjaman talangan” (yakni memberikan jaminan bagi masyarakat yang mau meminjam dana tetapi tidak dapat memenuhi prasyarat resmi).

Per Agustus 2017, ada beberapa perubahan positif yang tercatat setelah BKD Deling dikelola oleh BUMDes. Pertama, tingkat kredit macet turun drastis dari Rp 60 juta (37 persen) menjadi Rp 16 juta (7,5 persen). Kedua, keuntungan juga naik dari hanya sekitar Rp 2 juta menjadi hampir Rp 9 juta, berkat produk pinjaman baru. Ketiga, BKD mendapat modal penyertaan dari Desa Deling pada Juni 2017 sebesar Rp 50 juta.

Kekurangannya adalah berkurangnya pengawasan. Menurut teller BKD, Sulistyawati, juru tata usaha dari BRI sebelumnya datang setiap Jumat untuk mengecek pembukuan. Selain itu, setiap tiga bulan sekali mantri pengawas yang ditunjuk BRI juga melakukan pengawasan pembukuan dan lapangan. Sekarang, manajer baru tidak selalu bisa hadir karena ia juga bekerja di

perusahaan swasta. Sulistyawati berharap kekurangan tersebut bisa segera teratasi. “Jika pengawasan ditingkatkan, saya optimis BKD ke depan akan semakin maju dan bisa meningkatkan akses keuangan untuk perkembangan usaha masyarakat di desa,” ujar Sulistyawati.

Senada dengan Sulis, Kepala Desa Deling juga cukup optimistis dengan kemajuan BKD ke depan. Kades berharap, selain meningkatkan akses keuangan untuk warga, BKD ke depan juga bisa memberikan pendapatan bagi desa guna menopang pembangunan di desa.

Sayangnya, transformasi BKD ini masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, seperti yang dikemukakan oleh Kikis, kepala Unit Pengelola Kegiatan PNPM Kecamatan Kebasen yang ikut mendampingi transformasi BKD di beberapa desa di Banyumas. Menurutnya, BKD yang bertransformasi menjadi BUMDes belum disebut sebagai lembaga keuangan yang berbadan hukum jika mengacu pada aturan yang ada. BUMDes hanya organisasi usaha yang dibentuk oleh peraturan desa sehingga menimbulkan kerawanan.

“Belum ada jaminan BUMDes BKD ini seterusnya akan diakui oleh OJK sebagai lembaga keuangan di tingkat desa, yang bisa beroperasi untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,” ujarnya.

Ia menambahkan, beberapa BKD yang memilih bertransformasi menjadi BPR dalam bentuk perusahaan perseroan juga belum menemui titik terang.

“OJK mensyaratkan ada saham pemerintah daerah. Syarat ini sama saja mentransformasikan BKD menjadi milik pemerintah daerah, bukan milik desa. OJK belum berpihak kepada desa,” ujar Kikis. (AF).

(29)

24 K N O W L E D G E S H A R I N G

Proses Perencanaan dan Penganggaran di Desa

Rabu, 14 Mar 2018 Presenter: Palmira Bachtiar

Peserta diskusi "Proses Perencanaan dan Penganggaran di Desa"

Berkaitan dengan Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014, perencanaan dan

penganggaran adalah tahapan penting dalam siklus pembangunan desa. Peraturan ini

mensyaratkan desa untuk membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

(RPJMDes) yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) dan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan dokumen perencanaan

dan penganggaran ini. RPJMDes dimaksudkan untuk menjadi kerangka kerja bagi desa

untuk membuat anggaran tahunan dan rencana pembangunan.

Sementara, temuan di lapangan mengindikasikan bahwa alih-alih menjadi panduan

pembangunan desa, RPJMDes menjadi "daftar belanja" dari proyek yang diusulkan

masyarakat dalam musyawarah perencanaan. Selain itu, ada pula RPJMDes yang diubah

setiap tahun untuk mengakomodir perubahan prioritas dari pemerintah pusat yang

berkaitan dengan Dana Desa (DD) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

Di tahun keempat implementasi Undang-undang Desa, Sentinel Village team bermaksud

menelaah 1) perubahan yang terjadi dalam proses perencanaan dan penganggaran desa

dibandingkan dengan temuan kajian baseline di tahun 2015; 2) relevansi RPJMDes dan

(30)

25

RKPDes dengan kualitas pembangunan desa; dan 3) perubahan yang diperlukan untuk

mengoptimalkan dan memperbaiki implementasi Undang-undang Desa.

Data dari lapangan yang telah dikumpulkan melalui kajian Sentinel Village digunakan

sebagai dasar analisis dan diskusi.

Temuan dari observasi telah disajikan melalui seri diskusi dengan judul "Proses

Perencanaan dan Penganggaran di Desa."

(31)

26 K N O W L E D G E S H A R I N G

Peran Pemerintah Supra-desa dalam Implementasi

Undang-Undang Desa

Rabu, 14 Feb 2018 Presenter: Ruhmaniyati

Undang-Undang Desa No.6/2014 mengakui kewenangan dan otonomi desa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan mereka sendiri, serta memperkuat pembangunan

terdesentralisasi. Lewat desentralisasi, pemerintah desa dipengaruhi oleh kebijakan di tingkat supra desa (yaitu kabupaten dan kecamatan). Perubahan dalam pembangunan desa terkait dengan kebijakan supra-desa setelah pelaksanaan Undang-Undang Desa ini diobservasi oleh Tim Sentinel Village dengan melakukan studi tematik yang secara khusus menilai interaksi antara pemerintah desa dengan supra-desa dan mengidentifikasi praktik-praktik terbaik di lapangan dalam hal partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Temuan-temuan kunci menunjukkan bahwa: 1) Kapasitas pemerintah desa untuk melaksanakan Undang-Undang Desa telah meningkat, terutama dalam pelaporan, 2) Peran pemerintah supra-desa adalah menerbitkan peraturan teknis, menyediakan alokasi anggaran untuk mendukung desa, dan mengadakan pelatihan bagi desa, 3) Peran pemerintah supra-desa yang paling menonjol adalah akuntabilitas ke atas, bukan ke bawah, 4) Transparansi bagi sebagian besar kabupaten adalah mengumumkan APBDes (anggaran desa) di ruang publik, dan 5) Seluruh Peraturan Bupati tentang perencanaan telah mengamanatkan bahwa warga desa harus berpartisipasi dalam proses

perencanaan desa, tetapi pengawasan atas pelaksanaannya masih terbatas.

Temuan ini didiskusikan lebih dalam lewat knowledge sharing tentang “Peran Pemerintah

(32)

27 K N O W L E D G E S H A R I N G

Menilai Pilihan Pendampingan Teknis dalam Pelaksanaan

Undang-Undang Desa: Potensi dan Tantangan

Rabu, 29 Nov 2017 Presenter: Asep Kurniawan

Pendampingan adalah elemen kunci dalam Undang-Undang Desa (UU Desa) untuk mendukung pemerintah serta masyarakat desa dalam mengadopsi prinsip partisipasi, transparansi dan

akuntabilitas dalam proses pembangunan desa (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan). Selain itu, pendampingan tekniks juga dibutuhkan untuk membantu desa merencanakan dan melaksanakan investasi yang berkualitas.

Pada era Program Pengembangan Kecamatan (PPK)/Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), pendampingan yang baik dan terstruktur menjadi faktor keberhasilan penting yang memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan membawa mereka mencapai tujuan pembangunan – seperti meningkatnya akses ke infrastruktur dan layanan dasar – sambil mempertahankan inklusivitas dan keterbukaan. Lebih penting lagi, keberadaan pendamping teknis sangat penting untuk memastikan kualitas dan efektivitas investasi proyek yang didanai.

Temuan dari studi kasus Sentinel Village tentang penggunaan dana desa menunjukkan bahwa desa masih mengalokasikan porsi yang besar dari anggaran yang ada untuk infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan. Meski infrastruktur dasar masih dibutuhkan di beberapa desa, salah satu alasan dibalik “kegigihan” dalam membangun jalan dan jembatan adalah kurangnya ide di tingkat desa tentang jenis investasi lain yang lebih produktif.

(33)

28 Permasalahan ini dapat diatasi dengan menghubungkan desa dengan para ahli teknis yang ada di desa atau supra-desa. Sentinel Village melakukan studi kasus untuk menilai dan memetakan ahli teknis yang ada di wilayah studi untuk memahami pasokan dan permintaan akan pendamping teknis. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan untuk memperkuat pendampingan teknis. Temuan-temuan utama menunjukkan bahwa: 1) Permintaan pendampingan teknis di tingkat desa bervariasi, dengan banyak desa belum menyadari kebutuhan mereka akan pendampingan teknis untuk membantu mereka menginformasikan atau mengidentifikasi investasi desa yang lebih produktif; 2) Pasokan beberapa pendampingan teknis tersedia di tingkat kabupaten (contohnya pertanian, pekerjaan umum dan UMKM); namun jumlah ini terbatas dan peran mereka sebagain besar terkait dengan kabupaten yang melaksanakan proyek atau kegiatan, bukan untuk mendukung desa dan; 3) Sumber lainnya untuk pendamping teknis – seperti akademisi atau LSM – tersedia di beberapa wilayah; namun peran mereka juga terbatas untuk mendukung pelaksanaan proyek atau kegiatan mereka sendiri.

Temuan ini kami bahas lebih jauh dalam diskusi Menilai Pilihan Pendampingan Teknis dalam

(34)

29 K N O W L E D G E S H A R I N G

Tata Kelola Desa dalam Undang-Undang Desa: Temuan dari

Studi Awalan Sentinel Villages

Rabu, 25 Oktober 2017 Presenter: Christopher Finch , Lily Hoo

Undang-Undang No.6/2014 tentang Desa (Undang-Undang Desa, UU Desa) memberikan peluang untuk meningkatkan tata kelola desa di Indonesia dengan memasukkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam hal partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas ke bawah, serta menyediakan lebih banyak sumber daya dan otonomi ke desa-desa. Prinsip-prinsip ini telah dipraktekkan melalui kegiatan pembangunan berbasis masyarakat (CDD) selama lebih dari 15 tahun di berbagai desa di Indonesia – berdasarkan prinsip yang memberdayakan warga untuk memilih atau menentukan permintaan akan barang/jasa yang mereka butuhkan untuk

meningkatkan kesejahteraan mereka.

Bank Dunia telah memberikan bantuan analitis dan teknis terkait UU Desa selama 2,5 tahun terakhir dan memberikan ringkasan presentasi tentang tantangan utama UU Desa yang muncul dan tindakan yang mungkin dapat meningkatkan pelaksanaan UU Desa, berdasarkan

pengalaman panjang Indonesia dalam pembangunan berbasis masyarakat yang telah dikenal secara global.

Tantangan ini meliputi UU Desa dalam hal: 1) Alokasi dan penggunaan sumber daya; 2)

Melembagakan partisipasi masyarakat untuk memastikan suara dan respon terhadap kebutuhan desa; 3) Sistem untuk mengelola keuangan desa dan keluarannya; 4) Menyediakan dukungan kapasitas di lapangan yang berkelanjutan di tingkat desa dan; 5) pengawasan atas ke bawah dan bawah ke atas.

(35)

30

Komponen utama program dari Bank Dunia yang mendukung Undang-Undang Desa, Studi Sentinel Village, atau dikenal juga sebagai Studi Tata Kelola dan Pemberdayaan Desa, bertujuan untuk memonitor pelaksanaan Undang-Undang Desa dari 2015-2018. Studi ini dilakukan di tiga provinsi dan lima kabupaten (Jambi: Batanghari dan Merangin; Jawa Tengah: Wonogiri dan Banyumas; dan NTT: Ngada).

Meski sesi diskusi ini menggabungkan temuan kuantitatif dan kualitatif dari studi tersebut, presentasinya difokuskan pada temuan kuantitatif yang datanya diambil dari 112 desa (4.081 keluarga – 2.125 wanita dan 1.956 pria, 112 kepala desa, 112 kepala BPD, 112 kepala dusun, 222 aktivis masyarakat, 224 pekerja sektor kesehatan dan 192 pekerja sektor pendidikan).

Temuan utama yang didapat diantaranya: 1) Pengetahuan warga desa atas program desa dan penggunaan dana desa rendah; 2) Pertemuan perencanaan kegiatan desa tidak terbuka bagi seluruh warga desa, dimana warga dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan dan yang aktif akan lebih mungkin diundang daripada wanita dan warga marjinal; 3) Warga desa memiliki ketertarikan yang lebih besar untuk ikut serta dalam musyawarah dusun daripada musyawarah desa secara keseluruhan. Bahkan walaupun mereka datang ke

musyawarah, keterlibatan mereka terbatas; 4) Ketertarikan warga desa terhadap informasi yang berkaitan dengan pemerintah desa biasanya tentang informasi yang berdampak langsung pada mereka, dan jumlah warga desa yang tidak tertarik dengan informasi terkait desa jumlahnya cukup signifikan (32,4%); 5) Aktivis desa sering hadir di musyawarah desa dan musyawarah dusun dan lebih terlibat dalam diskusi – oleh karena itu mereka lebih berpotensi untuk terlibat sebagai perwakilan desa; dan 6) Kebijakan kabupaten mempengaruhi tata kelola desa.

(36)

31 K N O W L E D G E S H A R I N G

Pemanfaatan Dana Desa: Studi Kasus Sentinel Villages

Rabu, 2 Agustus 2017 Presenter: Palmira Bachtiar

Tim Sentinel Villages mengadakan sesi presentasi dan diskusi tentang Penggunaan Dana Desa. Studi kasus ini dilakukan di 10 desa di lima kabupaten (Banyumas dan Wonogiri di Jawa Tengah,

Batanghari dan Merangin di Jambi dan Ngada di NTT).

Sesi ini mendiskusikan perencanaan dan pemanfaatan dana desa, apakah kedua hal tersebut telah mengakomodir kebutuhan warga desa, bagaimana manfaat dana desa di mata warga desa, termasuk warga miskin dan marjinal. Tim SMERU yang melaksanakan studi ini juga menelaah faktor yang berpotensi membatasi efektivitas dana desa dalam mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan di kawasan rural di Indonesia.

Temuan utama yang didapat diantaranya: 1) perencanaan dan pemanfaatan dana desa sebagian besar masih didorong oleh dorongan untuk distribusi manfaat yang merata di dusun, dan pembangunan infrastruktur masih menjadi pilihan karena terlihat dan kemudahan proses

administrasinya; 2) Tidak adanya ide untuk kegiatan inovatif untuk mendorong pembangunan desa juga berkontribusi pada rendahnya kualitas pemanfaatan dana desa; 3) Penggunaan dana desa belum diarahkan pada kegiatan pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan ekonomi karena mispersepsi aparat desa dan masyarakat yang umum terjadi mengenai “kegiatan

pemberdayaan” dan bagaimana merealisasikannya; dan 4) Pemanfaatan dana desa tidak ditargetkan secara spesifik ke warga miskin dan marjinal, sebagian karena tidak diharuskan oleh peraturan, dan juga karena pemerintah desa – secara umum –memahami bahwa warga desa kurang lebih setara secara ekonomi dan bahwa penduduk miskin dilayani dengan baik lewat berbagai program bantuan sosial.

(37)

32

Early Childhood Education

and Development (ECED)

C E R I T A

Kabupaten Sukabumi Tingkatkan Kualitas Pendidikan Anak Usia

Dini Lewat Diklat Berjenjang

Senin, 12 Nov 2018 Penulis: Fibria Heliani

Pendidikan anak usia dini merupakan program yang krusial karena usia 0-6 tahun dianggap sebagai periode emas tumbuh kembang anak. Semakin banyak lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang didirikan di negara ini, namun tantangan yang dihadapi juga banyak, mulai dari ketersediaan fasilitas hingga kompetensi tenaga pendidik PAUD.

Di banyak layanan, para guru PAUD mengajar dengan penuh dedikasi, namun pembekalan dan tingkat pendidikan yang mereka miliki terbatas. Sebagian besar dari mereka adalah anggota masyarakat dengan latar belakang pendidikan SMA. Untuk itu, Kabupaten Sukabumi memiliki resep tersendiri untuk memastikan guru-guru PAUD di daerahnya memiliki bekal yang cukup untuk mendidik anak-anak usia dini. Pemerintah Kabupaten Sukabumi memperluas akses dan meningkatkan kualitas layanan PAUD di 22 kecamatan lewat kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Berjenjang yang menjadi bagian dari program Pilot PAUD Generasi Cerdas Desa (GCD).

Pilot PAUD GCD merupakan program rintisan kolaboratif untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas layanan PAUD di desa. Program ini memfasilitasi kerja sama antara program PAUD di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan program Generasi Sehat Cerdas (Generasi) di bawah koordinasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di tingkat kabupaten, pemerintah pusat melalui dinas perwakilan bekerja sama dengan 25 pemerintah kabupaten, dan melibatkan pemerintah kecamatan serta desa hingga organisasi mitra lokal dan masyarakat.

Diklat Berjenjang terdiri dari Diklat Dasar, Diklat Lanjut, dan Diklat Mahir. Sepanjang 2016-2017, kurang lebih 15.000 guru PAUD di 25 kabupaten telah mengikuti Diklat Dasar. Diklat Dasar terdiri atas pelatihan, tugas mandiri, kunjungan belajar lokal, kegiatan gugus PAUD dan kegiatan pendampingan.

Upaya pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk meningkatkan kapasitas guru PAUD tidak berhenti di situ. Di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Diklat Dasar diperluas dengan menggunakan Alokasi Dana Desa (ADD). Skema yang sama dilanjutkan di Kecamatan Jampang Kulon, kemudian Kecamatan Kadudampit. Pada 2018, 90 persen guru PAUD di Kecamatan Kadudampit mengikuti Diklat Berjenjang Tingkat Lanjut dengan pembiayaan dari Dana Desa.

(38)

33 “Pada Agustus 2018 ini, 21 guru dari tujuh desa mengikuti Diklat Lanjut. Sebenarnya APBDesa hanya dapat membiayai 17 guru. Karena tidak ingin ketinggalan, empat guru ikut diklat ini dengan pembiayaan mandiri,” ujar Lomri, Kepala Seksi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) PAUD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi.

Ia menambahkan bahwa jumlah ADD untuk Diklat Berjenjang berbeda-beda tergantung dari kebijakan pemerintah desa. Di Kecamatan Jampang Kulon, alokasi biaya Diklat Dasar adalah Rp1.500.000 per orang, sementara di Kecamatan Pelabuhan Ratu Rp600.000 per orang dan di Kecamatan Kadudampit Rp1.800.000 per orang untuk Diklat Lanjut.

Diklat Berjenjang Tingkat Lanjutan untuk para guru PAUD di Kecamatan Kadudampit, kecamatan pertama di Kabupaten Sukabumi yang melakukan kegiatan tersebut. (Foto: The World Bank/Fibria Heliani).

Bunda PAUD Sangat Aktif

Kelancaran proses peningkatan kapasitas guru-guru PAUD di Kabupaten Sukabumi tidak terlepas dari keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini dari pemerintah lokal dan masyarakat.

Ide tentang peningkatan kapasitas guru PAUD yang dibiayai Dana Desa pertama kali muncul dari para guru pada saat musyawarah dusun (Musdus) 2017. Hasil diskusi lalu dikoordinasikan dengan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) dan dibawa ke musyawarah desa. HIMPAUDI bersama para guru atau bunda PAUD kecamatan juga ikut dalam musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) tingkat kecamatan.

(39)

34

“Di Musrenbang kecamatan, kepala desa wajib hadir didampingi dengan Bunda PAUD Desa,” papar Camat Kadudampit, Jaenal Abidin.

Setelah pelantikan pada 2017, Bunda PAUD Desa selalu gencar melakukan sosialisasi

pentingnya kompetensi guru PAUD dalam mendidik. Di setiap kegiatan di tingkat kecamatan, selain kepala desa, Bunda PAUD Desa selalu ikut serta. Sehingga hal ini memudahkan advokasi tentang peningkatan kualitas PAUD.

“Bunda PAUD Kabupaten sebagai penggerak program PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) kabupaten juga selalu berkeliling dan mensosialisasikan perlunya dukungan untuk meningkatkan mutu PAUD, termasuk di pertemuan PKK,” ujar Ketua HIMPAUDI Kabupaten Sukabumi, Emi Ruhaemi.

“Bunda PAUD Kecamatan juga aktif sekali. Ketua HIMPAUDI pun juga saya minta agar jajarannya ikut mengadvokasi Bunda PAUD Desa,” tambah Bunda PAUD Kabupaten, Yani Marwan.

Ia menambahkan bahwa komunikasi intensif via grup WhatsApp juga mendorong kelancaran peningkatan kualitas PAUD.

“Para Bunda PAUD, ibu-ibu PKK dan guru PAUD semua tergabung di group chat, mulai dari tingkat kabupaten hingga desa. Jadi semua informasi, paling cepat diakses dan dibagi di situ. Misalnya di desa lain ada yang PAUDnya ada pelatihan atau kegiatan menarik lainnya langsung di-share di grup ini. Jadi semua langsung dapat informasi dan kalau ada gagasan yang mau dilakukan, lebih mudah juga untuk koordinasi,” ujar Yani.

Peran BKAD

Pemerintah Kabupaten Sukabumi juga menetapkan payung hukum untuk peningkatan kapasitas guru PAUD, lewat Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan

Pendidikan Anak Usia Dini, serta Peraturan Bupati Nomor 72 tahun 2017 tentang Prioritas Dana Desa 2018.

“Sejalan dengan peraturan ini, Bunda PAUD juga mensosialisasikan ke desa-desa agar mengawal prosesnya hingga ketok palu,” jelas Timan Sutiman, Kepala Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Kadudampit.

BKAD juga berperan besar dalam peningkatan kualitas PAUD dengan melakukan pendampingan sejak awal.

“Terkait dengan rancangan Perbup, sebelum membuat petunjuk teknis alokasi dana desa, Perbup biasanya disirkulasikan dulu lewat rapat koordinasi ke BKAD dan fasilitator. Jadi BKAD dan fasilitator juga lebih mudah saat mensosialisasikan ke desa. Perbup yang jelas dan detail, jadi kekuatan di sini,” ujar Kepala Bidan Sarana Prasarana Desa DPMPD Sukabumi, Deni Ludiana. Ke depannya, tambahnya, BKAD nantinya akan berperan untuk mengawal proses terkait

pelayanan sosial dasar menggantikan peran fasilitator.

Selain itu, pegawai pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten, DPMD serta BKAD juga tergabung di grup WhatsApp untuk kelancaran komunikasi kegiatan pelayanan sosial dasar di desa.

Keberadaan insentif juga menjadi faktor yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini di Sukabumi. Guru-guru yang telah mengikuti Diklat Berjenjang mendapatkan insentif yang berkisar antara Rp200.000 untuk lulusan S-1 PAUD, Rp100.000 untuk S-1 Non-linear dan Rp200.000 untuk lulusan SMA yang telah mengikuti Diklat Berjenjang. Sementara

(40)

35

untuk guru dengan tingkat pendidikan SMA dan belum ikut Diklat Berjenjang, menerima insentif Rp75.000. Insentif didistribusikan setiap enam bulan dan dialokasikan lewat APBD-II.

Dengan adanya insentif yang diberikan, banyak guru-guru PAUD yang baru lulus tingkat kesetaraan lalu berbondong-bondong mengambil kuliah S1 PAUD untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kegiatan belajar di PAUD di Desa Sukamanis, Kadudampit, Sukabumi. Di akhir jam pelajaran, para guru PAUD akan berkumpul untuk mematangkan materi ajar untuk keesokan harinya atau satu

minggu mendatang (Foto: The World Bank/Fibria Heliani).

“Sejalan dengan Strategi Nasional Pemerintah Indonesia untuk mencegah stunting, kami terus galakkan upaya pencegahan stunting di kecamatan prioritas. Kami juga melakukan sosialisasi pelayanan sosial dasar, termasuk peningkatan kualitas PAUD ke kecamatan non-prioritas. Kami berharap ke depannya, seluruh PAUD di kabupaten ini memiliki kualitas yang sama,” kata Deni.

(41)

36 C E R I T A

Warga Desa Berjuang Sediakan Layanan untuk Anak Usia Dini

Senin, 28 Mei 2018 Penulis: Rosfita Roesli, Thomas Brown

Para Guru atau Tenaga Pengajar PAUD Galung Tuluk di gedung PAUD Bina Bangsa yang baru dibangun.

“Pengalokasian anggaran yang baik itu penting, namun bagaimana anggaran itu digunakan juga sama pentingnya dengan itu.” Pernyataan Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani

Indrawati, pada Januari 2017 tersebut masih relevan saat ini. Pemerintah pusat mentransfer lebih dari Rp98 triliun setiap tahun ke seluruh desa sebagai bagian dari mandat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Namun bagaimana dana ini digunakan oleh desa-desa, dan apakah keberadaan dana tersebut menjadi jaminan

bahwa masyarakat desa mendapatkan layanan dasar?

Galung Tuluk, sebuah desa pesisir di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, merupakan contoh cemerlang dari penggunaan anggaran yang lebih baik untuk menyikapi kebutuhan khas masyarakatnya. Memastikan generasi termudanyamemiliki akses terhadap layanan-layanan dasar yang sangat mereka butuhkan, merupakan prioritas utama bagi pemerintah desa tersebut. Galung Tuluk menginvestasikan porsi yang besar dari Dana Desanya untuk

menyediakan layanan pendidikan usia dini yang berkualitas untuk anak-anak. Investasi yang didorong oleh masyarakat ini sangat penting, terutama di provinsi-provinsi seperti Sulawesi Barat, yang memiliki tingkat stunting yang sangat tinggi pada anak-anak. Anggaran Galung Tuluk

(42)

37 untuk PAUD jauh lebih tinggi dibandingkan desa-desa lain yang cenderung hanya mengalokasikan sekitar 5 persen dari dana desanya untuk layanan kesehatan dan pendidikan.

Kepala sekolah dan guru PAUD Galung Tuluk bersama Kepala Desa dan wakilnya yang telah mendukung investasi dalam pendidikan anak usia dini.

Pengalokasian dana desa merupakan hasil dari keputusan yang dibuat di tingkat

masyarakat desa, berdasarkan isu-isu yang muncul dalam musyawarah dusun, yang kemudian dibawa ke dalam musyawarah desa untuk disusun urutan prioritasnya. Responden-responden dari pemerintahan desa mengindikasikan bahwa investasi untuk pendidikan usia dini ini terlaksanakarena masyarakat sadar akan pentingnya layanan sosial dasar dan terlibat dalam proses-proses konsultasi desa. Selain itu,pimpinan desa juga memiliki kemauan untuk berinvestasi dalam sumber daya manusia di masyarakat mereka.

Pada April 2018, para anggota tim ECED Frontline (Generasi Cerdas

Desa) berkunjung ke Kabupaten Polewali Mandar dan berbicara dengan para pejabat desa, kecamatan, dan kabupaten, untuk memahami apa yang mendorong dan menghambat investasi untuk layanan PAUD di Indonesia yang sistem pemerintahannya terdesentralisasi. Tim tersebut menemukan bahwa pada tahun 2016, Galung Tuluk menggunakan 39 persen dari Dana

Desanya untuk layanan PAUD. Alokasi itu dipakai untuk peningkatan insentif bagi 22 guru PAUD dan pembangunan fisik PAUD Bina Bangsa.

Gambar

Foto memperlihatkan aktivitas BKB.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Demikian rekomendasi ini diberikan dengan sebenarnya untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penerimaan calon peserta Program Studi Magister/Doktor/Profesi*

Statistika adalah ilmu matematika yang berhubungan dengan pengumpulan data, penyajian data, pengolahan dan analisa data .mean, median dan modus merupakan salah satu bagian

[r]

ProperPostfix (atau PoperSufix) string w adalah string yang dihasilkan dari string w dengan menghilangkan satu atau lebih simbol-simbol paling depan dari string w tersebut..

Syukur alhamdulillah Saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas hidayah dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “ Gambaran Asupan Kalsium

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di SMAS Taman Mulia Sungai Raya, penggunaan metode mengajar guru pada mata pelajaran sosiologi masih

Metode tutor sebaya adalah cara mengajar yang dilakukan dengan menjadikan teman dalam kelompok peserta didik yang dipandang memiliki kemampuan atau kompetensi