• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 P a g e. Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 P a g e. Pelurusan Sejarah Indonesia 2010"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2 | P a g e

Dalam Rangka Memperingati 45 Tahun

( 1 Okt. 1965

– 1. Okt. 2010)

Tragedi Nasional Kemanusiaan

di Indonesia

K

ata

P

engantar

e-Book

jilid II ini adalah bunga rampai tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober 1965" (Coup d´État ´65), yang saya baca dan kumpulkan selama bulan September 2010 dari berbagai Mailinglist di Internet dalam rangka Membuka Tabir Sejarah Republik Indonesia "45 Tahun Tragedi Nasional Republik Indonesia" (01.10.1965 - 01.10.2010). Jilid I bisa dilihat di http://www.wirantaprawira.net/pakorba/

S

ebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia, saya ingin mengetahui sebab-sebab, mengapa Bapak saya yang tercinta, Willy R. Wirantaprawira, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diberi tugas untuk belajar di Eropah Timur (1963 - 1968), sejak umur 24 tahun sampai saat ini, lebih dari 47 tahun terpaksa kelayaban di mancanegara.

T

ulisan-tulisan dalam buku ini disajikan se-adanya, tanpa di-modifikasi dan tanpa komentar dari saya pribadi. Hak cipta dari pada tulisan-tulisan tersebut adalah milik penulis yang bersangkutan. Penerbitan buku ini saya biayai sendiri dan disebar-luaskan secara gratis kepada perpustakaan-perpustakaan diseluruh Indonesia dan kepada mereka yang tidak mempunyai akses ke Internet.

D

ipersembahkan kepada seluruh "anak bangsa, - korban rezim OrBa Jendral Soeharto -

yang terpaksa kelayaban di mancanegara" (Gus Dur 2000)

Freiburg, Jerman, 30 September 2010

CynthaWirantaprawira cynth@wirantaprawira.net

http://www.wirantaprawira.net/privat/cyntha/

http://www.facebook.com/?ref=mb&sk=messages#!/profile.php?id=1500631766&ref=ts

Hak Masyarakat Dapat Informasi Peristiwa Gerakan Satu Oktober ´65 secara Benar

Kesalahan Orang Yang Terlibat "Gestok" Jangan Sampai Ditanggung Anak dan Cucu

JasMerah = Jangan Melupakan Sejarah

(3)

3 | P a g e

Forgive – but Not Forget

Nurdiana (diansu6363@yahoo.com):

NUSANTARA BULAN SEPTEMBER (6)

45 Tahun Peristiwa 65.

Bung Karno mengajar kita:

Sekali-kali jangan lupakan sejarah.

Sepertiga abad Nusa gelita kelam,

Orba kuasa liwat fitnah dan pembunuhan,

Fitnah lebih kejam,

dari pembunuhan.

Begitu terjadi G30S,

PKI dituduh,

difitnah dalang.

Pakai TAP MPRS Dua Lima,

Hukum fasis anti-demokratis,

Landasan kuasa semena-mena

Yang sampai kini dipegang orba,

PKI dilarang,

anggotanya dibunuh,

dibantai, dibuang.

Aidit, Lukman, dan Njoto,

Menteri pembantu Bung Karno,

Tanpa makam dibunuh keji,

Sampai kini tak diketahui.

(4)

4 | P a g e

Wanita-wanita Gerwani difitnah,

Lakukan “upacara harum bunga”,

Tidak bermoral,

Menyiksa para jenderal,

Dilarang lah Gerwani,

Anggotanya dibunuh dibasmi

PKI difitnah dalang,

Dan sewenang-wenang,

Anggota PKI dibunuh disiksa,

Oleh Suharto dan rezim orba.

Memfitnah Gerwani menyiksa jenderal;

Adalah Suharto dan rezim orba.

Yang bertanggungjawab

Membunuh anggota Gerwani,

Juga Suharto dan rezim orba.

Memfitnah dan membunuh,

Oleh sosok yang sama,

Melakukan dua-duanya,

Suharto dan rezim orba.

Jelas-jemelas tiada tara,

Mentari cerah menjadi suluh,

Suharto dan rezim orba

Adalah pemfitnah dan pembunuh.

Dengan pembunuhan dan fitnah,

Sepertiga abad orba kuasa,

Terbina zaman jahiliyah,

Nusa jelita jadi neraka.

(5)

5 | P a g e

Suharto dan rezim orba !!!.

30 September 2010.

Pada tanggal 2-3 Oktober 2010, bertempat di Diemen Amsterdam telah dilangsungkan peringatan 45 tahun Tragedi Nasional 1965/1966. Tragedi berdarah pelanggaran HAM berat ini dilakukan oleh rejim ORBA dibawah pimpinan Jendral Soeharto. Peringatan ini diadakan oleh sebuah Panitia yang didukung berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda. Disamping dari negeri Belanda, dalam pertemuan ini juga hadir dari Jerman, Perancis dan Swedia. Saya akan berusaha menyajikan berbagai sambutan dalam peringatan ini. Kali ini kita tampilkan sambutan M.D.Kartaprawira, Ketua Panitia Peringatan Tragedi Nasional 65-66 di Negeri Belanda.

Salam: Chalik Hamid.

============================================================

TUNTASKAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DEMI KEBENARAN, KEADILAN DAN REKONSILIASI NASIONAL

(Pidato sambutan pada “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965” di Diemen, Nederland pada tanggal 02 Oktober 2010) Oleh MD Kartaprawira*

Hari ini kita memperingati peristiwa tragedi nasional 1965, yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua dan generasi mendatang, agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi. Peristiwa G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Sebab dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung Karno untuk membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat dan mandiri berdasarkan Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto menjadi politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia praktis tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan -- pelanggaran HAM berat yang memakan korban jutaan manusia tak bersalah, di mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim Suharto. Inilah kejahatan kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.

Kalau kita kilas balik peristiwa timbulnya G30S 1965 yang terjadi 45 tahun yang lalu maka tampak fakta kejadian-kejadian a.l. sebagai berikut.

Pada pagi hari 01 Oktober 1965 terjadilah suatu gerakan dari satuan Angkatan Darat (Cakrabirawa) yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Tigapuluh September melakukan penculikan terhadap beberapa jenderal, yang akhirnya mereka dibunuh di Lubang Buaya. Kemudian melalui RRI diumumkan berdirinya Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan bersamaan itu pula diumumkan pendemisioneran kabinet Bung Karno oleh Dewan Revolusi. Dalam

(6)

6 | P a g e

waktu singkat kegiatan G30S dapat dihancurkan oleh tentara KOSTRAD di bawah pimpinan Jenderal Suharto.

Peristiwa selanjutnya adalah maraknya gerakan anti Sukarno dari mahasiswa dan pelajar aliran kanan (KAMI dan KAPI) yang dibelakangnya adalah tentara KOSTRAD- Suharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga jenderal utusan Suharto (Brigjen. M.Jusuf, Brigjen. Amirmachmud, Brigjen. Basuki Rahmat) berhasil memaksa Presiden Soekarno untuk menanda tangani Surat Perintah yang terkenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Mayjen. Suharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu demi pemulihan keamanan dan ketertiban. Dengan Supersemar di tangannya Suharto berhasil melakukan kudeta merangkak, yang bermuara pada penggusuran kekuasaan presiden Soekarno oleh MPR ala Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Nasution..

Dari fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang terus berkembang sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada hukum logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas. Sementara tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan tersebut berakhir dengan satu kesimpulan, kita tidak tahu. Meskipun demikian, banyak fakta yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab atas timbulnya peristiwa G30S dan terjadinya tragedI nasional selanjutnya. Maka dari itu, terus menerus melakukan pencermatan masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah mutlak penting Tanpa menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa menunggu kesimpulan siapa yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa menyatakan tanpa ragu-ragu tentang terjadinya tragedy nasional yang maha dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran-pelanggaran HAM berat pada tahun 1965-66, yang dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh rejim militer Suharto.

Pelanggaran HAM berat tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa proses hukum yang berlaku, penahanan ribuan orang di pulau Buru, Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya. Pembunuhan-pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri dibelakangnya. Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan, penjara Plantungan dan lain-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI. Inilah tragedy kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang merupakan abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk bidang hukum dan HAM.

Setiap manusia yang jujur akan heran melihat kenyataan terjadinya kasus kekejaman luar biasa tersebut di atas di negara Indonesia yang di dalam konstitusinya tercantum filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara. Setiap hati nurani yang berkemanusiaan akan terperanjat mengapa pelanggaran HAM berat demikian tak mendapat perhatian dari penyelenggaran negara, khususnya institusi

(7)

7 | P a g e

penegak hukum Indonesia. Setiap manusia beradab akan bertanya mengapa suatu tindak pidana – kriminal/kejahatan, setelah kwalikasinya menjadi kejahatan kemanusiaan - pelanggaran HAM berat, penanganannya malah dipinggirkan sampai tidak ada batas kepastian sama sekali.

Indonesia menurut konstitusi adalah negara hukum, tapi kenyataan menunjukkan lain,yang menyangsikan bahwa Indonesia adalah betul-betul negara hukum. Sebab law enforcement-nya sangat menyimpang dari tuntutan keadilan layaknya di negara hukum: di mana terjadi kejahatan/pelanggaran hukum maka kasusnya diproses di pengadilan untuk mendapatkan keadilan sesuai bukti-bukti yang ada. Kesangsian kita akan hal tersebut tidak tanpa dasar, sebab fakta-fakta yang merupakan bukti sah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan penguasa rejim Suharto sudah lebih dari cukup untuk melakukan proses hukum terhadap kasus tersebut. Terutama, fakta penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan dan rumah-rumah tahanan lainnya yang tanpa dibuktikan kesalahannya sesuai hukum yang berlaku, dilakukan oleh penguasa militer/ABRI. Di kawasan-kawasan tempat tahanan tersebut ABRI jugalah yang melakukan pengawasan dan penjagaan ketat. Kemudian pembebasan mereka, setelah dunia internasional mengecam keras tindakan pelanggaran HAM yang memalukan tersebut, dilakukan oleh ABRI juga. Banyak para korban berhasil membuat kesaksian tentang pengalamannya sebagai korban pelanggaran HAM, yang berwujud buku, artikel, interview, foto, video dan lain-lainnya. Kalau penegak hukum di Indonesia mau melaksanakan tugasnya secara jujur seharusnya sudah menemukan setumpuk bukti dokumen keterlibatan ABRI dalam pelanggaran HAM dari arsif KOPKAMTIB dan MBAD. Tidak ada dasar dan alasan untuk mengingkari terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66. Sebab bukti-bukti ada di depan mata.

Fakta-fakta pelanggaran HAM tersebut, tidak boleh tidak, harus dijadikan materi bagi usaha-usaha pelurusan sejarah yang selama 32 tahun dimanipulasi oleh rejim Orde Baru Suharto. Dari fakta-fakta tersebut negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto. Dan oleh karenanya pemerintah harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya atas kejadian tersebut dan atas terabaikannya penuntasan kasus tersebut selama 45 tahun ini. Setelah itu pemerintah harus dengan segera mengambil kebijakan-kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut secara adil dan manusiawi, terutama yang menyangkut masalah pemulihan kembali hak-hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-lainnya yang bersangkutan dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan yang dialamai para korban.

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses pengadilan. Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara penuntasannya melalui proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sesungguhnya tidak akan menghasilkan keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah suatu cara penuntasan kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses “take and give” – setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf, mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban dipulihkan hak-hak sipil dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh karena itu keadilan yang ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan kompromistik, yang sama sekali tidak melikwidasi impunitas terhadap para pelanggar HAM. Maka para korban

(8)

8 | P a g e

pelanggaran HAM dan para peduli HAM perlu sangat kritis terhadap RUU KKR yang baru, sebab RUU KKR ini tidak lebih baik dari pada UU KKR-lama yg telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, keadilan kompromistik tersebut mungkin akan bisa membantu tercapainya rekonsiliasi nasional, apabila KKR dilakukan secara adil dan manusiawi. Secara adil berarti bahwa para korban yang telah lama menderita harus terpenuhi kepentingan-kepentingannya yang berkaitan dengan pemulihan hak-hak sipil-politik, kompensasi, restitusi dan lainnnya. Manusiawi berarti terhadap para korban yang telah lama menderita tersebut tidak akan diterapkan aturan berokrasi yang berliku-liku dan bertele-tele, agar mereka tidak merasa tersiksa karenanya. Jadi kepentingan para korban harus menjadi titik perhatian yang dominan.

Selama 45 tahun ini tidak ada pernyataan pemerintah secara resmi tetang terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Keadaan yang demikian memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan Pancasila dan UUD 1945 – mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban menegakkan hukum dan keadilan, membiarkan terus berjalannya impunitas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66. Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang HAM yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Parlemen Indonesia tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Jelas hal demikian membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat manipulatif dan diskriminatif. Kita merasa bangga atas kesuksesan proses penegakan kebenaran dan keadilan di negara-negara Amerika Latin (misalnya Argentina dan Peru), dimana pengadilan-pengadilan nasional (tanpa menggantungkan kepada bantuan PBB) berhasil melaksanakan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat.

Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchner (yang terpilih dalam pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya. Kemudian mantan presiden Fujimori oleh pengadilan Lima divonis hukuman penjara 25 tahun.Tetapi penegak hukum di Indonesia ternyata tidak tergugah hati nuraninya atas korban tragedi nasional 1965-66 dan membuta atas kesuksesan penuntasan kasus-kasus pelanggran HAM berat di Argentina dan Peru tersebut.

Maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, rekonsiliasi nasional dan pelurusan sejarah, para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 berhak penuh untuk MENUNTUT kepada penyelenggara negara, cq. Pemerintah agar mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto,

(9)

9 | P a g e

meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, secepatnya melakukan kebijakan-kebijakan untuk penuntasan kasus-kasus tersebut di atas beserta kasus2 HAM pada umumnya secara adil dan manusiawi tanpa diskriminasi -- tidak tergantung agama, ideology, etnik, suku, kepartaian dari para pelaku dan korban, dan selanjutnya mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif terhadap para korban.

Semoga Tuhan YME meridhoi dan membuka hati nurani para penyelenggara negara agar mampu melihat jalan benar menuju ke kebenaran dan keadilan. Amien.

Diemen, Nederland 02 Oktober 2010

* Ketua Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 Rakyat Merdeka Online

Inilah Petisi Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 untuk SBY

Minggu, 03 Oktober 2010 , 19:37:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Pada Sabtu (2/10) di Diemen, tepatnya pinggir kota Amsterdam, Belanda, panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang terdiri dari para wakil dari berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, menggelar pertemuan untuk memperingati peristiwa tersebut.

Acara peringatan ini sekaligus sebagai upaya untuk ikut serta dalam usaha pelurusan sejarah yang berkaitan dengan “Peristiwa Tragedi Nasional 1965” demi penegakan kebenaran dan keadilan, demikian panitia.

Pertemuan dihadiri oleh lebih dari 90 peserta, yang sebagian besar adalah “orang-orang yang terhalang pulang” atau mereka yang dicabut paspornya oleh rezim Orba. Beberapa di antaranya sengaja datang dari Swedia, Jerman, Perancis. Termasuk sastrawan yang juga aktivis kemanusiaan, Putu Oka Sukanta, sang penghuni ”Pulau-Buru” era rezim Orde Baru, diundang datang sebagai salah seorang pembicara utama dalam pertemuan tersebut.

Menutup pertemuan pada hari Sabtu (2/10) tersebut, Panitia Peringatan Tragedi Nasional 1965 mengeluarkan sebuah Pernyataan yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tembusan ke berbagai instansi, seperti DPR, Kejagung, Mahkamah Agung, Dephuk dan HAM, Komisi Nasional HAM RI, dan juga Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Amnesti Internasional. Berikut ini pernyataan dimaksud secara lengkap.

Setelah terjadi peristiwa Gerakan Tigapulu September (G30S) 1965, di banyak daerah di Indonesia terjadi pembunuhan massal atas jutaan manusia, penahanan ribuan orang selama bertahun-tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan di berbagai rumah tahanan, penganiayaan dan lain-lainnya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Suharto tanpa proses hukum. Semua tindakan tersebut tidak bisa lain dinilai selain merupakan pelanggaran HAM berat - kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun dan kapan pun. Kasus besar tersebut

(10)

10 | P a g e

sudah semestinya harus dituntaskan seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan yurisprudensi hukum internasional.

Sudah 45 tahun berlalu kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca peristiwa G30S) hingga dewasa ini belum/tidak pernah ditangani secara serius dan tuntas oleh penyelenggara negara. Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara negara cenderung cenderung untuk membiarkan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 dilupakan, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tampak dengan jelas adanya rekayasa untuk untuk menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Tapi kapan pun lembaran-lembaran sejarah tidak mungkin bisa dihapus begitu saja, dan tidak mungkin dimanipulasi yang hitam diputihkan dan yang putih dihitamkan.

Kenyataan bahwa sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak dituntaskan. Hal ini membuktikan bahwa norma-norma hukum yang tercantum di dalam UUD 1945, perundang-undangan tentang hak asasi manusia, termasuk konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh Parlemen Indonesia, tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggran HAM berat 1965-66. Dengan demikian membuktikan juga bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan oleh penyelenggara negara secara jujur dan konsekuen, tetapi sangat diskriminatif. Adalah suatu hal yang wajar bahwa para korban menuntut ditegakkannya hukum dan keadilan baginya tanpa diskriminasi, sebab hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan bagi semua warga bangsa, tidak tergantung agama, ideologi, suku, etnik dan kepartaian mereka.

Di samping itu, tanpa diselesaikannya kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 berarti membiarkan langgengnya proses impunitas di Indonesia. Dan dengan demikian membuktikan kegagalan kebijakan penguasa Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan. Norma-norma hukum HAM nasional maupun internasional hanya dijadikan pajangan saja untuk mengelabui massa luas seolah-olah Indonesia adalah negara hukum yang peduli HAM.

Kondisi tersebut di atas tentu akan menjadi penghalang bagi terjadinya rekonsiliasi nasional, yang sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk pembangunan Indonesia yang demokratik, sejahtera, adil, makmur, aman dan damai.

Atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas, pertemuan “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965”, yang diselengarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda dan didukung oleh para korban pelangaran HAM 1965 di negeri-negeri Eropa, menuntut kepada penyelengara negara c.q. Pemerintah Indonesia agar:

1. Mengakui bahwa tlah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca peristiwa

G30S), yang mengakibatkan jatuhnya korban yang luar biasa besar jumlahnya tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku.

2.

Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya atas terjadinya

pelanggaran HAM tersebut dan atas terbengkalainya penanganan kasus-kasus tersebut yang sudah berlangsung 45 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

PERNANAN MAGIS JANGJAWOKAN NYADARKEUN DALAM SENI TRADISI REAK HELARAN DI KECAMATAN CIBIRU KOTA BANDUNG. Disetujui dan

Jika titik berat model sudah ditetapkan , kita bisa menutup hidung model pesawat dengan balsa penutup yang telah disiapkan sebelumnya kita perhatikan posisi kait

Evaluasi dilakukan dengan pengumpulan data, analisis data dan pengolahan data sehingga dapat digunakan untuk menjawab permasalahan pelaksanaan program yang

Para pemimpin yang menggunakan otoritas untuk menerapkan sebuah strategi inovatif untuk mencapai sasaran penting dapat memperoleh lebih banyak kekuasaan keahlian jika strateginya

Survei yang dilakukan adalah survey kondisi lingkungan, geometri jalan, volume kendaraan yang melewati simpang, waktu sinyal tiap simpang dan waktu tempuh antar

Berikut ini cuplikan dari pasal tersebut, “ Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan

studies were conducted among English-speaking children, Go and Miraflores (2009) researched on effects of joint reference and mutual exclusivity on the application of

rendah mempunyai kolerasi dengan BBLR.11 Begitu juga penelitian purdyastut menyimpulkan adanya hubungan antara status gizi ibu yang diukur menggunakan LiLr dengan berat