• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan High Sensitivity C-Reactive Protein (Hs CRP) dengan Fibrin Clot Strength (Kekuatan Bekuan Fibrin) Pasca Intervensi Koroner Perkutan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan High Sensitivity C-Reactive Protein (Hs CRP) dengan Fibrin Clot Strength (Kekuatan Bekuan Fibrin) Pasca Intervensi Koroner Perkutan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Proses Aterosklerosis

Dalam beberapa dekade terakhir, teori mengenai patogenesis

aterosklerosis memprediksi bahwa proliferasi sel otot polos (SMCs) menjadi

penyebab terbentuknya lesi fibrous yang mengelilingi “inti nekrosis” akibat

deposit kolesterol dan kolesteril-ester. Sel endotel normal (EC) akan menghambat

interaksi adhesif dengan leukosit dalam darah, sedangkan EC yang distimulasi

oleh ekspresi sitokin proinflamasi akan mengekspresikan molekul adhesif untuk

menangkap dan mengikat leukosit pada permukaan endotel. Pada uji coba hewani,

setelah inisiasi dengan diet hiperkolesterol, arteri menunjukkan ekspresi

bermacam-macam molekul adhesif leukosit yang meningkat, termasuk vascular

cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan selektin-P. VCAM-1 hanya berikatan dengan sel darah putih yang ditemukan pada lesi aterosklerosis awal seperti

mononuklear fagosit dan limfosit T. Jadi transisi arteri normal menjadi lesi

aterosklerosis bergantung pada jumlah leukosit yang menginisiasi dan kemudian

melanjutkan proses inflamasi secara terus menerus.

Sesaat setelah berikatan dengan permukaan endotel, leukosit memerlukan

sinyal kemotraktan untuk dapat langsung bermigrasi ke lapisan intima

subendotelial. Sitokin proinflamasi yang multipel berpartisipasi dalam proses ini.

Monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) menyebabkan transmigrasi monosit. Sel dinding vaskular intrinsik, endotelium, dan otot polos dapat

memproduksi MCP-1. Sitokin kemotraktan yang lain seperti fraktalkin dan

interleukin (IL-8) juga dapat menyebabkan migrasi leukosit adheren selama

(2)

Fagosit mononuklear mengalami perubahan ciri dan membentuk foam cell

setelah masuk ke intima arteri. Monosit juga akan mengekspresikan reseptor

scavenger, yang menangkap lipoprotein sehingga berakumulasi pada ruang subendokardium. Kemampuan menangkap lipoprotein ini menyebabkan

pembentukan kompleks makrofag-lipid yang disebut foam cell, tanda khas lesi

aterosklerosis awal, yang disebut fatty streak (Libby, 2006)

Gambar 2.1. Proses pembentukan foam cell (A) Artery normal, meliputi lumen yang

dilapisi endotelium, lapisan intima, dan tunika media. (B) Sel endotelium yang terekspos

dengan mediator inflamasi mengekspresikan molekul adhesif pada permukaan lumen.

Molekul adhesi ini berikatan dengan reseptor pada leukosit, menyebabkan perlengketan

pada permukaan endotelium. (C) Sitokin kemotraktan seperti MCP-1, fraktalkin, dan IL-8

memberi sinyal kepada leukosit untuk menetrasi lapisan endotelium ke intima dengan

diapedesis. (D) Monosit akan mengekspresikan reseptor scavenger dan menjadi foam cell,

(3)

plak juga bereplikasi. Mediator inflamasi seperti M-CSF dapat memproduksi reseptor

scavenger dan proliferasi makrofag pada ateromata (Libby, 2006).

2.2Inflamasi pada Aterosklerosis

Hiperkolesterolemia menyebabkan aktivasi endotelium pada arteri sedang

dan besar. Infiltrasi dan retensi LDL pada intima menginisiasi respon inflamasi

pada dinding arteri. Trombosit adalah sel darah pertama yang tiba pada lokasi

endotelium yang teraktivasi. Glikoprotein Ib dan IIb/IIIa akan berikatan dengan

permukaan molekul sel endotelium, yang berkontribusi pada aktivasi endotel. Sel

endotel yang teraktivasi mengekpresikan berbagai tipe molekul adhesif leukosit,

yang menyebabkan sel darah akan berikatan pada tempat aktivasi (Gambar 2.2).

Sitokin yang diproduksi pada intima yang mengalami inflamasi yaitu

macrophage colony-stimulating factor, menginduksi monosit yang masuk ke dalam plak dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Hal ini penting dalam

perkembangan aterosklerosis dan berhubungan dengan regulasi reseptor untuk

imunitas bawaan, termasuk reseptor scavenger dan reseptor toll-like.

Reseptor scavenger menangkap dan menghancurkan sejumlah molekul dan

partikel yang memiliki pola seperti patogen meliputi endotoxin bakteri, fragmen

sel apoptosis, dan LDL yang teroksidasi. Reseptor toll-like juga berikatan dengan

molekul dengan pola molekul seperti patogen, tetapi berbeda dengan reseptor

scavenger, reseptor ini menginisiasi kaskade sinyal yang menyebabkan aktivasi

sel.

Sel imun (termasuk sel T, sel dendritik yang mempresentasikan antigen,

monosit, makrofag, dan sel mast) dan patrol tissue (termasuk arteri yang

mengalami aterosklerosis) akan mencari antigen. Infiltrasi sel T selalu dijumpai

pada lesi aterosklerosis. Ketika reseptor antigen sel T berikatan dengan antigen,

(4)

dan enzim. Respon T-helper tipe 1 (Th1) mengaktivasi makrofag, menginisiasi

respon inflamasi yang mirip dengan hipersensitivitas dan berfungsi melawan

patogen intraseluler, sedangkan respon T-helper tipe 2 (Th2) berupa inflamasi

alergi. Lesi aterosklerosis mengandung sitokin yang merangsang respon Th1. Sel

T yang teraktivasi kemudian berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1 dan mulai menghasilkan sitokin interferon γ oleh makrofag. Interferon γ meningkatkan efisiensi presentasi antigen dan sintesis sitokin inflamasi berupa tumor necrosis

factor dan interleukin-1 (Gambar 2.3).

Sitokin sel T menyebabkan produksi sejumlah besar molekul pada kaskade

sitokin. Peningkatan jumlah interleukin-6 dan C-reactive protein dapat terdeteksi

di sirkulasi perifer (Hansson, 2005) (Gambar 2.4).

. .

Gambar 2.2. Efek aktivasi infiltrasi LDL pada arteri yang terinflamasi (Hansson,

2005). Pada pasien hiperkolesterol, kelebihan LDL akan berinfiltrasi pada arteri dan

tertahan pada intima. Proses oksidatif dan enzimatik menyebabkan pelepasan lemak

terinflamasi yang menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan molekul adhesif

leukosit. Partikel LDL termodifikasi akan ditangkap oleh reseptor scavenger yang

(5)

Gambar 2.3. Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi (Hansson, 2005).

Antigen yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel dendritik akan merangsang aktivasi

sel T pada arteri. Kebanyakan sel T yang teraktivasi akan memproduksi sitokin Th1

(interferon γ), yang mengaktivasi sel makrofag dan vaskuler, menyebabkan inflamasi. Sel

T akan memodulasi proses dengan mensekresi sitokin antiinflamasi (seperti

(6)

Gambar 2.4. Kaskade Sitokin (Hansson, 2005). Sel imun yang teraktivasi pada plak

memproduksi sitokin inflamasi (interferon γ, interleukin-1, dan tumor necrosis factor

[TNF]), yang menginduksi produksi sejumlah interleukin-6. Sitokin ini juga diproduksi

oleh berbagai jaringan sebagai respon infeksi dan jaringan lemak pada sindroma

metabolik. Interleukin-6 juga akan kembali menstimulasi produksi sejumlah besar reaktan

fase akut, termasuk CRP, serum amiloid A, dan fibrinogen, terutama di hati.

2.3Respon Inflamasi pada Intervensi Koroner Perkutan

Respon inflamasi berkorelasi dengan tingkat cedera arteri, karena reaksi

inflamasi merangsang kaskade sekuele trombosis dan hiperplasi. Dilatasi balon

pada dinding arteri akan memprovokasi deendotelialisasi dan deposit sejumlah

trombosit dan fibrin pada tempat yang mengalami cedera. Pembentukan kompleks

trombosit-trombosit, trombosit-leukosit, dan leukosit-sel endotel akan dimediasi

oleh molekul adhesif. Selektin P memediasi adhesi trombosit yang teraktivasi

(7)

Terdapat perbedaan antara stenting dan angioplasti pada mekanisme

patofisiologi terhadap perkembangan hiperplasi intima, karena reaksi inflamasi

pasca stenting lebih menonjol. Pada angioplasti hanya diikuti dengan infiltrasi

neutrofil awal, sedangkan pada stenting, infiltrasi neutrofil diikuti dengan

akumulasi makrofag secara terus menerus. Pada arteri yang dilakukan

pemasangan stenting, terdapat keterlibatan makrofag yang berlebihan dalam

neointima, sementara pada arteri yang dilakukan angioplasti tidak dijumpai

keterlibatan makrofag.

Pada fase awal implantasi stent, trombus mural akan terbentuk diikuti

dengan invasi SMCs, limfosit T dan makrofag, kemudian neointima yang

menutupi daerah stent secara lengkap setelah 4 minggu ini akan mengandung

sedikit matriks ekstraseluler yang semakin lama semakin banyak dan membentuk

segmen lengkap. Terdapat hubungan antara penetrasi stent dengan kepadatan sel

inflamasi dan ketebalan neointima. Neointima dari sel inflamasi lebih tebal 2-4

kali pada segmen dengan restenosis, dan inflamasi dihubungkan dengan

neoangiogenesis. Stenting dapat disertai dengan cedera bagian medial atau

penetrasi stent ke dalam inti lipid menginduksi peningkatan inflamasi arteri yang

berkorelasi dengan peningkatan pertumbuhan neointima (Toutouzas dkk, 2004).

2.4Penanda Inflamasi

Rangsangan inflamasi yang disebabkan oleh sitokin proinflamasi dapat

meningkat melalui produksi interleukin-6. Berbagai tipe sel seperti SMCs dan EC

dapat menghasilkan sejumlah besar interleukin-6 ketika terekspos dengan

interleukin-1β atau TNF-α. Interleukin-6 adalah mediator yang mengontrol respon

fase akut di hati. Ketika terkespos dengan interleukin-6, hepatosit akan

meningkatkan ekspresi protein fase akut, termasuk fibrinogen, PAI-1, serum

(8)

Gambar 2.5. Jalur inflamasi selama aterosklerosis yang dapat meningkatkan

konsentrasi penanda inflamasi pada darah (Libby, 2006).

Hubungan antara fibrinogen, serum amiloid A (SAA), dan CRP dengan

penyakit jantung koroner telah terbukti. Fibrinogen dan SAA dapat diukur di

laboratorium klinik, namun parameter dan nilai batas normal belum terstandarisasi

oleh FDA. CRP adalah protein yang sangat stabil dan telah diukur di berbagai

laboratorium selama beberapa dekade terakhir untuk menilai proses infeksi aktif

atau inflamasi. Metode yang sedang berkembang adalah high-sensitivity CRP

(hsCRP) karena dapat mengukur nilai CRP pada konsentrasi ≤0,3 mg/L.

CRP tersusun dari 5 subunit identik dan nonkovalen, masing-masing

terdiri dari 206 residu asam amino dengan berat molekul 23,017 kDa, sehingga

total berat molekul CRP sekitar 118,000 kDa dan merupakan mekanisme

pertahanan nonspesifik. CRP merupakan protein yang meningkat secara konsisten

dan protein fase akut yang paling cepat bereaksi (waktu paruh 19 jam),

menunjukkan CRP bagian dari respon imunitas bawaan. Konsentrasi CRP akan

meningkat sampai 1000 kali atau lebih dalam waktu 24-48 jam setelah cedera

(9)

kardiovaskular adalah: < 1mg/L dianggap risiko rendah, 1-3 mg/L risiko sedang,

>3 mg/L risiko tinggi. Usia dan etnik tidak mempengaruhi nilai CRP, tetapi

kondisi fisik dan kebiasaan hidup seperti aktivitas fisik, obesitas, merokok dan

konsumsi alkohol mempengaruhi konsentrasi CRP (Rifai, 2006).

HsCRP adalah penanda inflamasi yang dapat memprediksi insidensi infark

miokardium, stroke, penyakit arteri perifer, dan kematian jantung mendadak

diantara orang normal tanpa riwayat penyakit jantung, CRP juga memprediksi

insidensi serupa pada penderita sindroma koroner akut ataupun penyakit koroner

stabil. CRP tidak hanya disintesis oleh hati akibat respon terhadap interleukin-6

tetapi juga dihasilkan oleh sel otot polos dalam arteri koroner. Penelitian

menunjukkan CRP dapat mempengaruhi kerentanan vaskuler secara langsung

melalui banyak mekanisme, termasuk peningkatan ekspresi molekul adhesif pada

permukaan sel endotel, MCP-1, endotelin-1, dan PAI-1; menurunkan bioaktivitas

nitrit oksida (NO); peningkatan induksi faktor jaringan pada monosit; peningkatan

serapan LDL oleh makrofag; dan kolonisasi dengan kompleks membran

komplemen dalam lesi aterosklerosis (Bassuk dkk, 2006).

Gambar 2.6. Mekanisme terkait CRP terhadap perkembangan dan progresi

(10)

Liuzzo dkk menunjukkan pada 31 pasien dengan angina tidak stabil berat

dan tidak ada bukti nekrosis miokardium yang ditandai dengan tidak adanya

peningkatan troponin T, konsentrasi hsCRP > 3mg/L pada saat masuk

dihubungkan dengan peningkatan angina rekuren, revaskularisasi koroner, infark

miokardium, dan kematian kardiovaskuler. Data dari European Concerted Action

on Thrombosis and Disabilities (ECAT) Angina Pectoris Study Group, studi dari 2121 pria dan wanita dengan angina stabil dan tidak stabil menunjukkan setiap

peningkatan 1 standar deviasi hsCRP dihubungkan dengan peningkatan risiko

relatif sekitar 45% terhadap infark miokardium atau kematian jantung mendadak

(Haverkate dkk, 1997).

Peningkatan CRP juga berhubungan bermakna dengan peningkatan risiko

trombosis stent, kematian dan infark miokardium pada pasien yang mendapat

drug-eluting stent. Hal ini menunjukkan kegunaan dari penilaian risiko inflamasi dengan CRP (Park dkk, 2009). Inoue dkk menunjukkan CRP adalah penanda

unggulan untuk ketidakstabilan plak atau status inflamasi, dan sumbernya

kemungkinan besar berasal dari plak yang mengalami inflamasi atau dinding

arteri koroner yang cedera akibat stent (Inoue dkk, 2005). Studi menunjukkan

nilai CRP sebelum prosedur angioplasti merupakan prediktor kuat terhadap

kejadian komplikasi dini dan restenosis dari pasien yang menjalani angioplasti

pada satu pembuluh darah (Buffon dkk, 1999). hsCRP merupakan penanda baru

yang menjanjikan untuk prediksi penyakit koroner pertama ataupun rekuren (Rifai

dan Paul, 2001).

Kralisz dkk menunjukkan terdapat perbedaan antara nilai hsCRP sebelum

dan 24 jam setelah IKP (1.36±0.93 mg/L and 4.34±3.3 mg/L, p <0.0001), respon

inflamasi yang dipresentasikan oleh hsCRP lebih tinggi pada pasien dengan

intervensi koroner multivaskular dengan total segmen stent yang lebih panjang.

Nyandak dkk juga menunjukkan nilai hsCRP yang lebih tinggi pada pasien

dengan derajat stenosis yang lebih berat dan berhubungan dengan beban penyakit

(11)

2.5Kekuatan Bekuan Fibrin ( Fibrin Clot Strength)

Pembentukan bekuan fibrin yang relatif resisten terhadap lisis

mempresentasikan hasil akhir dari koagulasi. Perubahan pada struktur fibrin telah

dilaporkan pada pasien dengan penyakit tromboemboli seperti riwayat infark

miokard atau infark miokard akut, stroke iskemik, dan tromboemboli vena.

Kebanyakan pasien dengan infark miokard atau tromboemboli vena menunjukkan

abnormalitas fibrin. Sejumlah faktor genetik dan lingkungan berkorelasi dengan

(12)

Gambar 2.7. Struktur bekuan fibrin dan penyakit tromboemboli (Undas, 2011).

Beberapa penyakit dilaporkan berhubungan dengan perubahan abnormal dari struktur dan

fungsi bekuan fibrin, terutama penurunan permeabilitas bekuan dan kerentanan terhadap

lisis, serta perubahan karakter bekuan fibrin.

Perubahan struktur bekuan pertama sekali didemonstrasikan pada pasien

dengan PJK berat pada tahun 1992. Peningkatan permeabilitas bekuan dan waktu

lisis juga diobservasi pada pasien dengan PJK berat di atas usia 60 tahun. Fibrin

merupakan komponen pada plak aterosklerosis dan keberadaannya dapat

menyebabkan pertumbuhan plak (Undas, 2007)

Implikasi bekuan fibrin dapat terjadi pada dua komplikasi yang

mengancam jiwa yaitu trombosis stent dan fenomena tanpa aliran darah (no-flow

(13)

endotelialisasi lengkap dan trombus fibrin yang menetap sebagai penyebab utama

pada trombosis stent. Pasien dengan trombosis stent menunjukkan struktur fibrin

yang lebih padat dan sedikit rongga (Undas, 2010). Perubahan ini menyebabkan

keberadaan fibrin yang lebih lama pada lumen vaskuler. Penemuan ini

mengindikasikan adanya faktor lain yang berhubungan dengan trombosis stent

(termasuk prosedur itu sendiri, karakteristik pasien dan lesi, desain stent, dan

penghentian dini obat antitrombosit). Struktur fibrin abnormal juga diamati pada

pasien dengan riwayat fenomena tanpa aliran darah, yang didefinisikan sebagai

tidak adanya perfusi miokardium lengkap meskipun arteri yang mengalami infark

telah sukses dibuka (Zalewski, 2007).

Struktur fibrin akan mempengaruhi tingkat fibrinolisis secara langsung.

Longstaff dkk menunjukkan akses bekuan terhadap protein fibrinolitik dan

perubahan ikatan tissue plasminogen activator (tPA) dan plasminogen, keduanya

diregulasi oleh struktur fibrin. Proses fibrinolisis cepat terjadi pada bekuan yang

mengandung sedikit trombosit, sedangkan area yang kaya akan trombosit relatif

tidak dapat lisis. Jaringan fibrin yang terdiri dari jaringan yang tipis, sangat

bercabang akan lebih kaku, kurang permeabilitas dan lebih sulit mengalami lisis

(Undas, 2011).

Tromboelastografi (TEG) adalah metode pengujian efisiensi koagulasi

dalam darah. Pertama kali dikembangkan oleh dr Hellmut Hartert di Universitas

Heidelberg, tahun 1948. TEG ditunjukkan sebagai suatu metode untuk mengatasi

keterbatasan tes koagulasi konvensional. TEG menghasilkan pengawasan

koagulasi darah keseluruhan yang efektif dan tepat. Alat ini mengevaluasi sifat

elastis dari darah dan memberikan taksiran global dari fungsi hemostasis.

Maximal clot strength atau fibrin clot strength pada tromboelstografi terdiri dari kontribusi pembentukan fibrin plasma dan agregasi trombosit secara

bersamaan untuk membentuk trombus yang stabil. Pada tromboelastografi,

parameter ini ditunjukkan dengan nilai G. Risiko yang berkorelasi dengan

(14)

trombosit yang tinggi dan pembentukan trombin pada permukaan trombosit yang

teraktivasi pada pasien dengan terapi dual antiplatelet (Kreutz, 2013).

Gambar 2.8. Tromboelastografi (Thakur, 2012)

Parameter perhitungan pada TEG terdiri dari:

- Waktu r: menunjukkan periode waktu laten dari awal tes sampai

pembentukan fibrin inisial. Hal ini merepresentasikan studi pembekuan

darah standar. Nilai normal 15-23 menit (pada darah natif), 5-7 menit

(pada darah yang bercampur dengan kaolin).

- Waktu k: menunjukkan waktu untuk mencapai tingkat kekuatan bekuan

(dimana waktu r = nol) dengan amplitudo 20 mm. Nilai normal 5-10 menit

(pada darah natif), 1-3 menit (pada darah yang bercampur dengan kaolin).

- Sudut α: mengukur kecepatan fibrin terbentuk dan jembatan-jembatan

fibrin bekerja (penguatan bekuan) dan menilai laju pembentukan bekuan.

Nilai normal: 22-38 (pada darah natif), 53-67 (pada darah yang bercampur

dengan kaolin).

- Amplitudo maksimal (MA): fungsi langsung dari ikatan trombosit dan

fibrin maksimal melalui Gp IIb/IIIa dan merepresentasikan kekuatan

terakhir dari bekuan fibrin yang berkorelasi dengan fungsi trombosit: 80%

trombosit, 20% fibrinogen. Nilai normal: 47-58 mm (pada darah natif),

(15)

- Nilai G: merupakan fibrin clot strength yang menunjukkan fungsi

hemostasis secara global dan dihitung dengan rumus G=(5000 x

MA)/(100- MA). Nilai normal: 4.500 – 11.000 dyne/s

- Coagulation Index: indikator koagulasi secara menyeluruh dengan

menggunakan formula yang ditentukan oleh produsen alat untuk

menentukan nilai normal, hipo atau hiperkoagulasi. Nilai normal: 3-3mm.

- LY30: persentase yang menurun dalam ampitudo 30 menit setelah MA

dan memberi perhitungan tingkat fibrinolisis. Nilai normal <7,5% (pada

darah natif).

- LY60: persentase yang menurun dalam amplitudo 60 menit setelah MA.

- A30: amplitudo saat 30 menit setelah MA

- A60: amplitudo saat 60 menit setelah MA

- EPL: merepresentasikan prediksi komputer pada 30 menit proses lisis

yang berdasarkan pada laju aktual penurunan amplitudo yang terhitung 30

detik setelah MA dan merupakan indikator paling awal dari lisis abnormal.

EPL awal > LY30 (30 menit EPL = LY30), EPL normal < 15%,

fibrinolisis menyebabkan peningkatan LY30, LY60, EPL dan penurunan

A30 dan A60.

Interpretasi klinis dari berbagai tahap koagulasi yang diukur dengan TEG:

- Pembentukan bekuan: faktor pembekuan (waktu r dan k)

- Kinetik bekuan: faktor pembekuan (waktu r dan k), trombosit (MA)

- Kekuatan/ stabilitas bekuan: trombosit (MA), fibrinogen (reopro-mod

MA)

(16)
(17)

2.6Kerangka Teori

Gambar 2.10. Kerangka Teori (Libby, 2006; Hansson, 2005; Bassuk, 2006;

Undas, 2007; Undas, 2011) Disfungsi endotel Aktivasi dan

infiltrasi monosit sitokin inflamasi lain

Menghasilkan CRP dan protein fase akut lain di hati dan jaringan lemak

(18)

2.7Kerangka Konsep

Gambar 2.11. Kerangka Konsep Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner

(Angina Pektoris Stabil atau Infark Miokardium > 30 hari)

hsCRP

Intervensi Koroner Perkutan (IKP) Elektif

Fibrin Clot Strength

Tertile 1 Tertile 2 Tertile 3

Faktor Risiko: Merokok Hipertensi

Gambar

Gambar 2.1. Proses pembentukan foam cell (A) Artery normal, meliputi lumen yang
Gambar 2.2. Efek aktivasi infiltrasi LDL pada arteri yang terinflamasi (Hansson,
Gambar 2.3. Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi (Hansson, 2005).
Gambar 2.4. Kaskade Sitokin (Hansson, 2005). Sel imun yang teraktivasi pada plak oleh berbagai jaringan sebagai respon infeksi dan jaringan lemak pada sindroma metabolik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan komputer sudah mengarah pada system terpadu yang dikenal dengan MULTIMEDIA yaitu suatu gabungan antara komputer yaitu suatu gabungan antara komputer dengan

[r]

Salah satu contoh, yaitu pemanfaatan Internet untuk menyajikan informasi mengenai suatu Maskapai Penerbangan Bali Air (Bali Air) yang berisi tentang jadwal penerbangan, jenis

[r]

Toolbook dilengkapi dengan perangkat gambar dan penyutingan yang digunakan untuk membuat obyek-obyek pada suatu aplikasi multimedia. Pembentukkan dan penyusunan elemen-elemen

[r]

Penulisan ilmiah ini menjelaskan mengenai perancangan sistem administrasi pendataan pasien dengan dibuatnya perancangan seperti : data flow diagram (DFD), entity relationship

[r]