i
PEMBERIAN BERBAGAI JENIS MADU DENGAN RASIO PENGENCERAN
BERBEDA SETELAH MASA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
SPERMA IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
FAHMI HASAN
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Fahmi Hasan NIM C14090044
ABSTRAK
FAHMI HASAN. Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Dibimbing oleh HARTON ARFAH dan MIA SETIAWATI.
Benih yang baik dapat dihasilkan oleh induk yang unggul, untuk menghasilkan induk unggul diperlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Masalah lain yang terjadi pada industri pembenihan patin adalah sifat ikan patin waktu ovulasi telur 9-15 jam setelah penyuntikan, sehingga dibutuhkan waktu tunggu untuk sperma selama 6 jam agar seluruh telur dapat terbuahi dengan maksimal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis madu yaitu madu kelengkeng, madu leci dan madu randu terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan yang meliputi skor motilitas, persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma serta persentase fertilisasi dan persentase penetasan. Perlakuan terbaik didapatkan pada peemberian madu kelengkeng sebagai sebagai pengencer sperma dengan rasio pengenceran 1:50. Ukuran kepala sperma mencapai 4,29±0,51 µm dan panjang ekor mencapai 27,22±1,54 µm. Skor motilitas sperma yang didapatkan 5,00±0,00aA, motilitas sperma 87,67±0,58aC%, viabilitas sperma 96,33±0,58aB%, persentase fertilisasi 97,10±0,70cC% dan persentase penetasan 93,44±2,39cC%. Selain itu, rasio fertilisasi 1mL sperma segar dan jumlah butir telur mencapai 1:125000.
Kata kunci: ikan patin Pangasius hypopthalmus, madu, rasio pengenceran sperma.
ABSTRACT
FAHMI HASAN. Aplication various types of honey with different dilution ratios after a period of storage on sperm quality Siamese catfish (Pangasius hypopthalmus). Supervised by HARTON ARFAH and MIA SETIAWATI.
Good seed can be produced by a good broodstock, to produce a good broodstock would takes a long time and high cost. A problem that usually occurs in catfish hatchery industry was time ovulation of catish eggs for 9-15 hours after injection. So it takes time for the sperm waiting for 6 hours for the whole egg can be fertilized well. The purpose of this study was to determine the effect of various types of honey (longan honey, lychee honey, and cottonwoods honey) on sperm quality Siamese catfish (Pangasius hypopthalmus) with different dilution ratios after the storage period which includes scores motility, percentage motility, viability and morphology of sperm, fertilization rate, and hatching rate. The best treatment was obtained on the aplication of longan honey as a sperm diluent 1:50 dilution ratio. Size of sperm head reached 4,29±0,51µm and a long tail 27,22±1,54µm. Sperm motility scores obtained 5,00±0,00aA, sperm motility 87,67±0,58aC%, sperm viability 96,33±0,58aB%, the fertilization rate 97,10±0,70cC% and hatching rate 93,44±2,39cC%. In addition, the ratio of fresh sperm fertilization 1mL and the number of eggs reaches 1:125000.
iv
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
FAHMI HASAN
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
PEMBERIAN BERBAGAI JENIS MADU DENGAN RASIO PENGENCERAN
BERBEDA SETELAH MASA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
Judul Skripsi: Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus).
Nama : Fahmi Hasan
NIM : C14090044
Disetujui oleh
Ir. Harton Arfah, M.Si. Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
Pembimbing I Pembirnbing II
Diketahui oleh
1
e
JUll0l3
Judul Skripsi : Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).
Nama : Fahmi Hasan
NIM : C14090044
Disetujui oleh
Ir. Harton Arfah, M.Si. Pembimbing I
Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si. Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. Ketua Departemen
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai April 2013 bertempat di di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ayahanda Drs. H. Rahmat Asy’ari dan Ibunda Sa’idah, serta Adik-adik Muhib Alawi dan Nala Aunillah atas doa, kasih sayang dan dukungannya.
2. Ir. Harton Arfah, M.Si. selaku Pembimbing I dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si. selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA selaku dosen penguji.
4. Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. selaku komisi program studi atas arahan dan koreksinya.
5. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penyusun.
6. Pak Ranta, Mas Rahman, Mita, Arif, Ayi, Uus, Imam, ka Fikri, ka Maya dan Babakan’ers (Yadin, Hilmi dan Deki) yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian
7. Teman teman kontrakan Badoneng ujung.
8. Keluarga besar BDP 48, BDP 47, BDP 45 dan khususnya BDP 46 terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca untuk melakukan usaha budidaya pendederan ikan patin.
.
Bogor, Agustus 2013
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 METODE 2 Materi Uji 2 Madu 2 Penyuntikan induk 3 Penampungan sperma 3
Evaluasi spermatozoa segar 3
Kualitas sperma segar ikan patin siam 4
Pengenceran sperma 4
Penyimpanan sperma 5
Evaluasi kualitas sperma 5
Pembuahan dan penetasan telur 6
Analisis data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Madu Randu, Madu Leci dan Madu Kelengkeng 7
Morfologi Sperma 8 Skor Motilitas 10 Motilitas Sperma 11 Viabilitas Sperma 11 Persentase Fertilisasi (FR) 13 Persentase Penetasan (HR) 14
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
LAMPIRAN 19
DAFTAR TABEL
1. Hasil pengujian kimia berbagai jenis madu 2
2. Kualitas sperma segar ikan patin siam 4
3. Perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl 5
4. Perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan 5
5. Kriteria skor motilitas sperma 5
6. Hasil pengukuran ukuran kepala dan panjang ekor sperma 8
7. Pengukuran skor motilitas sperma ikan patin siam 10
8. Persentase motilitas sperma ikan patin siam 11
9. Persentase viabilitas sperma ikan patin siam 12
10. Persentase FR telur ikan patin siam 14
11. Persentase HR telur ikan patin siam 15
DAFTAR GAMBAR
1. Pengukuran morfologi sperma 9
2. Morfologi kepala sperma Acanthopagrus australis (gambar A; Gwo et al. 2005) Epinephelus bruneus (gambar B; Kim et al. 2013), Paraupeneus
spilurus (gambar C; Gwo et al. 2004) 9
3. Perbedaan sperma hidup dan sperma mati 12
4. Perbedaan telur terbuahi dan telur tidak terbuahi 13
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pembuatan larutan 0,6% madu dalam NaCl fisiologis 19
2. Penyuntikan induk ikan patin siam dan sptripping sperma 19
3. Pengamatan mikroskopik kualitas sperma 20
4. Pengamatan FR dan HR telur ikan patin 20
PENDAHULUAN
Latar BelakangIkan patin menjadi salah satu andalan dalam peningkatan produksi komoditas budidaya saat ini. Produksi ikan patin diproyeksikan mencapai 1.883.000 ton pada tahun 2014 dengan peningkatan 1.420% dari 132.600 ton pada tahun 2009. Sedangkan produksi benih ikan patin wilayah Bogor pada tahun 2007-2010 rata-rata produksinya hanya mencapai 49.106.000 benih/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat 2011). Peningkatan produksi ini berdampak langsung pada peningkatan permintaan benih ikan patin di wilayah Bogor dan sekitarnya. Penyediaan benih yang bermutu baik dalam jumlah cukup dan kontinyu merupakan faktor penting dalam upaya pengembangan budidaya ikan konsumsi dan ikan ekonomis. Benih yang baik dapat dihasilkan oleh induk yang unggul, untuk menghasilkan induk unggul diperlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal, oleh karena itu keberadaan induk unggul harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Beberapa usaha yang dapat dilakukan diantaranya adalah peningkatan penggunaan induk-induk ikan unggul, mempercepat pemijahan dengan hypofisasi, peningkatan derajat pembuahan telur dengan teknik pembuahan buatan, penetasan telur secara terkontrol, pengendalian kualitas dan kuantitas air, pengembangan teknik kultur massal cacing untuk makanan hidup larva dan pemurnian varietas induk ikan (Mar’ati 2007).
Masalah lain yang terjadi adalah sifat ikan patin yang memijah tidak dalam waktu yang sama. Pada industri pembenihan ikan patin, seringkali induk betina dan jantan yang dilakukan pemijahan buatan, mengalami waktu ovulasi tidak bersamaan. Akibat hal tersebut, ada penurunan kualitas sperma yang distripping terlebih dahulu untuk menunggu telur ovulasi. Sperma dapat dipertahankan dalam media isotonik selama menunggu seluruh induk betina patin ovulasi. Selang waktu yang digunakan untuk menunggu telur ovulasi adalah 9-15 jam setelah penyuntikan. Sehingga dibutuhkan waktu tunggu untuk sperma selama 6 jam agar seluruh telur dapat terbuahi dengan maksimal. Bahan yang sering digunakan untuk pengenceran semen yaitu larutan NaCl. Larutan NaCl memberi sifat buffer, mempertahankan pH sperma dalam suhu kamar, bersifat isotonis dengan cairan sel, melindungi spermatozoa terhadap coldshock dan penyeimbangan elektron yang sesuai. Tetapi penyimpanan semen dengan larutan pengencer NaCl fisiologis hanya bisa digunakan tidak lebih dari 60 menit setelah penampungan karena kurang mengandung sumber energi yang dibutuhkan oleh spermatozoa (Isnaini dan Suyadi 2000). Untuk itu perlu tambahan bahan lain yang bersifat memberikan energi atau nutritif sehingga dapat memperpanjang waktu spermatozoa untuk bertahan hidup dan mempertahankan pergerakan spermatozoa dalam media penyimpanan.
Bahan pengencer yang digunakan untuk mengencerkan sperma harus isotonik, mengandung nutrisi sebagai sumber energi, adanya pelarut pelindung terhadap cold shock, menjamin bebas kuman, bersifat buffer dan tidak beracun bagi spermatozoa (Hardjopranjoto 1991). Effendy (1997) menyatakan bahwa kemampuan normal spermatozoa untuk hidup setelah keluar dari testis dan terpapar air tawar adalah hanya berkisar antara 1 – 2 menit. Sedangkan, Rustidja (1985) dalam Saputra (2010) mengemukakan bahwa penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea dapat mempertahankan daya hidup sperma sampai dengan antara 20–25 menit. Sedangkan viabilitas sperma dapat diperpanjang sampai dengan 5 menit dengan melarutkan sperma pada larutan fisiologis yang isotonik terhadap tubuh ikan.
2
Energi tambahan yang dibutuhkan oleh spermatozoa, dapat disediakan oleh gula sederhana (monosakarida) seperti fruktosa dan glukosa. Penambahan fruktosa atau glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca pengenceran. Monosakarida yang dibutuhkan oleh spermatozoa untuk menjaga kelangsungan hidupnya terkandung dalam madu. Indonesia menghasilkan berbagai jenis madu. Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), madu mengandung 38% fruktosa; 31% glukosa; 17,1% air; 7,2% maltose; 4,2% trisakarida dan beberapa polisakarida, 1,5% sukrosa, 0,5% mineral, vitamin dan enzim. Madu sebagai penambah bahan energi/nutrisi dari pengencer NaCl fisiologis diharapkan dapat mendukung daya hidup dan pergerakan spermatozoa dalam proses penyimpanan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahardhianto et al. (2012) terdapat interaksi antara pemberian madu 0,6% terhadap NaCl sebagai larutan pengencer dan lama penyimpanan yang memberikan hasil persentase motilitas dan viabilitas yang tinggi. Persentase motilitas spermatozoa ikan patin adalah sebesar 83,7% dan persentase viabilitas spermatozoa ikan patin adalah 94,5% pada pengamatan 6 jam setelah pengenceran.
Penambahan bahan pengencer dalam sperma diduga akan meningkatkan volume sperma dan meningkatkan kualitas sperma sehingga memungkinkan cukup banyak ikan betina yang dapat dipijahkan. Selain itu, penambahan pengencer juga diduga dapat mengetahui titik optimasi perbandingan telur dan sperma dalam pembuahan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sperma. Pada ikan Atlantic croaker diketahui bahwa perbandingan volume sperma (mL) dan telur (buah) adalah 1:5000, pada ikan turbot adalah 1:2000, pada ikan kakap adalah 1:2000 (Gwo et al. 1991; Sequet et al. 1995; Fauvel et al. 1999 dalam Sequet et al. 2000).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis madu yaitu madu kelengkeng, madu leci dan madu randu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang meliputi skor motilitas, persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma serta persentase fertilisasi dan persentase penetasan telur.
METODE
Materi Uji MaduMadu merupakan cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu berasal dari sumber nektar (SNI 01-3504-2004). Madu yang diproduksi lebah madu sebenarnya adalah makanan koloni lebah yang ketersediaannya melimpah saat musim berbunga dan disimpan dalam sel sarang sebagai persediaan makan pada musim panceklik. Lebah memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan mengandung gula yang disekresikan oleh kelenjar nektar tanaman (Sihombing 1997). Nektar memiliki kandungan kimia yang berbeda-beda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya. Kadar gula nektar bervariasi antara 5%-80% (Siregar 2002). Madu biasanya digolongkan menurut sumber nektarnya. Apabila sumber nektar didominasi oleh satu jenis tanaman (bunga), maka madu yang dihasilkan adalah madu monoflora. Madu jenis ini diantaranya adalah madu randu, leci, kelengkeng, karet, rambutan, mangga,
bunga matahari dan kaliandra. Sedangkan madu yang bersumber dari beberapa jenis nektar adalah madu multiflora. Madu jenis ini diantaranya adalah madu hutan, Nusantara, Sumba, dan Kalimantan. Perbedaan sumber tersebut mempengaruhi kandungan dan karakteristik madu yang dihasilkan. Pada penelitian yang dilakukan, madu yang digunakan berasal dari Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas), Parung Panjang, Bogor. Madu yang digunakan adalah madu monoflora yang meliputi madu randu, madu leci dan madu kelengkeng. Tabel berikut ini adalah hasil pengujian kimia madu monoflora yang dianalisis oleh Agro Based Industri Calibration and Analitycal Laboratories (ABICAL), Balai Besar Industri Agro, Bogor.
Tabel 1. Hasil pengujian kimia berbagai jenis madu monoflora
Parameter Jenis Madu Syarat Madu
berdasarkan SNI 01-3545-2004 Madu Randu Madu Leci Madu Kelengkeng
Aktifitas Enzim Diastase (DN) 5,54 9,58 11,50 Min. 3 Hidroksi Metil Fulfural (mg/kg) 0,00 0,00 0,00 Maks. 50
Air (%) 19,00 19,00 19,40 Maks. 22
Gula Pereduksi (%) 70,50 78,80 77,80 Min. 65
Sukrosa (%) 1,12 0,00 2,31 Maksimal 5
Keasaman (mL NaOH1N/kg) 50,10 17,50 14,7 Maks. 50
Abu (%) 0,20 0,12 0,13 Maks. 0,5
Penyuntikan induk
Induk patin yang digunakan berasal dari pembudidaya ikan di Dramaga. Induk betina yang telurnya berkembang diseleksi lalu diambil 1 ekor dengan bobot 2,6 kg, kemudian dipisahkan dan disuntik dengan menggunakan chorulon dengan kandungan dominan HCG 500 IU/kg, setelah 24 jam dilakukan penyuntikan dengan hormon ovaprim 0,6 mL/kg yang mengandung LHRHa dan anti dopamin, 12 jam berikutnya dilakukan stripping. Untuk induk jantan, diambil 3 ekor dengan bobot masing-masing 2,5 kg; 2,8 kg dan 2,6 kg kemudian disuntik dengan hormon ovaprim 0,3 mL/kg, 12 jam berikutnya dilakukan stripping.
Penampungan sperma
Sperma ditampung menggunakan botol film. Segera setelah ditampung, dilakukan penilaian secara makroskopis meliputi: bobot jantan, volume, warna, konsistensi (kekentalan), dan pH. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis meliputi: gerakan massa dan konsentrasi sperma. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk melihat kelayakan sperma untuk proses selanjutnya.
Evaluasi spermatozoa segar
Evaluasi spermatozoa sebelum penyimpanan dilakukan secara makroskopis maupun mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi:
a. Volume: Volume dihitung menggunakan pipet volumetrik (0-10 mL). b. Warna: Warna sperma dinilai secara visual.
c. Kekentalan/Konsistensi: Konsistensi diamati dengan cara memiringkan tabung reaksi dan dikembalikan ke tempat semula. Kriteria penilaian, encer, sedang sampai kental.
d. pH: pH ditentukan dengan menggunakan pH special indicator paper.
Sedangkan evaluasi mikroskopis meliputi penghitungan konsentrasi spermatozoa yang dilakukan dengan menggunakan kamar hitung haemocytometer Neubauer.
4
Semen diencerkan dengan perbandingan 1 μL semen dan 99 μL larutan NaCl, larutan dihomogenkan dan dimasukan pada kotak hitung Neubauer yang telah diberi cover glass, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 X dan di hitung spermatozoa yang tersebar pada 4 kotak di sudut dan 1 kotak di bagian tengah kamar hitung Neubauer. Rumus menghitung jumlah sel sperma per mL:
Jumlah spermatozoa/mL = N x 5 x DF x 10 000 Keterangan:
Kotak hitung 1 + kotak hitung 2 = N / 2
N : adalah jumlah rata-rata sel yang dihitung setiap kotak hitung DF : adalah faktor pengenceran. Faktor pengenceran yang digunakan
pada penghitungan konsentrasi sperma kucing adalah 100 dari pengernceran 1 μL semen dan 99 μL larutan NaCl
5 : adalah faktor koreksi yang dibutuhkan karena hanya 5 dari 25 kotak dalam chamber yang dihitung (25/5).
10.000 : adalah faktor koreksi yang dibutuhkan karena volume setiap penghitungan di bawah cover slip adalah 0.0001 mL per chamber.
Kualitas sperma segar ikan patin siam
Pemeriksaan awal kualitas dan kuantitas sperma dan telur ikan patin siam dilakukan untuk mengetahui kondisi awal sperma dan telur yang akan dilakukan pada penelitian. Pemeriksaan awal penting dilakukan untuk menentukan apakah sperma yang digunakan layak atau tidak untuk digunakan sebagai stok sperma yang akan disimpan. Hasil pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis terhadap sperma segar dari ikan patin siam ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Kualitas sperma segar ikan patin siam
Kriteria Hasil
Bobot Jantan (kg) 2,68±0,16
Volume (mL) 6,00±0,26
Warna Putih Susu
Kekentalan/Konsistensi Kental Konsentrasi (109 sel/mL) 41,12±4,51 Derajat Keasaman (pH) 7,50
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis sperma segar ikan patin tersebut yaitu masih layak dijadikan sampel penyimpanan sperma. Karena volume sperma yang dihasilkan 2 ml – 16 ml, dengan konsentrasi spermatozoanya berada diatas 9,4x109 sel sperma/ml, motilitasnya 70% - 99%. pH sperma yang dapat digunakan untuk penyimpanan adalah sperma yang memiliki pH 7,14-7,85 (Fujaya 2002)
Pengenceran sperma
Setelah diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis, sperma yang memenuhi syarat akan dilakukan pengenceran. Persyaratan yang ditetapkan sebelumnya adalah motilitas > 70%, skor motilitas 4 atau 5. Pengenceran sperma dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan pengencer yaitu madu Randu 0,6% dalam NaCl fisiologis, madu Leci 0,6% dalam NaCl fisiologis, dan madu Kelengkeng 0,6% dalam NaCl fisiologis lalu dilakukan pengenceran 1:10 dimana 1 bagian sperma berbanding dengan 10 bagian larutan totak, serta 1:50, 1:90 dan 1:130 menggunakan mikropipet 200µL
yang kemudian dibagi kedalam mikrotub 1,5 mL. Tabel berikut adalah tabel perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
Tabel 3. Perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
Sebagai kontrol adalah sperma segar dengan pengenceran 1:2 dengan pengencer NaCl fisiologis tanpa dilakukan penyimpanan. Tabel berikut adalah perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan.
Tabel 4. Perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan
Perlakuan Vol. Pengencer (mL) Vol. Sperma (mL) Vol. Total (mL)
1:2 0,500 0,500 1,000 1:10 0,900 0,100 1,000 1:50 0,980 0,020 1,000 1:90 0,989 0,011 1,000 1:130 0,992 0,008 1,000 Penyimpanan sperma
Penyimpanan sperma dilakukan setelah sperma dicampur dengan pengencer sesuai dengan perbandingan perlakuan. Setelah itu, sperma disimpan didalam ruang pendingin bersuhu 4o C selama 6 jam untuk kemudin dilakukan pengamatan.
Evaluasi kualitas spermatozoa
Untuk mengetahui keberhasilan perlakuan dilakukan evaluasi skor motilitas, persentase motilitas, persentase viabilitas, dan morfologi sperma yang seluruh perhitungannya dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 200X yang terhubung dengan kamera dan software OptiLab Viewer, serta persentase fertilisasi dan persentase penetasan telur dilihat langsung ke kaca objek.
a. Skor motilitas: Penentuan skor motilitas sperma dilakukan dengan cara meletakkan satu tetes semen pada objek gelas dan ditutup dengan cover glass. Untuk mengaktifkan sperma, diteteskan akuabides dengan menggunakan tusuk gigi pada sperma yang akan diamati. Penentuan skor motilitas sperma didasarkan pada kriteria yang dibuat oleh Guest et al. (1976) dalam tabel berikut Tabel 5. Kriteria skor motilitas sperma
Angka Motilitas Kriteria
5 Semua sperma bergerak sangat cepat dengan pergerakan ekor bervariasi 4 Banyak sperma bergerak sangat cepat dengan pergerakan ekor cepat,
beberapa sperma memperlihatkan getaran yang kuat di tempat 3 Banyak sperma bergerak cepat dan yang lain bergetar di tempat
2 Banyak sperma bergetar dengan sedikit memperlihatkan pergerakan cepat 1 Banyak sperma bergetar tetapi sangat sedikit yang bergerak cepat
0,75 Banyak sperma tidak bergerak dan sangat sedikit sekali sperma yang bergetar dengan gerakan lemah
0,50 Banyak sperma tidak bergerak dan sangat sedikit sekali sperma yang Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Madu randu Madu leci Madu kelengkeng
1:2 K
1:10 R1 L1 K1
1:50 R2 L2 K2
1:90 R3 L3 K3
6
bergetar, kadang-kadang terlihat bergerak melemah
0,25 Banyak sperma tidak bergerak, kadang-kadang terlihat bergerak melemah 0 Semua sperma tidak bergerak dan bergetar
b. Persentase motilitas spermatozoa: Penilaian persentase motilitas spermatozoa dilakukan secara subjektif kuantitatif, dengan cara meletakkan satu tetes semen pada objek gelas yang hangat dan ditutup dengan cover glass. Untuk mengaktifkan sperma, diteteskan akuabides dengan menggunakan tusuk gigi pada sperma yang akan diamati. Persentase motilitas dinilai dengan membandingkan jumlah spermatozoa yang bergerak progresif dengan spermatozoa yang tidak progresif, dibawah mikroskop dengan 200X pada lima lapang pandang berbeda. Penilaian diberikan dari 0 (mati semua) sampai 100% (motil semua).
c. Persentase spermatozoa hidup (viabilitas): Satu tetes semen diletakkan pada satu buah gelas objek, ditambah dengan 4 tetes larutan eosin 2% kemudian dihomogenkan. Spermatozoa hidup, ditandai dengan kepala yang tidak menyerap warna/transparan, sedangkan spermatozoa yang telah mati menyerap warna kemerahan dari eosin 2%. Spermatozoa dihitung dari 5 lapang pandang yang berbeda secara acak.
x 100%
d. Morfologi sperma: pengamatan morfologi sperma dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap ukuran kepala dan panjang ekor sperma. Pengamatan dilakukan dengan cara meletakkan satu tetes semen pada objek gelas yang hangat dan ditutup dengan cover glass. Setelah itu dilakukan pemotretan terhadap preparat dibawah mikroskop. Lalu dilakukan pengukuran sampel sperma menggunakan software Image Raster.
Pembuahan dan penetasan telur
a. Pembuahan: Pembuahan dilakukan setelah campuran sperma disimpan selama 6 jam. Rasio perbandingan sperma:telur adalah 1 mL: 2 gr (±2500 telur). Setelah pembuahan dilakukan, telur ditempelkan pada kaca pengamatan berukuran 7,5X7,5 cm yang didalamnya terdapat 25 bidang pandang yang masing-masing berukuran 1,5X1,5 cm. Kaca tersebut kemudian dimasukkan ke dalam akuarium yang berukuran 20X20X20 cm yang sebelumnya telah berisi air yang telah dicampur Methylen Blue kemudian diberi aerasi kuat.
b. Persentase fertilisasi (FR): dihitung setelah 9 jam pencampuran sperma dengan telur, dapat dihitung menggunakan rumus
x 100%
c. Persentase penetasan: dihitung setelah telur yang dibuahi menetas menjadi larva setelah 24 jam pencampuran telur dengan sperma, dapat dihitung menggunakan rumus:
Analisis data
Penelitian ini memiliki 2 perlakuan yaitu perlakuan jenis madu dan rasio pengenceran masing-masing 3 ulangan. Rancangan yang digunakan yaitu RAL (Rancangan Acak Lengkap) berpola Faktorial dengan faktor pertama adalah rasio pengenceran dan faktor kedua adalah jenis madu. Selanjutnya diuji menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan Uji Tukey. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis menggunakan SPSS 16.0 (ANOVA dan dilanjutkan uji Tukey) pada selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Madu Randu, Madu Leci dan Madu Kelengkeng
Pada percobaan yang dilakukan, sperma diuji dengan penambahan madu monoflora dengan jenis madu randu, leci dan kelengkeng. Pemilihan ketiga madu tersebut didasarkan dari sumber nektar pada madu yang dihasilkan sejenis, sehingga kandungan dan karakteristik madu dapat stabil pada setiap musim panennya. Komposisi kimia madu dipengaruhi oleh dua hal, yakni komposisi nektar yang dihasilkan dan yang berhasil dikumpulkan oleh lebah serta faktor eksternal, seperti cuaca dan iklim. Selain itu banyak tidak bunga, derajat kematangan madu serta cara ekstraksi juga turut mempengaruhi komposisinya (Wahyuni 2005).
Pada hasil pengujian yang didapatkan, aktifitas enzim diastase terbesar didapatkan pada madu kelengkeng (11,50 DN) dan yang terendah didapatkan pada madu randu (5,54 DN). Aktifitas enzim diastase yang berbeda-beda tersebut menunjukkan adanya perbedaan dalam pemecahan karbohidrat dengan rantai kompleks (oligosakarida) menjadi karbohidrat dengan rantai yang lebih sederhana (monosakarida). Pada pengujian Hidroksi Metil Fulfural (HMF), hasil pengujian yang didapatkan adalah sama, yaitu 0,00 mg/kg. HMF merupakan hasil dekomposisis glukosa, fruktosa dan monosakarida lain yang memiliki enam atom C dalam suasana asam dan dipercepat dengan bantuan panas. Reaksi selanjutnya menghasilkan asam format dan levulinat. Nilai HMF yang menunjukkan angka 0,00 mg/kg menunjukkan bahwa madu tidak mengalami proses pemanasan dan penambahan gula (Wahyuni 2005). Pada pengujian kadar air, hasil tertinggi didapatkan pada madu kelengkeng (19,40%), sedangkan pada madu randu dan leci didapatkan hasil pengujian yang sama (19%). Kadar air madu akan mempengaruhi viskositas dari madu. Peningkatan 1% kadar air akan menurunkan viskositas madu secara nyata (Wahyuni 2005). Madu kelengkeng menunjukkan viskositas yang lebih rendah dibandingkan madu lainnya karena memiliki kadar air yang lebih tinggi. Pada pengujian gula pereduksi dalam hal ini dianggap sebagai karbohidrat monosakarida (glukosa dan fruktosa), hasil tertinggi didapatkan pada madu leci (78,80%) dan hasil terendah didapatkan pada madu randu (70,50%). Karbohidrat dalam bentuk gula tersebut merupakan komponen utama dalam madu. Kandungan karbohidrat monosakarida ini yang nantinya akan berperan penting dalam proses pemberian nutrisi pada sperma yang disimpan. Penambahan fruktosa atau glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca pengenceran. Gula pereduksi (monosakarida) yang dibutuhkan oleh spermatozoa untuk menjaga kelangsungan hidupnya terkandung dalam madu. Dalam spermatozoa terdapat empat bahan organik yang dapat dipakai secara langsung maupun tidak langsung oleh spermatozoa sebagi sumber energi untuk kelangsungan hidup dan motilitas
8
spermatozoa, bahan-bahan tersebut adalah fruktosa, serbitol, GPC (glyceryl phosphoryl choline) dan plasmalogen. Plasmalogen atau lemak aldehidrogen terdapat di bagian leher, badan dan ekor spermatozoa yang dipergunakan untuk respirasi endogen (Zenichiro 2002). Fruktosa adalah substrat energi utama di dalam plasma semen yang telah diproduksi kelenjar vesikularis. Selain itu fruktosa merupakan turunan karbohidrat yang dapat dijadikan sumber energi untuk pergerakan (motilitas) dan ketahanan spermatozoa (Marawali et al.. 2001).
Pada pengujian sukrosa, hasil tertinggi didapatkan pada madu kelengkeng (2,31%) dan hasil pengujian terendah didapatkan pada madu leci (0,00%). Kandungan sukrosa yang lebih tinggi pada madu kelengkeng, menunjukkan tingkat kemanisan pada madu. Sukrosa biasa digunakan dalam industri makanan sebagai bahan pemanis tambahan dalam bentuk kasar maupun cair (Wahyuni 2005). Sukrosa tidak termasuk dalam gula pereduksi karena tidak mempunyai gugus hidroksil bebas seperti yang terdapat pada glukosa dan fruktosa. Pada pengujian keasaman, hasil tertinggi didapatkan pada madu randu (50,10 mL NaOH1N/kg) dan hasil terendah didapat pada madu kelengkeng (14,70 mL NaOH1N/kg). Kandungan keasaman madu randu yang melebihi batas maksimal, menunjukkan madu tersebut kurang layak dikonsumsi manusia. Nilai keasaman tersebut menunjukkan banyaknya ml NaOH1N yang digunakan untuk menetralkan asam yang terkandung dalam madu. Nilai keasaman tertinggi (madu randu) mengindikasikan tingginya total asam yang terkandung dalam madu randu terhadap madu lainnya. Pada pengujian abu, hasil tertinggi didapatkan pada madu randu (0,20%) dan hasil terendah didapatkan pada madu leci (0,12%). Kadar abu pada madu menunjukkan kadar mineral yang dikandungnya. Semakin tinggi kadar abu maka semakin tinggi pula kadar mineral yang terkandung. Madu memiliki kadar abu yang berkisar antara 0,2% sampai 1%. Mineral yang dominan terdapat dalam madu adalah fosfor, kalium, kalsium, besi dan natrium (Suhardjo et al. 1985)
Morfologi Sperma
Morfologi sperma dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, bagian tengah dan ekor. Berikut ini adalah ukuran kepala (kepala dan leher) dan panjang ekor sperma (flagel) ikan patin siam pada perlakuan yang telah dilakukan. Hasil pengukuran tersaji pada Tabel 6. berikut:
Tabel 6. Hasil pengukuran ukuran kepala dan panjang ekor sperma
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, terdapat perbedaan pada panjang ekor sperma dan ukuran kepala sperma. Panjang ekor sperma ikan patin adalah 26,50µm-27,22µm. Sedangkan ukuran kepala sperma ikan patin adalah 3,85µm-4,89µm. Kepala sperma ikan patin siam berbentuk oval. Pengukuran didasarkan pada bagian terpanjang dari kepala sperma.
Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Randu Leci Kelengkeng
Ukuran kepala (µm) 4,86±0,30 3,85±0,34 3,98±0,06 4,29±0,51 Panjang Ekor (µm) 27,20±1,21 26,50±1,11 27,00±1,13 27,22±1,54
Gambar 1. Pengukuran morfologi sperma
Pada bagian kepala sperma terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel yang didalamnya terdapat cairan pelindung sitoplasma. Pada nukleus inilah terdapat informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Selain itu pada bagian ini juga terdapat bagian leher yang merupakan bagian yang menghubungkan ekor dengan kepala. Bagian ini disusun oleh mikrotubulkus yang mengandung substansi fiber yang disusun oleh protein dinein. Protein dinein ini sangat penting karena mempunyai aktivitas ATP-ase yang berfungsi menyediakan energi untuk pergerakan sperma. Gambar berikut ini adalah beberapa bentuk kepala sperma dan beberapa bahan penyusunnya.
Gambar 2. Morfologi kepala sperma Acanthopagrus australis (gambar A; Gwo et al. 2005) Epinephelus bruneus (gambar B; Kim et al. 2013), Paraupeneus spilurus (gambar C; Gwo et al. 2004)
Penurunan ukuran kepala sperma perlakuan dibandingkan kontrol diduga karena adanya perbedaan nilai osmolaritas larutan. Belum diketahui secara pasti akibat yang ditimbulkan akibat penyusutan ukuran tersebut karena pada penelitian tidak dilakukan pemeriksaan sperma secara ultrastruktur. Tetapi pada pengukuran panjang ekor, hasil perlakuan tidak menunjukkan perbadaan terhadap kontrol. Bagian ini berfungsi sebagai alat gerak sperma untuk berenang menuju telur. Panjang dan pendeknya ukuran ekor sperma tidak dapat menentukan keaktifan sperma dalam bergerak. Keaktifan pergerakan sperma bergantung pada ketersediaan energi sperma. Kerusakan pada bagian ekor akan menyebabkan abnormalitas gerakan pada sperma sehingga peluang untuk berhasil membuahi telur mengecil (Affandi dan Tang 2004).
10
Skor Motilitas
Rough (2003) mengutarakan bahwa ada dua jenis gerakan sperma yaitu motil dan tidak motil. Gerakan motil sendiri dibagi menjadi dua yaitu sperma yang bergerak progresive dan sperma yang bergerak tidak progresif. Pergerakan progresif sperma dibagi menjadi pergerakan progresif cepat dimana sperma bergerak maju ke depan dengan kecepatan tinggi dan pergerakan progresif lambat dimana sperma bergerak maju kedepan dengan pergerakan lambat (Hidayaturrahmah 2007). Rough (2003) mengutarakan bahwa sperma disebut motil tidak progresif saat sperma itu bergerak tetapi tidak maju. Gerakan yang ditimbulkan sperma motil tidak progresif bisa bermacam-macam, misalnya gerakan berputar-putar ditempat. Berbagai macam metode telah dikembangkan dalam mengukur kualitas sperma ikan. Pada perlakuan, digunakan metode mengukur kualitas sperma menurut Guest et al. (1976) menggunakan sistem skor 1–5. Tabel 7. berikut adalah pengukuran skor motilitas sperma berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan
Tabel 7. Pengukuran skor motilitas sperma ikan patin siam
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) skor motilitas antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini ditandai dengan superscript (a) yang sama pada setiap perlakuan. Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) skor motilitas antara jenis madu yang berbeda. Hal ini ditandai dengan superscript (A-C) yang berbeda pada setiap perlakuan.
Hasil terbaik didapatkan oleh perlakuan penambahan madu kelengkeng yang pada setiap rasio pengencerannya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Sedangkan hasil terendah didapatkan pada madu randu yang pada setiap rasio pengencerannya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Menurut Danang (2012) yang menyatakan bahwa penyimpanan yang lebih lama pada suhu 5ºC sampai dengan 10º C sel spermatozoa yang terkena kejutan dingin akan lebih cepat mati. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah spermatozoa yang rusak dan mati akibat suhu dingin, ketersediaan energi dalam bahan pengencer makin berkurang, dan meningkatnya tingkat keasamaan (pH) semen. Energi yang dibutuhkan oleh spermatozoa ini disediakan oleh gula sederhana (monosakarida) seperti fruktosa dan glukosa. Penambahan fruktosa atau glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca pengenceran. Karena proses pembentukan Adenosin Trifosfat (ATP) dan Adenosin Difisfat (ADP) harus terus dilakukan agar motilitas dapat terus berlangsung. Hal inilah yang diduga membuat perlakuan dengan penambahan madu leci dan kelengkeng menjadi lebih baik dibandingkan dengan penambahan dengan madu randu, karena kandungan gula pereduksi dalam betuk
Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Randu Leci Kelengkeng
1:2 5,00±0,00
1:10 4,67±0,58aA 5,00±0,00aB 5,00±0,00aC
1:50 4,67±0,58aA 5,00±0,00aB 5,00±0,00aC
1:90 5,00±0,00aA 5,00±0,00aB 5,00±0,00aC
1:130 4,67±0,58aA 5,00±0,00aB 5,00±0,00aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
fruktosa maupun glukosa (78,80% dan 77,80%) lebih tinggi dibandingkan kandungan gula pereduksi pada madu randu (70,50%).
Motilitas Sperma
McMaster (1992) menyempurnakan metode yang digunakan Guest et al. (1976) dengan menggunakan presentase sebagai acuan yang akan mengurangi subyektifitas dalam pemberian skor. Rentang skor yang diberikan adalah mulai dari 5 yang berarti 80-100% sperma bergerak progresif, sampai dengan 1 yang berarti hanya 0 – 20% sperma bergerak progresif. Kelemahan metode ini adalah sangat sulit memberikan penilaian yang obyektif dalam rentang waktu pengamatan motilitas yang sangat singkat. Tetapi menurut Rahardhianto (2012), motilitas spermatozoa ikan ditentukan dari banyaknya jumlah spermatozoa yang bergerak dari suatu lapang pandang. Dalam penelitian ini kategori pergerakan spermatozoa diabaikan, artinya semua jenis kategori pergerakan spermatozoa pada saat pengamatan dihitung dan dipersentasekan. Tabel 8. berikut adalah persentase motilitas sperma ikan patin siam berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 8. Persentase motilitas sperma ikan patin siam
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) presentase motilitas antara rasio pengenceran sperma yang berbeda maupun jenis madu yang berbeda. Hal ini ditandai dengan superscript (a/A) yang sama pada setiap perlakuan.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, nilai persentase motilitas pada seluruh perlakuan masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga karena pada saat pengukuran persentase motilitas, sperma masih beradaptasi dengan kenaikan suhu yang cukup drastis (suhu 4° C ke suhu ruang 20° C) sehingga nilai yang diberikan belum maksimal. Hal ini didukung oleh pendapat Danang et al. (2012) yang menyatakan bahwa proses pendinginan yang berlangsung dapat juga menyebabkan menurunnya motilitas sel spermatozoa karena adanya sel spermatozoa yang mengalami cold shock.
Viabilitas Sperma
Persentase viabilitas merupakan salah satu indikator untuk menentukan baik-buruknya kualitas spermatozoa dan mengetahui banyaknya spermatozoa tersebut hidup (viable) atau tidak hidup (unviable) yang pada penampakan spermatozoa tidak bergerak atau imotil dalam proses penyimpanan dengan penambahan larutan pengencer.
Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Randu Leci Kelengkeng
1:2 97,33±0,47
1:10 82,67±1,15aA 83,67±2,08aA 86,67±1,53aA 1:50 83,00±1,73aA 84,33±0,58aA 87,67±0,58aA 1:90 83,00±2,65aA 86,33±0,58aA 87,67±1,53aA 1:130 83,33±1,15aA 86,67±0,58aA 88,00±1,73aA *Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
12
Gambar 3. Perbedaan sperma hidup dan sperma mati
Spermatozoa yang imotil belum tentu spermatozoa tersebut sudah mati. Persentase spermatozoa yang hidup ditentukan berdasarkan penyerapan zat warna eosin yang dicampurkan pada sperma. Apabila spermatozoa mati, akan menyerap zat warna yang ada disekitarnya sedangkan yang hidup tidak menyerap zat warna. Tabel 9. berikut adalah persentase viabilitas sperma ikan patin siam berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 9. Persentase viabilitas sperma ikan patin siam
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) viabilitas sperma antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini ditandai dengan superscript (a) yang sama pada setiap perlakuan. Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) viabilitas sperma antara madu randu dengan madu leci dan kelengkeng. Dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada madu leci dan kelengkeng.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, pemberian madu randu memberikan hasil yang terendah dan pemberian madu kelengkeng memberikan hasil yang tertinggi. Rendahnya persentase viabilitas yang dihasilkan oleh perlakuan pemberian madu randu diakibatkan oleh kurangnya cadangan nutrisi (monosakarida) pada media pengencer rendah, yaitu hanya 70,50% dan kandungan enzim diastasenya 5,54DN sehingga persentasenya menjadi rendah. Berkurangnya jumlah nutrisi spermatozoa disebabkan oleh penggunaan energi untuk aktivitas mekanik (gerak) dan kimiawai (biosintesa). Sesuai dengan pendapat Danang et al.. (2012) bahwa semakin berkurangnya cadangan makanan, dan ketidakseimbangan cairan elektrolit akibat metabolisme spermatozoa dapat menyebabkan kerusakan membran sel spermatozoa. Kerusakan ini sebagai akibat adanya pertukaran larutan intraseluler dan ekstraseluler antara bahan pengencer dengan spermatozoa karena adanya perbedaan konsentrasi. Proses pengenceran semen dapat menyebabkan rusaknya membran plasma serta
Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Randu Leci Kelengkeng
1:2 95,00±1,00
1:10 92,33±1,15aA 95,00±1,00aB 96,00±1,00 aB
1:50 93,00±1,00aA 95,33±1,15aB 96,33±0,58aB
1:90 90,33±1,53aA 95,33±0,58aB 96,33±0,58aB
1:130 92,33±0,58aA 96,33±0,58aB 95,33±0,58aB
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
menurunkan motilitas. Kerusakan membran sel spermatozoa akan berdampak pada membran yang pada awalnya mempunyai sifat semipermeabel tidak lagi mampu menyeleksi keluar masuknya zat, sehingga pada saat dilakukan uji warna eosin zat tersebut masuk ke dalam plasma. Sehingga sperma yang mati tersebut akan menyerap warna merah dari eosin. Sedangkan sperma yang diberi penambahan nutrisi madu kelengkeng pada bahan pengencernya memberikan persentase viabilitas yang tinggi. Hal ini diduga karena sperma yang diberi penambahan madu kelengkeng dengan kandungan monosakarida 77,80% dan kandungan enzim diastase 11,50DN pada bahan pengencernya dapat memberikan nutrisi yang cukup dalam bentuk gula pereduksi dan mampu mencegah kerusakan membran sel spermatozoa. Nilai tersebut tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh Rahardhianto (2012), viabilitas sperma ikan patin (Pangasius pangasius) yang dilakukan penyimpanan selama 6 jam dengan penambahan madu mencapai 94,5%.
Persentase Fertilisasi (FR)
Persentase fertilisasi (FR) merupakan salah satu indikator keberhasilan penentu kualitas sperma. FR adalah persentase dari jumlah telur yang berhasil dibuahi sperma dibagi dengan jumlah total telur yang diamati.
Gambar 4. Perbedaan telur terbuahi dan telur tidak terbuahi
Nilai FR yang dihasilkan, ditentukan oleh kualitas spermatozoa. Untuk meningkatkan FR, perlu diberikan berbagai bahan tambahan sebagai nutrisi pada bahan pengencernya. Pada perlakuan, dilakukan pencampuran 1mL sperma yang dicampurkan dengan 2gram telur (±2500 butir). Tabel 10. berikut ini adalah persentase FR telur ikan patin siam berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
14
Tabel 10. Persentase FR telur ikan patin siam
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) presentase FR antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini ditandai dengan perbedaan superscript pada rasio pengenceran 1:130 dengan perlakuan lainnya. Tetapi tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) pada pengenceran 1:10 dengan 1:50, hal ini ditandai dengan superscript (c) yang sama pada kedua perlakuan tersebut. Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) persentase FR antara madu randu dengan madu randu, leci dan kelengkeng. Hal ini ditandai dengan superscript (A-C) yang berbeda pada setiap perlakuan.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, pengenceran 1:130 dengan penambahan madu randu (19,16±15,31%) memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (superscript aA). Konsentrasi sperma yang rendah (pengenceran 1:130) pada penambahan madu randu, menghasilkan nilai FR yang rendah. Rendahnya nilai tersebut mengakibatkan tingkat pembuahan telur menjadi tidak maksimal. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Affandi dan Tang (2004) yang menyatakan bahwa konsentrasi sperma yang tinggi dapat menghambat aktifitas spermatozoa. Kurangnya aktifitas tersebut dapat berakibat pada kurangnya daya gerak spermatozoa dalam menemukan dan menembus mikrofil yang mengakibatkan rendahnya tingkat fertilitas. Konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi, kurang memberikan peluang kepada spermatozoa membuahi sel telur karena spermatozoa secara bersama-sama bersaing memasuki mikrofil telur. Rendahnya nilai yang dihasilkan diduga karena rendahnya kandungan monosakarida pada madu randu (70,50%) sebagai bahan nutrisi utama spermatozoa selama penyimpanan dan rendahnya nilai enzim diastasenya (5,54 DN) yang berperan dalam pemecahan karbohidrat lainnya seperti oligosakarida menjadi karbohidrat dengan rantai yang lebih sederhana (monosakarida) untuk dijadikan sebagai bahan nutrisi tambahan pada spermatozoa. Selain itu, tingginya nilai keasaman pada madu randu (50,10 mL NaOH1N/kg), diduga menjadi penyebab utama rendahnya nilai FR yang dihasilkan. Rendahnya konsentrasi spermatozoa dan keasaman yang tinggi, dapat menyebabkan kerusakan pada membran spermatozoa, sehingga dapat mengurangi kemampuan sperma dalam menembus mikrofil telur. Menurut Wahyuni (2005), nilai keasaman menunjukkan banyaknya ml NaOH1N yang digunakan untuk menetralkan asam yang terkandung dalam madu dan diduga menyebabkan nilai FR menjadi rendah.
Persentase Penetasan (HR)
Persentase penetasan (HR) adalah persentase dari jumlah telur yang berhasil menetas dibagi dengan telur yang berhasil dibuahi sperma. Nilai HR yang dihasilkan, ditentukan oleh kualitas spermatozoa. Tabel 11. berikut adalah persentase HR telur ikan
Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Randu Leci Kelengkeng
1:2 72,75±8,20
1:10 92,73±2,42cA 92,15±1,26cB 96,14±1,54cC
1:50 93,48±0,42cA 87,90±7,35cB 97,10±0,70cC
1:90 75,81±8,40bA 84,38±9,14bB 90,44±5,26bC
1:130 19,16±15,31aA 75,58±3,07aB 92,89±2,32aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
patin siam berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 11. Persentase HR telur ikan patin siam
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) presentase HR antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini ditandai dengan perbedaan superscript pada rasio pengenceran 1:130 dengan perlakuan lainnya. Tetapi tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) pada pengenceran 1:10 dengan 1:50, hal ini ditandai dengan superscript (c) yang sama pada kedua perlakuan tersebut. Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) persentase HR antara madu randu dengan madu randu, leci dan kelengkeng. Hal ini ditandai dengan superscript (A-C) yang berbeda pada setiap perlakuan.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, perlakuan terbaik didapatkan pada perlakuan penambahan madu kelengkeng pada rasio pengenceran 1:10 dan 1:50. Hal ini didukung pada hasil FR yang tinggi pada perlakuan tersebut (96,14%-97,10%). Pada perlakuan tersebut, embrio diduga dapat berkembang dengan baik akibat kualitas sperma yang diberi penambahan madu kelengkeng memiliki kualitas yang baik. Bahan nutrisi yang diberikan oleh madu kelengkeng sangat mencukupi kebutuhan spermatozoa, seperti kandungan enzim diastase (11,50 DN), persentase gula pereduksi (77,80%) dan rendahnya nilai keasaman (14,7 mL NaOH1N/kg). Pengenceran sperma 1:50 dengan penambahan madu kelengkeng dapat memberikan nilai HR sebesar 93,44±2,39%, hal ini membuktikan bahwa dalam 1mL spermatozoa yang diencerkan 50 kali, dapat dapat memberikan tingkat penetasan 93,44% dari jumlah total telur 2gram (±2500 buah) atau apabila ditarik ke skala yang lebih besar, 1mL sperma murni dapat membuahi 125.000 butir telur (1:125000) dengan FR mencapai 97,10%. Tingginya nilai tersebut pada perlakuan, didukung oleh bahan nutrisi yang diberikan oleh madu kelengkeng pada bahan pengencer, seperti kandungan enzim diastase (11,50 DN), persentase gula pereduksi (77,80%) dan rendahnya nilai keasaman (14,7 mL NaOH1N/kg). Sebagai pembanding, menurut Adipu et al.. (2012), pengenceran 1:60 dengan dari jumlah telur 100 buah dapat memberikan tingkat fertilitas sebesar 71,66% pada ikan lele (Clarias sp.). pendapat lainnya adalah pada ikan Atlantic croaker diketahui bahwa perbandingan volume sperma (mL) dan telur (buah) adalah 1:5000, pada ikan turbot adalah 1:2000, pada ikan kakap adalah 1:2000 (Gwo et al. 1991; Sequet et al. 1995; Fauvel et al. 1999 dalam Sequet et al. 2000). Nilai HR tersebut sedikit lebih tinggi dari nilai yang dilaporkan oleh Sutrisna (2002) yang menyebutkan bahwa nilai HR ikan patin adaah berada pada kisaran 77,48%-94,51%.
Rasio pengenceran Kontrol Perlakuan/ Jenis madu
Randu Leci Kelengkeng
1:2 85,14±3,77
1:10 91,40±3,22cB 86,54±1,67cA 95,49±1,87cC
1:50 94,84±1,86cB 72,45±2,59cA 93,44±2,39cC
1:90 74,92±4,01bB 40,11±4,62bA 84,65±1,02bC
1:130 39,52±10,72aB 45,95±3,52aA 86,92±0,44aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
16
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanPemberian Madu sebagai bahan nutrisi tambahan pada pengencer sperma memberikan hasil yang berbeda nyata pada semua perlakuan. Perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan madu kelengkeng sebagai pengencer sperma dengan rasio pengenceran 1:50. Ukuran kepala sperma mencapai 4,29±0,51 µm dan panjang ekor mencapai 27,22±1,54 µm. Skor motilitas sperma yang didapatkan 5,00±0,00aA, motilitas sperma 87,67±0,58aC%, viabilitas sperma 96,33±0,58aB%, persentase fertilisasi 97,10±0,70cC% dan persentase penetasan mencapai 93,44±2,39cC%. Selain itu, rasio fertilisasi perbandingan 1mL sperma segar : jumlah butir telur mencapai 1:125000.
Saran
Waktu penyimpanan sperma yang lebih lama dari 6 jam untuk mengetahui batas kemampuan ketahanan kualitas sperma selama masa penyimpanan dan pengamatan ultrastruktur sperma untuk mengetahui perbedaan struktur sperma setelah perlakuan. Selain itu, perlunya penambahan bahan lainnya untuk meningkatkan kualitas bahan pengencer.
DAFTAR PUSTAKA
Adipu Y, Sinjal H, dan Watung J. 2011. Ratio pengenceran sperma terhadap motilitas spermatozoa, fertilitas dan daya tetas ikan lele (Clarias sp.),” Jurnal Perikanan dan Kelautan tropis Vol. 7 Np. 1 (April 2011, Apr.) 48-55.
Affandi R dan Tang UM, 2004. Biologi Reproduksi Ikan. Pekanbaru (ID): Unri Press. Danang DR, Isnaini N, dan Trisunuwati P. 2012. Pengaruh lama simpan semen
terhadap kualitas spermatozoa ayam kampung dalam pengencer ringer’s pada suhu 40 C. J. Ternak Tropika Vol. 13, No.1: 47-57, 2012
[Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan. 2011. Statistik perikanan budidaya [internet]. [diacu 2012 Desember 23]. Tersedia pada: http://diskanlut.jabarprov. go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=435&idMenu=448.
[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 01-3545-2004 : Madu. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Effendy MI. 1997. Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Nusatama. Bogor.
Fujaya Y. 2002. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Guest WC, Avault JW, Roussel JD. 1976. Preservation Of Channel Cat fish Sperm. Trans. Am. Fish. Soc. 3,469474.
Gwo JC, Chiu JY, Lin CY, Su Y, Yu SL. 2005. Spermatozoal ultrastructure of four Sparidae fishes: Acanthopagrus berda, Acanthopagrus australis, Lagodon rhomboids and Archosargus probatocephus. Tissue and Cell 37 (2005) 109–115. Gwo JC, Yang WY, Kuo MC, Takemura A, Cheng HY. 2004. Spermatozoal
ultrastructures of two marine perciform teleost fishes, the goatfish, Paraupeneus spilurus (Mullidae) and the rabbitfish, Siganus fuscescens (Siganidae) from Taiwan. Tissue and Cell 36 (2004) 63–69.
Hardjopranjoto. 1991. Ilmu Insemenasi Buatan. Surabaya (ID): Airlangga University Press.
Hidayaturrahmah. 2007. Waktu motilitas dan viabilitas spermatozoa ikan mas (Cyprinus carpio L.) pada beberapa konsentrasi larutan fruktosa. Bioscientiae 4: 9-18.
Isnaini N dan Suyadi. 2000. Kualitas semen ayam kedu pada suhu kamar dalam pengencer larutan NaCl fisiologis dan Ringer’s. J. Ternak Tropika, Vol.1 (2) 55-56.
Kim SH, Lee CH, Song YB, Hur SW, Kim HB, Lee YD. 2013. Ultrastructure of late spermatids and spermatozoa during spermiogenesis in longtooth grouper Epinephelus bruneus from Jeju, Korea. Tissue and Cell 45 (2013) 261– 268. Mar’ati K. 2007. Pengaruh dosis dan lamapenyimpanan pengencer susu skim kuning
telur terhadap kualitas semen ikan mas (Cyprinus carpio L.) [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Islam Negeri Malang.
Marawali A, Thomas MH, Burhanuddin dan Belli HLL. 2001. Dasar-dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Kupang (ID): Departemen pendidikan nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri. Indonesia Timur.
McMaster ME, Portt CB, Munkittrick KR, Dixon DG. 1992. Milt characteristics, reproductive performance, and larval survival and development of white sucke rexposed to bleached kraft mill effluent. Ecotox. Environ. Saf. 23,103117.
18
Rahardhianto A, Abdulgani N, dan Trisyani N. 2012. Pengaruh konsentrasi larutan madu dalam NaCl fisiologis terhadap viabilitas dan motilitas spermatozoa ikan patin (Pangasius pangasius) selama masa penyimpanan. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-928X
Rough M. 2003. Sperm Motility. [internet]. [diacu 2013 Maret 25]. Tersedia pada: http://www.vivo.colostate.edu
Saputra PA. 2010. Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa Ikan Gurame (Osphronemus Gouramy) pada Larutan Bersalinitas 0, 3, 6 dan 9 ppt [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sequet M, Dreanno C, Fauvel C, Cosson J, dan Billard R. 2000. Cryopreservation of sperm in marine fish. Aquaculture Research 31(3). 231-243.
Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Siregar HCH. 2002. Pengaruh metode penurunan kadara air, suhu dan lama penyimpanan terhadap kualitas madu randu [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Suhardjo LJ, Harper ID, Brady and Judy AD. 1985. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta (ID): UI Press.
Sutrisna. 2002. Keragaman kualitas sperma ikan patin (Pangasius hypipthalmus Sauvage) pada bulan Oktober 2000-Februari 2001. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni N. 2005. Karakteristik kimia dan organoleptik minuman instan madu bubuk dengan penambahan tepung kerabang telur sebagai sumber kalsium [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zenichiro K. 2002. Teknologi Prosesing Semen Beku Pada Sapi. Malang (ID): JICA- Balai Inseminasi Buatan Singosari.
Lampiran 1. Pembuatan larutan 0,6% madu dalam NaCl fisiologis
Proses pengenceran sperma Proses pengenceran sperma
Wadah pengenceran sperma
Lampiran 2. Penyuntikan induk ikan patin siam dan sptripping sperma
Penyuntikan hormon HCG Penyuntikan hormon ovaprim
20
Lampiran 3. Pengamatan mikroskopik kualitas sperma
Pembuatan preparat dengan eosin Pengamatan dibawah mikroskop
Pengamatan mikroskopik Penulisan data mikroskopik
Lampiran 4. Pengamatan FR dan HR telur ikan patin
Susunan akuarium penelitian Pengamatan Fertilitas
\
Lampiran 5. Pengujian Anova dan uji lanjut Tukey
motilitas skor Motilitas Viabilitas FR HR * jenis Madu
jenisMadu motilitas skorMotilitas Viabilitas FR HR
Randu Mean 83.0000 4.7500 92.0000 70,2925 75,1725 N 12 12 12 12 12 Std. Deviation 1.53741 .45227 1.41421 32,58709 23,46015 Leci Mean 85.2500 5.0000 95.5000 85,0042 61,2625 N 12 12 12 12 12 Std. Deviation 1.65831 .00000 .90453 8,22217 20,05740 Kelengkeng Mean 87.5000 5.0000 96.0000 94,1458 90,1283 N 12 12 12 12 12 Std. Deviation 1.31426 .00000 .73855 3,76412 4,87175 Total Mean 85.2500 4.9167 94.5000 83,1475 75,5211 N 36 36 36 36 36 Std. Deviation 2.37096 .28031 2.07709 21,41865 21,20791
motilitas skor Motilitas Viabilitas FR HR * Pengenceran
Pengenceran Motilitas skorMotilitas Viabilitas FR HR
1:10 Mean 84.3333 4.8889 94.4444 93,6744 91,1456 N 9 9 9 9 9 Std. Deviation 2.29129 .33333 1.87824 2,43848 4,38373 1:50 Mean 85.0000 4.8889 94.8889 92,8300 86,9156 N 9 9 9 9 9 Std. Deviation 2.29129 .33333 1.69148 5,45700 11,04498 1:90 Mean 85.6667 5.0000 94.0000 83,5433 66,5578 N 9 9 9 9 9 Std. Deviation 2.59808 .00000 2.91548 9,27428 20,51738 1:130 Mean 86.0000 4.8889 94.6667 62,5422 57,4656 N 9 9 9 9 9 Std. Deviation 2.34521 .33333 1.87083 34,31277 22,97295 Total Mean 85.2500 4.9167 94.5000 83,1475 75,5211 N 36 36 36 36 36 Std. Deviation 2.37096 .28031 2.07709 21,41865 21,20791
22
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: motilitas
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 144.750a 11 13.159 6.073 .000
Intercept 261632.250 1 261632.250 1.208E5 .000
Jenis Madu 121.500 2 60.750 28.038 .000
Pengenceran 14.750 3 4.917 2.269 .106
Jenis Madu * Pengenceran 8.500 6 1.417 .654 .687
Error 52.000 24 2.167
Total 261829.000 36
Corrected Total 196.750 35
a. R Squared = ,736 (Adjusted R Squared = ,615)
Motilitas Tukey HSD Jenis Madu N Subset 1 2 3 Randu 12 83.0000 Leci 12 85.2500 kelengkeng 12 87.5000 Sig. 1.000 1.000 1.000 Motilitas Tukey HSD Pengenceran N Subset 1 1:10 9 84.3333 1:50 9 85.0000 1:90 9 85.6667 1:130 9 86.0000 Sig. .104
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Motilitas
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model .750a 11 .068 .818 .623
Intercept 870.250 1 870.250 1.044E4 .000
Jenis Madu .500 2 .250 3.000 .069
Pengenceran .083 3 .028 .333 .801
Jenis Madu * Pengenceran .167 6 .028 .333 .913
Error 2.000 24 .083 Total 873.000 36 Corrected Total 2.750 35 skorMotilitas Tukey HSD Jenis Madu N Subset 1 Randu 12 4.7500 Leci 12 5.0000 Kelengkeng 12 5.0000 Sig. .107 skorMotilitas Tukey HSD Pengenceran N Subset 1 1:10 9 4.8889 1:50 9 4.8889 1:130 9 4.8889 1:90 9 5.0000 Sig. .846
24
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Viabilitas
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 131.000a 11 11.909 14.291 .000
Intercept 321489.000 1 321489.000 3.858E5 .000
Jenis Madu 114.000 2 57.000 68.400 .000
Pengenceran 3.889 3 1.296 1.556 .226
Jenis Madu * Pengenceran 13.111 6 2.185 2.622 .042
Error 20.000 24 .833 Total 321640.000 36 Corrected Total 151.000 35 Viabilitas Tukey HSD Jenis Madu N Subset 1 2 Randu 12 92.0000 Leci 12 95.5000 kelengkeng 12 96.0000 Sig. 1.000 .387 Viabilitas Tukey HSD Pengenceran N Subset 1 1:90 9 94.0000 1:10 9 94.4444 1:130 9 94.6667 1:50 9 94.8889 Sig. .193
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: FR
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 15065.083a 11 1369.553 33.152 .000
Intercept 248886.243 1 248886.243 6.025E3 .000
Jenis Madu 3475.939 2 1737.969 42.071 .000
Pengenceran 5663.714 3 1887.905 45.700 .000
Jenis Madu * Pengenceran 5925.430 6 987.572 23.906 .000
Error 991.460 24 41.311 Total 264942.786 36 Corrected Total 16056.543 35 FR Tukey HSD Jenis Madu N Subset 1 2 3 Randu 12 70,2925 Leci 12 85,0042 Kelengkeng 12 94,1458 Sig. 1.000 1.000 1.000 FR Tukey HSD Pengenceran N Subset 1 2 3 1:130 9 62,5422 1:90 9 83,5433 1:50 9 92,8300 1:10 9 93,6744 Sig. 1.000 1.000 .992
26
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: HR
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 15344.852a 11 1394.987 84.271 .000
Intercept 205323.776 1 205323.776 1.240E4 .000
Jenis Madu 5001.606 2 2500.803 151.074 .000
Pengenceran 7022.710 3 2340.903 141.414 .000
Jenis Madu * Pengenceran 3320.537 6 553.423 33.432 .000
Error 397.284 24 16.554 Total 221065.912 36 Corrected Total 15742.136 35 HR Tukey HSD Jenis Madu N Subset 1 2 3 Leci 12 61,2625 Randu 12 75,1725 Kelengkeng 12 90,1283 Sig. 1.000 1.000 1.000 HR Tukey HSD Pengenceran N Subset 1 2 3 1:130 9 57,4656 1:90 9 66,5578 1:50 9 86,9156 1:10 9 91,1456 Sig. 1.000 1.000 .150
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 31 Maret 1991 dari Bapak Drs.H Rahmat Asy’ari dan Ibu Sa’idah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara (Muhib Alawi dan Nala Aunillah). Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di SDN Cempaka Baru 05 Jakarta, Mts Al-Muddatsiriyah Jakarta, SMAN 5 Jakarta, dan diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) tahun 2009 pada program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan, baik yang diselenggarakan kampus maupun ekstra kampus. Kegiatan tersebut diantaranya adalah peserta IPB Goes To Field (IGTF) 2011 di Kabupaten Brebes dan koordinator IGTF 2013 di Kabupaten/kota Pekalongan, Penerima hibah Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang Teknologi (2012) dan bidang Penelitian (2013), Penerima hibah Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) CDA IPB 2013, Penerima hibah Tanoto Student Research Award IPB 2012 dan 2013 yang diselenggarakan Tanoto Fondation, sebagai inovator 104 Inovasi Indonesia 2012 bidang Teknologi dan Informatika (TIK) yang diselenggarakan Bussiness Innovation Center dan Kemenristek, Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2012 bidang Teknologi di UMY Yogyakarta yang diselenggarakan Dikti. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisiologi Reproduksi Biota Akuatik (2012). Penulis juga pernah magang di Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi (2010) pada komoditas pakan alami dan buatan, Balai Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara (2011) pada komoditas Udang Windu, dan Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar Subang (2012) pada komoditas ikan Patin. Penulis juga mengikuti kegiatan praktik lapangan di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara pada bulan Juli-Agustus 2012 di komoditas Kerapu Macan . Tugas akhir penulis dalam menyelesaikan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan berjudul “Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)”.