• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perbankan terus mengalami perkembangan. Praktek dan kebijakan manajemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perbankan terus mengalami perkembangan. Praktek dan kebijakan manajemen"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) terutama dalam industri perbankan terus mengalami perkembangan. Praktek dan kebijakan manajemen SDM memainkan peranan penting dalam mendorong kesetiaan karyawan dan membuat perusahaan mampu menanggapi perubahan secara lebih baik sehingga pengelolaan SDM oleh manajemen harus mendapatkan prioritas utama. Untuk mewujudkan perusahaan yang kompetitif, diperlukan manajemen SDM yang dapat meningkatkan kemampuan SDM.

Pelaksanaan proses transformasi perusahaan untuk meraih keunggulan kompetitif didukung oleh sumber-sumber keunggulan kompetitif yang meliputi sumber daya fisik, sumber daya finansial, struktur dan sistem proses organisasi, dan SDM. Namun demikian SDM merupakan sumber keunggulan kompetitif yang utama karena pengelolaan sumber keunggulan lain secara otomatis memerlukan penanganan dari SDM yang ada. Keterlibatan SDM sangat menentukan kesuksesan proses perubahan organisasi karena SDM merupakan subyek penting yang akan melaksanakan proses perubahan dan hasil dari proses perubahan yang direncanakan (Moran dan Brightman, 2000).

Meyer, Allen, Natalie, Topolnytsky dan Laryssa (1998) menyebutkan bahwa salah satu cara agar perusahaan mampu bertahan, harus memiliki tenaga kerja yang berpengetahuan luas, bermotivasi tinggi dan berkomitmen. Tenaga

(2)

2 kerja yang berkarakteristik tersebut dapat dikatakan sebagai tenaga kerja yang berkualitas yang merupakan suatu investasi agar kinerja perusahaan tidak menurun sehingga dapat tetap bertahan menghadapi persaingan. Robbins (2003) menambahkan bahwa karakteristik yang membedakan organisasi sukses di hampir setiap industri dengan organisasi yang kurang sukses adalah kualitas karyawan yang mereka dapatkan dan mampu mempertahankannya.

Untuk memperoleh karyawan yang berkualitas dapat ditempuh melalui proses seleksi yang baik, namun untuk mempertahankan karyawan yang berkualitas tersebut agar tidak berpindah ke tempat lain tidaklah mudah. Kebijakan perusahaan untuk mempertahankan karyawannya agar tetap bergabung dan memajukan organisasi menjadi suatu hal yang penting. Menurut Seniati (2001), keputusan karyawan untuk tetap bergabung dan memajukan organisasinya atau memilih tempat kerja lain yang lebih ‘menjanjikan’, ditentukan oleh tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi.

Salah satu cara mendapatkan karyawan yang berpengetahuan luas, mempunyai motivasi tinggi namun juga berkomitmen terhadap organisasi adalah pelatihan. Newman, et al., Thanacody dan Hui (2011) melakukan penelitian di sektor pelayanan pada 5 perusahaan multinasional di China mengenai pengaruh antara persepsi karyawan terhadap pelatihan dengan komitmen organisasi dan turn over. Sampel dalam penelitian ini adalah 437 karyawan dari 5 perusahaan multinasional di China. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pelatihan dapat meningkatkan komitmen organisasi dan mengurangi turn over karyawan.

(3)

3 Teori yang mendasari penelitian Newman, et al. (2011) tersebut adalah teori pertukaran sosial yang menyatakan bahwa ketika seseorang berhubungan dengan sebuah perusahaan maka dia menginginkan keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari perusahaan. Terdapat perjanjian implisit antara karyawan dengan perusahaan atau dengan kata lain terdapat kontrak psikologis yang dibangun atas dasar hubungan timbal balik. Kontrak psikologis tersebut berperan penting dalam menentukan perilaku organisasi termasuk komitmen organisasi. Banyak literatur menyebutkan bahwa karyawan meningkatkan komitmennya terhadap organisasi ketika organisasi memenuhi ekspektasi karyawan sesuai dengan pemenuhan kebutuhan individualnya.

Newman, et al. (2011) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara komitmen afektif dan kontinuan dengan persepsi tentang ketersediaan pelatihan, dukungan atasan dan dukungan rekan kerja. Adapun motivasi belajar dan persepsi mengenai keuntungan yang diperoleh dari pelatihan tidak ada hubungannya dengan komitmen afektif maupun kontinuan.

Penelitian yang akan penulis lakukan merujuk pada penelitian Newman, et al. (2011) yang menguji pengaruh persepsi karyawan terhadap pelatihan dengan komitmen organisasional. Komponen komitmen organisasional diadopsi dari Meyer dan Allen (1993), yaitu komitmen afektif, kontinuan dan normatif. Namun Newman, et al. tidak menguji komitmen normatif dalam penelitiannya. Adapun komponen pelatihan yang digunakan adalah persepsi tentang ketersediaan pelatihan, dukungan atasan dan dukungan rekan kerja. Motivasi untuk belajar dan keuntungan yang diperoleh dari pelatihan tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

(4)

4 Sedangkan jenis pelatihan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelatihan inhouse regular, yaitu pelatihan modular/non-paket yang dapat diikuti setiap saat oleh karyawan.

Newman, et al. melakukan survei terhadap karyawan perusahaan di China yang bergerak di bidang jasa. Newman, et al. menyarankan agar dilakukan penelitian di sektor lain dengan industri yang berbeda. Selain itu dianjurkan untuk melakukan penelitian di tempat berbeda yaitu di negara-negara Asia lainnya selain China. Hal penting yang digarisbawahi dari hasil penelitian Newman, et al. adalah bahwa pelatihan merupakan alat untuk meningkatkan komitmen afektif karyawan dan mengurangi turn over. Sejumlah studi lainnya menunjukkan bahwa pemberian pelatihan dapat meningkatkan komitmen organisasional karyawan. Sebagai bagian dari kontrak psikologis dengan organisasi, karyawan mengharapkan untuk diberikan kesempatan pelatihan dan pengembangan sebagai bentuk timbal balik dari perusahaan yaitu komitmen perusahaan terhadap karyawan. Dari sekian banyaknya literatur mengenai pengaruh praktek SDM terhadap komitmen hanya sedikit penelitian yang menggambarkan bahwa kontrak psikologis merupakan anteseden komitmen organisasional. Selain itu, sebagian besar studi tentang komitmen organisasional berasal dari negara Barat, hanya sedikit penelitian mengenai hubungan antara komitmen dengan faktor-faktor pendorongnya yang berasal dari luar negara Barat (Newman, et al., 2011).

Penelitian lain yang membuktikan bahwa terdapat hubungan antara pelatihan dengan komitmen organisasional antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Barlett (2001) yang meneliti hubungan antara pelatihan dan

(5)

5 motivasi dengan komitmen organisasional. Penelitian yang dilakukan Barlett dilatarbelakangi oleh kekhawatiran perusahaan akan kontribusi pelatihan bagi organisasi seperti yang diharapkan, yaitu karyawan yang telah dilatih akan dengan mudah berpindah ke perusahaan lain yang menawarkan imbalan lebih. Hasil penelitian Barlett menyimpulkan bahwa partisipasi dalam pelatihan (berdasarkan durasi/jam), frekuensi pelatihan, persepsi tentang akses mengikuti pelatihan, dukungan atasan dan motivasi belajar berhubungan positif dengan komitmen afektif.

Noe, Hollenbeck, Gerhart dan Wright (2003) menyatakan bahwa selain membantu karyawan mempelajari keterampilan kerja, pelatihan juga membantu perusahaan untuk mempertahankan dan memotivasi karyawannya. Jika para calon tenaga kerja menyadari bahwa pelatihan sangat penting untuk nilai jual (future marketability) mereka, maka tentunya mereka lebih memilih perusahaan berdasarkan kesempatan untuk belajar yang ditawarkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang tidak menyediakan pelatihan tidak akan dapat menarik dan mempertahankan karyawan-karyawan yang memiliki kualitas yang tinggi. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sikula dalam Munandar (2001) bahwa salah satu tujuan dari pelatihan dan pengembangan adalah menarik dan menahan tenaga kerja yang baik. Menurut Malik (2010), bukti empiris yang ditemukan pada sejumlah organisasi bisnis terkemuka di dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan dan daya kompetitif yang dimiliki dihasilkan melalui kompetensi khusus yang diciptakan melalui pengembangan keterampilan tinggi bagi karyawan, kekhasan budaya organisasi, sistem maupun proses manajemennya.

(6)

6 Saat ini Bank X tengah memasuki fase transformasi lanjutan periode 2010-2014. Dalam upaya mendukung pencapaian misi Bank X menjadi The Most Admired and Progressive Financial Institution, Bank X telah mencanangkan misi strategisnya yaitu Accelerating Human Capital Value Creation. Proses Accelerating Human Capital Value Creation dilakukan dengan mengacu pada Human Capital Lifecycle yang menjadi dasar utama penyempurnaan dan penataan human capital, dengan penekanan pada penciptaan kebijakan yang dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Untuk memenangi persaingan menjadi perusahaan baik (good company) saja tidak cukup. Bank X ingin meraih status sebagai perusahaan yang hebat (great company), sesuai dengan misi yang diusung : To be Indonesia’s Most Admired and Progressive Financial Institution. Syaratnya antara lain, dukungan SDM yang tangguh. Kondisi ini tentu akan lebih menantang bagi perusahaan. Intensitas persaingan perbankan diperkirakan akan semakin meningkat dimana Bank X akan dihadapkan pada kompetitor yang semakin agresif, terutama para pemain asing yang memiliki kekuatan modal, teknologi dan SDM yang handal.

Untuk mencapai kekuatan sumberdaya manusia yang tangguh Bank X memberi perhatian yang serius terhadap pelatihan dan pengembangan karyawan. Manajemen Bank X memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi karyawan untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan yaitu dengan memberikan kesempatan pelatihan maupun memberi kesempatan melanjutkan pendidikan dengan beasiswa. Namun, pelatihan yang diselenggarakan tidak memungkinkan

(7)

7 untuk diikuti oleh seluruh karyawan. Hal ini karena keterbatasan anggaran, waktu dan sumberdaya lainnya.

Biaya pelatihan yang dianggarkan tiap tahunnya sebesar 5% dari Biaya Tenaga Kerja (BTK). Jumlah karyawan dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan demikian maka BTK pun menjadi tinggi dan hal ini meningkatkan anggaran pelatihan. Menurut data karyawan per Desember 2011 total karyawan Bank X mencapai 26.419 orang (tidak termasuk karyawan kontrak) tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Laporan Tahunan, 2011).

Gambar 1.1: Biaya Pelatihan dan Biaya Tenaga Kerja (Laporan Tahunan Bank X, 2011)

Terkait dengan tingginya biaya pelatihan yang dikeluarkan oleh perusahaan, dalam implementasinya terdapat beberapa fenomena sebagai berikut : a. Kesempatan mengikuti pelatihan belum merata bagi seluruh karyawan

sehingga ada karyawan yang sering mengikuti pelatihan, di lain pihak ada karyawan yang jarang sekali diikutkan dalam pelatihan. Sangat memungkinkan bahwa seorang karyawan mengikuti pelatihan lebih dari satu kali dan karyawan lainnya tidak pernah mengikuti pelatihan sama sekali. Hal

Biaya Training (Rp. Miliar) Biaya Tenaga Kerja (Rp. Triliun)

(8)

8 ini karena perusahaan memberikan kesempatan pelatihan bukan berdasarkan atas pemerataan melainkan atas dasar kebutuhan perusahaan.

b. Secara umum terdapat 2 (dua) tipe pelatihan yang diselenggarakan, yaitu pelatihan inhouse reguler dan pelatihan academy. Dalam pelatihan inhouse reguler setiap karyawan bisa mengusulkan jenis pelatihan yang ingin diikuti sesuai pilihan masing-masing disertai persetujuan atasannya, sedangkan dalam pelatihan academy keikutsertaan karyawan ditentukan/ditunjuk oleh pihak HR-SBU (Human Resources-Strategic Business Unit) karena terkait dengan jenjang karir. Hal ini pun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mengapa tidak semua usulan pelatihan karyawan diterima karena pihak Manajemen memiliki prioritas jenis pelatihan apa saja yang diselenggarakan dan siapa saja peserta yang berhak mengikuti pelatihan.

c. Kesempatan pelatihan tidak didapat oleh karyawan dapat juga disebabkan oleh sikap supervisor atau atasan yang kesulitan untuk mencari karyawan pengganti jika ada salah satu karyawannya pergi pelatihan, sehingga meskipun karyawan telah diundang untuk mengikuti pelatihan namun mereka tidak mendapatkan izin dari atasannya sehingga pada hari pelaksanaan pelatihan karyawan tidak hadir atau disebut dengan istilah no show. Ketidakhadiran karyawan ini pun pada akhirnya akan menimbulkan kerugian finansial bagi perusahaan.

d. Kesempatan pelatihan yang tidak merata menyebabkan karyawan mempertanyakan aspek ekuitas terhadap kesempatan aksesibilitas dan keadilan, yang berarti semua karyawan di berbagai tingkat seharusnya

(9)

9 mempunyai peluang yang sama untuk mengikuti pelatihan. Padahal menurut Gaertner dan Nollen dalam Robinson (2003), komitmen perusahaan memberikan pelatihan terkait dengan persepsi karyawan terhadap upaya organisasi untuk menyediakan pelatihan bagi mereka. Komitmen karyawan terhadap organisasi dapat dibentuk oleh persepsi mereka tentang bagaimana mereka diperlakukan secara adil oleh perusahaan. Dengan memperlakukan karyawan dengan baik, perusahaan mengkomunikasikan komitmennya kepada karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi yang ingin menumbuhkan komitmen karyawan mereka harus memberikan bukti komitmen kepada karyawan mereka.

Karyawan yang kompeten tidak selamanya tetap kompeten. Keterampilan dapat memburuk dan menjadi usang. Itulah sebabnya organisasi mengeluarkan miliaran rupiah tiap tahun untuk pelatihan formal. Di tahun 2011, perusahaan-perusahaan di Amerika yang memiliki lebih dari 100 pekerja umumnya mengeluarkan biaya sebesar 60 juta dolar (sekitar Rp 580 milyar) untuk pelatihan. Berdasarkan survey tahunan 2012 yang dilakukan oleh CIPD (Chartered Institute of Personnel and Development), kebanyakan organisasi dengan lebih dari 250 karyawan memiliki anggaran pelatihan (sektor publik : 93%, sektor swasta: 85%; non-profit: 92%). Organisasi yang lebih kecil, terutama di sektor swasta, kurang cenderung memiliki anggaran pelatihan khusus (sektor publik: 77%, sektor swasta: 62% ; organisasi nirlaba : 69%).

Berdasarkan survei tahunan yang dilakukan tahun 2012 oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD), di sebagian besar organisasi

(10)

10 anggaran pelatihan digunakan untuk kursus eksternal dan konferensi (95%), menyewa konsultan eksternal dan pengajar (81%) dan buku-buku, manual pelatihan, dan lain-lain (80%). Anggaran pelatihan juga membiayai pelatihan teknologi (56%), sedangkan di sepertiga organisasi lainnya anggaran pelatihan digunakan untuk menutup biaya tetap (35%) dan gaji pengajar (31%). Hanya separuh dari organisasi (51%) melaporkan bahwa mereka mencatat jumlah jam pelatihan/pengembangan yang diterima karyawan dalam jangka waktu 12 bulan, dari data tersebut tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis sektor dan skala perusahaan. Jumlah rata-rata jam pelatihan yang diterima karyawan per tahun adalah 24 jam. Hal ini menunjukkan penurunan pada tahun-tahun

sebelumnya (2011: 5 hari, 2010: 4 hari, 2009: 5 hari) . Dari 620 organisasi yang

memiliki anggaran pelatihan, 309 (50%) memberikan data lengkap (dalam mata uang poundsterling). Anggaran pelatihan rata-rata tahunan per karyawan adalah £276 (Rp. 4,07 juta). Keuangan untuk pelatihan di sektor publik tampaknya sangat dibatasi. Anggaran pelatihan rata-rata untuk organisasi di sektor publik tahun 2012 dilaporkan sebesar £167 (2,46 juta) per karyawan, angka ini menurun hampir setengahnya dibandingkan dengan yang dilaporkan tahun 2011 yaitu £311 (Rp.4,58 juta), tetapi lebih tinggi dari yang dilaporkan pada tahun 2010 yaitu £116 (Rp. 1,71 juta). Anggaran pelatihan di sektor swasta dan non-profit pada tahun 2012 juga berkurang dibandingkan dengan tahun 2011, anggaran pelatihan per karyawan di sektor swasta tahun 2012 sebesar £308 (Rp. 4,54 juta), tahun 2011 sebesar £372 (Rp. 5,48 juta), sektor non-profit pada tahun 2012 sebesar £298 (Rp.

(11)

11 rata-rata pelatihan antara 2 dan 2,5% dari gaji, hanya perusahaan terkemuka yang menghabiskan biaya sebanyak 3% dari gaji. Di Australia, pengeluaran rata-rata untuk pelatihan jauh lebih rendah. The Australian Bureau of Statistics melaporkan perusahaan-perusahaan hanya menghabiskan sekitar 1,5% dari gaji kotor untuk biaya pelatihan. Jumlah uang yang dihabiskan untuk pelatihan bervariasi antara industri. Di Australia, pelayanan publik dan sektor pertahanan menghabiskan biaya pelatihan per karyawan lebih besar daripada sector lain, diikuti oleh perusahaan listrik, gas, air, kesehatan, pendidikan dan sektor keuangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Mardiana (2004) menyimpulkan bahwa keberhasilan untuk meningkatkan komitmen karyawan dapat tumbuh bila hubungan antara karyawan dan organisasi merupakan suatu bangunan yang saling mendukung dalam satu komunitas. Bila suatu organisasi berupaya mendapatkan keuntungan dari komitmen karyawan seperti peningkatan kualitas atau produktivitas, maka organisasi harus menjembatani dan mempunyai komitmen menciptakan suatu lingkungan kerja dimana pekerja didorong untuk memiliki loyalitas yang tinggi dengan kebijakan yang lebih memperhatikan kebutuhan dan kepuasan karyawan dan memberikan yang terbaik kepada karyawan yang bersangkutan bukan lewat gaji dan fasilitas semata melainkan juga sikap fair dan terbuka dari perusahaan terhadap karyawan serta terpeliharanya suasana menyenangkan dalam bekerja sehingga tujuan organisasi tercipta.

Menurut Zin (2004) untuk meningkatkan komitmen organisasional perusahaan harus mengembangkan kualitas kehidupan kerja dengan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri melalui program pelatihan

(12)

12 dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka.

Soekiman (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi dukungan organisasi eksternal dan internal terhadap komitmen karyawan pada perusahaan perbankan di Jawa Timur. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan perbankan yang terdapat di wilayah Propinsi Jawa Timur. Jumlah sampel penelitian sebanyak 39 bank. Responden penelitian pada setiap sampel perusahaan perbankan terdiri dari para Manajer dan Supervisor. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persepsi dukungan organisasi internal secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen karyawan pada perusahaan perbankan di Jawa Timur.

Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi organisasi, maka pihak manajemen perusahaan perlu melakukan suatu pengukuran tentang seberapa tinggi tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi. Tingkat dari komitmen karyawan tersebut dibutuhkan oleh pihak manajemen untuk menunjukan bagaimana masa depan kelangsungan organisasi tersebut (Watson, 2002).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dirumuskan masalah sebagai berikut : apakah ada hubungan antara persepsi karyawan tentang pelatihan inhouse reguler dan komitmen organisasional?

(13)

13 1.3 Keaslian Penelitian

Penelitian ini bukan merupakan duplikasi karya tulis orang lain yang sudah dipublikasikan. Sepengetahuan Penulis, sebelumnya belum pernah ada peneliti yang melakukan penelitian di Bank X mengenai Hubungan Antara Persepsi Karyawan tentang Pelatihan Inhouse Reguler dan Komitmen Organisasional.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis, diperolehnya analisis yang lebih jelas mengenai hubungan antara Persepsi Karyawan tentang Pelatihan Inhouse Reguler dan Komitmen Organisasional.

Manfaat praktis, memberikan masukan bagi perusahaan dalam membuat rancangan kebijakan kegiatan pelatihan untuk karyawan dan sebagai tambahan informasi dalam memperbaiki strategi dalam meningkatkan komitmen organisasional.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah ada hubungan antara Persepsi Karyawan tentang Pelatihan Inhouse Reguler dan Komitmen Organisasional.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap santri/santriah wajib menjalankan sholat sunnah dhuha ketika waktu dhuha yang telah ditentukan oleh tim akademik pondok pesantren Al-Khoir.. Setiap santri/santriah

Markah penuh 15 markah Panduan pemarkahan bagi Soalan 4. ii) Jawapan hendaklah dalam ayat-ayat lengkap. Markah bahasa tidak boleh lebih daripada markah isi. viii)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas kegunaan yang paling baik yaitu website menyediakan interaksi yang jelas sedangkan yang paling buruk yaitu website

Melalui program public relations and publicity dan event and experience diharapkan pendengar dapat menyadari keberadaan radio Rama dan lebih mengenal merek radio

Intiland Tower adalah solusi untuk tantangan alam dengan menggabungkan konsep dasar arsitektur hijau dan efisiensi energi sejak 25 tahun yang lalu, meletakkan aplatform

Bimbingan dan konseling pola tujuh belas plus terdiri dari empat bidang bimbingan, Sembilan jenis layanan dan enam kegiatan pendukung. Bidang bimbingan pribadi

Padahal, jika dicermati kondisi kekinian, perolehan hasil tangkapan nelayan yang telah dioleh dalam bentuk makanan seperti kerupuk, getas, kemplang, cumi kering, ikan

Penggunaan Microsoft Power Point dalam dunia pendidikan di era sekarang sudah menjadi suatu kewajiban bagi pendidik sebagai proses transisi dari media pembelajaran