• Tidak ada hasil yang ditemukan

Devy Destriana MA, Indah Rahmawati, Joko Mulyanto 1. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Devy Destriana MA, Indah Rahmawati, Joko Mulyanto 1. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRACT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN LUAS LESI PADA FOTO RONSEN TORAKS

ANTARA PASIEN TUBERKULOSIS PARU KASUS BARU BTA POSITIF

DENGAN BTA NEGATIF STUDI KOHORT RETROSPEKTIF DI RSUD

PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Devy Destriana MA, Indah Rahmawati, Joko Mulyanto1

1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis (Pulmonary TB) infected one third of the world population. Since 2009, Indonesia was the fifth that had the highest tuberculosis case in the world. In 2011, Case Detection Rate (CDR) of Central Java was 49,24%. The prevalence of pulmonary TB in RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto was 472 patients in 2012 until August 2013. Chest x-ray was the first investigation to diagnose pulmonary TB. The aims of this study was to knowing the differences of lesion area on chest x-ray between new cases of pulmonary TB patient with AFB smear positive and AFB smear negative. This is an Observational analytic with cohort retrospektif study, conducted 22 pulmonary TB patients with AFB smear positive and 22 pulmonary TB patients with AFB smear negative in RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Data were analyzed by Chi-square with significance level of p<0,05. Univariate analysis showed that the highest number of respondents were male (56,8%), and the highest of the age group was 15-25 years old group (27,3%). Bivariate analysis using Chi-square was obtained p= 0,011 (p<0,05). There were differences lesion area on chest x-ray between new cases of pulmonary TB patient with AFB smear positive and AFB smear negative.

Key Words: Pulmonary Tuberculosis, Chest X-ray, Lesion area, AFB smear

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB paru) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.

World Health Organization (WHO) pada

tahun 1993 merencanakan kedaruratan global penyakit TB paru karena pada sebagian besar negara di dunia, penyakit TB paru tidak terkendali disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan

(Depkes RI,2002). Sebelum masa

HIV/AIDS belum berkembang, TB paru terjadi pada negara yang sedang atau belum berkembang, namun sekarang pada negara yang sudah maju seperti Eropa dan Amerika

jumlah penderita TB paru semakin

meningkat seiring meningkatnya angka kejadian HIV/AIDS. Empat puluh persen dari jumlah penderita TB paru di dunia berada di sebelas negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan perkiraan delapan juta penduduk terkena TB paru baru aktif dan setiap tahun bertambah tiga juta penderita baru ( Aditama, 2003). Departemen Kesehatan RI, menyatakan bahwa 25% dari seluruh kematian akibat TB paru di negara berkembang sebenarnya dapat dicegah, dan 75% terjadi pada kelompok usia produktif yaitu 15 – 50 550

(2)

tahun ( Depkes RI, 2007 ). Menurut

Departemen Kesehatan, kini

penanggulangan TB paru di Indonesia menjadi lebih baik. Data statistik WHO menunjukkan Indonesia turun dari peringkat tiga menjadi peringkat ke lima dunia

dengan jumlah insiden terbanyak

tuberkulosis pada tahun 2009 setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (PPTI, 2012).

Laporan Program Pemberantasan Penyakit Menular yang dilakukan dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2004, ditemukan jumlah pasien TB paru kasus baru sebanyak 14.329 pasien dan meninggal 285 orang (1,99%). Jumlah kasus baru meningkat menjadi 17.523 pasien pada tahun 2005 atau Case Detection

Rate (CDR) sebesar 49,24%. Angka

prevalensi penyakit TB paru di tahun 2005 untuk Jawa Tengah sebesar 56,95 per 100.000 penduduk (Dinkes Jateng,2005). Tahun 2011, CDR sebesar 59,52%, jumlah ini mengalami peningkatan daripada tahun 2010 yaitu sebesar 55,38% ( Dinkes Jateng, 2011).

Berdasarkan data yang didapat dari salah satu staf bagian rekam medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto angka prevalensi pasien TB paru pada tahun 2012 sebanyak 282 orang dan 192 orang pada bulan Januari – 18 Agustus 2013 ( Budi, 2013)

Berdasarkan Pedoman

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru,

diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan

gejala/pemeriksaan klinis, radiologis, dan laboratorium ( PDPI, 2012). Menurut WHO, diagnosis pasti TB paru berdasarkan pemeriksaan sputum secara mikroskopis dengan menemukan kuman Mycobacterium

tuberculosis. Pemeriksaan ini merupakan

pemeriksaan yang efisien, mudah, murah,

dan cukup cepat yaitu 2 hari

(Srikanth,2009).Tetapi kurang sensitif, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain (Lyanda,2004).

Pemeriksaan penunjang pertama

yang membantu untuk menegakkan

diagnosis TB paru, memonitor respons

pengobatan, dan membantu dalam

menghambat penyebaran infeksi ialah foto ronsen toraks. Selain itu, foto ronsen toraks merupakan cara yang praktis, cepat, dan mudah untuk menemukan lesi TB paru (Ben-Salma,2009).

Berdasarkan teori yang ada biasanya lesi luas terdapat pada sputum dengan BTA positif (PDPI, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2007), yaitu bahwa terdapat korelasi yang kuat dan positif antara gambaran lesi radiologis dengan nilai kepositivan BTA (Suryani,2007). Hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Mulyadi dkk (2011) yaitu bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara luas lesi dengan tingkat kepositivan ( p > 0,05) .

Berdasarkan perbedaan hasil

penelitian terdahulu di atas, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan luas lesi berdasarkan foto ronsen toraks antara 551

(3)

pasien tuberkulosis paru kasus baru BTA positif dengan BTA negatif di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah

penelitian dengan rancangan analitik

observasional dengan desain Cohort

retrospektif, yang menghubungkan luas lesi

pada foto ronsen torkas dengan pasien tuberkulosis paru kasus baru BTA positif dengan BTA negatif pada 44 pasien TB paru dewasa di RSUD Prof. dr. Margono Soekajo Purwokerto usia >15 tahun,tidak menderita penyakit paru lainnya seperti pneumotoraks dan efusi pleura, mengisi inform consent. Data dikumpulkan melalui data rekam medik pasien dan home visit.

Analisis bivariat dalam penelitian komparatif ini, dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan, yaitu status kepositifan BTA sebagai variabel bebas pada penelitian ini bersifat kategorikal dan luas lesi pada foto ronsen toraks sebagai variabel terikat pada penelitian ini bersifat kategorikal maka uji analisis data yang digunakan adalah uji analisis Chi-square.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik subjek penelitian ditunjukan oleh tabel 4.1 yang mencakup

variabel jenis kelamin,umur dan

kepositifan BTA. Berikut adalah

karakteristik subjek penelitian

Berdasarkan jenis kelamin yang mendominasi ialah laki – laki yaitu 25 orang ( 56,8%) dan dari segi usia subjek penelitian terdapat 12 orang (27,3) berusia antara 15 sampai 25 tahun. Subjek peneliti yang mempunyai BTA negatif sebanyak 22

orang (50%), BTA positif + sebanyak 10 orang (22,8%), BTA positif ++ sebanyak 4 orang ( 9,1%) dan BTA positif +++ sebanyak 8 orang (18,2%).

Ratnasari (2012) mengatakan bahwa jumlah penderita laki – laki lebih banyak daripada 552

(4)

perempuan, hasil ini dilihat dari tampilan radiologik yang disimpulkan laki – laki cenderung rentan menderita penyakit TB paru dikarenakan laki – laki lebih banyak melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini

Aktifitas yang tinggi dan kontak dengan

orang lain memudahkan penularan penyakit pada rentang usia produktif ini. Sesuai dengan data Depkes RI yang menyatakan 75% penderita TB paru diperkirakan usia 15-59 tahun yang merupakan kelompok usia paling produktif ( Depkes RI, 2007 ; WHO 2011).

Dari tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa

minimum lesion terbanyak pada pasien

dengan BTA negatif yaitu 11 orang ( 25,0%), untuk moderate lesion pada pasien

BTA negatif yaitu 9 orang (20,5%) sedangkan pasien dengan far advanced

lesion yaitu 5 orang (11,4%) pada pasien

BTA +++

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan luas lesi pada foto ronsen toraks antara pasien tuberkulosis paru kasus baru BTA positif dengan BTA negatif di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto.

Sembiring (2005), melakukan

penelitian di RS Dr. Pringadi Medan dengan besar sampel 68 orang dewasa yang menderita penyakit TB paru menyatakan 553

(5)

bahwa luas lesi berhubungan erat dengan kepositifan pemeriksaan sputum BTA, semakin tinggi derajat kepositifan maka lesi akan semakin luas ( Sembiring, 2005). Berbeda dengan hasil penelitian Khair (2010) dan Mulyadi (2011) yang melakukn penelitian di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh dengan jumlah sebanyak 34 pasien bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan gambaran radiologi pada pasien TB paru (P>0,05). Namun, secara teori bahwa tingkat kepositifan BTA sputum penderita TB paru berpengaruh terhadap derajat luas lesi pada foto ronsen radiologi ( PDPI, 2012).

Menurut (Yoder et all, 2004), penderita Tb paru dengan lesi kavitas lebih

infektif dibandingkan dengan lesi

nonkavitas karena derajat kepositifan BTA-nya yang tinggi. Hasil pemeriksaan BTA (-) yang lebih tinggi dibandingkan BTA (+) kemungkinan besar disebabkan oleh efek pengobatan,sehingga BTA semula positif dapat berupa negatif (Sembiring,2005).

Faktor lain yang mempengaruhi luasnya lesi pada foto ronsen antara lain ialah status gizi pasien. Salah satunya

kekurangan asupan kalori sehingga

sehingga dapat memperberat dan

memperlama proses penyembuhan.

Malnutrisi protein dan kalori meningkatkan kepekaan terhadap infeksi dan sering menjadi sebab kesakitan dan kematian, sehingga menurunkan fungsi sel – sel imun

dalam mencegah dan menghambat

perkembangan bakteri ( Adhitomo, 2006). Penelitian yang dilakukan Nugroho (2004) di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Surakarta dengan besar sampel sebanyak 50 pasien didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan luas lesi radiologis penderita tuberkulosiss dengan P=0,05.

KESIMPULAN

Terdapat perbedaan luas lesi pada foto ronsen toraks antara pasien TB paru kasus baru BTA positif dengan BTA negatif di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Z. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:FKUI. Hal 988-993

2. Aditama, T.Y., Yulherina. 2003.

Tuberkulosis: Diagnosis,Terapi dan Permasalahannya. Jakarta : Ikatan

Dokter Indonesia. Hal 102-107.

3. Adhitomo, Indrawan 2006. Hubungan Kadar Gula darah dengan Derajat Lesi Radiologis Penderita Tb Paru. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret. Surakarta.

4. Ben-Selma, W., Ben-Kahla, I.,

Marzouk, M., Ferjeni, A., Ghezal, S ., Ben-Said, M., Boukadida, J. 2009. Rapid detection of Mycobacterium tuberculosis in sputum by patho-TB kit in comparison with direct microscopy and culture. Diagnostic Microbiology

and Infection Disease. 65(3):232–235.

5. Croffon, J., Horne, N., Miller, F. 2002.

Tuberkulosis Klinis. Jakarta : EGC.

Hal 93-102.

6. Dahlan, M. S. 2011. Statistik untuk

Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5.

Jakarta: Salemba Medika. Hal 1-28 ; 139-142.

7. Daniel,TM. 1999. Harison :

Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.

(6)

Tuberkulosis. Jakarta : EGC . Hal 799

– 818..

8. Departement Kesehatan Republik

Indonesia. 2007. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta

: Depkes RI.

9. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa

Tengah. 2005. Profil Kesehatan Jawa Tengah, Semarang.

10. Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2011. Profil kesehatan Jawa tengah.

Available at

http://www.dinkesjatengprov.go.id/dok umen/profil/profil2011/BAB%20I-VI%202011a.pdf. Diakses tanggal 15 Juli 2013.

11. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di Indonesia Januari –

Juni 2011. Available at

http://www.TBindonesia.or.id/pdf/201 1/IndonesiaReport2011.pdf . Diakses pada tanggal 14 Juli 2013.

12. Khair,F., 2010.Hubungan Antara

Pemeriksaan Sputum BTA dengan Gambaran Foto Toraks pada Penderita Tb paru di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. FK Muhammadiah Surakarta : Surakarta

13. Lyanda, A. 2012. Rapid TB Test.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia 8:

12-17.

14. Manalu, H. S. 2010. Factor Affecting The Occurance Of Pulmonary TB and Efforts To Overcome. Jurnal Ekologi

Kesehatan 9(4): 1340-1346.

15. McAdams, H. P., Samei, E., Dobbins, J., Tourassi, G. D., Ravin, C. E. 2006.

Recent Advances in Chest

Radiography. Radiology 241 (3): 663 – 683.Mfinanga, G.S., Ngadaya, E., Mtandu, R., Mutayoba, B., Basra, D., Kimaro, G., et al. 2007. The quality of sputum smear microscopy diagnosis of pulmonary tuberculosis in Dar es Salaam, Tanzania. Tanzania Health

Research Bull. 9(3):164–8.

16. Mulyadi.,Mudatsir., Nurlina. 2011.

Hubungan Tingkat Kepositivan

Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)

Dengan Gambaran Luas Lesi

Radiologi Toraks Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Respirasi

Indonesia 32(3): 133-137.

17. Nugroho, Andreas., 2004. Hubungan Antara Asupan Kalori dan Luas Lesi Radiologis Pada Penderita Tb Paru.

Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta

18. Rasad, S. 2005. Radiologi Diagnostik

Edisi 2. Jakarta :Divisi

Radiodiagnostik. Departemen

Radiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto mangunkusumo. Hal 90-92; 131-137 .

19. Ratnasari, Nita,Yunianti., 2012. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Tb Paru

di BP4 Yogyakarta. Jurnal

Tuberkulosis Indonesia.8:1829-5118

20. Robbins, S. L., Vinay, K. 1995.Buku

Ajar Patologi II. Edisi 4. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

21. Sembiring, Hilaludin. 2005. Hubungan

Pemeriksaan dahak dengan Kelainan Radiologis pada penderita TBC Paru Dewasa. FK USU : Sumatera Utara.

Hal 1-4

22. Weiss, M.G., Upleaker., Sommerfeld. 2008. Gender and TB : Socio Cultural

Aspects. International Journal

Tuberculosis Lung Diseases. 12(7):

825-866

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penulisan Laporan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui peran dan strategi public relations dalam meningkatkan brand image di Lorin Solo Hotel.. Metode penelitian

Penelitian pendahuluan meliputi analisa sensori untuk menentukan konsentrasi jus lidah buaya terbaik pada es krim soyaloe dan penelitian utama meliputi uji fisik

Light massage dapat diterapkan sebagai terapi komplementer pada penderita hipertensi primer untuk pengendalian tekanan darah. Effects of Swedish massage onblood

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

The cultural dimension of science is helpful to put science in a broader context of human knowledge. Meaning is deeply rooted in metaphysical realms: the worldview of

Judul yang penulis pilih dalam skripsi ini adalah suatu cara untuk mengetahui bagaimana terapi kecemasan dalam konseling Islam menurut Dadang Hawari. Adapun

DDR2 (double data rate 2 synchronous dynamic random access) adalah teknologi RAM yang digunakan sebagai media penyimpanan data dengan kecepatan tinggi pada computer atau

a) Yang dimaksud dengan sastra pengaruh peralihan dalam sastra Indonesia lama ialah sastra Indonesia lama yang mengandung unsur Hindu dan Islam. Karya sastra yang termasuk